NovelToon NovelToon

Terjebak Cinta Tuan Mafia

Bab 1

Elina Raffaela Escobar gadis berusia 19 tahun terlahir dengan wajah manis dan senyum yang tak pernah pudar, meski hidupnya jauh dari kata sempurna. Sejak kecil, dia selalu menjadi pusat perhatian, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kepribadiannya yang baik hati, ceria dan penuh semangat. Namun, siapa sangka di balik tawa dan keceriaannya, ada rahasia gelap yang mengintai, membayangi setiap langkahnya.

Keluarga Elina adalah gambaran klasik dari istilah "broken home". Ibu Elina, Regina, menikah lagi ketika dia baru berusia lima tahun. Ayah tirinya, Dodi, adalah sosok yang dingin dan keras, lebih suka menghabiskan waktu di depan televisi daripada berbicara dengan keluarga. Sejak kecil, Elina sudah belajar bahwa cinta tidak selalu datang dari keluarga, melainkan juga dari sahabat-sahabat yang selalu ada di sampingnya.

tentang Ayah Elina?? tidak ada yang tau siapa Ayah Elina, seperti apa wajahnya bahkan namanya pun Elina tidak tau.

Hari-hari Elina diisi dengan tanggung jawab yang besar.

"Lin, tolong bantu ibu bersihkan rumah, ya,"

sering kali terdengar suara ibunya memanggil. Meski masih kecil, Elina merasa beban itu sudah terlalu berat untuk dipikulnya. Dia berharap bisa menjalani masa kecil yang normal, berlari di taman, dan bermain tanpa khawatir tentang keributan dan hutang-hutang yang menumpuk di rumah.

Di sekolah, Elina punya dua sahabat yang selalu membuatnya merasa berharga—Clara, yang selalu penuh ide dan canda, dan Arni, yang meskipun culun, adalah teman yang paling setia. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu di sudut lapangan, berbagi cerita dan mimpi, seolah dunia di luar sana tidak ada artinya.

"Eh, Lin, kapan kita bisa jalan-jalan ke mall?"

tanya Clara sambil mengedipkan mata.

"Nanti, deh! Aku harus nabung dulu," jawab Elina,

mencoba menyembunyikan fakta bahwa uangnya sering diambil untuk kebutuhan rumah. Clara dan Arni tidak tahu tentang perjuangan yang dialaminya, dan Elina tidak ingin mereka tahu. Dia ingin menjadi gadis yang kuat, yang bisa tersenyum meski dalam kesulitan.

Arni Casela dan Clara Marcesi adalah dua sahabat Elina dari masa SMP, berbeda dengan kehidupan Elina, Arni meskipun terlihat sangat culun, tapi dia adalah anak seorang pemilik kebun sawit di Kampung asalnya di kota Y dan Clara yang menjalani kehidupan Hedon dengan barang barang mewah yang selalu ia gunakan ke sekolah, tentu saja dia bisa, orangtua nya adalah pemilik cafe terbesar di Kota A tempat mereka saat ini tinggal dan menempuh Pendidikan. Berbeda dengan kehidupan Elina yang hari harinya seperti Roaller Coaster yang penuh tantangan dengan kondisi keluarga yang jauh dari kata berkecukupan.

Sampai suatu hari, ketika Elina duduk di bangku kelas tiga SMA, dia bertemu dengan cinta pertamanya—Galang Angkasa. Laki Laki tampan Dengansenyuman yang menawan, Galang adalah idola sekolah. Saat pandangan mereka bertemu di kelas, jantung Elina berdegup kencang.

"Hey, El! Mau belajar bareng?" tawar Galang dengan suara hangatnya.

Sejak saat itu, semuanya terasa seperti mimpi.

Kisah cinta mereka berkembang pesat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar di perpustakaan, dan bercanda di kantin. Setiap kali Galang mengulurkan tangannya, Elina merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.

"Kamu cantik, El. Aku beruntung bisa mengenalmu," bisik Galang suatu malam di bawah cahaya bulan.

Elina merasa seperti terbang; hatinya melambung ke awan sembari berusaha menyimpan momen itu selamanya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada benih keraguan yang tumbuh. Apalagi setiap kali Elina melihat Clara dan Galang berbicara, hatinya sedikit bergetar. Dia tahu persahabatan mereka adalah yang terpenting, tetapi rasa cemburu itu terus membayang.

"Lin, kamu pasti tahu kalau Galang itu populer, kan?

Banyak cewek yang suka sama dia," Clara pernah berkomentar,

seolah menekan rasa tidak aman yang telah Elina simpan.

Kenyataan mulai menunjukkan wajah aslinya saat Elina lulus SMA dan melanjutkan ke perkuliahan. Di sinilah semuanya berubah. Berkat kepintaran Elina, Ia memperoleh Beasiswa sehingga dapat melanjutkan Pendidikannya di bangku Perguruan Tinggi. Awal perkuliahan yang menyenangkan mulai pudar ketika dia mengetahui bahwa Clara dan Galang sering bertemu di luar, meskipun mereka mengaku hanya sebagai teman.

"Eh, Lin, kamu sudah dengar? Katanya Galang sering ketemuan sama Clara," Arni memberitahu dengan nada serius.

Elina merasa dunia seakan runtuh. "Nggak mungkin, kan?" jawab Elina dengan suara bergetar.

Dia tidak bisa membayangkan kehilangan Galang, yang telah memberi warna pada hidupnya.

Suatu sore, saat pulang dari kuliah, Elina mengutus langkahnya ke hotel tempatnya bekerja paruh waktu. Ya, saat Elina dinyatakan lulus dan mendapatkan Beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, Ia memutuskan mencari Pekerjaan sampingan untuk membantu biaya perkuliahan nya, karena pasti akan banyak kegiatan perkuliahan yang akan tetap memerlukan biaya.

Okarena itu juga Dia ingin mengalihkan pikiran dari semua kekacauan yang terjadi dalam kehidupan nya . Namun, saat melewati lobi, matanya tertuju pada Galang dan Clara. Mereka tertawa bersama, terlalu dekat. Jantungnya berdebar, dan rasa cemburu itu seperti api yang membakar.

Elina menghela napas dalam-dalam dan memutuskan untuk tidak mengganggu, Elina memilih untuk berpikir positif

"mungkin mereka tidak sengaja bertemu disini" ucap Elina dalam hati

" Elina okeh tenang tohh wajar, kan Galang anak pemilik hotel ini" lanjut Elina bicara dalam hati.

Galang Angkasa bukan hanya Idola pada saat di sekolah SMA tapi dia juga terkenal sebagai anak orang kaya, Pemilik Hotel terbesar di kota ini, kadang aku merasa memang pantas jika dia bersama Clara dibandingkan diriku. Aku bekerja di Hotel milik Ayah Galang, Hotel Alerth sebagai seorang Office Girl, siapa yang tau aku adalah kekasih dari anak pemilik hotel.

Kembali ke Elina..

Dia berbalik dan melanjutkan langkahnya, berusaha menahan air mata. Ketika tiba di rumah, suara gaduh dari ruang tamu mengalihkan perhatiannya. Ibunya dan Dodi sedang bertengkar lagi, masalah utang dan kebiasaan berjudi yang tak kunjung selesai.

"Kamu harusnya bisa mengatur keuangan dengan lebih baik!" teriak Regina, suaranya penuh kemarahan.

Elina ingin berteriak, ingin meluapkan semua rasa sakitnya, tetapi dia hanya bisa menunduk.

Seiring berjalannya waktu, Elina semakin merasakan beban hidupnya. Persahabatannya dengan Clara mulai retak, dan cinta pertamanya, Galang, semakin menjauh. Dia tidak ingin kehilangan keduanya, tetapi situasi ini semakin sulit. Ketika Elina pulang dari kuliah, dia memutuskan untuk mendekati Clara.

"Claraa, kita perlu bicara," ujarnya dengan nada tegas.

Clara menatapnya dengan bingung, dan Elina merasakan ketegangan di antara mereka.

"hai Lin, ada apa" Clara menjawab, seolah kebingungan dengan maksud Elina.

"Apa kau berusaha mendekati Galang?" ucap Elina penuh tekanan

"Lin, a-aku harus cepat cepat aku harus menemani Bunda ku ke Mall"

"T-tapi Claraaa" ucap Elina sambil berteriak memanggil Clara yang berlari kecil seolah menghindari Elina.

Elina merasa hatinya terjepit. Dia ingin berbicara tentang Galang, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya saat menerima sikap Clara.

Waktu terus berlalu, dan Elina menyadari bahwa dia tidak bisa lagi mempertahankan semuanya. Cinta pertamanya mulai pudar, dan persahabatannya mulai retak. Dia tidak tahu bahwa semua ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang akan membawa hidupnya ke arah yang tak terduga.

Elina merasa terjebak di antara cinta dan persahabatan, tanpa tahu bahwa di balik semua ini, pengkhianatan yang lebih besar sedang mengintai. Dia masih bisa tersenyum di luar, tetapi di dalam hatinya, ada kepingan-kepingan yang hilang, menunggu untuk ditemukan kembali.

Haii Readerss! Ini Pertama kalinya aku membuat novel semoga kalian menyukaiiinya🔥🔥🤗🤗

 

Bab 2

Pagi hari yang cerah Elina terbangun dan bersiap memulai aktivitas dengan semangat yang tinggi. Elina Raffaela Escobar, gadis manis dengan senyuman ceria, bergegas menuju hotel tempatnya bekerja, mengingat ini adalah weekend jadi Elina akan fokus untuk bekerja karena tidak ada perkuliahan.

Hari-hari Elina jalani dengan penuh sukacita meski beban hidup terasa berat, dia selalu berusaha menutupi rasa sakit dengan tawa dan keceriaan. Setelah melalui masa-masa sulit di keluarganya, dia bertekad untuk mengejar impiannya di dunia perkuliahan, dan tidak bergantung pada keluarganya yang sangat rumit. Dengan dua sahabat, Arni Casela dan Clara Marcesi, di sisinya, dia merasa aman.

Namun, siapa sangka dunia yang indah itu tak berlangsung lama. Ketika Elina memasuki dunia perkuliahan, semakin banyak tbeban yang ia tanggung. dia mulai merasakan semakin banyak lagi tekanan dari banyak sisi.

Hari itu, setelah menyelesaikan shift-nya, Elina berencana untuk bertemu Arni, Clara, dan Galang di kafe dekat kampus Cafe Gelora Marcesi milik Orang tua Clara.

Namun, sebelum itu, dia harus menyelesaikan pekerjaan nya, dia ditugaskan untuk mengantarkan handuk ke kamar 203, kamar VIP yang selalu membuatnya merasa gugup karena harus detail dalam membersihkan kamar tersebut.

"Lin, ingat ya, jangan sampai ada yang tertinggal!, nanti krekk" ucap Desi rekannya sambil bercanda, saat dia melangkah pergi.

"Tenang saja, Des! Semua pasti beres," jawab Elina sambil tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ada sedikit keraguan.

Setelah mengetuk pintu dan tidak mendapatkan jawaban, Elina mendorong pintu itu. Suasana dalam kamar 203 tampak tenang, dan saat dia melangkah masuk, semuanya berubah. Suara gemerisik dan desahan membuatnya terhenti. Saat dia berbalik, matanya terbelalak saat melihat sosok Clara dan Galang di pantulan cermin dalam keadaan intim di atas kasur.

Elina merasa tubuhnya kaku, seolah waktu berhenti sejenak. Jantungnya berdetak tak karuan, dan perasaannya seolah tenggelam dalam samudra kekecewaan yang tak berujung. Napasnya tertahan di tenggorokan, dan seluruh dunia seakan runtuh di hadapannya. Semua kenangan indah bersama mereka berdua melintas cepat seperti film yang diputar berulang kali, dan kini semuanya terasa seperti lelucon kejam.

“Tidak mungkin…” bisiknya pelan, hatinya bergetar.

Dengan amarah yang membara, Elina berlari keluar dari kamar, tidak peduli pada apa pun. Langkah kakinya menggema di lorong hotel yang sunyi, napasnya tersengal-sengal. Air matanya mulai mengaburkan pandangannya. Dalam keputusasaannya, dia tidak melihat ada orang lain dan menabrak seseorang.

“Hey! Kau punya mata?” Suara berat itu membuatnya tersentak. Saat Elina menatap ke atas, dia melihat seorang pria tampan, dengan aura dingin dan misterius yang kuat. Mata pria itu berkilat tajam, dan bibirnya yang tipis terlihat kaku.

“Maaf, aku…” Elina berusaha menjelaskan, tetapi tak bisa menahan tangisnya.

Dalam sekejap, semua rasa sakit itu meledak. “Aku melihat… Clara dan Galang. Mereka…”

Pria itu hanya menghela napas, menatapnya sejenak dengan rasa ingin tahu, lalu berlalu memasuki ruang president suite tanpa berkata lebih banyak. Elina merasa seolah dikhianati dua kali; bukan hanya oleh sahabat dan pacarnya, tetapi juga oleh ketidakpedulian yang ditunjukkan oleh orang asing itu.

Elina kembali melangkah, perasaannya campur aduk. Dia bisa merasakan semua mata orang-orang di hotel menatapnya, namun saat itu dia tidak peduli. Semua yang ada dalam pikirannya hanyalah wajah Clara dan Galang, dan kemarahan yang membara di dadanya. Dia sudah cukup sabar, tetapi saat ini, dia merasa seolah semua yang dia percayai telah hancur.

Tanpa berpikir panjang, Elina berbalik dan pergi menuju kafe tempat mereka berjanji bertemu. Saat Clara dan Galang lebih dulu tiba, suasana seketika berubah. Elina tidak bisa menahan diri. Dengan suara bergetar dan penuh amarah, dia berhadapan dengan Clara. Tidak peduli dengan orang orang dalam Cafe itu, Emosi Elina sudah sangat memuncak.

"Kau brengsek! Kalian berdua!" Elina menampar Clara dan mendorong Galang, dengan air mata mengalir deras. Tangannya gemetar, hatinya seakan diperas sampai kering. "Bagaimana kalian bisa melakukan ini padaku?” teriaknya dengan suara serak, hampir kehilangan kendali.

Clara mundur, memegang pipinya yang merah. "Kau gila, Lin! Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!" Clara melirik ke arah Galang yang hanya berdiri mematung, wajahnya penuh kebingungan.

"Kalian berdua brengsek! Dan kau, kau laki-laki bjNg*n!" Elina menunjuk Galang dengan tatapan marah. Air matanya semakin deras, mencerminkan betapa hancurnya hatinya.

Clara tampak terkejut, sementara Galang hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Elina merasa jiwanya seolah hancur, dan dia tidak ingin melihat wajah mereka lebih lama lagi. Dia berbalik dan pergi, meninggalkan mereka di sana dengan semua kebohongan dan pengkhianatan yang telah mereka buat.

Perasaannya semakin berat saat dia berjalan pulang. Langkah Elina terasa berat, seakan setiap kenangan indah yang pernah dia bagi bersama Clara dan Galang kini berubah menjadi beban yang menghancurkan. Tawanya bersama mereka, percakapan larut malam, semuanya terasa seperti cermin yang pecah—menyisakan potongan-potongan tajam yang melukai hatinya.

Di tengah perjalanan, air matanya kembali mengalir. Di tengah rasa amarah dan kecewanya, dia teringat bahwa tadi dia menabrak seorang pria. Suaranya yang dingin dan tajam, seolah ingin membunuhnya, masih terngiang-ngiang di telinganya. Tapi tak bisa dipungkiri, di balik perasaannya yang hancur, dia sontak terkagum dengan paras pria tersebut yang sangat tampan dan tegas, serta raut dingin yang sangat nampak jelas.

"Apa yang kupikirkan...?" ucap Elina dalam hati, mencoba mengalihkan pikirannya dari pria asing itu.

Tiba-tiba handphone-nya berdering. Terlihat itu panggilan dari Arni. Rasanya dia tidak ingin mengangkatnya, tetapi mengingat Arni juga sahabatnya, dia tidak bisa tidak menceritakan apa yang baru saja terjadi.

"Lin, Elinaaa, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" tanya Arni dalam telepon dengan nada panik dan khawatir.

"Kenapa kalian tiba-tiba bertengkar? Saat aku sampai di kafe, Clara dan Galang terlihat bersitegang, dan katanya kau menampar Clara. Ada apa, Lin?" tanya Arni lagi.

Elina kembali berderai air mata, seolah sulit untuk mengatakan sepatah kata pun.

“Mereka, Ar. Mereka mengkhianatiku!” jawab Elina sambil menahan rasa sakit.

“Sudah kuduga, mereka memang gila!” ucap Arni penuh amarah.

“Kau di mana sekarang? Biarkan aku menyusulmu,” ucap Arni dengan nada penuh kekhawatiran.

"Tidak perlu, Ar. Aku ingin sendiri dulu," jawab Elina, mencoba menenangkan diri.

“Kau yakin, Lin?”

“Ya, aku yakin, Ar. Maafkan aku.” Elina merasa tidak sanggup lagi berbicara.

“Tak perlu minta ma—” Tutt... tutt... suara telepon dimatikan oleh Elina.

Dia tidak sanggup lagi harus berbicara. Dia hanya ingin sampai ke rumah dan segera beristirahat.

Saat Elina sampai di rumah, dia berusaha menahan semua emosi yang ingin meluap. Dia tidak ingin keluarga melihat betapa rapuhnya dia saat ini. Namun, saat dia membuka pintu, suasana rumah terasa mencekam. Ibu dan ayah tirinya sedang bertengkar, suaranya semakin menggelegar. Dalam sekejap, semua rasa sakit itu kembali menghampirinya. Dia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak dia inginkan.

“Lin! Kau ke mana saja?” Ibu Elina menatapnya dengan tajam, seolah menuduhnya akan sesuatu.

“Tidak ada,” Elina menjawab singkat, berusaha menahan air mata.

Saat dia melangkah masuk ke kamarnya, semua kenangan buruk menyerang. Kenangan akan sahabat dan cinta yang hancur, serta keluarganya yang penuh masalah. Dia duduk di tepi tempat tidur, berusaha menata kembali pikirannya, tetapi semua yang dia rasakan terlalu menyakitkan untuk dipikul sendirian.

Malam itu, Elina bertekad untuk bangkit. Air matanya mungkin belum kering, tetapi dia tahu satu hal pasti—dia tidak akan membiarkan pengkhianatan ini menghancurkan dirinya. Dunia mungkin tak berpihak padanya, tapi dia akan bertarung sampai akhir, untuk dirinya sendiri.

 

Hai semuanya, ini pertama kali Author berkarya. Semoga kalian menyukai alur kisahnya yaa! ☺️🙏🤩

Bab 3

Pagi Hari pun tiba rasanya Elina sedikit enggan terbangun, dia merasa badannya sangat kelelahan dan matanya terasa sembab, namun dia harus dapat bangkit dan menjalani aktivitas nya seperti biasa, Elina terbangun dan bergegas bersiap siap untuk pergi ke kampus.

Elina Raffaela Escobar melajukan motornya yang berwarna biru tua, Mio butut yang sering dijadikan andalannya untuk berangkat kuliah. Suara mesin yang bergetar keras seakan mencerminkan kegundahan hatinya. Setiap detik terasa lambat, memikirkan beban yang harus dipikulnya. Di tengah perjalanan, ia teringat bagaimana orangtuanya menghabiskan uangnya untuk berjudi, mengabaikan harapannya untuk membayar perlengkapan nya berkuliah seperti halnya buku kuliah yang tidak Elina mengerti mengapa bisa semahal itu hanya untuk membeli buku.

Elina seketika teringat dengan percakapan dengan ibunya .

“Kenapa sih, Ma? Uang itu kan buat kuliah, Elina perlu bayar buku Kuliah dan banyak perlengkapan lain!” gumamnya, menahan air mata yang ingin jatuh.

"Sudahlah, nanti urusan buku itu, mama lebih memerlukan uang ini untuk membayar utang ayahmu" bentak Ibu Elina

"t-tapi ma" ucap Elina sambil menahan tangis yang sudah sulit untung dibendung lagi

Elina tidak pernah membayangkan akan serumit itu hidupnya, menghadapi Keluarga yang selalu dalam masalah hutang dan judi, dan juga menghadapi fakta perselingkuhan pacar dan sahabatnya sendiri.

**Kembali ke Elina**

Sesampainya di kampus, Elina melangkah cepat menuju kelas. Ia ingin menghindari tatapan teman-temannya, terutama Clara dan Galang. Keduanya adalah bagian dari masa lalu yang sangat menyakitkan. Elina memilih duduk di sudut ruangan, berharap bisa menyendiri. Namun, tak lama kemudian, Galang terlihat mendekat, senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Hey, Lin! Kenapa kamu menghindar?” Galang bertanya, nada suaranya ceria seolah tak terjadi apa-apa.

Elina menghela napas panjang. “Kamar 203,” jawabnya singkat, tanpa menatap Galang.

“Eh? Apa maksudnya?” Galang tampak bingung.

“Cukup, Galang. Kau pura pura bodoh, sekarang kita tidak ada hubungan lagi. Kita putus Gaoang” jawab Elina tegas.

Namun, Galang terus berusaha mendekat. “Lin, kita harus bicara. Aku—”

“Aku bilang cukup!” Elina berbalik dan pergi, merasa air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Galang terdiam, bingung dengan apa yang harus ia katakan.

"bugh" Elina berlari meninggalkan kelas

"Lin, kau kenapa" Ucap Arni yang tidak sengaja bertabrakan dengan Elina di depan kelas

"Ar" Ucap Elina langsung memeluk Arni

"Kau kenapa Menangis Lin, sudah sudah ayo sini ceritaa" ucap Arni sambil menarik tangan Elina dan menuntunnya pergi ke kantin di kampus itu

"Lin...aku tau kamu pasti sangat sangat kecewa, marah dan sedih dengan apa yang Clara dan Galang udh lakuin" ucap Arni sambil memeluk Elina yang menangis terisak di sampingnya

"a-aku ga nyangka Ar, aku salah apa sama mereka, kenapa Ar kenapa harus Clara dan Galang, kenapa?" jawab Elina sambil menangis

"sudah Lin, bukannya aku sudah pernah mengatakan kepadamu" ucap Arni menenangkan

"aku tau kita sudah bersahabat lama Lin, tapi bukan berarti persahabatan lama itu menjamin bahwa dia tidak akan mengkhianati sahabatnya sendiri, dan kau tau Clara seperti apa, ingat Lin sebelum kamu jadian sama Galang, Clara sudah lebih dulu menyukai Galang, a-aku juga kecewa dengan Clara dan Galang, tapi kita tidak bisa terus seperti ini Lin, kamu juga harus berpikir untuk dirimu dan masa depanmu, kamu harus bangkit" ucap Arni menasehati Elina

Elina melepas pelukan Arni dan menatap Arni.

"Kamu betul Ar.. Aku ga bisa larut dalam kesedihan seperti ini..a-aku harus bangkit.." jawab Elina sambil menghapus air matanya

"kamu yakin Lin" ucap Arni

"lah gimanasih kan kamu yang suruh harus bangkit semangat lagi, gimanasihhh" ucap Elina sambil kembali memasang wajah bersedih.

"hahaha.. Bercanda Lin.. ya kamu harus bangkit tunjukkan semangatmu Elina Raffaela Escobar" ucap Arni sambil menunjukkan pose orang berotot.

"hahaha... Terimakasih Ar, kamu memang sahabatku yang mengerti aku" jawab Elina sambil tertawa kecil dan memeluk Arni

"sudah sudah ga perlu mikirin mereka lagi,, Lin bukannya kamu harus bekerja selesai perkuliahan" ucap Arni mengingatkan

"Oh..Ya Tuhan aku hampir lupa, aku duluan ya Ar, makasih banyak banyak ya Ar, wupyu sahabat" ucap Arni sambil menirukan gaya Sarange dan bergegas pergi.

Meninggalkan kantin, Elina bergegas melajukan motor butut kesayangannya menuju hotel tempatnya bekerja. Setiap detiknya terasa berat, seolah semua masalah di dunia ini bertumpuk di pundaknya. Dalam perjalanan, dia teringat pada neneknya, Amber Raffaela, yang sekarang berada di panti jompo.

**Flasback**

ingatan masa lalu sejenak menyapa pikiran Elina. Ia teringat Neneknya, seseorang yang selalu ada untuknya, memberikan kasih sayang yang tulus. Ingatan tentang nenek yang membawanya ke taman, mengajarinya tentang hidup, dan menghiburnya saat merasakan kesedihan.

“Lin, ingat ya, hidup ini indah. Kita harus selalu berjuang,” kata neneknya dengan senyum hangat, matanya berbinar saat Elina masih kecil.

Namun, semua itu berakhir ketika orangtuanya memutuskan untuk menitipkan neneknya di panti jompo. “Kami sudah tidak bisa mengurusnya lagi, Elina,” kata ibunya dengan dingin. “Kau lupa, utang kita banyak, belum biaya sekolah kalian, kakakmu dan adikmu, kami tidak mau repot dengan adanya nenekmu.”

Elina tak terima. “Tapi, Ma! Nenek itu satu-satunya keluarga yang kita punya!”

"biaya sekolah? Biaya sekolah apa yang mama maksud, bahkan Elina bisa bersekolah karena beasiswa yang Elina dapatkan" ucap Elina dalam hati merasa kecewa pada ibunya.

**Kembali ke kenyataan**

Elina merasakan hatinya bergetar. Sesampainya di hotel, dia disambut oleh Desi, rekan kerjanya yang cerewet namun selalu bisa diandalkan.

“Eh, Elina! Kenapa mukamu kayak habis nangis?” Desi bertanya sambil mengatur perlengkapan pembersih.

“Gak apa-apa, Des. Cuma capek,” jawab Elina sambil tersenyum paksa.

“Kamu sakit, Elina?” Desi menatap Elina penuh pertanyaan.

Elina hanya menggeleng kepala. “Ngga kok Des, yuk kita mulai kerja aja.” ajak Elina menarik Desi bergegas masuk ke Pantry

"eh ada kalian, ayoo kita di minta untuk ikut pengarahan tu di Ruang Burgendi" ucap salah satu karyawan hotel.

Kami bersiap-siap mengganti pakaian dengan seragam hotel sesuai departemen tempat kami bekerja, dan bergegas pergi ke ruang pertemuan tersebut, Tak lama kemudian, manajer hotel mengumpulkan semua karyawan untuk briefing.

“Saya ingin memberitahukan kepada kalian semua bahwa Ada tamu VIP yang menginap di hotel ini, dia bukan orang sembarangan, dia CEO dari perusahaan terbesar di negara ini, dan sangat berpengaruh, saya harap tidak ada kesalahan apapun yang kalian lakukan, kalian mengerti??” kata manajer dengan suara tegas.

"mengerti" jawab karyawan serentak.

"siapa pun yang akan ditugaskan dalam membersihkan kamar VIP tersebut harus ekstra hati-hati. Karena Kamar yang harus dibersihkan adalah kamar 101, president suite, saya tidak ingin mendengar ada kesalahan sedikitpun.” ucap Manajer dengan suara tegas dan lantang.

"siap, mengerti Bu" kembali lagi jawab seluruh Karyawan serentak

Jantung Elina berdegup kencang. Kamar itu adalah yang termahal dan terindah di hotel, tetapi juga paling sulit dijangkau.

"semuanya bubar" perintah manajer.

Semua kembali bekerja sesuai job nya masing masing, saat Elina akan kembali melanjutkan pekerjaannya tiba tiba manajer nya memanggil.

"Elina!" panggil Manajer.

"I-iya Bu" jawab Elina gugup

"Kau mengerti kenapa saya memanggilmu "ucap Bu Diana manajer hotel tersebut.

"ke-kenapa Bu" jawab Elina gugup

"Saya dengar dari leadermu pekerjaan mu sangat bagus, jadi saya memutuskan kamu dan Desi yang akan membersihkan kamar 101, saya harap kamu tidak mengecewakan saya" ucap Bu Diana

"t-tapi...hmm Baiklah Bu, laksanakan" jawab Elina menyetujui perintah Manajernya saat melihat tatapan tajam manajer itu.

“Kita yang membersihkan?” tanya Desi dengan mata berbinar. Yah Desi sangat menginginkan memasuki kamar tersebut berbeda denganku.

“Ya, kita!” jawab Elina, berusaha menunjukkan semangat meskipun hatinya masih berat.

Saat memasuki kamar 101, aroma parfum yang sangat mahal menyambut mereka. Elina dan Desi saling pandang, terpesona oleh keindahan interior kamar yang megah. “Wow, ini seperti mimpi!” Desi berbisik.

Elina mengangguk sambil berusaha fokus pada tugasnya. Dia mulai membersihkan bagian meja dan saat ingin merapikan kasur, tiba-tiba handphone-nya berdering. Elina melihat nama yang tertera dan jantungnya serasa berhenti.

"Bu Sri" ucap Elina dalam hati merasa sedikit panik, itu adalah nomor pengurus dari panti jompo.

“Halo?” jawabnya dengan suara bergetar.

“Elinaa.. nenekmu terjatuh dan sekarang akan dibawa ke rumah sakit,” suara itu terdengar mendesak.

kabar tersebut menghantamnya seperti gelombang besar. “Apa? Nenek Kenapa? a-apa yang terjadi Bu?” Elina hampir berteriak, air mata mulai mengalir.

Elina kembali merasa hidupnya hancur, baru saja dia ingin bangkit dari keterpurukannya menghadapi penghianatan kekasih dan sahabatnya, berita duka pun datang membuat dunia seakan berhenti berputar

Elina menjatuhkan handphonenya, perlahan mundur dan Tanpa sengaja, Elina menjatuhkan botol parfum mahal di atas meja. Suara pecahan kaca menggema, dan saat itu juga, langkah kaki terdengar di belakangnya.

“Ehm, apa yang kau lakukan?” suara berat itu membuat Elina terloncat kaget. Dia berbalik dan mendapati seorang pria tinggi dengan aura yang sangat menakutkan, seolah-olah dia bisa membaca pikirannya.

Melihat pria itu, Elina merasa panik. Dia tidak bisa berlama-lama di situ. “Ma-Maaf Tuan, saya harus pergi!” ujarnya terbata-bata sebelum bergegas keluar, air mata bercucuran.

“Wait!” pria itu memanggilnya, tetapi Elina sudah tak peduli. Dia melangkah cepat, berusaha menghapus rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

Dalam perjalanan pulang, pikirannya melayang-layang antara rasa cemas tentang neneknya dan munculnya ingatan tentang pengkhianatan dua orang yang berarti dalam hidupnya seolah semuanya berputar dalam otaknya. Di tengah semua ini, Elina menyadari bahwa hidupnya semakin rumit.

Elina bergegas ke rumah memberitahukan orangtuanya dan bergegas ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah, suasana tegang menyambutnya. Ibu dan ayah tirinya sedang bertengkar, suara mereka terdengar sampai ke luar. “Kamu sudah habiskan semua uang untuk berjudi, Dodi!” suara ibunya penuh emosi.

Elina menahan napas, langkahnya terhenti. Dalam hati, dia hanya bisa berharap untuk menemukan jalan keluar dari semua masalah ini.

"Cukup" teriak Elina menghentikan keributan dirumah itu

"Ma, nenek Ma, Nenek jatuh dan masuk rumah sakit, tadi pengurus Panti telepon Elina ditempat kerja" ucap Elina sambil menangis terisak berharap Ibunya bisa mencari jalan keluar.

“Lin! Berhenti menangis” teriak ibunya, menyadarkannya dari Isak tangisnya.

“untuk apa kamu memberitahukan kepadaku, apakah dengan begitu nenekmu bisa diobati, aku tak punya uang, bahkan kau tau utang semakin menumpuk, biarkan saja nenekmu mati” ucap Ibu Elina tanpa rasa kasihan dan peduli.

"Ma?!... Kenapa Mama sejahat itu hah.. Mama ga sayang sama Nenek...Mama sudah gila karena laki laki itu" jawab Elina mengguncang tubuh Ibunya seakan tidak percaya apa yang ibunya katakan.

“Lebih baik kamu carikan uang untuk bayar utang!, agar masalah dikeluarga ini beres" ucap ibunya dengan suara keras, Elina tidak peduli lagi, Elina tidak mengerti jalan pikiran Ibunya. Rasa cemas sedikitpun tidak terlihat dalam diri ibunya.

Dengan cepat, Tanpa sepatah katapun hanya air mata yang terus mengalir, Elina masuk kedalam kamar membereskan pakaian nya kedalam tas yang ada dan membawa semua peralatan sekolahnya, ia bergegas pergi kerumah sakit membawa pakaian dan peralatan kuliahnya yang bisa ia bawa, tanpa ingin memikirkan lagi apa yang terjadi dirumah itu, rumah yang membawa derita baginya.

"kemana kamu Lin" teriak Ibunya.

Elina sudah tidak mempedulikan lagi apa keinginan ibunya. Ia bergegas mengendarai motor bututnya, menarik gas tanpa menoleh ke belakang. Jalanan malam itu terasa begitu sunyi, seolah ikut merasakan keresahan yang ada di dalam hatinya. Matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Bayangan neneknya yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantuinya.

"Ya Tuhan, kumohon jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi pada nenek," ucap Elina pelan dengan suara gemetar.

Elina menghapus air matanya yang terus mengalir. Ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana neneknya selalu menjadi pelindung bagi dirinya, satu-satunya yang selalu ada di sisinya saat hidup semakin keras. Di saat keluarganya sibuk dengan dunia mereka sendiri, neneklah yang memberinya pelukan hangat dan nasihat penuh kasih.

Tapi sekarang, orang yang paling berharga dalam hidupnya pun sedang berada dalam kondisi kritis, ditambah Elina juga terjebak dalam masalah keluarga yang tidak pernah memberinya kebahagiaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!