NovelToon NovelToon

Di Balik Penolakan

01. Awal Dari Semua Ini

Aku masih ingat dengan jelas, hari pertama masuk SMA. Namaku Dion, anak kelas 10, baru aja lepas dari masa putih biru dan sekarang harus berhadapan dengan seragam putih abu-abu yang katanya penuh dengan cerita. Tapi bagiku, hari pertama itu gak terlalu spesial. Cuma perpindahan dari satu bangku sekolah ke bangku lain. Sampai akhirnya, aku melihat dia.

Clara.

Dia anak baru, sama sepertiku. Dari awal masuk kelas, Clara udah menarik perhatian banyak orang. Enggak cuma karena wajahnya yang manis dan senyum yang ceria, tapi juga karena dia punya aura yang beda dari cewek-cewek lain. Aku gak tau kenapa, tapi sejak pertama kali ngeliatnya, ada yang aneh di dalam diriku. Perasaan yang belum pernah aku rasain sebelumnya.

Hari itu aku duduk di bangku belakang, sendirian. Biasanya, aku orang yang gampang akrab sama orang lain. Tapi kali ini, entah kenapa, aku malah sibuk memperhatikan Clara dari jauh. Aku pengen nyapa, tapi lidahku mendadak kelu setiap kali dia lewat.

"Ayo, bro! Jangan kebanyakan liat, loh. Sapa aja!" kata Reza, temanku yang duduk di sebelahku. Dia udah ngeh dari tadi aku terus-terusan melirik Clara.

"Gak bisa," jawabku pendek.

"Kenapa gak bisa? Serius amat, Dion? Lo bukannya biasanya gampang nyapa cewek?"

Aku diam. Bukannya aku gak bisa nyapa, tapi Clara beda. Aku merasa kalau aku salah langkah sedikit aja, semua harapanku bakal hancur. Tapi di sisi lain, aku gak tahan untuk sekadar mengenalnya.

Minggu-minggu pertama sekolah berjalan dengan cepat. Kelas 10 SMA gak jauh beda sama SMP, cuma tugas dan pelajaran yang makin bikin pusing. Tapi bagiku, semuanya tetap berputar di sekitar satu hal—Clara. Tiap hari, aku selalu mencari cara buat mendekatinya. Mulai dari berusaha duduk di dekatnya saat pelajaran, sampai menunggu di kantin biar bisa ketemu dia waktu jam istirahat.

Sayangnya, tiap kali aku mencoba untuk ngobrol, Clara cuma merespon seadanya. Jawaban singkat, senyum kecil, atau bahkan kadang tanpa respon sama sekali. Seolah-olah dia gak tertarik sama sekali. Dan itu bikin aku frustrasi.

"Lo masih ngejar Clara?" tanya Reza suatu hari, saat kami sedang nongkrong di kantin.

Aku mengangguk pelan. "Iya, bro. Tapi kayaknya dia bener-bener gak tertarik."

Reza tertawa kecil. "Lo serius amat, Dion. Kalau emang dia gak suka, yaudah lah, move on aja. Banyak cewek lain yang mau sama lo, tau."

Aku tersenyum pahit. "Gampang ngomongnya. Tapi entah kenapa, gue gak bisa lupain dia."

Aku tahu Clara gak peduli. Tapi entah kenapa, semakin ditolak, semakin aku merasa harus lebih berjuang. Seperti ada sesuatu dalam diriku yang gak mau menyerah begitu aja. Setiap malam sebelum tidur, aku selalu memikirkan cara apa lagi yang bisa aku coba esok harinya. Mungkin ajak dia belajar bareng, atau kasih dia hadiah kecil. Tapi selalu, jawabannya sama—penolakan halus yang tetap menusuk.

Sampai akhirnya, ada satu momen yang bikin aku berpikir untuk menyerah.

Hari itu, aku memberanikan diri untuk memberikan Clara sebuah buku novel yang aku tau dia suka. Aku tau karena pernah mendengar dia cerita ke teman-temannya di kelas. Setelah jam sekolah selesai, aku menghampiri Clara yang sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah.

"Clara," panggilku pelan.

Dia menoleh, menatapku dengan ekspresi datar. "Iya, Dion?"

Aku merogoh tas dan mengeluarkan buku itu. "Aku denger kamu suka novel ini. Jadi, aku beliin buat kamu."

Clara melihat buku itu sebentar, lalu menatapku lagi. "Makasih, tapi aku gak butuh," jawabnya singkat. Tanpa menunggu aku merespon, dia berdiri dan pergi begitu aja, meninggalkanku dengan buku di tanganku.

Aku terdiam. Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadaku. Itu bukan penolakan yang pertama kali, tapi kali ini berbeda. Ada nada dingin dalam suaranya yang bikin aku merasa sangat bodoh. Seolah-olah semua usahaku selama ini cuma buang-buang waktu.

Dan di saat itulah, aku mulai berpikir untuk menyerah.

Selama beberapa hari setelah itu, aku mulai menjauh. Gak lagi berusaha mendekati Clara, gak lagi mencari cara untuk bisa berbicara dengannya. Aku merasa lelah. Buat apa terus berjuang kalau hasilnya selalu sama? Aku berpikir mungkin Reza benar—ada banyak hal lain yang lebih penting daripada ngejar seseorang yang gak peduli.

Tapi, saat aku mulai mundur, aku melihat sesuatu yang berbeda. Clara, yang selalu terlihat ceria, tiba-tiba jadi pendiam. Dia gak banyak bicara sama teman-temannya, sering duduk sendirian, dan bahkan senyum yang biasa dia tunjukkan pun perlahan menghilang.

Aku gak ngerti kenapa, tapi perubahan itu nyata. Dan entah bagaimana, aku merasa kehilangannya. Clara, yang selalu menolak mentah-mentah perasaanku, sekarang justru tampak kehilangan semangatnya.

Hati kecilku berkata ada sesuatu yang salah. Apa aku udah menyerah terlalu cepat? Apa Clara sebenarnya butuh aku di dekatnya?

Tapi... kenapa?

Aku terdiam lama, melihat dari kejauhan. Mungkin, untuk pertama kalinya, Clara mulai merasakan kehilangan sesuatu. Atau mungkin, kehilangan seseorang.

Dan di situlah aku mulai bertanya-tanya: Apa sebenarnya yang Clara rasakan selama ini? Apa aku salah menilai dia? Apa aku yang terlalu memaksakan?

Perasaan yang campur aduk mulai memenuhi pikiranku. Aku tahu, perjalanan ini belum selesai. Mungkin Clara gak pernah benar-benar peduli, atau mungkin... ada sesuatu yang belum aku pahami.

Satu hal yang pasti: aku harus mencari jawabannya. Dan untuk itu, aku gak bisa menyerah sekarang.

To be continued...

02. Di Antara Canda dan Asa

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku masih memikirkan Clara. Sementara itu, aku mencoba tetap bersikap biasa di depan teman-temanku. Kami sering nongkrong di kantin atau di taman sekolah setelah jam pelajaran selesai, hanya untuk ngobrol ringan atau main-main.

Hari itu, aku duduk bersama Reza dan dua teman cowok lainnya, Fariz dan Aldi. Kami lagi di kantin, menikmati makanan ringan sambil bercanda.

"Aku heran sama lo, Dion," kata Fariz sambil menatapku dengan cengiran jahil. "Udah ditolak berkali-kali sama Clara, tapi masih aja lo ngejar. Lo cinta atau keras kepala?"

"Atau mungkin, dua-duanya," tambah Aldi sambil terkekeh. "Cinta keras kepala."

Aku tersenyum kecut. "Eh, kalian gak ngerti aja. Cinta itu kan butuh perjuangan, bro."

Reza tertawa sambil menggoyangkan botol minumannya. "Perjuangan apa? Lo ini kayak gladiator di Colosseum yang udah ditombak berkali-kali, tapi tetep aja maju. Udah tau kalah, masih mau perang."

Fariz langsung nimbrung, "Nah iya, Colosseum kan biasanya buat hiburan orang. Mungkin Clara itu hiburannya ngeliat lo berjuang terus, Dion."

Aldi menahan tawa, "Kasihan banget, Dion. Lo ini gladiator cinta yang gak menang-menang."

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, berusaha ikut tertawa walaupun sebenarnya sedikit tersindir. Mereka memang teman-teman dekatku, dan kalau gak ada mereka, mungkin aku udah lama tenggelam dalam frustrasi soal Clara. Setidaknya dengan mereka, suasana jadi lebih ringan.

"Ya, lo pada enak bisa ketawa-ketawa. Gue serius, tau," jawabku akhirnya, sambil pura-pura menyeka air mata yang gak ada. "Lo pikir gue cuma iseng ngejar Clara? Gue beneran, bro!"

"Serius? Tapi kayaknya Clara nggak serius balik, tuh," sahut Reza sambil pura-pura menepuk-nepuk pundakku. "Tapi gak apa-apa, Dion. Kalau lo gagal sama Clara, mungkin dia cuma jalan tol buat lo nemuin jodoh lo yang sebenarnya."

"Hah, jalan tol?" tanyaku bingung.

"Iya, jalan tol kan cepat dilewatin, tapi lo tetep bayar," jawab Reza sambil ketawa sendiri. "Kasih waktu, duit, perasaan, tapi ujungnya cuma buat lewatin doang. Jodoh lo mungkin ada di ujung sana, tinggal tunggu portal bayarannya dibuka."

Fariz menimpali, "Wah, masuk akal tuh! Clara jalan tol, jodoh lo jalan lintas provinsi. Lama sampai, tapi indah!"

Kami semua tertawa keras mendengar lelucon itu. Dalam hati, aku tahu mereka cuma bercanda, tapi ada benarnya juga. Perjuanganku buat Clara udah terlalu lama dan rasanya gak berbuah apa-apa.

Setelah tawa mereda, Aldi tiba-tiba mengalihkan topik dengan nada lebih serius. "Eh, tapi ngomong-ngomong, lo nyadar gak sih, akhir-akhir ini Clara kayak beda? Gak kayak biasanya."

Aku yang awalnya lagi menyesap es teh langsung berhenti sejenak dan menatap Aldi. "Beda gimana?"

Aldi mengangkat bahu. "Gak tau. Kayak... lebih pendiam aja. Gue ngeliat dia beberapa kali di taman sendirian, biasanya kan dia rame sama temen-temennya."

Aku tersenyum tipis, sudah lama memperhatikan hal yang sama. "Iya, gue juga liat itu. Tapi, gue gak ngerti kenapa."

"Ya, mungkin dia capek ngeliat muka lo, Dion," goda Fariz sambil menepuk pundakku, membuat yang lain tertawa lagi.

Tapi kali ini aku hanya tersenyum lemah. Walaupun mereka bercanda, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Clara yang dulu ceria dan selalu menolak perasaanku dengan mudah, sekarang terlihat seperti menyimpan sesuatu yang lain. Dan itu bikin aku semakin penasaran.

"Lo serius, Dion? Lo mau terus ngejar dia?" tanya Reza sambil menatapku lebih serius kali ini. "Kalau dia memang beda sekarang, mungkin ada sesuatu yang bikin dia berubah."

Aku terdiam sejenak, menatap ke arah jauh. "Gue gak tau, bro. Mungkin gue emang harus berhenti. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam diri gue yang bilang kalau ini belum selesai."

Aldi mengangguk setuju. "Bisa jadi. Kadang cewek gitu, gak akan ngomong langsung. Lo cuma harus peka sama sinyal-sinyal kecil yang dia kasih."

"Sinyal?" tanyaku.

"Iya, sinyal. Kayak sinyal WiFi yang tiba-tiba ngilang, terus balik lagi pelan-pelan. Lo harus sabar, bro. Mungkin Clara cuma lagi buffering," kata Aldi sambil tertawa kecil, dan kami semua tertawa lagi.

Reza ikut menimpali, "Nah, kalau sinyalnya udah bagus lagi, baru deh lo masuk, kayak buka video di YouTube. Tapi ingat, jangan keburu buffering ulang."

Aku tertawa, meski dalam hati aku tetap memikirkan Clara. Sinyal? Mungkin ada benarnya juga. Sejak aku berhenti mendekati Clara, ada perubahan nyata dalam dirinya. Dan itu bikin aku bertanya-tanya—apakah benar dia menyimpan sesuatu yang belum dia ungkapkan?

Tapi, di saat yang sama, aku juga gak mau terus-terusan berharap tanpa kepastian. Aku takut kalau semua ini cuma perasaanku aja, dan Clara sebenarnya gak peduli. Tapi di sisi lain, ada dorongan yang membuatku ingin kembali mendekatinya, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tiba-tiba, Reza menyenggolku. "Udah lah, bro. Kalau lo masih mau ngejar Clara, jalanin aja. Tapi jangan lupa bawa cadangan hati buat lo sendiri. Biar kalau sakit lagi, gak langsung remuk."

Aku tertawa lagi mendengar candaan itu. Meski ringan, ada benarnya juga. Mungkin kali ini, aku harus lebih berhati-hati. Clara tetap menjadi misteri buatku, tapi satu hal yang pasti—aku gak bisa tinggal diam.

"Lo semua emang bener," jawabku akhirnya sambil berdiri. "Gue bakal cari tau lebih lanjut. Tapi kali ini, gue bakal pelan-pelan. Gak perlu buru-buru. Siapa tahu emang butuh waktu buat Clara sadar... atau gue yang harus sadar."

"Jiahh, kata-kata bijak dari Dion nih," kata Fariz sambil tertawa. "Ayo, kita buat perjanjian. Kalau lo berhasil, kita traktir makan. Tapi kalau gagal lagi, lo yang traktir kita."

Aku mengangguk sambil tertawa kecil. "Setuju. Deal!"

Dan dengan itu, kami pun menyelesaikan obrolan hari itu dengan tawa, sementara di kepalaku, Clara masih terus berputar. Mungkin, pertarungan ini belum selesai.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sementara itu, di sudut taman sekolah yang lain, Clara sedang duduk bersama sahabat dekatnya, Nisa. Mereka sering menghabiskan waktu di sana, di bangku panjang yang teduh di bawah pohon besar. Hari itu, meskipun suasana terasa hangat dan cerah, wajah Clara tampak berbeda dari biasanya—sedikit murung dan lebih banyak diam.

Nisa, yang sudah lama mengenal Clara, bisa merasakan ada yang tidak beres. Setelah mengobrol basa-basi sebentar, Nisa akhirnya menatap Clara dengan tatapan serius.

"Clara, ada apa sih? Akhir-akhir ini kamu kayak orang yang lagi ngilangin sesuatu, deh," tanya Nisa sambil mencondongkan tubuhnya ke depan.

Clara hanya menghela napas pelan. "Nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuma lagi banyak pikiran aja."

Nisa menatapnya lebih tajam. "Clara, please deh. Aku tahu kamu. Kalau lagi ada yang mengganggu, biasanya kamu langsung cerita. Tapi sekarang, udah beberapa hari kamu kayak gini. Apa ini soal Dion?"

Clara tersentak mendengar nama Dion disebut. "Eh? Dion? Kenapa emangnya?"

Nisa tertawa kecil. "Ya iyalah. Siapa lagi yang bikin kamu jadi begini? Aku tau, Dion selalu ngejar-ngejar kamu, dan kamu selalu tolak dia. Tapi akhir-akhir ini, sejak Dion berhenti ngejar, kamu kelihatan... beda. Kayak ada yang hilang."

Clara diam sejenak, menatap ke arah rumput di bawah kakinya. Perasaan yang selama ini dia pendam mulai muncul ke permukaan. Dia mengingat kembali momen-momen ketika Dion selalu berusaha mendekatinya—senyuman bodohnya, candaan recehnya, bahkan usaha-usaha konyolnya buat dapetin perhatian Clara. Dulu, semua itu terasa mengganggu. Tapi sekarang? Setelah Dion berhenti, ada sesuatu yang ganjil dalam hatinya.

"Ya... mungkin," Clara akhirnya mengakui dengan suara pelan. "Aku gak tau, Nis. Awalnya, aku pikir aku bakal lega kalau Dion berhenti. Tapi sekarang, rasanya malah aneh."

Nisa menepuk bahu Clara pelan, memberi semangat. "Karena kamu terbiasa, Clara. Dion itu kayak... hmm, gimana ya, kayak alarm pagi. Selama ini, kamu biasa bangun gara-gara alarm itu, dan pas alarmnya gak bunyi lagi, kamu malah kaget. Gak nyaman."

Clara tertawa kecil mendengar perumpamaan itu. "Alarm? Serius, Nis? Kamu nyamain Dion sama alarm pagi?"

Nisa mengangguk mantap. "Iya dong! Tapi beda sama alarm yang annoying. Dion itu tipe alarm yang lama-lama kalau nggak bunyi malah dicariin."

Clara menghela napas lagi, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya. "Mungkin ada benernya. Tapi aku juga gak tau, Nis. Aku selalu merasa kalau aku gak suka sama Dion, ya... karena dia selalu maksa. Aku gak pernah ngasih dia harapan, tapi dia terus-terusan datang."

Nisa menatap Clara penuh perhatian. "Mungkin, Clara. Mungkin kamu gak ngasih harapan karena kamu takut, atau belum siap. Tapi sekarang, begitu Dion berhenti, kamu jadi sadar kalau perasaan kamu sebenarnya gak sekeras itu buat nolak dia."

Clara terdiam. Kata-kata Nisa perlahan menyusup ke dalam pikirannya. Benarkah selama ini dia menolak Dion karena dia benar-benar gak suka? Atau mungkin, dia hanya takut terbuka? Dion selalu ada di sekelilingnya, selalu berusaha, selalu membuatnya merasa istimewa meski dengan cara yang konyol. Sekarang, saat Dion mundur, ada kekosongan yang gak bisa dijelaskan.

"Aku cuma takut bikin dia berharap lagi, Nis. Aku gak mau kasih dia harapan yang salah," ucap Clara pelan.

Nisa menatap Clara dengan bijaksana. "Clara, menurutku, ini bukan soal harapan salah atau benar. Ini soal kamu sendiri. Kamu harus jujur sama diri kamu. Kalau kamu emang beneran gak suka sama Dion, ya udah. Tapi kalau ada sedikit perasaan buat dia, gak ada salahnya buat ngasih dia kesempatan. Bukan berarti harus pacaran atau gimana, tapi setidaknya jangan tutup diri sepenuhnya."

Clara memandang jauh ke depan, mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Nisa. Dalam hati, dia tahu ada yang berubah dalam dirinya. Dion mungkin bukan cowok yang sempurna, tapi usahanya, kehadirannya, dan semua candaan konyolnya, telah meninggalkan jejak di hati Clara.

"Mungkin... aku memang harus ngomong sama dia, ya?" gumam Clara pelan, lebih ke dirinya sendiri daripada ke Nisa.

Nisa tersenyum lebar. "Nah! Itu baru sahabatku. Kalau kamu beneran ngerasa ada yang beda, coba deh ngobrol. Gak harus langsung jadian atau gimana. Tapi setidaknya, biar jelas apa yang kalian rasain."

Clara mengangguk pelan. Dalam hati, dia tahu Nisa benar. Selama ini, dia terlalu sibuk menolak tanpa benar-benar mendengarkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Dan sekarang, mungkin sudah saatnya membuka diri sedikit—untuk dirinya sendiri, bukan untuk Dion.

"Thanks, Nis. Kamu emang selalu tau apa yang harus aku lakuin," kata Clara sambil tersenyum.

Nisa tertawa kecil. "Tenang aja, Clara. Aku ini ahli dalam urusan hati orang lain. Tapi kalo buat diri sendiri, ya kacau juga."

Mereka tertawa bersama, suasana jadi lebih ringan setelah percakapan itu. Tapi di dalam hati Clara, masih ada pertanyaan yang berputar. Apakah dia benar-benar siap untuk membuka diri kepada Dion? Atau apakah ini hanya rasa kehilangan sementara?

Satu hal yang pasti—Clara tidak bisa terus bersembunyi di balik penolakannya lagi. Dion pantas mendapat jawaban yang lebih jujur, dan mungkin, Clara juga pantas mendapatkan jawaban dari hatinya sendiri.

To be continued...

03. Awal Yang Canggung

Keesokan harinya, Clara merasa gugup. Sepanjang malam, ia berpikir tentang percakapannya dengan Nisa. Di satu sisi, ia ingin bicara dengan Dion, memperbaiki suasana yang kian renggang. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran besar—bagaimana jika Dion benar-benar sudah menyerah? Bagaimana jika Dion tidak mau lagi berurusan dengannya?

Di sekolah, Clara melihat Dion sedang duduk di bangku taman bersama teman-temannya seperti biasa. Tapi kali ini, Clara merasakan sesuatu yang aneh. Dion yang biasanya selalu mencuri pandang atau tersenyum padanya, kini justru tampak acuh tak acuh, seolah-olah Clara tidak ada di sana. Hal itu membuat perasaannya semakin tak nyaman.

"Nis, aku bakal coba ngomong sama Dion nanti," bisik Clara kepada Nisa saat mereka melewati Dion di taman.

Nisa menepuk bahu Clara dengan semangat. "Bagus. Aku dukung kamu, Clara. Pelan-pelan aja, pasti ada jalan."

Clara mengangguk, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia memutuskan menunggu hingga jam istirahat, saat Dion mungkin sedang sendirian. Dia ingin bicara tanpa ada gangguan atau canda dari teman-temannya. Clara tahu ini bukan obrolan biasa. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, tapi dia juga tak ingin terlihat terlalu terburu-buru.

Saat jam istirahat tiba, Clara melihat Dion sedang berjalan sendirian menuju ruang perpustakaan. Ini mungkin kesempatan yang tepat. Dengan hati-hati, Clara mengejar Dion dan memanggilnya.

"Dion!"

Dion berbalik, terlihat sedikit terkejut, tapi ekspresinya tetap datar. "Oh, Clara. Ada apa?"

Clara merasa canggung seketika. Biasanya, Dion akan menyambutnya dengan senyum lebar atau candaan ringan, tapi kali ini Dion terlihat dingin. Sikapnya tak seperti biasanya—bukan Dion yang ia kenal.

"Aku… aku cuma mau ngobrol sebentar. Ada waktu?" tanya Clara, berusaha tetap tenang.

Dion mengangkat bahu. "Boleh. Tapi kalau kamu buru-buru, gak apa-apa kok, kita bisa ngobrol lain kali."

Clara terdiam sesaat, bingung dengan respons dingin Dion. "Enggak, aku gak buru-buru. Aku cuma... mau nanya gimana kabar kamu."

Dion mengangguk pelan, namun tetap tanpa ekspresi. "Baik. Semua baik. Kenapa?"

Clara semakin merasa aneh dengan sikap Dion yang kini terlihat menjaga jarak. "Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini. Kamu gak seperti biasanya."

Dion tersenyum tipis, tapi senyum itu terasa hambar. "Mungkin aku cuma lagi belajar buat gak terlalu ganggu hidup orang lain."

Kata-kata itu langsung menusuk Clara. Dia tahu maksud Dion. Dulu, Dion selalu berusaha mendekatinya, selalu mencoba membuat Clara tersenyum, meski sering kali Clara menolak atau mengabaikannya. Tapi sekarang, sepertinya Dion benar-benar menarik diri.

"Tapi kamu gak pernah ganggu aku, Dion," jawab Clara lirih, berusaha memperbaiki kesalahpahaman itu.

Dion menatap Clara sebentar, lalu menarik napas panjang. "Clara, aku udah cukup lama ngejar kamu. Dan aku sadar, selama ini kamu gak pernah nyaman dengan itu. Jadi, sekarang aku coba buat kasih kamu ruang. Mungkin... memang lebih baik kalau aku berhenti."

Clara merasa dadanya semakin sesak. Ini bukan yang dia harapkan dari percakapan ini. Dion yang dulu selalu ceria dan optimis, sekarang terlihat seolah sudah benar-benar menyerah.

"Tapi… Dion, aku nggak pernah minta kamu berhenti," Clara mencoba berbicara lebih hati-hati. "Aku cuma... mungkin aku terlalu kaku dulu. Aku gak ngerti perasaan aku waktu itu."

Dion menundukkan kepala sejenak, lalu menatap Clara dengan tatapan yang dalam, tapi dingin. "Ya, aku ngerti. Kamu gak perlu jelasin, Clara. Aku tahu aku banyak maksa dulu. Tapi aku gak mau bikin kamu ngerasa tertekan lagi. Makanya aku berhenti. Mungkin itu yang terbaik buat kita."

Clara terdiam. Dion benar-benar terlihat berbeda. Dulu, saat ditolak, dia selalu balik lagi dengan senyum dan candaan. Tapi kali ini, Dion tampak seperti seseorang yang sedang menjaga jarak, seolah tak mau terluka lagi.

"Jadi... kamu udah beneran gak mau deket lagi?" Clara bertanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.

Dion tersenyum kecil, tapi senyum itu tak menghangatkan suasana. "Bukan soal mau atau enggak, Clara. Ini soal apa yang terbaik buat kamu. Aku gak mau lagi jadi alasan kamu ngerasa gak nyaman atau tertekan. Aku cuma pengen kamu bahagia."

Clara merasa ada sesuatu yang retak di dalam dirinya. Dion benar-benar menjauh, dan kali ini, dia merasa kehilangan sesuatu yang berharga. Dulu, dia pikir lebih baik Dion berhenti, tapi sekarang, saat itu benar-benar terjadi, dia menyadari bahwa kehadiran Dion adalah sesuatu yang selama ini dia anggap remeh.

"Tapi Dion..." Clara mencoba berbicara lagi, namun Dion memotongnya dengan lembut.

"Udah, Clara. Gak apa-apa. Serius. Kamu gak perlu mikirin aku lagi. Aku fine. Kamu juga akan fine. Mungkin nanti kita bisa ngobrol lagi, tapi buat sekarang... aku rasa ini yang paling baik."

Clara menatap Dion dengan hati yang berat, tapi tak tahu harus berkata apa. Dion benar-benar berubah. Dan untuk pertama kalinya, Clara merasa takut—takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum dia sadari sepenuhnya.

"Kalau gitu... makasih, Dion. Makasih udah jujur," ucap Clara pelan.

Dion mengangguk, lalu tersenyum kecil. "Sama-sama, Clara. Jaga diri, ya."

Clara hanya bisa menatap punggung Dion yang perlahan menjauh. Hatinya terasa campur aduk—antara perasaan kehilangan, penyesalan, dan kebingungan. Dion yang dulu selalu ada, kini tak lagi menginginkan tempat di hidupnya. Dan Clara harus menerima kenyataan bahwa semua ini mungkin kesalahannya sendiri.

Saat Dion menghilang dari pandangannya, Clara berdiri diam di tempat, merenungkan semuanya. Mungkin sekarang, dia yang harus mengejar. Tapi pertanyaannya, apakah dia sudah terlambat?

To be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!