Dengan mata elang yang menyala tajam. Rahang mengeras dengan urat-urat di lehernya yang seakan di tarik keluar. Seorang pria mencengkram pipi wanita cantik itu. "Wanita jalang! Beraninya kau mempermainkan ku. Kau berbohong pada ku bahwa anak ini adalah anak ku. Huh! apa kau pikir aku akan percaya."
Wanita cantik bertubuh mungil itu merasakan sakit luar biasa. Dia mencoba melepaskan tangan suaminya. "Lepaskan aku Kennet, ini memang anak mu. Aku bukan wanita jalang." Hancur dan perih. Rasa sakitnya sulit di ukir. Ia tidak menyangka pria itu menuduhnya dengan ucapan yang begitu kejam. Ia tidak masalah di perlakukan dengan dingin. Di butuhkan saat pria itu hanya bernafsu padanya.
"Baiklah, kau masih ingin mengeluh." Kennet mengambil sebuah kertas di dalam laci ruang kerjanya lalu melemparkan kertas itu ke wajah Livia. "Lihatlah dan buka mata mu lebar-lebar."
Dengan tangan gemetar Livia mengambil kertas itu dan membacanya. Ya, suaminya di vonis mandul. "Tidak, ini memang benar anak mu."
"Kalau kau mengatakannya sekali lagi, aku akan membunuh mu dan anak mu Livia."
Tok
Tok
Tok
"Tuan, Nona Kalisa ingin menemui anda." Pria itu mengetuk pintu kamar Kennet dan Livia.
"Siapa dia Kennet?" tanya Livia. Kalisa nama perempuan dan ia baru mendengarkannya.
Kennet menyeringai. "Kalisa adalah kekasih ku. Dia akan ku nikahi dan aku akan menceraikan mu wanita jalang." Ia begitu marah, bisa-bisanya ia di khianati oleh istrinya.
Livia memegang dadanya yang terasa sesak. Rasanya begitu panas dan hancur. Ia seolah tak bisa mengatakan apa pun. Ia hanya bisa menangis dan mengeluarkan suara terasa berat.
"Sayang." Seorang wanita membuka pintu kamar Kennet. Wanita memakai sebuah dress hitam dengan heels tinggi. Dia melangkah dan memeluk lengan Kennet. "Sayang kamu lama sekali."
"Maafkan aku. Aku harus menyelesaikan masalah ku."
Kalisa menatap kasihan pada Livia namun bukan berarti ia ingin Kennet mempertahankan Livia. "Apa akan membutuhkan lama?" tanya Livia.
"Tidak Sayang." Kennet berkata dengan lembut. "Kalisa aku akan menceraikannya demi dirimu. Malam ini dia akan pergi dari rumah ini."
Kalisa tersenyum, ia menyandarkan kepalanya ke lengan Kennet. "Ayo Sayang kita pergi. Dia membutuhkan waktu untuk mengemas semua barang-barangnya."
Livia beranjak, dia berlari namun Kennet menutup pintu kamarnya dengan kasar sehingga ia menghentikan langkahnya. Ia mengusap perutnya.
Livia melangkah dengan gontai. Dia mengambil semua pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper. Ia mengusap air matanya. Ia tidak memiliki siapa pun di dunia ini selain Kennet. Tapi, pria itu tidak mempercayainya. Ia menarik kopernya keluar karena hanya sedikit baju yang ia bawa.
Kennet menoleh, ia sangat geram pada Livia, beraninya wanita itu mengkhianatinya. "Livia, kau bisa menggugurkan kandungan mu dan tinggal di sini, tapi aku akan menikahi Kalisa."
Livia menunduk, selama tiga tahun ia menjaga pernikahan ini. "Aku ingin bertanya pada mu, selama tiga tahun ini pernahkah kau mencintai ku?"
Kennet terdiam, ia tidak memiliki rasa cinta, ia hanya kasihan pada Livia dan memenuhi tanggung jawab sebagai seorang suami karena pilihan kedua orang tuanya. "Jangan bertanya, kau sudah tau jawabannya."
Livia mengangguk, ia mengusap air matanya. "Baiklah, aku sudah tau."
Livia melangkah lebar namun ia mendengarkan dua orang pelayan.
"Kamu tidak tau, kekasihnya yang di bawa oleh tuan Kennet itu ternyata cinta pertamanya saat tuan Kennet masih SMA."
"Pantas saja tuan Kennet sering keluar. Cinta pertama dan pandangan pertama datang."
"Iya, kasihan tuan Kennet. Dia ternyata selingkuh dan membuat tuan Kennet murka."
Livia terus melangkah, dia menghubungi sebuah taksi dan selang beberapa saat, taksi pun datang. Ia mengusap perutnya yang masih datar. Ia merasa menjadi sosok ibu yang gagal untuk anaknya. Tanpa di sadari oleh sopir taksi, sebuah truk dari arah samping hendak menabrak taksi yang ia tumpangi dan sebuah mobil menghadang truk itu.
"Livia!" Teriak seorang pria. Dia keluar dari mobilnya dan kemudian berlari menghampiri Livia yang tergelatak di sudut jalan. "Livia."
Tik
Tik
Livia merasakan ada sesuatu yang jatuh di wajahnya. Dia membuka kedua matanya dan menatap wajah yang ia kenali. "Kennet, aku membenci mu."
"Aku tau, kau boleh membenci ku. Bertahanlah, kita akan ke rumah sakit." Saat Livia pergi, ia mengejarnya dan ingin menahan wanita itu untuk tinggal di sisinya.
"Jika ada kehidupan selanjutnya, aku ingin membenci mu Kennet." Di iring hujan deras, sebuah air mata bening mengalir dari sudut kedua mata Livia. Malam itu, seakan langit mengiringi kepergiannya.
...
Livia Dwicakra, dia seorang anak yatim yang di asuh oleh keluarga Liandro dengan tinggal bersama dengan seorang pelayan setengah baya dan meninggal saat Livia berumur 20 tahun sebelum menikah. Dia di jodohkan mulai semenjak kecil. Namun Livia dan Kennet di pertemukan setelah dewasa saat Livia berumur 20 tahun dan melakukan pertunangan dengan Kennet Liandro.
Selama menjadi tunangan Kennet. Livia tidak pernah bertemu dengan Kennet, bahkan menghubungi Livia saja Kennet tidak pernah. Pada saat menikah, di malam pertama Kennet meninggalkan Livia sendirian di kamar pengantin.
Livia tetap sabar memahami perasaan suaminya karena ia tau, Kennet menikahinya karena perjodohan. Dia tetap melayani Kennet dengan baik, bahkan sarapan dan pakaian kantor pun Livia yang menyiapkannya, mengantarkan makan siang ke kantor Kennet. Namun tak mengubah fakta, istri di atas kertas da tidak di cintai tetap akan menjadi istri yang tidak di cintai.
Namun dengan begitu, Kennet mulai perlahan berbicara dan malam purnama itu keduanya mehabiskan hubungan bersama hingga Livia hamil. Tapi, kenyataannya Kennet di vonis mandul dan tidak bisa memiliki anak tanpa di ketahui oleh Livia dan keluarganya.
....
Livia membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia merasa semua yang terjadi begitu nyata. Ia meraba keningnya, kepalanya dan tubuhnya. Tidak ada luka, seharusnya ada perban. Ia mengedarkan pandangannya dan langsung mengenalinya. Ia masih berada di kamarnya.
Ia menoleh dan melihat ponselnya kemudian mengambilnya. "Tanggal ini ..." Berarti dia kembali dua minggu sebelum kejadian. Jadi anaknya masih ada. "Wanita itu."
Suara deru mobil terdengar, Livia beranjak turun dan mengintip lewat sela-sela gorden. Ia melihat Kennet yang baru saja pulang. "Ini sudah jam 12." Masa bodoh dengan masa lalunya, ia tak perlu menangisi masa lalunya. "Kennet, pria itu mengkhianati ku."
Ceklek
Deg
Kennet menghentikan langkahnya, ia menatap punggung ramping yang membelakanginya itu. Ia melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sejenak ia meredakan isi kepalanya. Ia teringat dengan Kalisa. Wanita pertama dan cinta pertama saat masih SMA.
Livia mendengarkan sebuah ponsel berbunyi. Dia merasa tertarik untuk mendekati ponsel Kennet di atas nakas. Dia melihat sebuah panggilan masuk dengan tertera nama Kalisa.
Livia tersenyum getir, di bodohi berbulan-bulan dan tidak di percayai bertahun-tahun membuatnya tidak bisa menahan lagi. Dia pun duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Dia menunggu Kennet karena harus menyelesaikan sesuatu.
Ceklek
Kennet menatap wanita yang sedang memandanginya. Dia melihat ponselnya yang berdering. Dia pun menghampirinya dan mengambilnya. Melihat nama itu, ia mematikan ponselnya karena ada Livia.
Sejenak Kennet menatap Livia, wanita itu tidak mengatakan apa pun. Mungkin Livia tidak mencurigainya.
"Mari kita bercerai Kennet."
Kennet menghentikan langkahnya. Dia menoleh, dalam hitungan detik dia sudah ada di depan Livia. "Apa maksud mu? Dan apa alasannya?" tanya Kennet. Dia teringat dengan ponselnya. Mungkinkah Livia tau nama itu.
"Tidak ada alasan." Livia berdiri, dia menatap Kennet. "Tidak ada alasan bagi ku. Aku hanya ingin bercerai dengan mu. Itu saja, aku menginginkan anak. Tapi selama kita menikah, aku tidak bisa hamil. Mungkin kau yang bermasalah."
Ucapan keras Livi meluluh lantahkan hati Kennet. Dia tidak bisa menyela karena ia di vonis mandul. "Bercerai hanya karena anak. Hah, apa hanya sebatas itu keinginan mu?"
Livia mengepalkan tangannya. Sebelum ia berakhir seperti masa lalu lebih baik ia mengakhirinya. "Hah, aku ingin bercerai. Tidak perlu alasan lagi. Kennet dalam rumah tangga seorang wanita menginginkan anak. Begitu pun aku, aku ingin bercerai saja."
Plak
Kennet melayangkan sebuah tamparan pada Livia. Wanita menyakitinya hingga ia sulit untuk bernafas. Memangnya siapa di dunia ini yang ingin mandul. Ia juga tidak ingin mandul. Kedua orang tuanya salah karena telah menerima Livia sebagai menantunya. "Livia, jadi selama ini semua perlakuan baik mu hanyalah topeng mu. Kau wanita murahan, kau wanita jalang Livia. Kedua orang tua ku pasti menyesal telah memilih mu sebagai menantunya."
Livia tersenyum, air matanya menggenang. Ia mengusap air mata itu sebelum membasahi pipinya. "Iya baiklah, terserah."
Kennet sangat muak, ia menghubungi Kalisa. "Kalisa, kita bertemu di hotel xxx kamar 209." Ketajaman kedua matanya masih ia belum arahkan ke orang lain. Niat hati pulang karena takut Livia mengkhawatirkannya, tapi sepertinya kekhawatirannya salah.
Livia menatap punggung yang semakin jauh itu. Ia mengusap pipinya yang terasa panas. Baru kali ini ia di tampar oleh Kennet. "Lebih baik seperti ini."
Ia duduk di sisi ranjang dan berkali-kali menghembuskan nafasnya untuk melegakan rasa sakit di dadanya.
Sedangkan Kennet, dia mengendarai mobilnya dan melajukan ke arah hotel. Saat ini ia butuh hiburan. Ia menuju ke kamar itu dan melihat Kalisa yang sedang duduk di sofa.
"Kennet." Kalisa melihat wajah Kennet yang suram. "Kau ada masalah? Apa yang telah terjadi?"
Kennet duduk, dia menuangkan botol di sampingnya. "Wanita itu menginginkan keturunan, dan aku sama sekali tidak menginginkan keturunan." Bukan tanpa alasan ia tidak menginginkan keturunan. Ia tidak bisa memiliki anak. Kemandulannya ini bagaikan kutukan untuknya.
Kalisa duduk di samping Kennet, ia mengusap sebelah dada Kennet untuk menenangkannya. "Kennet bersabarlah, ya walaupun aku tau dia tidak sabar."
"Kalisa aku mandul, aku tidak bisa memiliki anak." Kalisa menggigit bibir bawahnya. Bagaimana ia bisa menguasai Kennet jika Kennet mandul. "Tidak masalah, jika kau butuh ketenangan. Aku bisa menenangkan mu."
Kennet menatap Kalisa, ia tersenyum. Ternyata hanya Kalisa yang mau menerimanya. Ia menatap bibir itu dan hendak menciumnya namun ia teringat dengan wajah Livia. "Sialan, aku tidak bisa tenang." Ia meneguk segelas anggur itu.
Kalisa melirik Kennet, ia butuh waktu untuk mendekatinya tapi ia yakin, Kennet akan menyadari bahwa dialah yang selalu ada untuknya.
Drt
Kennet merogoh ponselnya. "Iya."
"Tuan Kennet, Nyonya memberontak. Dia ingin pergi."
Kennet mengeraskan rahangnya. Bergegas ia menuju keluar hotel. Kalisa penasaran, dia pun mengikuti Kennet dari belakang.
....
"Nyonya saya mohon jangan melakukan ini.'' Wanita itu begitu ketakutan mendapatkan amukan dari Kennet. Dia sudah berulang kali membujuk Livia untuk berdiam diri.
‘’Kennet akan membiarkan aku pergi. Kalian pasti tau bahwa sebentar lagi akan ada nyonya baru. Ucap Livia. Kini dia di hadang oleh dua pelayan dan salah satunya ketua pelayan serta tiga orang pengawal.
“Tuan sudah datang.” Seru seorang penjaga.
Livia melihat Kennet dan seorang wanita. Dadanya berteriak kesakitan. Ternyata cinta masih mengalahkan kekecewaannya. Pantas saja banyak orang yang bunuh diri karena cinta, ternyata sakitnya seperti ini.
Padahal belum cerai, dengan mudahnya pria itu menunjukkan batang hidung kalisa di hadapannya.
“Kita tidak memiliki urusan lagi, jadi biarkan aku pergi Kennet.”
Kennet menyeringai, Livia sudah menyakitinya. Jadi ia tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Wanita itu sudah mengkhianatinya bahkan ia harus membalas rasa kecewa kedua orang tuanya. “Pergi? mudah sekali kau mengatakan nya. apa kau pikir aku akan melepaskanmu dengan mudah?” Ia tertawa lepas. Sudah menyakitinya mana boleh pergi.
Kennet mencengkram pipi Livia. “Kau harus membayar apa yang telah kau lakukan pada ku dan kedua orang tua ku.”
“Seharusnya aku yang membalas semua pengkhianatan mu. Cinta pertama mu datang, apa kau pikir aku tidak mengerti?”
Kalisa tersenyum, ia paham bahwa saat ini telah terjadi kesalahpahaman antara mereka, tapi ia tak menyangka bahwa Kennet masih menyimpan cinta untuknya.
"Kau salah paham pada hubungan kita." Seru Kalisa. "Aku dan Kennet hanya berteman saja."
"Setelah berteman akan ada pernikahan, bukankah begitu Kennet?" Tanya Livia.
Tuduhan tak mendasar itu membuat Kennet begitu murka. "Bawa dia ke kamar dan kurung dia." Titahnya.
Kedua orang itu pun menarik Livia dan memaksanya masuk ke dalam mansion. Livia menatap pintu yang tertutup rapat itu. "Bagaimana pun caranya aku harus kabur dari sini sebelum Kennet menyadari kehamilan ku."
Dia pun duduk di tepi ranjang sambil memikirkan untuk kabur dari mansion ini.
Keesokan harinya.
Seorang masuk ke sebuah ruangan. Wanita itu di ekori seorang pelayan yang membawa sarapan. Dia menghampiri wanita yang sedang duduk di tepi ranjang sambil menghadap ke jendela yang tertutup oleh tirai.
"Aku membawakan sarapan untuk mu." Kalisa tersenyum miring. "Kau percaya bahwa aku dan Kennet memiliki hubungan? Aku berharap kau memang percaya, sekalipun Kennet menikah dengan mu namun hatinya masih milik ku."
"Livia, Livia, sampai saat ini kau seperti wanita bodoh yang mengemis cinta. Aku cukup kagum pada mu karena kau sadar diri." Kalisa merasa kesal, Livia sama sekali tidak menanggapinya. Ia pun berlalu dan kembali mengunci kamar Livia.
Kalisa berpapasan dengan Kennet yang sedang rapi ke kantornya. "Kennet aku menyiapkan sarapan untuk mu. Oh iya, aku juga sudah mengantarkan sarapan pada Livia. Tapi sepertinya Livia masih marah. Kennet, ini semua salah ku. Tidak seharusnya ..."
Kennet mengusap kepala Kalisa. "Bukan salah mu, ayo kita sarapan." Ia tidak ingin menyalahkan Kalisa. Jauh sebelum kenal Livia, ia lebih dulu kenal dengan Kalisa.
"Kennet apa aku boleh membawakan mu makan siang nanti?" tanya Kalisa. Dulu ia sering mendatangi perusahaan Kennet.
Kennet mengangguk, ia merasa senang jika Kalisa melakukannya. "Terserah kau saja." Ia tidak melarangnya karena Kalisa teman baiknya.
Kennet dan Kalisa pun sarapan bersama. Kennet memandangi kursi di sampingnya. Dia mengingat Livia yang selalu memperhatikannya. Entah mengapa ia merasa ada yang kosong.
Kalisa memandangi kursi di hadapannya. Ia berpikir Kennet teringat dengan Livia. "Kau teringat dengan Livia. Apa perlu aku membawa Livia kesini?"
"Tidak perlu, siapa yang ingat padanya." Kennet menepis ucapan Livia.
Kalisa menggenggam tangan Kennet. "Kennet kalau kau merindukan Livia, aku bisa membawanya kesini. Aku senang melihat mu bahagia."
"Tidak, buat apa aku masih memelihara wanita itu. Biarkan saja, aku mau ke kantor saja." Moodnya berubah ketika membahas tentang Livia. Sebelum masuk ke dalam mobil dia melihat ke arah balkon, entah apa yang ia inginkan namun merasa kesal karena tidak melihat Livia.
...
Livia melihat Kennet yang sudah pergi ke kantor. Dia menutup kembali gorden warna putih itu. Ingin sekali ia mengantarkan Kennet. Namun karena sudah ada Kalisa, ia tidak di butuhkan lagi.
Ceklek
"Livia."
Livia menoleh, entah apa lagi yang ingin dibicarakan oleh Kalisa. "Livia kau tidak ingin keluar? Oh iya aku lupa bahwa kau sedang di kurung. Livia, tadi Kennet mengizinkan aku untuk membawa bekal makan siang. Pasti senang sekali bisa pergi ke kantor Kennet."
Livia mengelus dadanya agar tidak gampang marah demi kesehatannya dan janinnya. "Apanya yang senang, biasa saja. Kantor itu tidak enak se enak di ranjang."
Kalisa menyorot Livia dengan mata yang tajam. "Kau jangan sombong, kau hanya budak di ranjang." Kesombongan wanita itu hanya sebentar lagi.
Livia menatap tangannya, ia berbalik dan melangkah lebar. Entah semenjak kapan tangannya menampar Kalisa. "Aku budak ranjang karena aku wanita yang telah di nikahinya. Seharusnya kau tidak mencari masalah dengan ku dan seharusnya kau membantu ku pergi dari Kennet."
Kalisa memegangi pipinya yang memar. Ia tidak akan memudahkan Livia pergi begitu saja sebelum Kennet membenci Livia sebenci-bencinya. "Hah, lihat saja Livia."
....
Kalisa mendatangi Kennet dengan membakan bekal makan siang. Dia menatap Kennet dengan wajah menunduk. Kennet mengangkat wajahnya. Ia melihat memar di pipi Kalisa.
"Kalisa kenapa pipi mu?" tanya Kennet. Dia menarik dagu Kalisa dan melihatnya. "Ini kenapa?"
Kalisa menunduk, raut wajahnya begitu jelas kesedihannya. "Kau jangan menyalahkan Kak Livia, dia begitu mungkin hanya karena emosi."
Kennet mengambil jas yang di taruh di sandaran kursi. Dia bergegas keluar dan meninggalkan beberapa pekerjaannya itu.
"Tuan ini ..." Pria berkaca mata itu mengekori Kennet dan ingin tau kemarahan tuannya itu.
Begitupun dengan Kalisa yang mengekori Kennet. Mereka masuk lift yang sama dan kemudian menaiki mobil yang sama.
Brak
Kenent membanting pintu kamar Livia dan membuat wanita yang sedang membaca sebuah novel itu menoleh ke arah pintu. Kennet menarik lengan Livia hingga buku itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.
"Sakit Kennet, lepaskan!" Livia meronta.
"Kau." Kennet mencekik leher Livia. "Beraninya kau menyakiti Kalisa."
Livia tersenyum, air matanya menggenang. "Saat terjadi sesuatu pada Kalisa kau langsung tanggap. Kennet bunuh saja aku. Aku sudah lelah dengan semua ini."
Deg
Kennet melepaskan tangannya. Suara lembut dan pasrah itu membuat amarahnya mereda.
Kalisa melihat Kennet menunduk dan Livia yang terdiam. "Kenapa tidak terjadi sesuatu?" Gumamnya. Padahal ia sangat yakin Kennet sangat marah dan mungkin bisa menyakiti Livia. "Emm Kennet. Sudah aku katakan Kak Livia tidak sengaja."
Kennet bergegas pergi, dia menghiraukan Kalisa yang memanggilnya.
"Kenent tunggu." Kalisa berdecak kesal karena Kennet tidak meresponnya. Dia hanya bisa melihat kepergian Kennet.
Sementara Kennet menghabiskan waktunya di sebuah club dengan ruangan Vip. Kennet menghabiskan waktunya sendiri. Dia selalu teringat wajah Livia dan ucapan lembutnya itu. "Sialan! Aku tidak akan melepaskannya. Beraninya dia mengkhianati ku." Kennet meneguk beberapa cairan merah itu.
Dia mendesah pelan, memijat pelipisnya. Sebenarnya ia bisa melepaskan Livia dan menikah dengan Kalisa, tapi hatinya tidak terima Livia pergi begitu saja.
Drt
Kennet menatap ponselnya. Dia pun mematikan ponselnya saat Kalisa menghubunginya. Sementara itu Kalisa sangat kesal karena Kennet mematikan ponselnya.
"Kennet masih sama seperti dulu." Lama menjalin cinta dengan Kennet, ia sedikit paham sifat Kennet.
Kalisa mondar-mandir menunggu di ruang tamu. Dia terus melihat pintu yang masih tertutup. Seorang pelayan membuka pintu dan menghampiri Kalisa.
"Tuan Kennet sudah pulang Nyonya."
Kalisa tersenyum, ia bergegas keluar namun tak sampai di pintu ia melihat Kennet yang berjalan sempoyongan. "Kennet." Jika banyak masalah Kennet pasti akan minum. "Aku bantu. Kau tidak boleh menolak ku. Kau pasti terjatuh."
Kennet tak menolak, ia mengangguk. Kalisa mengalungkan tangan kanan Kennet ke lehernya dan melangkah bersamaan dengan Kennet. Sampai di ujung tangga lantai atas. Kalisa berpapasan dengan Livia.
"Livia, kau bagaimana menjadi seorang istri? Kau tidak mampu mengurus Kennet." Sarkasnya.
Livia ingin menanyakan keadaan Kennet, tapi ia urungkan karena sepertinya pria itu tidak butuh bantuannya. Ia keluar karena Kennet tidak mengunci pintu kamarnya, sepertinya Kennet lupa.
...
Kalisa membuka dasi Kennet. Dia juga membuka sepatunya. "Kennet, kenapa kau bisa semabuk ini?" Ia merasa permasalahan Kennet dengan Livia berat, tapi tidak mungkin Kennet jatuh cinta pada Livia. Ia sudah bertanya-tanya pada beberapa pelayan di mansion ini setibanya ia di sini.
Ia mengusap kening Kennet dan mengecupnya. Livia mengintip dan melihat semua perlakuan Kalisa. "Ternyata mereka sudah sejauh ini." Apa yang ia harapkan dari pernikahannya ini? Hanyalah sebuah kebahagiaan semu saja. Rasa sakitnya seakan ingin menarik nafasnya.
Tangannya mengepal kuat saat melihat Kennet menggenggam lengan Kalisa yang hendak pergi.
Ia mengusap air matanya, air mata bodoh itu membuatnya menangis melihat semua sikap suaminya itu.
"Kennet." Dia melangkah ke kamar tidurnya. Rasanya begitu sesak melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain.
Sedangkan Kalisa, ia tersenyum dan menunggu Kennet melepaskan lengannya. "Kennet."
"Emm Livia."
Senyum Kalisa memudar, Kennet beranjak dan melihat Kalisa di hadapannya yang ia kira Livia.
"Kalisa kenapa kau di sini?" Tanya Kennet bingung.
Kalisa tersenyum walaupun ia merasa sakit hati. "Kau mabuk, aku yang membawa mu kesini. Tadi Livia tidak mau membantu mu. Sepertinya dia benar-benar ingin menjauh dari mu."
Suara nafas Kennet terasa panas. Sejijik itukah Livia padanya hingga tidak ingin merawatnya dan menyerahkan pada Kalisa?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!