Malam baru saja usai saat suara gemuruh memecah pagi yang hening itu. Rhea yang baru saja memejamkan mata pun terkejut. Dia bergegas menggapai gorden jendela yang menjuntai di atas kepalanya. Sambil bangkit dari posisi tidurnya Rhea menyibak gorden dengan kasar karena penasaran dengan suara gemuruh itu.
"Suara apaan sih, ngagetin aja?" gumam Rhea sambil mengedarkan pandangannya ke semua arah.
Sayangnya Rhea tak menjumpai apa pun di luar sana. Dengan kesal Rhea mengembalikan posisi gorden ke tempat semula lalu kembali membaringkan tubuhnya. Nampaknya Rhea berniat melanjutkan tidurnya yang sempat terusik tadi.
Namun belum semenit Rhea memejamkan matanya kembali, suara ketukan di pintu kamar membuatnya terbangun.
"Duh, apalagi sih ini?" gumam Rhea sambil menutupi kepalanya dengan guling.
Dan pertanyaan Rhea pun terjawab saat suara sang paman terdengar memanggil.
"Rhea, bangun Rhe. Rhea ... !" panggil Eza sambil terus mengetuk pintu tanpa jeda.
Rhea pun bangkit lalu dengan enggan menyeret langkahnya menuju pintu. Rhea memutar anak kunci lalu menarik handle pintu dengan kasar.
"Apaan sih Om. Ganggu aja. Aku baru banget merem nih ...," kata Rhea sambil menguap.
"Om, om. Kamu inget kan kesepakatan kita?!" tanya Eza sambil berkacak pinggang.
"Kesepakatan apaan sih Om. Ga ngerti aku," sahut Rhea sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Om lagi, om lagi. Rhea, kita kan sepakat untuk merahasiakan status kita. Panggil aku kakak atau abang kek, kan lebih enak kedengerannya," protes Eza.
"Iya iya, maaf. Terus kakak mau ngapain ke sini?" tanya Rhea sambil bersandar pada daun pintu dengan kedua mata terpejam.
Pertanyaan Rhea membuat Eza senang sekaligus kesal. Eza senang karena Rhea menuruti permintaannya untuk mengubah panggilan, tapi dia juga kesal dengan sikap Rhea yang agak urakan itu.
"Kok malah nanya ada apa sih Rhe. Liat dong, sekarang udah jam berapa tuh. Hampir jam enam tau. Kenapa masih tidur, emangnya kamu ga sholat Subuh?" tanya Eza sambil melotot.
"Ya ga lah om. Ups, maksudku ga lah kak. Kan aku lagi datang bulan," sahut Rhea santai.
"Ck, bilang dong daritadi. Bikin capek aja. Aku juga kan mau istirahat. Gara-gara kamu aku jadi bangun lagi cuma buat ngingetin kamu sholat Subuh," kata Eza sambil mendelik kesal.
"Iya maaf. Aku juga baru tau kalo datang bulan pas bersih-bersih di kamar mandi tadi malam," sahut Rhea menjelaskan.
Ya, Rhea dan Eza baru saja tiba tadi malam. Rencananya mereka berdua akan tinggal di rumah itu untuk beberapa waktu ke depan.
Rumah itu milik sepupu Nia, nenek kandung Rhea. Sebelum meninggal, sepupu Nia itu memberikan rumahnya kepada Nia karena kedekatan mereka selama ini.
Tapi karena Nia tinggal di Jakarta mengikuti suaminya, maka Nia mempercayakan pengurusan rumah itu kepada tetangga mereka yang bernama Damar. Oleh Damar rumah itu disewakan dan uangnya langsung ditransfer ke rekening Nia. Kemudian oleh Nia setengah dari uang itu disalurkan ke panti asuhan dengan mengatas namakan sang sepupu. Nia berharap sepupunya yang telah meninggal dunia itu mendapatkan pahala jariyah dari rumah yang dia tinggalkan.
Saat Nia memberitahu Damar bahwa Eza dan Rhea akan tinggal di rumah itu, Damar pun menghubungi sang penyewa. Dia mengatakan rumah tak lagi disewakan karena akan ditempati oleh keluarga pemilik rumah. Awalnya sang penyewa nampak keberatan. Rupanya dia dan keluarganya terlanjur betah di sana. Namun karena gagal membujuk Damar dan Nia, maka para penyewa itu pun hengkang setelah masa sewa berakhir.
Dan seminggu setelah para penyewa itu pergi, Eza dan Rhea pun tiba. Saat itu rumah dalam kondisi baik dan layak ditempati. Meski pun hanya menyewa, namun para penyewa merawat rumah dengan baik. Sehingga saat mereka pergi, kondisi rumah masih seperti saat pertama kali mereka tempati. Hanya ada kerusakan kecil yang terjadi pada talang atap, itu pun karena lapuk tergerus air hujan.
Tapi kerusakan itu kini tak terlihat lagi. Karena selain memperbaiki talang yang rusak, Damar juga mengganti warna cat dinding hingga rumah terlihat lebih fresh.
Setelah mengetahui Rhea berhalangan sholat karena kedatangan tamu bulanan, Eza pun membalikkan tubuhnya dan bersiap kembali ke kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat Rhea memanggil.
"Kak ...," panggil Rhea.
"Hmmm ...," sahut Eza sambil menoleh.
"Kakak denger suara gemuruh ga barusan?" tanya Rhea.
"Gemuruh apaan. Aku ga denger apa-apa tuh," sahut Eza.
"Masa sih?" tanya Rhea tak percaya.
"Ck, iya Rhe. Aku kan udah bangun daritadi, baru selesai sholat juga. Tapi aku ga denger suara seperti yang kamu maksud itu," sahut Eza.
"Tapi suaranya jelas banget kak," kata Rhea gusar.
Eza pun menatap Rhea dengan intens karena ucapan gadis itu berhasil membuatnya tak nyaman. Rupanya Eza tahu 'kelebihan' yang dimiliki Rhea. Dan dia tak bisa mengabaikan ucapan sang keponakan begitu saja karena Rhea tak akan bicara jika itu bukan sesuatu yang di luar kebiasaan.
"Suaranya kaya gimana Rhe?" tanya Eza sesaat kemudian.
"Mmm ... kaya apa ya. Oh iya, suaranya mirip suara kereta api kak," sahut Rhea.
"Kereta api?" ulang Eza.
"Iya. Kenapa kak, kok bingung gitu keliatannya?" tanya Rhea tak mengerti.
"Gapapa Rhe, cuma ga ngerti aja. Soalnya rel kereta kan jauh dari sini," sahut Eza.
"Kalo emang ada rel kereta, berarti ada kereta juga yang lewat. Dan artinya suara kereta yang aku denger tadi emang nyata dong. Iya kan kak ?" tanya Rhea antusias.
"Mmm ... gimana ya ngomongnya. Soalnya selain jauh, rel kereta itu udah lama ga dipake Rhe. Jadi mustahil ada kereta yang lewat. Atau jangan-jangan kamu salah denger Rhe. Mungkin itu cuma angin atau gesekan daun," kata Eza.
"Salah denger gimana sih kak. Masa udah segede gini aku ga bisa bedain suara kereta api sama angin. Aku yakin itu suara kereta api kak!" sahut Rhea bersikeras.
"Tapi ... " dan ucapan Eza terputus saat Rhea memberi isyarat dengan menyilangkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Untuk sejenak suasana menjadi hening dan tak ada suara. Eza menatap Rhea seolah meminta penjelasan tapi sayang gadis itu justru menggelengkan kepala.
Karena tak mengerti Eza pun menjitak kepala Rhea dengan keras hingga gadis itu mengaduh kesakitan.
"Aduh. Sakit kak!" jerit Rhea sambil melotot.
"Rasain. Makanya jangan nakut-nakutin. Ga mempan tau," kata Eza kesal.
"Siapa yang lagi nakut-nakutin sih. Aku tuh serius mau ngasih tau kamu kalo ada suara kereta api lewat," sahut Rhea.
"Suara kereta apaan. Aku ga denger apa-apa tuh. Cuma suara nafas kamu yang bau itu yang kedengeran," kata Eza sambil menutup hidung.
"Sembarangan. Siapa yang bau, aku udah sikat gigi ya!" sahut Rhea.
"Kapan?" tanya Eza sambil melangkah menjauhi kamar Rhea.
"Sebelum tidur," sahut Rhea sambil mengekori Eza.
"Masa sih. Kok masih bau," kata Eza sambil terus menutup hidung.
Rhea yang tak terima pun mengejar Eza lalu memiting leher sang paman sambil naik ke atas punggungnya. Eza yang terkejut refleks membanting Rhea ke atas sofa.
Hasilnya di luar dugaan. Akibat benturan yang kuat membuat sofa patah hingga melesak ke dalam. Eza dan Rhea yang sama-sama terkejut pun sontak menjauhi sofa sambil saling menatap.
"Gila ya. Masa aku dibanting begitu sih!" kata Rhea sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri.
"Sorry, ga sengaja. Lagian kamu juga sih. Ngapain pake naik ke punggung aku!" sahut Eza tak mau kalah.
"Tapi kan ga harus dibanting juga dong. Sakit tau. Aku bilangin mama nih!" kata Rhea sambil meringis menahan sakit.
"Ck, dasar anak manja. Gitu aja pake ngadu," ejek Eza.
"Biarin. Pokoknya aku bakal ...," ucapan Rhea pun terputus saat pintu rumah diketuk.
Eza pun mendorong tubuh Rhea lalu bergegas membuka pintu. Di balik pintu terlihat Damar datang sambil membawa nampan berisi seteko teh manis dan sepiring pisang goreng.
"Assalamualaikum anak-anak," sapa Damar ramah.
"Wa alaikumsalam. Eh, Wak Damar. Masuk Wak ...," kata Eza sambil membuka pintu lebar-lebar.
"Iya makasih. Ini ada teh manis hangat sama pisang goreng. Lumayan buat ganjel perut," kata Damar sambil melangkah masuk.
Namun langkah Damar terhenti saat melihat sofa yang tak lagi berbentuk. Dia menatap Eza dan Rhea bergantian namun sesaat kemudian tersenyum.
"Sofanya ... " ucapan Damar terputus karena Eza memotong cepat.
"Itu gara-gara Rhea Wak," kata Eza sambil melirik kearah Rhea.
"Kok aku sih. Kan kamu yang banting aku tadi!" sela Rhea lantang.
"Aku kan udah bilang ga sengaja. Kenapa masih dibahas juga sih. Ntar dikira orang aku udah KDRT sama kamu Rhe!" kata Eza sambil melotot.
"Emang iya. Kenapa, kamu takut dihakimi massa ya?" tanya Rhea.
"Ck, bukan gitu Rhe. Tapi kan ... " ucapan Eza terputus karena Damar segera melerai.
Meski kesal akhirnya Eza dan Rhea pun berhenti bicara. Kemudian keduanya duduk di lantai untuk menikmati teh manis hangat dan pisang goreng yang dibawa Damar.
"Ternyata yang dibilang mbak Nia itu bener ya. Eza dan Rhea emang mirip banget sama Tom and Jerry," batin Damar sambil tersenyum.
Setelah menikmati sarapan ala kadarnya itu, Damar meminta Eza dan Rhea membersihkan diri.
"Masih pagi Wak," kata Rhea sambil menguap.
"Justru masih pagi makanya kita ke rumahnya pak RT. Kalo siangan dikit orangnya keburu pergi kerja," sahut Damar.
"Ngapain ke rumahnya pak RT pagi-pagi begini?" tanya Rhea.
"Buat lapor diri, kan kalian tamu di sini. Biar besok-besok kalian ga dicurigai orang saat berkegiatan di sekitar sini," sahut Damar.
Eza dan Rhea pun mengangguk lalu bangkit meninggalkan Damar. Keduanya bergantian membersihkan diri di kamar mandi yang memang cuma satu itu.
Tak lama kemudian Damar, Eza dan Rhea sudah berada di jalan menuju rumah ketua RT.
Rhea tertinggal cukup jauh dari Damar dan Eza. Bukan karena langkahnya lambat tapi karena Rhea terus mengamati sekelilingnya dengan seksama. Aksi Rhea membuat Damar menoleh beberapa kali. Dan Damar terpaksa berhenti saat melihat Rhea berhenti di pinggir jalan. Gadis itu nampak mengerutkan kening dengan tatapan yang mengarah ke satu titik tepatnya kearah bukit yang menjulang tinggi di kejauhan.
"Ada apa Rhe?" tanya Damar.
"Sebentar Wak. Aku denger suara kereta api di sana," sahut Rhea sambil menunjuk kearah bukit dengan ujung dagunya.
"Jangan mengada-ada Rhe. Ga ada kereta api di sekitar sini. Dulu ada, tapi itu udah lama banget. Dan jalur kereta apinya juga udah ditutup akibat tertimbun longsor," kata Damar sambil tersenyum.
"Tapi aku serius wak," sahut Rhea.
Dan senyum Damar memudar saat Eza menjelaskan tentang kelebihan yang dimiliki Rhea. Eza merasa tak perlu menyembunyikan apa pun karena baginya Damar sudah seperti keluarga.
"Jadi dari pagi tadi Rhea udah denger suara kereta api itu?" tanya Damar gusar.
"Iya. Eh, tapi kenapa Uwak keliatan kaget gitu. Ada apa Wak?" tanya Eza.
"Oh, gapapa kok," sahut Damar gugup.
Eza dan Rhea nampak saling menatap mendengar jawaban Damar. Jelas terbayang kebingungan di wajah mereka. Saat Eza ingin bertanya, Damar langsung memotong cepat sambil melangkah.
"Lebih cepet dikit jalannya yuk," ajak Damar.
Eza pun menghela nafas panjang lalu kembali melangkah setelah menggamit lengan Rhea.
"Menarik. Baru aja dateng tapi udah disuguhin teka-teki," gumam Rhea sambil tersenyum.
"Jangan macem-macem deh Rhe. Kita ke sini karena mau liburan ya. Inget itu," kata Eza mengingatkan.
Rhea nampak mendengus kesal mendengar ucapan sang paman. Ya, Rhea terpaksa mengalah dengan cara tak mendebat Eza karena menghormati Damar.
\=\=\=\=\=
Sepulang dari rumah ketua RT, Rhea kembali mencoba mencari tahu tentang keberadaan kereta api itu. Sayangnya Damar selalu berusaha mengalihkan pembicaraan setiap Rhea berusaha bertanya tentang suara kereta api itu hingga membuat Rhea kesal.
Eza yang mengamati interaksi Rhea dan Damar secara diam-diam pun akhirnya tak sabar bertanya. Saat itu posisi Rhea berada jauh di depan mereka. Rupanya Rhea yang kesal karena tak mendapatkan jawaban sengaja berjalan lebih dulu meninggalkan Eza dan Damar. Sama sekali berbeda dengan yang dia lakukan saat berangkat menuju ke rumah ketua RT tadi.
"Wak ...," panggil Eza hingga membuat Damar menoleh.
"Iya, kenapa Za?" tanya Damar.
"Emang ada apa sama kereta api itu Wak. Kenapa Uwak selalu menghindari pertanyaan tentang kereta api itu?" tanya Eza hati-hati.
"Kereta api yang mana Za?" tanya Damar pura-pura tak mengerti.
"Kereta api misterius itu Wak. Emang apa yang terjadi sama kereta api itu?" tanya Eza sedikit kesal.
Setelah menghela nafas panjang akhirnya Damar mau mengatakan apa yang terjadi.
"Begini ceritanya, dulu saat kereta api melintas, mendadak tanah di bukit longsor. Ga ada satu warga pun yang tau jadi ga ada yang ngasih tau juga sama masinis kereta apinya. Akibatnya kereta api itu terkubur di dalam terowongan yang ada di kaki bukit sana Za. Banyak korbannya dan hampir semuanya meninggal dunia. Hanya beberapa orang yang selamat dan itu juga dalam kondisi mengenaskan," sahut Damar.
"Itu saya tau Wak. Tapi kenapa Uwak selalu mengalihkan pembicaraan setiap Rhea mulai tanya sesuatu yang lebih intens tentang kereta api itu?" tanya Eza penasaran.
"Begini Za. Longsornya bukit hingga menimbun kereta api adalah luka tersendiri untuk warga di sini. Sebagian besar korbannya adalah keluarga, teman atau kerabat kami. Sialnya kami tau itu setelah warga dan aparat pemerintahan menggali terowongan. Kebayang kan gimana kejadian waktu itu. Banyak warga yang histeris saat mengetahui jasad yang berusaha mereka selamatkan ternyata adalah orang yang mereka kenal. Saya juga ada diantara mereka makanya saya tau gimana suasana saat itu. Jadi wajar kalo saya enggan membicarakan tentang kereta api itu. Luka kehilangan yang tragis membuat kami merasa ga perlu untuk menceritakan musibah itu lagi karena cuma membuat luka lama terbuka lagi," sahut Damar dengan suara bergetar.
Eza terkejut dan nampak salah tingkah mendengar penjelasan Damar. Kini dia mengerti mengapa Damar selalu menolak bicara tentang kereta api misterius itu.
"Maafin saya dan Rhea ya Wak. Kami ga tau kalo ... " ucapan Eza terputus karena Damar memotong cepat.
"Gapapa Za," kata Damar sambil tersenyum.
"Kalo dari keluarga Wak Damar, siapa yang jadi korban?" tanya Eza.
"Istri dan anak saya," sahut Damar sambil melengos.
Jawaban Damar membuat Eza mengerutkan keningnya karena bingung. Jika Damar mengatakan anak dan istrinya menjadi korban tanah longsor yang menimbun kereta api itu, lalu siapa wanita yang dia lihat di rumah Damar kemarin.
Seolah mengerti apa yang ada di benak Eza, Damar pun menjelaskan apa yang terjadi.
"Maksud saya, yang meninggal itu istri pertama saya Za. Dia sedang hamil anak pertama kami waktu terjebak di dalam kereta api itu," kata Damar sambil tersenyum kecut.
"Oh gitu. Jadi wak Mina itu istri kedua Wak Damar?" tanya Eza.
"Iya," sahut Damar cepat.
"Kalo gitu saya bakal ceritain semuanya sama Rhea biar dia ga salah paham ya Wak," kata Eza kemudian.
"Boleh aja. Tapi tolong bilang sama Rhea supaya jangan tanya apa pun tentang kereta api itu lagi sama saya," pinta Damar sungguh-sungguh.
"Iya Wak," sahut Eza sambil mengangguk.
Damar tersenyum lalu mengajak Eza untuk kembali melangkah menyusul Rhea yang sudah berada jauh di depan.
Tak lama kemudian ketiganya tiba di pertigaan jalan. Mereka berpisah di sana lalu pulang ke rumah masing-masing.
Setibanya di rumah Eza segera menceritakan isi pembicaraannya dengan Damar tadi.
Dan Rhea nampak termangu di lantai usai mendengar penjelasan Eza tentang musibah yang menimpa kereta api itu. Namun sesaat kemudian Rhea nampak mendongakkan kepala karena terusik mendengar permintaan Damar yang disampaikan oleh Eza.
"Kenapa ga boleh nanya-nanya lagi. Emang lukanya terlalu dalam ya sampe ga boleh diceritain lagi?" tanya Rhea tak mengerti.
"Ya iya lah Rhe. Wak Damar kan kehilangan anak dan istrinya juga dalam musibah itu," sahut Eza.
"Paham sih. Tapi kan wak Damar laki-laki. Bukannya laki-laki biasanya pandai nyembunyiin luka sesakit apa pun itu. Apalagi sekarang wak Damar udah move on. Buktinya dia hidup bahagia sama wak Mina. Masa iya luka kehilangan anak istrinya masih mengganggu," kata Rhea tak mengerti.
"Oh kalo itu sih aku ga tau ya. Soalnya wak Damar ngomongnya serius banget. Kayanya berharap banget kamu ga nyari tau apa pun yang berkaitan sama kereta api itu," kata Eza.
"Aneh ...," gumam Rhea.
"Aneh apanya Rhe?" tanya Eza.
"Aku yakin ada sesuatu yang disembunyiin sama wak Damar. Jangan-jangan ... " ucapan Rhea terputus karena Eza memotong cepat.
"Sembunyiin gimana sih maksud kamu Rhe. Wak Damar juga ada di sana dan ikut proses evakuasi para korban. Bayangin kondisinya saat itu Rhe. Dia pasti shock banget pas tau jasad yang dia selamatkan dari timbunan longsor adalah jasad istrinya sendiri," sahut Eza gusar.
Rhea pun terdiam karena tak ingin berdebat dengan Eza. Setelahnya Rhea pun masuk ke dalam kamar dan tetap di sana hingga waktu makan malam.
\=\=\=\=\=
Malam itu Rhea memutuskan keluar dari rumah untuk menikmati suasana. Eza tak ikut serta karena diajak Damar menghadiri undangan salah satu tetangga yang sedang mengadakan tasyakuran atas kelahiran anaknya.
Setelah mengunci pintu rumah Rhea melangkah perlahan menuju ke utara. Entah mengapa langkah kakinya membawa Rhea ke arah jalan itu. Mungkin karena hanya jadi jalan penghubung warga yang pulang pergi ke sawah, maka jalan itu sepi saat malam hari karena jarang digunakan.
Tiba di tepi jalan itu Rhea berhenti lalu menghirup udara malam sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya dengan kuat. Rhea melakukannya beberapa kali seolah ingin mengganti udara lama yang memenuhi rongga dadanya dengan udara yang baru.
Tiba-tiba sebuah sapaan lembut menghentikan aksi Rhea hingga membuat gadis itu menoleh.
"Sejuk banget ya udaranya?" sapa seorang gadis sambil tersenyum.
Rhea mengangguk sambil mengamati gadis itu dengan lekat. Seolah sadar dirinya dicurigai, gadis itu pun mengulurkan tangannya.
"Jangan takut. Aku juga manusia kaya kamu kok. Kenalin, namaku Anjani," kata gadis itu.
Dengan ragu Rhea menyambut uluran tangan Anjani sambil menyebut namanya.
"Aku Rhea," sahut Rhea.
"Nama yang unik dan bagus Rhea. Pasti orangtuamu memberi nama itu disertai harapan indah di dalamnya," kata Anjani.
"Pastinya begitu. Tapi jangan tanya aku apa artinya ya, karena aku lupa," pinta Rhea sambil nyengir hingga membuat Anjani tertawa.
"Kamu bukan orang sini ya Rhe. Kayanya aku belum pernah liat kamu deh," kata Anjani usai tertawa.
"Iya. Aku sama kakakku lagi liburan di sini. Sekarang dia lagi ikut pengajian di rumah tetangga. Daripada bete, aku milih keluar aja. Jalan-jalan sekalian liat-liat," sahut Rhea.
"Jalan-jalan kok ke sini sih Rhe. Di sebelah sini ga ada apa-apa. Kalo mau liat-liat tuh ke selatan bukan ke sini," kata Anjani sambil tersenyum.
"Jujur aku juga ga tau kenapa bisa sampe sini An. Pokoknya aku keluar dari rumah dan tau-tau kakiku ngajaknya ke sini. Ga tau kenapa," sahut Rhea sambil menggedikkan bahunya.
"Oh gitu," kata Anjani sambil manggut-manggut.
"Kamu sendiri dari mana mau ke mana An?" tanya Rhea.
"Ga dari mana atau mau ke mana. Aku kan emang tinggal di sini Rhe," sahut Anjani.
"Tinggal di sini, di sebelah mana. Kan ga ada rumah di sini?" tanya Rhea sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.
"Tugu pembatas desa yang kamu sandarin itu rumahku Rhe. Masa kamu ga paham juga," sahut Anjani sambil tersenyum.
Mendengar jawaban Anjani membuat Rhea terkejut bukan kepalang. Rhea pun segera menjauh dari tugu pembatas yang tak sengaja menjadi tempat bersandarnya sejak tadi.
Anjani nampak tersenyum melihat tingkah Rhea. Setelahnya dia melangkah dengan santai lalu masuk ke dalam tugu setinggi satu meter itu dan menghilang di sana.
Rhea nampak mematung menyaksikan semuanya. Dan Rhea makin terkejut saat Anjani melongokkan kepalanya dari dalam tugu batu sambil tersenyum.
"Mau mampir ke rumahku ga Rhe?" tanya Anjani dengan ramah.
"Ga usah, makasih!" sahut Rhea sambil melangkah tanpa menoleh.
Tawa Anjani terdengar melengking memenuhi udara seolah ingin mengiringi kepergian Rhea. Selama perjalanan Rhea tak menoleh sedikit pun. Dan Rhea baru menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan rombongan warga yang baru selesai mengaji. Diantara para mereka terdapat Eza dan Damar.
"Dari mana kamu Rhe?!" tanya Eza lantang.
"Dari sana," sahut Rhea sambil menunjuk ke belakang.
Eza, Damar dan semua warga menoleh kearah yang ditunjuk Rhea. Kemudian mereka saling menatap dengan tatapan bingung karena tahu di sana hanya ada jalan yang jarang dilalui orang saat malam hari.
"Ngapain ke sana?" tanya Damar kemudian.
"Jalan-jalan Wak. Abisnya aku bete di rumah sendirian," sahut Rhea sambil kembali melangkah.
"Kamu ga ngeliat atau ketemu sesuatu di sana Rhe?" tanya Damar setengah berbisik.
"Oh, kalo yang Uwak maksud cewek bernama Anjani, aku udah ketemu. Bahkan aku juga kenalan sama dia tadi," sahut Rhea santai.
Dan jawaban Rhea membuat warga yang ada bersama Eza dan Damar terkejut. Mereka menatap Rhea dengan tatapan tak terbaca. Karena tak nyaman dengan sikap orang-orang di hadapannya, Rhea pun bertanya.
"Kenapa, apa ada yang aneh sama ucapanku tadi?" tanya Rhea sambil menatap warga yang terdiri dari para pria itu bergantian.
"Oh gapapa kok," sahut warga bersamaan.
"Anjani itu nama danyang di sini nak Rhea," kata salah seorang warga.
"Danyang?" ulang Rhea tak mengerti.
"Danyang tuh sebutan untuk penunggu desa ini. Kami biasa memanggilnya Anjani. Sebagian orang menganggapnya siluman. Tapi kami sih percaya dia adalah arwah leluhur yang pernah hidup dan meninggal di wilayah sini sebelum desa ini ada. Karena wujudnya yang cuma ruh, maka dia menempati tempat yang ga lazim juga. Tempat tinggal favoritnya di tugu pembatas desa itu. Kalo kamu udah ketemu sama dia dan sekarang kamu masih terlihat baik-baik aja, artinya dia menerima kamu dengan baik juga," kata salah seorang warga.
"Oh gitu. Emangnya ada yang ga baik-baik aja setelah ketemu Anjani?" tanya Rhea.
"Banyak. Dan itu rata-rata karena mereka punya niat buruk sama warga yang tinggal di desa ini," sahut warga lainnya.
"Dan biasanya Danyang desa akan memperlihatkan diri dalam wujud menyeramkan kalo dia ga suka sama orang yang datang berkunjung ke sini. Bahkan ga jarang orang-orang itu juga dibuat kesurupan dan baru kembali sehat setelah hengkang dari desa ini," kata Damar.
"Artinya aku beruntung karena ketemu Anjani dalam wujud wanita cantik tadi," gumam Rhea.
Semua orang nampak tersenyum lega mendengar ucapan Rhea.
"Ya udah, sekarang kita pulang aja yuk. Udah malem juga," ajak Eza sesaat kemudian.
Rhea pun mengangguk lalu melangkah di samping Eza.
Sambil melangkah samar-samar Rhea mendengar tawa Anjani di kejauhan. Dan yang membuatnya kesal karena lagi-lagi hanya dirinya yang mendengar suara itu, sedang yang lain terlihat santai seolah tak mendengar suara apa pun.
\=\=\=\=\=
Setiba di rumah Eza yang penasaran dengan wujud danyang desa yang ditemui Rhea pun memaksa gadis itu untuk menceritakan semuanya.
"Ga usah lah. Ntar kakak takut," kata Rhea dengan enggan.
"Jangan ngeremehin aku ya Rhe. Udah buruan deh. Gimana wujud si danyang itu. Serem ga?" tanya Eza.
"Ga serem sama sekali. Kan aku udah bilang kalo danyang desa itu tampil dalam sosok wanita cantik tadi," sahut Rhea.
"Jadi itu beneran. Terus kamu tau darimana kalo namanya Anjani?" tanya Eza.
"Dia sendiri yang memperkenalkan diri dan bilang namanya Anjani. Bahkan kita sempet salaman juga tadi," sahut Rhea sambil mengusap telapak tangannya.
"Apa kamu ga curiga sama sekali Rhe. Kan di sana sepi?" tanya Eza.
"Itu lah yang aku sesali. Harusnya aku curiga ya ketemu cewek cantik di tempat sepi begitu. Aku baru ngeh kalo dia bukan manusia pas dia bilang kalo dia tinggal di tugu pembatas desa yang lagi aku sandarin. Tapi terlambat untuk takut kan?. Apalagi pas ngeliat dia masuk ke dalam tugu lalu hilang. Hiiiyyy ...," sahut Rhea sambil bergidik.
"Terus kamu lari dong," kata Eza.
"Iya lah ...," sahut Rhea hingga membuat Eza tertawa.
"Udah gitu dipanggil lagi dan disuruh mampir ya Rhe," kata Eza di sela tawanya.
"Betul kak. Ya jelas aku tolak lah. Gila aja masuk ke dalam tugu yang ukurannya segitu. Bisa remuk badanku nanti," sahut Rhea lalu ikut tertawa.
Tanpa Eza dan Rhea sadari, di balik pintu Damar masih berdiri mendengarkan cerita Rhea. Damar pun tersenyum senang saat mendengar tawa Eza dan Rhea karena itu pertanda keduanya tidak terusik dengan kehadiran sang danyang desa.
\=\=\=\=\=
Pagi itu Rhea nampak berdiri di ambang pintu kamar sambil mengamati Eza yang sedang berkemas. Wajahnya terlihat kesal karena Eza mendadak pamit pulang.
"Jadi aku ditinggal sendirian di sini kak?" tanya Rhea.
"Ga sendirian juga Rhe. Nanti aku bilang deh sama anaknya wak Damar biar nemenin kamu di sini," sahut Eza sambil melirik kearah Isma yang sedang menyapu di teras rumah yang dia dan Rhea tempati.
Rhea ikut menatap Isma, anak Damar yang seusia dengannya. Berbeda dengan Rhea yang melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, saat ini Isma justru sudah bekerja di pabrik. Bukan karena ayahnya tak mampu membiayai pendidikannya, tapi Isma memang memilih bekerja setelah lulus sekolah karena lelah belajar.
"Emang ga bisa ditunda kak?" tanya Rhea sesaat kemudian.
"Ga bisa Rhe. Dosen pembimbing yang ini agak beda. Selain alot dia juga pelit waktu. Makanya pas dia ngechat dan bilang ngasih kesempatan buat mahasiswa untuk konsultasi sebelum dia keluar negeri, aku harus gercep kan. Siapa tau kali ini skripsiku langsung diacc sama dia," sahut Eza antusias.
Jawaban Eza membuat Rhea terdiam. Dia tahu kesempatan emas seperti itu sangat langka dan sangat dinanti oleh mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi seperti Eza. Kebetulan Rhea juga mengenal dosen yang dimaksud karena mereka kuliah di kampus yang sama meski pun berbeda fakultas. Rhea duduk di tingkat satu, sedangkan Eza di tingkat empat dan sedang menyusun skripsi.
"Udah beres. Sekarang aku pergi ya Rhe," kata Eza sambil menggendong tas ranselnya.
"Ok, jangan lama-lama. Langsung balik ke sini kalo urusannya udah selesai ya kak," pinta Rhea yang justru membuat Eza mengerutkan keningnya.
"Kamu bukan lagi ketakutan kan Rhe. Kok ngomongnya begitu?" tanya Eza.
"Ck, apaan sih kak. Aku ga takut ya," sahut Rhea sambil melotot.
"Syukur deh. Aku kirain kamu lagi ketakutan karena dibayangin sama Anjani," kata Eza sambil melangkah menuju pintu.
Ucapan Eza mau tak mau membuat Rhea tersentak. Sejak bertemu dengan sosok danyang desa itu, Rhea tak pernah berharap akan bertemu lagi dengannya. Meski pun tampil dalam sosok yang cantik, tapi bagi Rhea makhluk itu tetap saja menakutkan karena bisa menembus dinding dan menghilang begitu saja.
Rhea memilih mengabaikan ucapan Eza lalu mengikutinya ke pintu depan. Di sana Eza nampak sedang berbincang santai dengan Isma.
"Nah ini dia orangnya," kata Eza sambil menoleh kearah Rhea.
"Iya Mas," sahut Isma sambil tersenyum.
"Kenapa, lagi gosipin aku ya?" tanya Rhea.
"Ga lah Rhe. Mana berani aku gosipin kamu," sahut Isma.
"Terus barusan ngapain?" tanya Rhea pura-pura galak.
"Ck, suuzon mulu sih jadi orang. Barusan aku minta tolong sama Isma buat nemenin kamu selama aku pergi. Dan Isma udah nyanggupin. Tapi Isma cuma bisa nginep di sini kalo malem. Soalnya pagi sampe sore dia kan harus kerja," sahut Eza.
"Beneran Is?" tanya Rhea antusias.
"Iya Rhe," sahut Isma sambil mengangguk.
"Wah, makasih ya Is," kata Rhea sambil merengkuh bahu Isma.
"Sama-sama ...," sahut Isma sambil tersenyum.
Setelah memastikan Rhea akan baik-baik saja selama ditinggal, Eza pun pergi menggunakan Taxi. Rhea nampak melepas kepergian Eza dengan tatapan datar dan tanpa ekspresi.
"Udah jam enam, aku pulang dulu ya Rhe. Aku mau siap-siap kerja," kata Isma tiba-tiba.
"Oh, ok. Emangnya pabrik masuknya jam berapa Is?" tanya Rhea.
"Jam tujuh Rhe. Aku biasanya berangkat jam setengah tujuh setelah sarapan di rumah. Karena pake sepeda, jadi harus lebih awal berangkatnya. Biar sampe pabrik masih bisa istirahat sebentar sebelum lanjut kerja," sahut Isma.
"Oh gitu. Aku boleh ikut ga Is?" tanya Rhea.
"Ikut kemana, ke pabrik?. Ngapain Rhe?" tanya Isma sambil menahan tawa.
"Ya ga ngapa-ngapain. Aku cuma mau tau aja suasana pabrik tempat kamu kerja. Lagian aku kan ga ikut masuk kok, cuma di luarnya aja. Gimana, boleh kan Is?" tanya Rhea setengah memaksa.
Isma menatap Rhea sejenak lalu mengangguk. Isma tahu tak mungkin mencegah Rhea yang terkenal keras kepala itu.
Isma mengenal Rhea sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku SD. Saat pertama kali bertemu, Isma dibuat kagum dengan penampilan Rhea yang lucu dan imut. Setelah diperkenalkan oleh orangtua masing-masing keduanya pun menjadi dekat.
Isma senang berteman dengan Rhea. Selain baik, Rhea juga bukan sosok manja yang hanya suka memerintah seperti anak kota pada umumnya. Dan Isma menyaksikan langsung sisi lain Rhea saat mereka diganggu oleh anak-anak lelaki yang berpapasan dengan mereka.
Rhea yang terlihat imut itu dengan berani memukul anak lelaki yang mengganggunya hingga jatuh terperosok ke dalam parit yang berisi air. Permukaan air parit lumayan tinggi hingga mencapai pinggang orang dewasa. Semua orang terkejut sedangkan anak lelaki itu menangis karena merasa takut dan sakit. Apalagi dia juga ditinggal oleh teman-temannya yang ketakutan melihat kemarahan Rhea.
Alih-alih membantu, Rhea justru mengajak Isma pergi dan meninggalkan anak lelaki itu sendirian. Alhasil anak lelaki itu menjerit ketakutan. Usut punya usut ternyata parit itu dihuni kawanan ikan lele yang ukurannya mencapai betis orang dewasa. Jadi bisa dibayangkan bagaimana paniknya anak lelaki itu karena tahu dirinya akan diserang oleh pasukan ikan lele.
Yang Isma ingat malam itu rumahnya didatangi orangtua dari anak lelaki yang terperosok ke parit itu. Rupanya anak lelaki itu harus dilarikan ke Rumah Sakit karena mengalami luka di sekujur tubuhnya akibat dipatil ikan lele.
Semua orang terkejut mendengar penuturan orangtua anak lelaki itu termasuk nenek dan kakek Rhea yang sedang bermalam di sana. Setelah menerima sejumlah uang untuk biaya berobat, orangtua dari anak lelaki itu pun pamit.
"Kamu harus minta maaf ya Rhe. Kasian kan dia. Orangtuanya bilang badannya luka dan berdarah lho gara-gara dipatil lele. Apalagi ukuran lele di sini kan jumbo. Kebayang deh gimana sakitnya waktu dipatil sama lele-lele itu," kata Nia sesaat kemudian.
"Ga mau Eyang. Dia duluan kok yang mulai. Aku kan cuma membela diri. Kalo ga percaya, tanya aja sama Isma," sahut Rhea cuek.
Mau tak mau Isma pun terpaksa menceritakan pengalaman mereka tadi. Dan akhirnya semua orang hanya bisa terdiam setelah tahu alasan Rhea memukul anak lelaki itu.
\=\=\=\=\=
Wajah Rhea nampak berbinar saat menemani Isma berangkat ke pabrik menggunakan sepeda. Berkali-kali Isma menoleh untuk mengecek kondisi Rhea.
"Gimana Rhe. Capek ga ?!" tanya Isma lantang.
"Ga lah Is. Aku juga biasa sepedaan kok. Jarak segini mah ga berat buat aku!" sahut Rhea santai.
"Alhamdulillah. Nah, di depan gapura itu aku belok kiri ya Rhe. Kalo kamu mau jalan-jalan, kamu lurus aja ke depan. Tapi kalo mau pulang, kamu tinggal balik arah," kata Isma.
"Ok," sahut Rhea sambil tersenyum.
Kemudian Rhea dan Isma berpisah di depan gapura. Rhea sempat berhenti sejenak untuk mengamati aktifitas karyawan pabrik pagi itu. Setelah melihat Isma berbaur dengan rekan-rekannya, Rhea pun kembali mengayuh sepedanya.
Baru beberapa meter mengayuh sepeda, tiba-tiba Rhea dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang melintas di depannya. Beruntung Rhea berhasil mengerem sepeda hingga wanita itu selamat dari benturan.
"Astaghfirullah aladziim ... !" kata Rhea dan wanita itu bersamaan.
"Maaf, saya pikir mbaknya masih jauh tadi. Makanya saya nyebrang tanpa tengok kanan kiri lagi," kata wanita itu dengan raut wajah penuh sesal.
"Eh, gapapa kok. Saya yang salah karena ga merhatiin jalan. Maaf ya Mbak," sahut Rhea tak enak hati.
"Kalo sama-sama minta maaf, terus siapa yang salah dong," kata wanita itu sambil menggaruk kepalanya.
Rhea pun tersenyum mendengar ucapan wanita itu.
"Kalo di aturan lalu lintas sih yang salah saya ya. Kan udah seharusnya para pengendara memperhatikan keselamatan pejalan kaki," kata Rhea.
"Oh gitu ya. Karena mbaknya udah mengakui kesalahan dengan lapang dada, jadi saya maafin deh," sahut wanita itu dengan mimik wajah jenaka hingga membuat Rhea tertawa.
Setelahnya wanita itu mengulurkan tangannya yang disambut Rhea dengan antusias.
"Saya Rhea," kata Rhea memperkenalkan diri.
"Kalo saya Utami. Panggil Tami juga boleh," kata wanita itu dengan ramah.
"Mbak Tami tinggal di sini juga?" tanya Rhea sambil mengamati Utami dari atas kepala hingga ujung kaki.
Rupanya Rhea teringat pengalamannya bertemu dengan Anjani beberapa waktu lalu. Makanya dia langsung bertanya kepada Utami dengan tatapannya yang menghunus karena khawatir Utami tiba-tiba menghilang seperti Anjani.
Meski tak nyaman dengan sikap Rhea, Utami tetap menjawab pertanyaan gadis itu sambil tersenyum. Setelah berbincang singkat keduanya pun berpisah.
Kemudian Rhea mengayuh sepeda ke rumah Damar karena ingin mengembalikan sepeda milik adik Isma.
"Assalamualaikum wak," sapa Rhea saat memasuki halaman rumah Damar.
"Wa alaikumsalam. Udah sepedaannya Rhe?" tanya Damar.
"Udah wak," sahut Rhea.
"Tolong taro di samping rumah aja ya Rhe. Biar gampang ngambilnya kalo mau dipake," pinta Damar.
"Siap Wak," sahut Rhea.
Kemudian Rhea mengarahkan sepeda ke samping rumah Damar dan melintas di samping tumpukan sampah daun-daun kering yang sedang dibakar. Rhea sering melihat hal serupa selama tinggal di desa itu, jadi dia tak merasa heran lagi.
Setelah meletakkan sepeda Rhea kembali ke halaman depan.
Namun langkah Rhea terhenti saat melintas di depan tumpukan sampah yang sedang dibakar. Tak sengaja Rhea melihat lembaran foto di sela dedaunan yang mulai dilalap api itu. Rhea pun membulatkan kedua matanya saat mengenali sosok yang ada di dalam foto itu.
"Utami?" gumam Rhea sambil menatap foto yang terbakar itu tanpa berkedip.
Dengan ragu Rhea mendekati tumpukan sampah itu. Tangannya pun terulur untuk mengambil foto yang mulai terbakar itu. Tapi Rhea terkejut saat Damar memanggilnya. Akibatnya foto yang telah berhasil diraihnya kembali jatuh ke dalam kobaran api dan terbakar dengan cepat.
"Ya Allah, padahal dikit lagi," gumam Rhea.
"Apanya yang dikit lagi Rhe?" tanya Damar.
"Bukan apa-apa Wak. Ini ... saya liat ada beberapa foto yang terbakar. Saya mau ambil, siapa tau itu penting karena Uwak ga sengaja membuangnya," sahut Rhea.
"Oh itu cuma foto lama Rhe. Saya sengaja membuangnya karena emang udah ga ada gunanya lagi," kata Damar sambil berlalu.
Rhea pun mengerutkan keningnya mendengar jawaban Damar. Karena penasaran dengan keberadaan foto wanita yang mirip Utami itu, Rhea pun berusaha mengambil foto lainnya yang belum terbakar.
Tapi saat ujung jari Rhea hampir menyentuh ujung foto, tiba-tiba Damar kembali memanggilnya. Rhea pun menoleh untuk menjawab panggilan tersebut. Dan saat Rhea kembali mengarahkan tatapannya ke foto yang akan diraihnya tadi, foto itu sudah terlanjur diselimuti api.
\=\=\=\=\=
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!