"Hai dear", Rena menyapa lelaki dingin yang dipacarinya beberapa tahun yang lalu.
"Hm", cuma itu yang keluar dari mulut Jojo, seorang ahli pengobatan yang berbeda usia 8 tahun dengan Rena.
"Ih, ngga so sweet. Panggil lagi dong, sayang, ay, atau babe?", ucap Rena mendayu-dayu di telepon. Suara perempuan ini terdengar layaknya penyiar radio profesional yang enak didengar.
"Ehm ehm. Iya ay", sahut Jojo setelah berdehem. Pria ini begitu pemalu. Bahkan jalan berdua pun, ia malu dilihat banyak lawan jenis. Hanya Rena Agnesia yang nekad mendekati pria sedingin Jojo Ariando.
"Ih, so sweet. Mmmmuuuah. Makin kangen sama kamu dear. Kapan pulang ke Liman?", Rena dan Jojo sering terpisah jarak karena Jojo harus mengadakan seminar pelatihan herbalis di beberapa kota setiap tahunnya.
"Iya, ehm, muah", balas Jojo tanpa menjelaskan kapan dirinya bisa pulang menemui Rena.
"Dear, kamu, kapan meminangku? Apa kamu tidak ingin segera menjadi suamiku?", Rena awalnya tidak terlalu masalah dengan hubungan jarak jauh. Namun, setelah tahu fans page Jojo Ariando mencapai 1 juta dan 80% nya wanita, tentu Rena merasa panik dan posesif.
Bagaimana tidak, Jojo Ariando memang hanya mentor herbalis dengan pendapatan tak menentu. Meski begitu, wajah dan kharisma dalam pembawaannya, membuat lawan jenis acapkali terpikat. Ditambah senyum yang selalu ditebar Jojo dengan dalih sunah. Entah itu benar atau hanya kedok saja, Rena tak tahu niat Jojo sebenarnya.
"Ya, nanti ya Ay. Em, ini aku sudah mulai acara. Sampai jumpa", ucap Jojo yang mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawaban Rena.
"Iih", geram Rena sembari melempar teleponnya ke kasur. Pria itu selalu seenaknya mengakhiri panggilan tanpa menunggu respon Rena.
"Sebenarnya dia cinta apa engga sih kepadaku?", gerutu Rena, memanyunkan bibir.
Gadis itu teringat saat pertama kali bertemu Jojo, tepatnya empat tahun lalu di sebuah kecelakaan beruntun.
"Kamu tidak apa-apa?", tanya seorang pria sembari menempelkan telapak tangannya ke lutut Rena.
Bukannya menjawab, Rena malah terpana melihat paras Jojo yang rupawan.
"Pangeran tampan", batin Rena tanpa mengalihkan pandangan atau sekedar mengedipkan mata. Sejenak bahkan ia lupa kalau kakinya sedang terluka.
Segera, Jojo melambaikan tangannya di depan wajah Rena sembari mengulangi pertanyaannya.
Kecelakaan itu melibatkan truk bermuatan pasir yang mengalami rem blong di area padat kendaraan. Rena yang tengah berjalan di trotoar pun terpental ke halaman rumah Jojo akibat ditabrak mobil di belakangnya. Untung saja tubuhnya tersangkut di kerimbunan tanaman cabai.
Jojo pun bergegas keluar dan melihat kecelakaan maut di depan rumahnya. Ia berinisiatif menolong korban terdekat, Rena lah orangnya.
"Kamu tak apa-apa?", tanya Jojo dengan wajah penuh perhatian.
"Eng, engga apa-apa kok mas", jawab Rena gugup. Lututnya terluka, sedikit terbuka karena sayatan pagar rumah Jojo.
"Boleh kugendong ke dalam? Obatnya ada di dalam. Apa kubawa saja ke sini?", nampak Jojo juga salah tingkah karena terus ditatap Rena tanpa berkedip.
"Terserah mas. Em, saya Rena", ucap gadis itu masih sempat-sempatnya memperkenalkan diri di saat darurat. Namun baginya, ini bukan darurat, tapi kesempatan langka.
Jojo terdiam sejenak, mencoba menelaah.
"Apa kepala gadis ini bermasalah?", batin Jojo sembari memperhatikan kepala Rena yang nyatanya tidak terluka sedikit pun.
Tanpa banyak bicara, Jojo menggendong Rena ke sofa di teras rumah. Segera ia menangani luka dengan disinfeksi dan membalutnya agar perdarahan berhenti sekaligus mencegah masuknya virus dan bakteri ke dalam luka.
Selama perawatan, Rena tidak fokus ke lukanya, ia malah asyik memandangi wajah Jojo yang begitu menawan.
"Na! Rena!", pekik bu Sri Lestari, ibunda Rena yang telah memanggilnya berulang kali. Namun Rena malah asyik bernostalgia akan saat pertama kali dia bertemu pangeran tampan penyelamat dirinya dari kecelakaan.
"Iya buk, kenapa sih harus teriak-teriak?" Rena menyahut panggilan bu Sri dengan jengah karena ibunya mengganggu lamunan dan malah berteriak di telinganya.
"Itu jemuran belum diangkat, teras belum disapu, taman belum disiram. Ini sudah hampir maghrib Na", kesehariannya, bu Sri selalu berusaha mendisiplinkan anak-anaknya. Berharap kelak saat berumah tangga, mereka tidak akan menjadi benalu dan bisa berkontribusi meski sekedar urusan domestik rumah.
"Iya buk, ini juga mau dituntaskan", sahut Rena yang cemberut namun segera bangkit melaksanakan perintah.
"Ngeles aja. Kalau ngga disuruh, pasti sampai maghrib cuman melamun saja", ketus bu Sri.
Keesokan paginya, Rena yang kesehariannya menjadi kapster salon pun bergegas ke tempat kerja setelah membersihkan diri dan membawa bekal sarapan.
"Ngga sarapan dulu Na?", bu Sri selalu khawatir putrinya mengalami masalah kesehatan karena kurang tidur dan pola makan yang tidak teratur.
Tanpa jawaban, Rena hanya mengecup tangan dan kedua pipi bu Sri sembari tersenyum dan mengucap salam. Bu Sri hanya menggeleng melihat tingkah putrinya.
Sesampainya di salon, Rena segera memarkir sepeda listriknya dan membersihkan salon sebelum membuka layanan. Itu memang standar operasi yang harus pegawai jalankan.
"Pagi Rena", sapa Abdul Hasan, pemilik salon yang selalu menunggu kedatangan Rena. Gadis itu sebenarnya tahu bahwa Abdul menyukainya. Namun ia lebih memilih Jojo yang jauh lebih tampan daripada Abdul meski jelas pemilik salon lebih banyak asetnya.
"Pagi pak Abdul", sahut Rena datar sembari menyelesaikan tugasnya dan hanya melirik saja ke arah Abdul.
"Selepas tutup salon, jalan yuk Na", ajak Abdul yang pantang menyerah meski telah ditolak berulang kali.
"Sibuk pak", ketus Rena tanpa menoleh ke arah Abdul.
"Ih ih ih, anak gadis ketus amat. Nanti aku jatuh cinta loh", rayu Abdul dengan gombalan kuno yang menurutnya bisa menaklukkan hati Rena satu saat nanti.
"Masa? Engga tuh pak", Rena sudah biasa dirayu Abdul. Bahkan antara mereka sudah layaknya lawan diskusi, bukan bos dan karyawan lagi.
Usai membersihkan area depan, Rena malah masuk dan menutup pintu salon tanpa mempedulikan Abdul, karena salon itu memang khusus wanita. Namun, pria itu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala. Ia sudah terbiasa dengan tingkah Rena. Asalkan bisa bertemu dan mendengar suara Rena setiap hari, ia sudah sangat bahagia.
"Na, akan kubuat kau bertekuk lutut di hadapanku suatu saat nanti. Saat itu, kamu yang akan memohon cinta dan perhatianku", gumam Abdul dengan penuh percaya diri.
Abdul Hasan adalah seorang enterpreneur sukses dengan omset 55 juta per bulan. Ia lulusan magister manajemen dari kampus ternama di Kota Liman. Dengan kekayaan, kesuksesan, dan gelarnya, ia sangat percaya diri, mampu memikat hati Rena agar kelak mau dipersunting olehnya.
Di dalam salon, nampak seorang rekan kapster memperhatikan tingkah Rena dan Abdul.
"Na, kenapa tak kau terima saja pinangan pak Abdul? Kurang apa coba? Udah ganteng, berwibawa, kaya, bertitel, pengusaha muda sukses loh dia", ujar Tini Sundari.
"Halah, kalau kau mau, ambil saja untukmu. Aku sih pilih Jojo, pacarku. Meski kalah kaya, dia tidak kalah tenar dan jauh lebih tampan, ups", Rena keceplosan menyebut nama pacarnya yang selama ini ia sembunyikan agar dirinya tidak dihujat oleh para haters yang akan muncul dari para pengagum Jojo Ariando.
"Jojo? Tenar? Jojo siapa Na? Seperti pernah dengar nama itu", tanya Tini seketika mencari nama Jojo yang mungkin sedang tenar.
Nampak Rena tak berkata apapun lagi. Berulang kali ia menepuk bibirnya yang tak bisa menjaga rahasianya sendiri hanya karena kesal terus dirayu Abdul.
"Jojo, Jojo. Apa mungkin Jojo yang ini Na?", tanya Tini penasaran sembari menunjukkan ponselnya.
Wajah tampan seorang pria dengan senyum menawan dengan keterangan nama Jojo Ariando, terpampang di layar ponsel Tini. Sontak wajah Rena memerah malu sekaligus bingung. Serba salah jika harus menjelaskan, baik mengakui atau pun menyangkal, pasti Tini akan terus mengorek informasi darinya sampai rasa penasarannya terpuaskan.
Alih-alih menjawab, Rena segera berlari ke kamar mandi, beralasan sudah tak kuat menahan buang hajat. Jelas ia tak ingin diinterogasi Tini.
"Huh, mimpi ya, bisa dapat cowo begini!", omel Tini yang tak percaya, menganggap Rena hanya berhayal bisa pacaran dengan pria setampan Jojo Ariando.
Meski begitu, Tini tetap melanjutkan penelusurannya untuk mengetahui detail data Jojo. Alis Tini mengerut saat membaca alamat asal Jojo adalah kota Liman.
Saat sedang asyik berselancar di ponsel, terdengar suara seseorang mengetuk pintu salon. Tini pun menengok dan membukakan pintu.
"Ini, buat kalian sarapan", Abdul membawakan dua nasi bungkus dan dua air mineral, dengan senang hati Tini menerimanya.
"Terimakasih sayang, ups. Maaf pak", jawab Tini yang sengaja menyebut Abdul dengan sebutan 'sayang'. Gadis ini telah lama menaruh hati kepada Abdul. Namun bukan penolakan yang ia dapatkan, melainkan pengabaian.
"Eh, kamu ini, kebiasaan. Jangan lupa diberikan satu ke Rena ya", pesan Abdul sembari melangkah pergi.
Tini hanya fokus memandang Abdul, mengabaikan ucapannya. Salah atau tidak, hatinya memang sudah terpikat kepada Abdul.
Siang itu, salon begitu ramai pengunjung. Kebijakan salon menerapkan sistem booking agar pelanggan tidak lelah menunggu giliran.
"Wah, hari ini bakalan rempong Na", celetuk Tini sembari memijat kepala pelanggan.
"Kan biasanya juga ramai Tin", sahut Rena yang lega, karena salon ramai pengunjung, ia tidak akan dicecar pertanyaan oleh Tini tentang Jojo pacarnya.
"Sore nanti, ayo jalan-jalan, ke tempat biasa", ajak Tini ingin melepas penat melayani banyak layanan lulur.
"Em, kayaknya ngga bisa deh Tin. Aku ada janji nanti di rumah", Rena yang enggan diwawancarai Tini, memilih beralasan ada acara keluarga saja.
Saat asyik berbincang, terdengar decit suara ban mobil di depan salon. Sontak mereka berdua menoleh ke arah suara. Nampak seorang perempuan cantik berkerudung syar'i turun dari mobil dengan begitu anggun.
"Na, itu sudah selesai kan? Tolong terima tamu dulu", ujar Tini karena sesi pijat Rena sudah dimulai lebih dahulu.
Rena pun menyudahi sesinya dan mempersilahkan tamu dengan membukakan pintu.
"Selamat siang, silahkan masuk", sambut Rena dengan senyum di wajahnya. Nampak lesung pipi samar di pipi kiri, menambah kesan elok wajahnya. Gadis itu segera mempersilahkan duduk dan mengecek daftar booking.
"Mbak, saya sudah booking untuk paket pengantin kemarin", ujar perempuan itu.
"Atas nama bu Rasya?", Rena perlu memastikan identitas agar tidak tertukar. Perempuan itu hanya mengangguk dengan mimik datar.
"Mari saya antar ke ruang perawatan", ujar Rena sopan sembari beranjak ke ruang lulur dan spa.
Mereka berdua bekerja dengan membagi sesi. Saat jeda, mereka bisa melakukan sesi lain kepada pelanggan lainnya.
Terdengar bunyi 'ting' bersamaan dengan pelanggan yang tadi dilayani Rena beranjak meninggalkan salon, menandakan ada transaksi yang masuk. Dengan sistem QR code, mereka tidak lagi diributkan masalah pembayaran dan keharusan menyiapkan uang kembali. Juga, ini kebijakan salon untuk meminimalisasi manipulasi keuangan salon.
"Terimakasih, silahkan datang lain waktu", suara Tini terdengar sampai ke ruang spa.
Saat sedang sesi pijat, Rasya yang sedari tadi diam pun angkat bicara.
"Tangamu halus sekali mbak. Sudah menikah?", entah kenapa perasaan Rena gusar ditanya mengenai urusan menikah.
"Belum bu", jawab Rena singkat namun berusaha tetap sopan.
"Kerja di sini, gajinya berapa?", tanyanya lagi. Pertanyaan seputar gaji dan jodoh adalah beberapa hal yang membuat beberapa orang enggan menanggapi.
"Di bawah UMR bu", Rena enggan mengungkap detail gaji bulanannya yang memang pas pasan.
"Kukenalkan temanku mau mbak?", Rasya berbicara sembari memainkan ponselnya. Nampak ia membuka galeri dan menunjukkan foto lelaki seumuran Abdul.
Dari foto itu, perasaan Rena sudah semakin kurang nyaman. Meski dirinya hanya seorang kapster dengan latar belakang kurang mampu, bukan berarti ia mau menjual harga diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!