Hari itu, hujan turun perlahan, membasahi halaman sekolah dengan lembut. Nuka baru saja selesai latihan basket. Keringat masih membasahi tubuhnya, tapi hujan membuat udara sejuk, memberikan rasa nyaman. Ia berjalan santai menuju kantin, membawa tasnya yang disampirkan di pundak. Namun, sebelum sampai, pandangannya terpaku pada seseorang yang duduk di sudut kelas, tepat di dekat jendela. Aile.
Gadis itu selalu tampak sendiri setiap kali hujan turun, seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Nuka sering memperhatikannya dari kejauhan. Ada sesuatu yang misterius dari Aile, sesuatu yang membuat Nuka penasaran. Dia bukan tipe gadis yang banyak bicara, bahkan mungkin terlalu pendiam untuk ukuran anak seusianya. Namun, setiap kali hujan datang, Aile selalu memilih tempat yang sama—dekat jendela, memandangi langit mendung dan rintik hujan yang turun.
Nuka menghentikan langkahnya sejenak, mempertimbangkan. Biasanya, ia tidak terlalu suka berbasa-basi dengan orang yang tidak terlalu dikenalnya. Tapi kali ini, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mendekati Aile, meskipun ia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia berjalan menuju bangku yang ditempati Aile.
"Hei, kamu suka hujan ya?" sapanya ceria, mencoba memecah keheningan.
Aile hanya menoleh sebentar, tatapannya kembali ke jendela dalam hitungan detik, tanpa menjawab.
Nuka sedikit canggung, tapi ia tak ingin menyerah begitu saja. Dia berdiri di sana, merasa sedikit konyol dengan dirinya sendiri, tetapi mencoba lagi. "Aku sih biasanya malah males hujan-hujanan. Tapi kamu kayaknya betah ya, duduk di sini terus?"
Aile masih tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju ke luar, memperhatikan rintik-rintik hujan yang jatuh di atas tanah dan dedaunan. Bagi Nuka, keheningan ini terasa aneh, tapi ada sesuatu yang membuatnya tetap ingin berada di sana, meskipun tanpa obrolan. Seolah-olah, hanya dengan berada di dekat Aile, ada kedamaian yang melingkupi suasana.
Merasa perlu melanjutkan percakapan, Nuka mencoba mencari topik lain, berharap kali ini bisa membuat Aile bicara. "Kalau aku, sih, lebih suka matahari. Tapi... hujan juga ada bagusnya sih. Dingin, tenang, bikin ngantuk. Kamu nggak kedinginan duduk di sini?"
Akhirnya, Aile menoleh lagi, meski hanya sebentar. Dia menghela napas pelan sebelum berkata singkat, "Nggak apa-apa."
Hanya dua kata. Namun, bagi Nuka, itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya Aile merespon, dan itu berarti dia tidak sepenuhnya mengabaikan keberadaannya. Tanpa ragu, Nuka menarik kursi di sebelah Aile dan duduk, meskipun tidak ada undangan resmi dari gadis itu.
"Kalau gitu, aku nggak ganggu ya?" tanyanya sambil tersenyum, berharap Aile tidak keberatan.
Aile tidak mengatakan apa pun, hanya menatap jendela lagi. Namun, Nuka memilih untuk mengambil itu sebagai tanda bahwa ia boleh tinggal. Ia memutuskan untuk duduk di sana, mendampingi Aile, dan ikut memperhatikan hujan yang terus turun di luar.
Suasana hening. Hanya suara hujan yang terdengar, mengisi kekosongan di antara mereka. Bagi Nuka, ini adalah keheningan yang aneh tapi juga menenangkan. Biasanya ia tidak terlalu nyaman dengan keheningan, apalagi dengan seseorang yang jarang ia ajak bicara. Tapi bersama Aile, keheningan itu terasa berbeda. Hujan yang terus turun membuat suasana terasa damai.
Tiba-tiba, suara lembut Aile memecah keheningan. "Nama kamu Nuka, kan?"
Nuka terkejut, tapi senyumnya langsung merekah. "Iya! Kamu tau juga, ya?"
Aile mengangguk pelan, tanpa menoleh padanya. "Sering denger dari anak-anak."
Nuka tertawa kecil, merasa bangga karena namanya dikenal. "Hmm... ya, aku emang agak berisik sih," katanya sambil menyeringai. "Tapi kalau kamu nggak suka, aku bisa diem kok."
Aile menggeleng, matanya masih terpaku pada rintik-rintik hujan di jendela. "Nggak apa-apa," ucapnya pelan.
Nuka menatapnya sejenak, merasa ada sesuatu yang mendalam di balik ketenangan Aile. Dia tahu ada lebih banyak cerita di balik tatapan kosong gadis itu, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Untuk saat ini, ia memilih untuk menikmati kebersamaan dalam diam, di bawah rintik hujan yang terus turun.
**Bab 1: Tatapan Pertama di Tengah Rintik** (lanjutan)
Nuka menatap Aile dari samping, memperhatikan setiap detail kecil yang membuatnya semakin penasaran. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu, sesuatu yang membuatnya tampak begitu jauh, meskipun duduk hanya beberapa inci dari Nuka. Aile tampak selalu terpisah dari dunia sekitarnya, seolah hujan adalah dinding yang memisahkan dirinya dari orang lain.
"Aku sering lihat kamu di sini setiap hujan turun," ujar Nuka mencoba melanjutkan obrolan, meskipun dalam hati ia merasa mungkin percakapan ini akan berakhir dengan kebisuan lagi.
Aile hanya diam, tanpa menunjukkan reaksi apa pun. Nuka menggaruk belakang kepalanya, sedikit bingung harus bicara apa lagi. Biasanya, ia mudah sekali berbicara dengan orang lain, bahkan sering kali terlalu banyak bicara. Tapi kali ini berbeda. Aile seperti teka-teki yang sulit dipecahkan, dan semakin dia mencoba, semakin terasa rumit.
"Jadi... kamu nggak suka ngobrol, ya?" tanya Nuka, mencoba lagi.
Aile akhirnya menoleh sedikit, wajahnya masih tampak tenang tanpa emosi yang berlebihan. "Bukan nggak suka, cuma… nggak terlalu sering," jawabnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah suara hujan.
"Ah, gitu ya. Nggak apa-apa, aku juga kadang males ngobrol," kata Nuka sambil tersenyum. "Tapi serius deh, kamu emang suka hujan, kan?"
Aile memandang Nuka untuk beberapa detik, seolah sedang menilai apakah pertanyaan itu layak dijawab atau tidak. Akhirnya, dia mengangguk pelan.
"Iya, suka," ucapnya dengan nada datar.
Nuka tersenyum lega, merasa sudah membuat sedikit kemajuan. "Aku sih jujur lebih suka cuaca cerah. Hujan bikin males ngapa-ngapain. Tapi... aku bisa ngerti kenapa orang suka hujan. Tenang, damai, nggak ada suara ribut."
Aile menoleh padanya lagi, kali ini dengan sedikit ketertarikan di matanya. "Kenapa kamu lebih suka cerah?"
Nuka tertawa kecil, sedikit heran dengan pertanyaan balik itu. "Hmm, mungkin karena cerah itu bikin suasana jadi lebih hidup. Bisa main di luar, nggak perlu khawatir basah atau kedinginan. Lagian, matahari bikin semangat. Hujan malah bikin aku ngantuk."
Aile mengangguk, tatapannya kembali mengarah ke luar jendela. "Bagi aku, hujan itu bikin tenang. Saat hujan, semuanya terasa lebih lambat. Aku bisa mikir lebih banyak... tanpa gangguan."
Nuka mengangguk, merasa sedikit lebih memahami Aile. "Hmm, kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Kadang hujan bikin kita jadi bisa diem, merenung."
Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Nuka tidak merasa perlu untuk bicara lebih banyak. Meski suasana ini aneh, dia justru menikmatinya. Di antara hujan dan Aile, ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Nuka merasa nyaman hanya dengan duduk di sana, meski biasanya dia bukan orang yang betah berlama-lama dalam diam.
Waktu berlalu perlahan. Hujan semakin deras, suara tetesannya makin terdengar jelas. Nuka melirik arlojinya, menyadari bahwa waktu istirahat hampir habis. Namun, ia enggan untuk pergi, meski hanya sebentar lagi.
"Eh, Aile," Nuka memanggil pelan, "kalau kamu mau, nanti aku bisa temenin kamu lagi kalau hujan turun."
Aile menoleh, menatap Nuka dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia tidak langsung menjawab, hanya memandangnya sejenak sebelum akhirnya mengucapkan, "Kamu nggak harus."
Nuka tertawa kecil, tidak tersinggung dengan jawaban itu. "Ya, tapi kalau aku mau, gimana?"
Aile mengangkat bahu, matanya kembali ke arah jendela. "Terserah kamu."
Jawaban itu membuat Nuka tersenyum lebar. Meskipun Aile tampak enggan, Nuka bisa merasakan ada sedikit celah yang terbuka. Ia tahu bahwa Aile tidak sepenuhnya menolak kehadirannya. Mungkin gadis itu belum terbiasa dengan orang lain, tapi Nuka yakin dia bisa pelan-pelan mendekati Aile, bahkan jika harus melakukannya saat hujan turun.
"Aku sih bakal balik lagi," kata Nuka dengan nada ringan, "Soalnya, kayaknya asik ngobrol sama kamu meskipun kamu nggak banyak ngomong."
Aile tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Mungkin itu bukan senyuman yang biasa, tapi bagi Nuka, itu lebih dari cukup. Itu adalah tanda kecil bahwa Aile mungkin mulai membuka diri, meski perlahan.
Tiba-tiba, bel tanda istirahat berakhir berbunyi, membuat suasana tenang mereka terganggu. Nuka berdiri, mengangkat tasnya dan bersiap untuk kembali ke kelas.
"Kayaknya kita harus balik," katanya dengan nada sedikit kecewa. "Tapi... nanti kalau hujan lagi, aku bakal cari kamu di sini."
Aile tidak merespons, hanya mengangguk pelan. Nuka tahu, gadis itu mungkin masih ragu untuk menerima kehadirannya, tapi dia tidak akan menyerah. Ada sesuatu dalam diri Aile yang membuatnya ingin terus berada di dekatnya, memahami lebih dalam dunia kecil yang Aile ciptakan di tengah hujan.
Saat Nuka berjalan menjauh, ia menoleh sekali lagi ke arah Aile. Gadis itu masih duduk di sana, menatap keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya. Tapi kali ini, ada perasaan berbeda dalam hati Nuka. Dia merasa bahwa pertemuan mereka di tengah hujan ini bukanlah pertemuan biasa. Sesuatu yang lebih besar sedang menunggu mereka di hari-hari mendatang, sesuatu yang akan terus membawa Nuka kembali ke Aile setiap kali hujan turun.
Dan saat hujan berikutnya tiba, Nuka tahu, dia akan kembali ke tempat yang sama, berharap Aile masih duduk di sana, menunggunya dengan senyum kecil yang tak banyak terlihat.
Beberapa hari berlalu sejak pertemuan pertamanya dengan Aile di hari hujan. Nuka masih teringat bagaimana Aile duduk sendirian di dekat jendela, menatap hujan tanpa berkata banyak. Hujan memang memiliki daya tarik tersendiri bagi gadis itu, dan Nuka merasa ada sesuatu yang menarik tentang cara Aile terhubung dengan cuaca yang tampaknya sederhana itu.
Hari itu, hujan turun lagi. Nuka terbangun dengan semangat yang sama seperti sebelumnya, dengan harapan bisa melihat Aile di tempat yang sama. Dia benar-benar penasaran dengan gadis itu dan ingin tahu lebih banyak. Saat dia keluar dari rumah dan merasakan tetesan hujan pertama di wajahnya, dia merasa ada sesuatu yang magis dalam suasana ini. Nuka memutuskan untuk membawa payungnya lagi, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Aile jika dia ingin berbicara lagi.
Sekolah terasa lebih sepi hari ini, mungkin karena hujan membuat banyak siswa malas keluar dari ruang kelas mereka. Nuka menuju kelasnya sambil memeriksa sekeliling, berharap bisa melihat Aile di jendela seperti sebelumnya. Dia akhirnya sampai di kelas dan menemukan tempat duduknya. Sesekali, dia melirik ke arah jendela, mencoba memastikan apakah Aile sudah berada di tempatnya.
Pelajaran pertama berjalan seperti biasa. Nuka sulit berkonsentrasi, pikirannya terus melayang ke Aile dan bagaimana dia bisa membuat perbincangan mereka lebih mendalam. Temannya, Raka, duduk di sebelahnya, memandang Nuka dengan penasaran.
"Lo ngapain sih, Nuka? Kayaknya nggak fokus banget," tanya Raka sambil melirik ke arah Nuka.
Nuka tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Gue cuma kepikiran Aile aja."
Raka mengangkat alis, tertarik. "Aile? Kenapa? Lo baru kenal dia, kan?"
"Iya, baru kenal. Tapi ada sesuatu yang bikin gue penasaran," jawab Nuka sambil melirik ke arah jendela lagi.
"Ah, jadi lo lagi kepikiran dia terus, ya? Jatuh cinta atau gimana?" tanya Raka dengan nada iseng.
Nuka tertawa kecil. "Nggak jatuh cinta, sih. Cuma, dia kayaknya punya cerita menarik, gue pengen tau lebih banyak."
Saat istirahat tiba, Nuka langsung menuju ke tempat duduk Aile, berharap dapat menemukannya di sana. Dia menemukan Aile sudah berada di tempat duduknya, duduk sendirian seperti biasanya, tatapannya tetap terpaku pada luar jendela, memperhatikan rintik hujan.
Nuka merasa senang melihat bahwa gadis itu tetap di tempat yang sama. Dengan senyuman lebar, dia mendekati Aile.
“Hey, Aile,” sapa Nuka ceria, mencoba memecah keheningan. “Hujan lagi, ya? Aku bawa payung, jadi kalau kamu mau, aku bisa temenin kamu di luar.”
Aile menoleh ke arahnya, dan kali ini, Nuka bisa melihat sedikit perubahan dalam ekspresi wajahnya. Dia tidak langsung menjawab, hanya mengamati Nuka dengan tatapan netral.
“Kamu tahu, hujan itu memang enak. Aku juga pernah nulis puisi tentang hujan. Aku rasa hujan itu punya cara sendiri untuk bikin kita mikir tentang banyak hal,” ujar Nuka, mencoba membuat Aile berbicara lebih banyak.
Aile mengangkat alis sedikit, mungkin terkejut dengan pernyataan Nuka. “Puisi tentang hujan? Kenapa?”
Nuka tertawa kecil. “Iya, kadang aku suka nulis puisi atau cerita pendek. Hujan kadang bikin kita merasa lebih dalam dan mikirin hal-hal yang biasanya nggak kita pikirin.”
Aile menoleh sedikit, kali ini menunjukkan sedikit ketertarikan. “Mungkin.”
Nuka melanjutkan, “Kalau kamu mau, kita bisa duduk di luar di bawah payung ini. Aku bisa bawain payungnya dan kita bisa ngobrol lebih banyak. Lagian, hujan ini kayaknya belum mau berhenti.”
Aile terlihat ragu sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oke.”
Dengan senang hati, Nuka berdiri dan memegang payung, sementara Aile mengikuti di belakangnya. Mereka keluar dari kelas, berjalan di bawah hujan yang turun deras. Meskipun air hujan membasahi jalan di bawah mereka, mereka tetap kering di bawah payung yang dibawa Nuka.
Nuka merasa sangat senang. Ini adalah kesempatan untuk mengenal Aile lebih baik di luar lingkungan kelas. Mereka menemukan tempat duduk di bawah pohon besar yang cukup lebar untuk menampung mereka berdua dan payung.
Saat mereka duduk di bawah payung, Nuka merasakan perubahan dalam suasana. Hujan yang deras tidak lagi terasa mengganggu, melainkan seperti musik latar yang membuat percakapan mereka lebih intim.
“Jadi,” mulai Nuka, “apa yang biasanya kamu pikirkan saat hujan turun? Ada hal-hal khusus yang sering kamu renungkan?”
Aile menatap ke arah hujan, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk dijelaskan. “Kadang-kadang, masa lalu.”
Nuka merasa ini adalah kemajuan. Dia bisa merasakan bahwa Aile mulai membuka diri sedikit demi sedikit. “Jadi, hujan bikin kamu ingat masa lalu?”
Aile mengangguk lagi. “Ya.”
Nuka mendengarkan dengan seksama, merasa bahwa ini adalah bagian penting dari diri Aile yang belum pernah dia ungkapkan sebelumnya. “Aku sendiri kadang suka merenung tentang masa depan, tapi aku coba untuk fokus pada hal-hal positif.”
Aile menatap Nuka dengan tatapan lembut. “Tapi kadang sulit.”
“Benar, itu pasti sulit,” kata Nuka. “Tapi kalau kamu mau, berbagi cerita bisa membantu. Aku di sini kalau kamu butuh teman.”
Aile menatapnya, matanya tampak penuh rasa terima kasih. “Terima kasih.”
Nuka tersenyum. “Aku senang bisa ada di sini. Hujan ini sepertinya membawa kita lebih dekat, ya?”
Aile memberikan senyuman kecil, yang kali ini terlihat lebih tulus. Mereka berdua menikmati keheningan sejenak, hanya mendengarkan suara hujan yang menetes di sekitar mereka.
Ketika hujan mulai mereda, mereka kembali ke kelas dengan perasaan yang lebih ringan. Nuka merasa sudah membuat langkah maju dalam mengenal Aile, dan dia tahu bahwa hari-hari berikutnya akan menjadi kesempatan untuk lebih mendekat lagi.
Ketika bel berdering, Nuka dan Aile kembali ke kelas, Nuka merasa hatinya penuh dengan harapan dan rasa ingin tahu. Dia tahu bahwa Aile adalah seseorang yang istimewa, dan hujan ini adalah awal dari sesuatu yang bisa jadi sangat berarti bagi keduanya. Dan meskipun hujan mungkin akan berhenti, Nuka merasa bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Ketika hujan mulai mereda, Nuka dan Aile kembali ke kelas. Meskipun suasana di sekitar mereka kembali seperti biasa, di dalam diri Nuka, ada sesuatu yang berubah. Dia merasa lebih dekat dengan Aile, bahkan dengan keheningan mereka, dan rasa penasaran yang kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan Aile semakin menguat.
Sepulang sekolah, Nuka tidak bisa berhenti memikirkan percakapan mereka. Ada sesuatu dalam cara Aile berbicara tentang masa lalu, tentang bagaimana hujan membangkitkan kenangan itu, yang membuat Nuka merasa ada beban yang disembunyikan oleh Aile.
Malam itu, Nuka berbaring di kamarnya, mendengar rintik hujan yang masih tersisa di luar jendela. Pikirannya terus mengulang momen-momen bersama Aile. Dia ingin tahu lebih banyak, bukan karena rasa penasaran biasa, tapi karena dia peduli.
---
Sementara itu, di rumah Aile, suasana berbeda jauh dari apa yang Nuka bayangkan. Rumah itu tampak tenang dari luar, tetapi di dalamnya ada ketegangan yang sulit dijelaskan. Aile duduk di kamarnya, memandangi buku catatannya yang terbuka di meja belajar. Ia sering melarikan diri ke dalam tulisannya—itu adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa bebas, walau hanya untuk sesaat.
Namun, malam ini Aile tidak menulis. Hanya tatapan kosong yang terpaku pada lembaran putih di depannya. Dari ruang tamu, terdengar suara samar percakapan orang tuanya, lebih tepatnya perdebatan. Sudah menjadi rutinitas harian, dan setiap kali suara itu naik, Aile semakin menutup dirinya.
Ibunya, seorang wanita yang selalu sibuk bekerja, seringkali terlalu lelah untuk berbicara dengan lembut. Ayahnya, yang dulu penuh canda dan cerita, kini jarang berbicara kecuali untuk menuntut sesuatu. Kehidupan keluarga Aile telah berubah drastis, membuatnya merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Inilah yang membuatnya pendiam di sekolah, selalu merasa bahwa apapun yang ia katakan atau lakukan tidak akan mengubah apa-apa.
Aile meraih ponselnya, membuka pesan terakhir yang ia terima dari Nuka. Kata-kata sederhana, "Aku di sini kalau kamu butuh teman," berulang kali terbaca di layar. Ada sesuatu dalam cara Nuka berbicara yang membuat Aile merasa nyaman, meskipun ia sendiri belum siap untuk membuka diri sepenuhnya.
Aile berbaring di tempat tidur, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan suara-suara dari luar kamarnya. Di balik sikap pendiamnya, ada perasaan tertekan yang selalu ia simpan sendiri. Tapi malam itu, entah kenapa, Aile berpikir tentang tawaran Nuka. Mungkin, hanya mungkin, berbicara dengan seseorang bisa membantu meringankan sedikit beban yang ia rasakan.
---
Keesokan harinya, Nuka mendapati dirinya kembali menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Aile. Di sekolah, suasananya kembali biasa saja, tetapi di dalam diri Nuka, ada tekad untuk membantu Aile meskipun ia belum tahu bagaimana caranya.
Saat mereka bertemu di dekat jendela kelas seperti hari-hari sebelumnya, Aile tampak sedikit lebih lesu. Namun, kali ini Nuka sudah lebih siap.
"Semalam aku mikirin obrolan kita kemarin," kata Nuka, berusaha memulai percakapan dengan nada santai. "Aku jadi makin penasaran. Kayaknya ada banyak hal yang ingin kamu ceritain, tapi kamu masih ngerasa belum siap."
Aile diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Mungkin."
"Kalau kamu nggak keberatan, aku mau denger," lanjut Nuka, berusaha tetap sabar. "Nggak apa-apa kalau belum sekarang. Tapi kapanpun kamu siap, aku di sini."
Aile menatapnya, ada sesuatu di matanya yang berbeda kali ini. "Mungkin... nanti," ujarnya pelan.
Nuka tersenyum hangat, merasa bahwa ia sudah membuat langkah maju. Meskipun Aile belum sepenuhnya terbuka, Nuka tahu bahwa momen itu akan datang. Bagaimanapun, hujan hari-hari sebelumnya telah membawa mereka lebih dekat, dan Nuka yakin bahwa akan ada lebih banyak lagi yang terungkap seiring waktu.
Di balik payung dan hujan, Nuka telah menemukan seseorang yang membutuhkan teman, dan Aile mungkin telah menemukan seseorang yang bisa mendengarkannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!