NovelToon NovelToon

Suami Kontrak Miss Perfeksionist

Bar

Di sudut remang-remang sebuah klub malam yang dipenuhi gemerlap lampu dan suara musik yang menggema, seorang gadis berusia 24 tahun duduk di bar, dengan tatapan kosong menatap gelas di depannya. Dia terlihat seperti siapa pun yang datang ke tempat ini, berpakaian menarik, rambutnya tergerai dengan sempurna, dan riasan yang memancarkan kesan percaya diri. Namun, jauh di dalam pikirannya, tidak ada apa pun yang terlihat berkilau.

Dia mengaduk minumannya perlahan, tenggelam dalam pikirannya yang penuh dengan kebingungan dan kecemasan. Dalam beberapa bulan terakhir, hidupnya berubah drastis setelah orang tuanya meninggal. Mereka meninggalkan harta yang besar, tapi ada satu masalah, syarat di dalam wasiat itu yang mengharuskannya menikah jika ingin mendapatkan hak waris. 

Pernikahan bukan sesuatu yang pernah ia pertimbangkan dengan serius, apalagi dalam kondisi sekarang, di mana dia merasa sendirian dan terlantar.

Tepat saat musik berhenti sejenak untuk pergantian DJ, suara di kepalanya semakin nyaring, mempertanyakan apakah mungkin ada jalan keluar dari situasi ini. Pikirannya terus-menerus mencari solusi, sampai akhirnya terlintas satu ide gila, menyewa seorang laki-laki untuk berpura-pura menjadi suaminya. Hanya dengan itu, dia bisa memenuhi syarat dalam wasiat dan mendapatkan kembali kendali atas kehidupannya.

Namun, ide tersebut tidak semudah yang dibayangkannya. Bagaimana dia bisa menemukan seseorang yang tepat? Seseorang yang dapat dipercaya tetapi tidak akan terlalu terikat? Apakah pria seperti itu ada di tempat seperti ini? Ia meneguk minumannya lagi, mencoba mengabaikan keraguan yang semakin membesar.

Tatapannya berkelana ke sekeliling klub, mencari sosok yang mungkin bisa menjadi jawaban. Di antara kerumunan pria yang bersenang-senang tanpa beban, dia tahu dia harus membuat keputusan. 

Dengan perasaan berat, dia menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk melangkah lebih jauh ke dalam rencananya yang penuh risiko. Sebuah keputusan yang akan mengubah segalanya, tetapi mungkin itu satu-satunya cara agar dia bisa kembali memiliki hidupnya dan harta keluarganya.

Di sudut belakang bar yang gelap, bartender muda itu berdiri tegang, matanya terarah pada lantai sementara suara musik dari klub terasa jauh di latar belakang. Di depannya, pemilik bar, seorang pria paruh baya dengan wajah marah dan nada suara tajam, melayangkan pandangan tajam.

"Kamu bercanda, kan?" Pemilik bar melipat tangannya di dada, suaranya meninggi. "Kamu benar-benar menuangkan anggur mahal itu untuk tamu yang hanya pesan bir biasa?"

Bartender itu menelan ludah, gugup. "Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru. Ada banyak pesanan datang sekaligus dan saya ...."

"Jangan kasih aku alasan!" potong pemilik bar dengan suara keras, membuat bartender itu sedikit mundur. "Kamu tahu seberapa mahal satu botol anggur itu? Kamu paham nggak, berapa besar kerugian yang kamu buat malam ini?"

Bartender itu meremas lap yang dipegangnya, tangannya gemetar sedikit. "Saya benar-benar minta maaf. Saya akan ganti ...,"

"Kamu? Ganti? Dengan gaji kamu yang segitu-segitu aja? Kamu pikir kamu bisa?!" Pemilik bar tertawa sinis, tapi tidak ada sedikit pun humor dalam suaranya. 

"Kesalahan seperti ini nggak bisa dibiarkan begitu aja. Ini bisa bikin reputasi tempat ini rusak! Tamu itu bisa komplain, tahu nggak?"

"Saya nggak sengaja, Pak," gumam bartender itu, mencoba meredakan suasana. "Saya hanya..."

"Kamu selalu nggak sengaja!" bentak pemilik bar, wajahnya merah padam. 

"Ini bukan pertama kalinya kamu bikin kesalahan. Kamu pikir ini tempat apa? Tempat main? Kamu kerja di sini, bukan jadi beban! Kalau kamu nggak bisa profesional, pintu keluar ada di sana!" Pemilik bar menunjuk kasar ke arah pintu belakang.

Bartender itu menunduk, malu sekaligus marah pada dirinya sendiri. "Saya benar-benar minta maaf. Ini nggak akan terulang lagi."

Pemilik bar memandangi bartender itu dengan tatapan tak percaya, lalu menghela napas keras. "Kamu harus lebih teliti, kalau nggak, kamu bisa cari kerja di tempat lain. Ini peringatan terakhir, paham?"

Bartender itu mengangguk lemah. "Paham, Pak."

Pemilik bar menggelengkan kepala, matanya masih penuh amarah, sebelum akhirnya berjalan pergi, meninggalkan bartender itu berdiri sendirian, memikirkan kesalahannya dan beban berat yang menimpanya malam itu.

Karin terus memantau situasi dari sudut bar, mengamati bagaimana seorang bartender tampak sedang terlibat dalam percakapan tegang dengan salah satu manajer klub. Pria itu, dengan wajah sedikit lelah dan raut serius, sesekali melirik ke sekeliling, seakan ingin melarikan diri dari masalah yang menimpanya. Entah apa yang sedang terjadi, tetapi jelas ada tekanan besar yang ia hadapi.

Karin memperhatikan setiap gerakannya dengan teliti. Tatapannya tertuju pada cara pria itu mengusap tengkuknya dengan gugup, bagaimana dia menahan frustrasi, dan bagaimana sesekali senyum palsu terulas di wajahnya saat melayani pelanggan. Bartender itu terlihat terjebak dalam sesuatu, mungkin masalah keuangan atau pekerjaan yang semakin sulit.

Tanpa sadar, ide yang tidak terduga mulai tumbuh di benak Karin. Matanya menyipit, dan pikirannya berputar cepat. Bagaimana jika pria ini adalah jawabannya? Seorang yang mungkin sedang putus asa, yang mungkin akan mempertimbangkan tawaran tak biasa, asal dengan imbalan yang cukup. Tidak ada yang tahu latar belakangnya, tidak ada yang perlu tahu. Dia hanya perlu memainkan peran selama beberapa waktu.

Karin tersenyum tipis, seulas senyum penuh arti. Mungkin takdir sedang menunjukkan jalan yang tak terduga. Dia mendekatkan diri ke bar, mengatur langkahnya dengan percaya diri, seolah-olah apa yang akan ia lakukan adalah bagian dari rencana yang matang. Tatapannya tidak pernah lepas dari bartender itu, yang masih tampak cemas dan terganggu.

Ketika akhirnya Karin tiba di depan bar, pria itu berbalik, dan mata mereka bertemu. Di balik senyum manisnya, tersimpan sebuah rencana. Ini adalah awal dari negosiasi yang akan membawanya lebih dekat pada apa yang ia inginkan, seorang suami bayaran, dan warisan yang seharusnya menjadi miliknya.

Karin mendekati bar dengan langkah tenang, tapi penuh keyakinan. Bartender itu, masih dengan wajah tegang, tidak menyadari kehadirannya pada awalnya. Namun, ketika dia mendongak, mata mereka bertemu. Karin mengangkat alisnya sedikit, tersenyum dengan cara yang tidak biasa dilakukan pelanggan di klub malam. Senyumnya tidak menawarkan kegembiraan biasa, tetapi sesuatu yang lebih misterius.

"Minum apa, Miss?" tanya bartender itu, suaranya agak serak, mencerminkan kelelahan yang ia coba sembunyikan.

Karin menatap gelas kosong di depannya, kemudian kembali menatap pria itu. "Sebenarnya, aku di sini bukan untuk minuman," jawabnya lembut, tapi penuh arti.

Bartender itu mengerutkan kening, kebingungan. "Oh? Kalau begitu, apa yang bisa saya bantu?"

Karin menyandarkan tubuhnya sedikit lebih dekat, memastikan suaranya hanya didengar oleh pria itu. "Aku melihatmu tadi. Terlihat seperti kamu sedang punya masalah." Ia memperhatikan reaksinya, memastikan untuk tidak langsung menakut-nakuti.

Pria itu menarik napas dalam dan mengalihkan pandangannya sesaat, ragu apakah dia seharusnya menjawab. "Hanya ... urusan pekerjaan. Tidak perlu dipikirkan. Apa pun itu, aku bisa urus sendiri."

Karin tersenyum kecil. "Kita semua punya masalah. Tapi aku mungkin bisa membantumu, kalau kamu bersedia mendengarkan tawaranku."

Bartender itu terdiam, alisnya semakin berkerut. "Tawaran?" gumamnya, terdengar skeptis. "Tawaran apa?"

Karin melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang terlalu dekat mendengarkan. Ia menurunkan suaranya, berbicara pelan dan jelas. 

"Aku butuh seseorang ... seseorang yang bisa berpura-pura menjadi suamiku untuk sementara waktu."

Bartender itu terdiam, jelas terkejut dengan permintaan yang tak terduga itu. "Suami?" Dia tertawa kering, berpikir ini pasti lelucon. "Kamu serius?"

Karin mengangguk pelan, ekspresinya tidak berubah. "Sangat serius. Ini bukan soal cinta atau hubungan. Ini murni bisnis. Aku hanya butuh seseorang yang bisa memainkan peran itu. Dan kau ... sepertinya sedang membutuhkan uang."

Pria itu mendengar kata ‘uang’, dan tiba-tiba sikapnya berubah lebih waspada. "Dan ... apa yang kau tawarkan? Maksudku, ini bukan permintaan biasa."

Karin tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi aku bisa membayarmu dengan cukup untuk menyelesaikan masalahmu. Cukup untuk membuatmu berhenti bekerja di sini jika itu yang kau inginkan." Ia memberi jeda, membiarkan tawarannya menggantung di udara.

Bartender itu menatapnya, mencoba menilai apakah ini lelucon atau kesempatan emas. "Berapa banyak uang yang kita bicarakan di sini?"

Karin mendekatkan wajahnya sedikit, menatapnya dalam-dalam. "Lebih dari cukup untuk memperbaiki hidupmu. Berapa pun masalahmu sekarang, aku bisa menutupi itu. Kau hanya perlu setuju."

Bartender itu terdiam sejenak, menimbang-nimbang dalam pikirannya. Situasinya memang buruk, dan tawaran ini terdengar seperti solusi cepat. Namun, rasa skeptisnya masih ada.

 

"Kedengarannya gila ... tapi aku penasaran. Apa yang kau dapatkan dari semua ini?"

Karin tersenyum lebar, puas bahwa dia berhasil membuatnya tertarik. "Aku mendapatkan hak waris orang tuaku. Jadi, kita berdua sama-sama untung."

Pria itu terdiam lebih lama, berpikir keras. Di satu sisi, tawaran ini tidak masuk akal. Namun di sisi lain, ini mungkin jalan keluar yang ia butuhkan. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan.

"Oke," katanya akhirnya. "Aku tertarik mendengar lebih banyak."

Karin menyunggingkan senyum puas. "Bagus. Kita bicarakan ini lebih detail nanti. Ini bisa menjadi kesepakatan yang menguntungkan kita berdua."

Misi

Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela kafe yang tenang, menciptakan bayangan hangat di sekitar meja tempat Karin dan Pandu duduk. Keduanya tengah membicarakan rencana mereka, membicarakan strategi untuk menjalankan misi yang rumit. Di depan mereka, kopi sudah mendingin karena tak tersentuh, menunjukkan betapa seriusnya percakapan yang terjadi di antara mereka.

Karin menyandarkan punggungnya di kursi, menatap Pandu yang duduk di seberangnya. "Jadi, hari ini kita ketemu Om Heru," ucapnya pelan tapi tegas. "Dia adalah pengacara kepercayaan keluargaku, sudah lama dia menangani semua urusan hukum dan menjaga harta peninggalan orang tuaku. Dia yang akan memutuskan apakah pernikahan kita cukup meyakinkan untuk memenuhi syarat wasiat."

Pandu mengangguk, menatap Karin dengan serius. "Aku sudah siap. Aku akan bermain sesuai peran yang kau minta."

Karin menghela napas, terlihat sedikit ragu. "Dengar, Pandu, Om Heru itu sangat cerdas. Dia bisa mencium kebohongan dari jauh. Kita harus benar-benar terlihat meyakinkan, seperti pasangan suami istri yang sungguhan."

Pandu mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. "Jadi, kita harus punya cerita latar belakang yang solid, ya? Bagaimana kita bertemu, bagaimana kita saling jatuh cinta, dan semua detail kecilnya."

Karin menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Iya. Aku sudah menyiapkan semua. Kita akan bilang bahwa kita bertemu di sebuah acara amal yang aku hadiri beberapa bulan lalu, dan sejak itu hubungan kita berkembang. Kau harus ingat detail-detail ini. Om Heru akan bertanya banyak hal."

Pandu menyandarkan tubuhnya, menyilangkan tangannya di dada. "Baik, aku paham. Acara amal, hubungan berkembang, lalu menikah secara diam-diam. Berapa lama kita sudah menikah dalam cerita ini?"

"Tiga bulan," jawab Karin cepat. "Cukup lama untuk terlihat serius, tapi tidak terlalu lama sehingga Om Heru curiga kenapa dia baru mendengar soal ini sekarang."

Pandu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan yang dirasakannya. "Kau benar-benar sudah memikirkan semuanya, ya."

Karin memutar cangkir kopinya dengan pelan, tatapannya masih serius. "Aku tidak punya pilihan lain. Kalau Om Heru tidak percaya, aku bisa kehilangan semuanya. Dan itu bukan hanya soal uang. Itu soal hidupku. Orang tuaku sudah bekerja keras untuk meninggalkan semua ini, dan aku tidak akan membiarkannya jatuh ke tangan orang lain."

Pandu melihat sisi lain dari Karin yang belum pernah ia lihat sebelumnya—seorang perempuan yang tegas, penuh perhitungan, namun juga penuh tekanan dari keadaan. "Kau tak perlu khawatir. Aku akan melakukan bagianku. Kita akan berhasil meyakinkan Om Heru."

Karin mengangguk sekali lagi, lalu berdiri. "Baiklah, kita harus berangkat sekarang. Om Heru sudah menunggu di kantornya."

Pandu mengikutinya berdiri, membenahi jaketnya. "Baik, 'istri tersayang', mari kita temui pengacara hebatmu."

Karin tersenyum samar, merasakan sedikit kekuatan dari keyakinan Pandu. Tapi dalam hati, dia tahu, ini hanya awal dari misi panjang dan berbahaya yang mereka hadapi.

Karin dan Pandu berjalan keluar dari kafe, keduanya berusaha menyesuaikan peran yang akan mereka mainkan di depan Om Heru. Di parkiran, Karin membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam, diikuti oleh Pandu yang duduk di sampingnya. Jalanan kota yang padat semakin menambah rasa gugup yang mulai merayap dalam diri Karin, namun dia berusaha tidak memperlihatkannya.

Di dalam mobil, suasana sejenak hening sebelum Pandu memecahnya. "Kau terlihat sedikit tegang," ucapnya sambil melirik Karin. "Kau yakin siap menghadapi ini?"

Karin menatap lurus ke depan, tangannya mencengkeram setir sedikit lebih kuat dari biasanya. "Aku tidak punya pilihan selain siap, Pandu. Om Heru tahu segalanya tentang keluargaku. Kalau dia merasa ada yang janggal, semua ini bisa berantakan."

Pandu mengangguk sambil menatap jalanan. "Oke, ceritakan lagi soal Om Heru. Apa yang harus aku tahu tentang dia, selain fakta bahwa dia sangat cerdas?"

Karin menarik napas dalam, berusaha mengendalikan kegelisahannya. "Dia bukan hanya pengacara, tapi juga seperti mentor bagi ayahku. Mereka sahabat lama. Setelah orang tuaku meninggal, dia yang mengurus segala urusan hukum dan memastikan aku dilindungi. Dia juga yang memegang kendali penuh atas harta warisan sampai aku ... menikah."

Pandu mengangguk mengerti. "Jadi, ini bukan cuma soal meyakinkan pengacara. Kita harus meyakinkan orang yang benar-benar peduli padamu dan tahu banyak tentang keluargamu."

"Benar," Karin membalas, menyalakan lampu sein untuk berbelok. "Dan itu sebabnya kita tidak bisa melakukan kesalahan."

Mobil Karin melaju melewati gedung-gedung tinggi sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah kantor hukum besar dengan plakat nama 'Heru & Partners'. Pandu menatap gedung tersebut, sedikit kagum, lalu memandang Karin yang menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Ini dia."

Keduanya turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gedung. Di lobi, seorang resepsionis menyambut mereka dengan senyum profesional. "Selamat pagi, Miss Karin. Om Heru sudah menunggu di ruangannya."

Karin mengangguk singkat, mencoba tersenyum tenang meski dalam hati sedikit berdebar. Pandu berjalan di sampingnya, menjaga sikap agar terlihat percaya diri. Mereka menaiki lift dan berhenti di lantai atas, di mana pintu kantor pribadi Om Heru berada. Karin mengetuk pintu kayu besar itu perlahan, sebelum mendengar suara berat dari dalam ruangan yang mempersilakan mereka masuk.

Om Heru duduk di balik meja kerjanya, mengenakan setelan jas rapi, kacamata di atas hidung, sambil melihat beberapa dokumen. Ketika Karin dan Pandu masuk, ia mengangkat pandangannya dan tersenyum kecil.

"Karin," sapa Om Heru hangat, akan tetapi ada ketajaman dalam matanya yang tak bisa diabaikan. "Sudah lama kita tidak bertemu."

Karin tersenyum sopan, berusaha menguasai diri. "Iya, Om Heru. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu. Saya tahu Om sangat sibuk."

Om Heru mengangguk kecil, lalu pandangannya beralih ke Pandu. "Dan ini ... suamimu, ya?" Nada suaranya terdengar penasaran, tapi juga sedikit skeptis.

Pandu mengulurkan tangan dengan senyum ramah. "Pandu, Om. Senang bertemu dengan Anda."

Om Heru menerima uluran tangan itu, tapi tidak melepaskan tatapan tajamnya dari Pandu. "Senang bertemu denganmu juga, Pandu. Aku harap kau mengerti pentingnya pertemuan ini."

Karin menyela sebelum suasana menjadi terlalu tegang. "Om, Pandu dan aku sangat serius tentang hubungan ini. Kami sudah menikah tiga bulan yang lalu. Kami hanya ingin memastikan semua berjalan sesuai keinginan orang tua saya."

Om Heru masih memandang Pandu, seolah berusaha menilai setiap gerak-geriknya. "Tiga bulan, ya? Kenapa aku baru mendengar kabar ini sekarang?"

Pandu segera menanggapi, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Kami ingin menjaga privasi, Om. Kami ingin memastikan bahwa pernikahan ini didasarkan pada cinta dan komitmen, bukan urusan bisnis atau warisan. Tapi sekarang, kami siap untuk terbuka dan melibatkan keluarga serta orang-orang terdekat."

Om Heru menyipitkan mata, tidak sepenuhnya yakin, tapi tak segera mengomentari lebih lanjut. "Begitu. Baiklah, kalau begitu, mari kita bahas beberapa hal. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika kalian ingin pernikahan ini memenuhi syarat dalam wasiat orang tuamu, Karin."

Karin mengangguk cepat. "Tentu, Om. Kami siap mengikuti semua persyaratan."

Om Heru menyandarkan diri di kursinya, melihat kedua orang di depannya dengan tatapan yang tajam. "Aku harap kalian paham, ini bukan hanya soal formalitas. Aku akan memastikan bahwa ini bukan sekadar pernikahan kontrak atau tipu muslihat. Aku mengenal keluargamu dengan baik, Karin, dan aku ingin memastikan kau mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hakmu. Tapi dengan cara yang benar."

Pandu menahan napas sejenak, tahu bahwa ini adalah ujian yang sebenarnya. Kini semua tergantung pada mereka, apakah mereka bisa meyakinkan Om Heru atau tidak.

Terbongkar

Karin menatap Om Heru dengan mata membelalak, tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Pandu, yang duduk di sampingnya, tampak terkejut, tetapi mencoba tetap tenang. Karin langsung mendelik ke arah Pandu, seolah berharap dia memiliki jawaban untuk situasi yang tiba-tiba ini.

"Om ... Om serius?" tanya Karin dengan nada ragu, suaranya sedikit bergetar. "Resepsi? Mengundang semua orang?"

Om Heru mengangguk perlahan, ekspresinya tetap serius. "Tentu saja. Jika kalian benar-benar sudah menikah, seharusnya tidak ada masalah dengan mengumumkan pernikahan ini ke seluruh keluarga dan teman-teman kalian, bukan? Itu akan membuktikan bahwa pernikahan kalian bukanlah sesuatu yang disembunyikan."

Karin menelan ludah, berusaha meredam kegelisahannya. Ia tak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi. Dalam rencananya, pernikahan kontrak dengan Pandu seharusnya hanya formalitas yang sederhana, tidak perlu resepsi besar apalagi melibatkan banyak orang.

Pandu, menyadari ketegangan yang melanda Karin, segera mengambil alih pembicaraan. "Om Heru, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi alasan kami tidak mengadakan resepsi dari awal adalah karena kami ingin menjaga privasi. Kami merasa bahwa hubungan kami lebih penting daripada perayaan besar."

Om Heru menyandarkan diri di kursinya, menatap Pandu dengan tatapan yang seakan menantang. "Privasi? Pasti. Tapi ini soal integritas, Pandu. Jika kalian benar-benar serius dan sah, tidak ada alasan untuk menyembunyikannya. Sebagai pengacara yang bertugas mengawasi urusan Karin, aku hanya ingin memastikan semuanya transparan."

Karin merasa jantungnya berdegup lebih kencang, pikirannya berpacu mencari cara untuk menghindari jebakan yang baru saja diletakkan di depannya. "Om, maksud saya, kami... kami tidak siap untuk mengadakan acara sebesar itu. Itu akan membutuhkan waktu dan biaya. Kami belum merencanakan apapun," katanya, mencoba mencari alasan.

Om Heru tersenyum tipis, seolah sudah menduga respons Karin. "Waktu dan biaya tidak masalah. Aku bisa membantumu mengatur semuanya. Lagipula, keluarga besarmu pasti ingin merayakan pernikahanmu. Kau satu-satunya ahli waris, Karin. Mereka berhak tahu."

Karin merasa tak berdaya. Ini lebih dari sekadar ujian. Ini adalah tantangan nyata yang bisa membuat seluruh rencana mereka berantakan. Ia menoleh ke Pandu, mencari dukungan, tapi di balik ketenangan Pandu, Karin tahu bahwa mereka berada dalam situasi yang sangat sulit.

"Bagaimana, Karin?" Om Heru bertanya, nadanya penuh dengan tekanan. "Kau ingin hakmu, bukan? Maka, tunjukkan bahwa pernikahan ini bukanlah sandiwara."

Karin menundukkan kepala, pikirannya berputar-putar mencari jalan keluar. Pandu, yang menyadari beratnya situasi ini, akhirnya menatap Om Heru dengan tegas.

"Kami akan membicarakannya, Om," ucap Pandu perlahan. "Ini adalah keputusan besar, dan kami ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik."

Om Heru mengangguk, masih tersenyum tipis. "Tentu. Ambil waktu kalian. Tapi jangan terlalu lama. Keputusan ini akan menentukan apakah pernikahan kalian dianggap sah dalam urusan hukum yang menyangkut warisan."

Setelah mendengar kata-kata itu, Karin merasa semakin terjebak. Pertemuan ini telah mengambil arah yang tidak terduga, dan sekarang ia dan Pandu harus menemukan cara untuk menjalankan rencana mereka tanpa terbongkar.

Karin menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya telah dia pendam sejak awal. Kegelisahan yang terus menghantuinya sejak pertemuan dimulai kini tak bisa lagi ditahan. Pandu menatapnya dengan alis sedikit terangkat, tidak menyangka Karin akan mengambil langkah ini.

"Om Heru," suara Karin akhirnya pecah, sedikit bergetar tapi penuh dengan tekad. "Aku harus jujur. Sebenarnya ... kami belum menikah secara resmi. Kami hanya menikah di bawah tangan. Ini ... ini belum legal."

Om Heru menatap Karin dengan sorot mata yang tajam, tapi tidak tampak terkejut. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tangan disatukan di atas meja. Sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan yang mencekam, hanya terdengar detak jam dinding di sudut ruangan.

"Aku sudah menduganya," ucap Om Heru dengan nada datar, nyaris tanpa ekspresi. "Karin, aku sudah mengenal keluargamu terlalu lama untuk tidak memahami bahwa kau akan mencoba segala cara untuk mendapatkan harta warisan. Sayangnya, kebohongan ini terlalu mudah untuk ditebak."

Karin merasa dadanya sesak. Ia menunduk, tak bisa menahan rasa malu yang meluap-luap. Om Heru, pengacara yang telah dianggapnya seperti keluarga sendiri, kini mengungkapkan bahwa ia selalu tahu. Pandu, di sampingnya, hanya bisa diam, menyadari bahwa mereka telah terpojok.

Om Heru melanjutkan, suaranya tenang tapi penuh ketegasan. "Karin, aku tahu betapa besar tekanan yang kau rasakan setelah orang tuamu meninggal. Aku paham. Tapi harta warisan ini bukan sekadar soal uang. Ini soal tanggung jawab dan integritas. Aku telah diberi amanah untuk memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai dengan keinginan orang tuamu. Dan yang jelas, mereka tidak ingin kau berbohong atau melakukan sesuatu yang tidak benar."

Karin menggigit bibirnya, menahan rasa perih di hatinya. Semua yang ia rencanakan dengan Pandu kini terasa sia-sia.

"Kau seharusnya tahu lebih baik, Karin," lanjut Om Heru. "Jika pernikahanmu tidak sah secara hukum, tidak ada apa pun yang akan berubah. Warisan itu akan tetap berada di bawah kendaliku, seperti yang diamanatkan orang tuamu. Satu-satunya cara agar kau bisa mengklaimnya adalah dengan melakukan hal yang benar. Menikah secara sah, bukan dengan pernikahan kontrak yang penuh kebohongan."

Pandu akhirnya bersuara, mencoba meredakan situasi. "Om Heru, kami tahu kami salah. Kami seharusnya tidak berbohong, tapi maksud kami bukan untuk menipu atau mengambil harta ini dengan cara yang salah. Kami hanya ... kami hanya tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya."

Om Heru menatap Pandu dengan tatapan yang sama tajamnya. "Jika kau benar-benar ingin membantu Karin, bantu dia dengan cara yang benar. Menikahlah dengan benar, atau biarkan dia menemukan jalan yang lebih baik. Kalau kau hanya di sini untuk membuat sandiwara, lebih baik kau pergi sekarang."

Karin akhirnya mengangkat wajahnya, air mata menggenang di matanya. "Aku ... aku minta maaf, Om. Aku terlalu takut kehilangan semuanya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

Om Heru menghela napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. Dia berjalan mengelilingi meja, mendekati Karin dan Pandu. "Karin, kau masih muda. Hidupmu belum berakhir hanya karena orang tuamu sudah tiada. Harta ini bukanlah satu-satunya hal yang bisa menjamin kebahagiaanmu. Dan aku akan tetap ada di sini untuk membimbingmu, asalkan kau siap untuk mendengar dan melakukan hal yang benar."

Karin mengangguk pelan, merasa beban besar di pundaknya mulai sedikit terangkat meski rasa bersalah masih mendesak dalam dirinya.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Om Heru, tatapannya melembut.

Karin terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara yang lebih mantap. "Aku akan memperbaiki semuanya. Kami akan menikah secara resmi ... jika Pandu masih bersedia. Dan aku akan berhenti berbohong, Om. Aku janji."

Pandu, yang duduk di sampingnya terlonjak kaget. "Hah!"

"Oh iya, kita bisa melakukannya dengan cara yang benar." sahut Pandu setelah mendapatkan lirikan dari Karin.

Om Heru mengangguk puas. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan atur semuanya. Tapi ingat, Karin, ini bukan sekadar tentang mendapatkan harta. Ini tentang menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Aku harap kau benar-benar siap untuk itu."

Karin mengangguk sekali lagi, merasa bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, di mana ia harus mulai menata ulang segalanya dengan lebih jujur dan terbuka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!