NovelToon NovelToon

Luka Dan Air Mata Pernikahan

Tak Berdaya

TRING! TRING! TRING!

Suara yang berasal dari alarm darurat berbunyi, menggema pada seluruh penjuru mansion. Padahal ini masih sangat pagi, jam dinding menunjukkan kalau sekarang adalah pukul 05.30 WIB

Bunyi alarm itu membuat seisi mansion gempar, para pelayan berlarian menuju sebuah kamar yang berada dilantai paling atas. Kamar yang sangat sakral dan bisa disebut terlarang karena hanya beberapa orang saja yang bisa masuk ke dalam sana

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Apa Tuan Satya terbangun dan sedang rewel?"

Para pelayan itu saling memandang, tapi tidak ada yang berani melangkah masuk. Mereka tidak punya wewenang untuk memasuki kamar itu

"Kita harus memberitahukan ini pada Nyonya Hanita"

"Itu benar, apalagi Suster Risma juga belum datang."

"Kalian lupa? Nyonya Hanita baru pulang pukul 11 malam tadi, membangunkannya sama dengan bunuh diri!" Sentak salah satu pelayan

Pelayan itu bahkan melotot dan mulai memperagakan raut dan ekspresi wajah Nyonya Hanita yang tengah mereka bicarakan.

Sementara para pelayan itu berdebat satu sama lain, bunyi alarm terdengar makin nyaring dan memekikkan telinga.

Helaan nafas berat lolos dari bibir para pelayan itu. "Kita beritahu Nyonya Hanita saja, daripada Tuan Satya menderita di dalam sana. Aku kasihan."

Mereka kembali berebut, saling menghindar untuk menghampiri Nyonya Hanita mereka. Setelah melakukan suit, akhirnya salah satu pelayan terpilih

Raut wajahnya terlihat sangat pias, ini seperti sebuah bencana karena dia yang harus membangunkan Hanita.

Sementara di dalam kamarnya, Hanita sudah merasa sangat terusik akibat bunyi alarm yang sangat memekikkan di telinganya.

Tubuh Hanita yang tertutup selimut tebal menggeliat diatas ranjang berukuran king size miliknya, decihan sinis lolos dari bibir ranumnya

Wanita itu bangun, ia melemparkan penutup matanya secara kasar ke sembarang arah.

Meski masih terlihat mengantuk, namun kedua manik Hanita menyorot tajam

"Ini masih pagi, dan dia sudah membuat kekacauan?! Dia memang membenciku dan selalu ingin membuatku menderita!" Pekik Hanita

Hanita baru akan turun dari atas ranjang kala ia mendengar suara ketukan pintu.

TOK! TOK!

"Masuk!" Teriak Hanita

Pelayan wanita masuk dan berjalan dengan hati-hati menghampiri Hanita, pelayan itu bahkan tidak berani mengangkat kepala. Aura Hanita terlihat menakutkan

"Permisi,Nyonya. Maaf mengganggu, tapi Tuan Satya terbangun" ucap Pelayan itu

Lirikan tajam Hanita seolah mampu menguliti pelayan itu sekarang juga 

''Dimana Suster Risma?"

"Suster Risma belum kembali,Nyonya"

Hanita kembali berdecak kesal, dia menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang secara kasar. Lalu segera menyambar cardigan untuk menutupi tubuhnya yang semalam penuh hanya dibalut menggunakan lingeri tipis berwarna putih.

Hanita mengibaskan tangannya, memerintahkan agar pelayan itu keluar. Sang pelayan menurut dan segera keluar, meninggalkan ruangan yang mencekam ini.

Sedang Hanita, wanita itu lebih dulu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Menyapukan liptint berwarna maroon serta sedikit merapikan rambut panjangnya.

"Baiklah,Hanita. Mari temui suami tercintamu" gumam Hanita

Hanita baru akan melenggang keluar kala ia teringat kalau belum menyemprotkan parfum ke atas pergelangan tangannya.

"Cih, bagaimana aku bisa melupakan itu?"

Kembali berbalik dan memutar tubuhnya, Hanita tanpa ragu menyambar salah satu dari sekian banyak botol parfum dari berbagai brand mewah yang berada diatas meja riasnya. Itu adalah aroma favorit Satya, suami terkasihnya.

Sentuhan dari aroma mewah dan elegan, kedua itu kini mengelilingi tubuh Hanita. Tidak akan ada yang tahu apalagi menebak kalau ternyata wanita itu belum melakukan apalagi menyelesaikan ritual mandi paginya.

Hanita juga tidak lupa sedikit menata rambut panjangnya, siapapun akan menduga kalau wanita itu tengah bersiap untuk menyambut kepulangan sang suami dari perjalanan bisnisnya.

"Selesai."

Hanita melenggang keluar menggunakan kedua kaki jenjangnya. Seperti biasa, dengan langkah kharismatik dan tentu saja mengintimidasi.

"Nyonya Hanita" sapa si pelayan

Hanita melirik sekilas ke arah pelayan yang tadi sudah membangunkannya itu. "Apa masalahnya pagi ini?"

"Saya juga kurang mengerti,Nyonya. Tapi alarm dari kamar Tuan Satya terus berbunyi, kami hendak masuk untuk memeriksa tapi tidak berani." Terang Pelayan itu

Hanita tetap mempertahankan wajah datarnya, meski begitu dia sangat mengerti dan bisa menerima penjelasan dari pelayannya dengan sangat baik.

"Suster Risma?" Hanita mulai melangkah, sedangkan sang pelayan mengekor di belakangnya

Kedua tangan pelayan itu tetap berada di depan, sembari kedua kaki pendek nya berusaha mengejar langkah Hanita.

"Seperti penjelasan awal, Suster Risma belum kembali,Nyonya."

"Apa yang Suster bodoh itu pikirkan? Apa dia pikir, hanya dia saja yang punya urusan?!" Geram Hanita sambil terus meneruskan langkahnya.

Hanita tiba tepat di depan kamar milik Satya yang hanya berjarak beberapa meter dari kamar miliknya. Bisa dia lihat keberadaan para pelayan yang menunggu di depan kamar itu.

"Pergilah,kalian semua. Jika Suster tidak tahu diri itu datang, maka suruh saja dia masuk ke kamarnya. Tunggu sampai aku selesai mengurus suamiku." Tegas Hanita

Para pelayan itu mengangguk dengan patuh, mereka pun memberi hormat dan segera membubarkan diri.

Sedang Hanita, dia masuk ke dalam kamar Satya. Mendorong pintu, Hanita masuk tapi dia tidak langsung mendekat

Wanita itu lebih dulu berdiri tidak jauh dari pintu, dengan kedua tangan yang dia lipat ke depan dada. Kedua mata tajamnya tengah asik memindai Satya yang tengah berbaring diatas ranjang khususnya. Terlihat sangat lemah dan tidak berdaya, kedua tangan yang menekuk di depan dada dengan jari yang saling menggenggam.

Satya terlihat sangat tidak nyaman, lelaki yang seumuran Hanita itu terus berteriak. Dari suaranya pun jelas terdengar betapa frustasinya Satya sekarang.

Hanita berdecak sinis, wanita itu memutuskan untuk mendekati sang suami. Dan kini ia berada tepat disamping Satya, duduk dan mengamati atau lebih tepatnya menikmati penderitaan Satya.

''Sat..." sapa Hanita

Mendengar sapaan yang sangat dia kenali tentu saja membuat Satya merasa sedikit tenang. Lelaki itu langsung menghentikan erangannya, kedua matanya yang selalu berotasi tampak berusaha menemukan keberadaan Hanita.

Tampang sinis Hanita perlahan mulai luntur dan berubah, menampilkan seutas senyum yang terlihat mengejek.

"Cih, penjahat teri satu ini."

Hanita mengulurkan tangan kanannya, mengusap surai hitam sang suami yang mulai lebat dan perlu dipotong.

"Hhheeugghhh...''

''Aku tidak tahu apa yang kamu bilang barusan, tapi sepertinya kamu senang karena aku ada bersamamu. Ck, tidak tahu diri sekali"

"Kamu tahu,Sat? Istrimu ini baru saja pulang ke rumah pukul 11 malam tadi, dan aku baru berhasil tidur satu jam kemudian. Saat kamu asik berbaring nyaman diatas ranjang mahalmu ini, aku justru harus menghadiri seminar yang sangat melelahkan."

Hanita memberikan sapuan lembut ke atas pipi tirus Satya yang senantiasa dibasahi oleh air liur.

"Dan sekarang? Kamu dengan sangat santai dan berani sekali sudah mengusikku, membangunkanku dari tidur lelapku." Hanita mengulum senyuman tipisnya. ''Kamu sangat merindukanku?"

Tatapan mata Hanita jelas mengisyaratkan rasa jijik yang luar biasa, tapi bukan karena kondisi sang suami.

"Eeghuuhh..." Satya kembali melenguh

Hanita menghela nafas lelah, dia tahu apa yang sangat dibutuhkan Satya sekarang ini.

"Suction? Aku akan melakukannya"

Tanpa banyak berbasa-basi lagi, karena suara lendir yang berada di tenggorokan Satya sudah terdengar makin ganas dan sangat menjijikkan. Hanita mematikan mesin ventilator yang berada dibelakang brankar.

Ia menghubungkan selang kateter dengan mesin penghisap yang ada di sebelah brankar, kemudian ia mulai mencelupkan selang tersebut ke dalam lubang nafas Satya yang berada di lehernya.

Dengan sangat pelan dan hati-hati, Hanita lalu mulai menekan tombol dan lendir kental perlahan naik melalui tabung dan tertampung ke dalam wadah penampung yang juga berada sejejer dengan mesin penghisap.

Dada Satya terangkat naik, lehernya seperti tercekik. Lelaki itu memukul dadanya dengan kencang bahkan dia mulai menangis

Hanita yang perhatian langsung mengusap bahu Satya untuk menenangkan suaminya ini.

"It's okay, i'm here. Your Nita is here with you..." bisik Hanita

Dengan satu kali klik, Hanita mematikan mesin penghisap lalu melepaskan selang kateter. Ia kembali menyalakan mesin ventilator agar Satya bisa bernafas

Proses penyedotan menyebabkan air liur Satya mengalir dengan sangat deras. Untung saja, Hanita tidak jijik sama sekali. Dia meraih tissu lalu membersihkan air liur yang mengotori dagu Satya.

"Lihatlah dirimu,Satya Dewantara. Kamu sangat membenciku saat kamu sehat dan kuat. Tapi setelah keadaanmu jadi seperti ini?" Hanita melemparkan tissu kotor masuk ke dalam tempat sampah

Wanita itu berdiri, ia menatap tajam ke arah Satya. Sedang yang ditatap hanya bisa memukul dadanya dengan pelan, kedua matanya berotasi secara acak.

"Eeuugghh..." Satya menyahut

Hanita tersenyum miring, ia dengan cepat memalingkan pandangannya ke arah lain. Hati kecilnya merasa tidak tega jika harus mengomeli Satya sembari menatap wajah mengenaskan serta tubuh ringkih itu.

"Lihatlah! Siapa yang ada bersamamu sekarang? Apa itu Shanum? Apa itu keluargamu? Cih, itu adalah aku! Istri yang paling dan sangat kamu benci, justru aku yang ada bersamamu dan merawatmu!"

"Aku yang selalu kamu cari! Bukan orang lain!" Geram Hanita

Hanita tertawa dengan kencang sesaat kemudian, namun entah mengapa tapi suara tawanya itu justru terdengar menyakitkan.

Wanita itu buru-buru mengusap kasar air mata yang mengalir turun dari kedua mata tajamnya. Kembali ia menatap lekat sang suami, Satya yang hanya bisa terbaring tanpa bisa membalas perkataan Hanita barusan.

Hanita mengutuk dirinya sendiri, wanita itu merasa bodoh karena meluapkan isi hatinya pada Satya yang jelas dia tahu kalau lelaki itu tidak akan bisa menyahutinya. Hanita hanya terus berteriak dan mengomel seperti orang gila di hadapan Satya.

"Tetaplah hidup seperti ini, Satya Dewantara. Jangan menyalahkan siapapun, salahkanlah dirimu sendiri. Kamu suami jahat yang sudah menyakiti istrimu sendiri." Ujar Hanita dengan suara yang terdengar sangat dingin.

Hanita dengan cepat memutar tubuhnya, berbalik keluar meninggalkan kamar Satya tanpa mengatakan apapun.

Tanpa dia sadari, kalau setelah kepergiannya. Satya meneteskan air mata, lelaki itu berusaha menggeliatkan kepalanya yang sama sekali tidak bisa tegak. Kedua matanya terkunci, menatap hampa pintu besar yang baru saja dibanting oleh Hanita.

Nita, maafkan aku. Lirihnya

Hanita melangkah, ia melewati para pelayan bahkan Suster Risma yang baru saja kembali dan memberikan sapaan hormat pun dilewati begitu saja oleh Hanita

Kedua tangan Hanita mengepal erat, bahkan suara nafasnya pun terdengar memburu.

"Satya Dewantara, kamu akan kubuat tidak berdaya untuk selamanya. Ketidakberdayaanmu itulah, yang akan membuatmu selalu bersamaku. Kamu tidak akan pernah berusaha meninggalkanku apalagi mengkhianatiku." Gumam Hanita sepelan mungkin

Seringai kecil yang terlihat sangat dingin, tersungging diatas bibir seksi Hanita.

Menikmati Kesakitan

Hanita sejak tadi mondar-mandir didepan kamar Satya, wanita itu menggigit kuku jarinya sendiri. Selalu seperti itu tiap kali Hanita merasa panik dan mengkhawatirkan sesuatu.

Di belakangnya, Suster Risma sudah merasa jengah melihat Hanita yang terlihat seperti setrika rusak. Helaan nafasnya terdengar berat

"Tuan Satya akan baik-baik saja,Nyonya. Ini juga bukan yang pertama" tegur Suster Risma

Hanita meliriknya dengan tajam, kesal karena dia dan Suster Risma memang tidak pernah sejalan.

"Diamlah,Suster. Yang sakit itu suamiku, bukan suamimu."

Baiklah, Suster Risma memilih diam dan tidak lagi mengeluarkan suara apapun. Meski matanya sudah sakit melihat tingkah Hanita ini.

"Apa yang terjadi didalam sana? Kenapa lama sekali?" Gumam Hanita

Tidak berselang lama, Dokter Sean keluar dari dalam kamar dan segera mendekati Hanita.

"Bagaimana suamiku,Sean? Dia baik-baik saja kan?" Tanya Hanita to the point

Dokter Sean mengangguk, ia melirik Suster Risma sekilas. Memberi kode melalui gerakan mata pada Hanita agar wanita itu mengusir Suster Risma dari hadapan mereka

Paham dengan kode yang dia terima, Hanita pun menoleh ke arah Suster Risma, "Tolong siapkan makanan untuk suamiku,Suster. Pergilah."

Suster Risma mengangguk patuh, tidak memberi perlawanan dan segera menjalankan perintah dari Hanita.

Dokter Sean lebih dulu memastikan kalau Suster Risma sudah pergi, baru seetelah itu ia memberikan perhatian penuh pada Hanita. Menatapnya dengan penuh tuntutan

"Apa?!" Sentak Hanita yang kesal karena ditatap demikian oleh Dokter Sean

Dokter Sean sedikit tercengang namun buru-buru ia menetralkan dirinya sendiri. "Han, jujur padaku. Apa yang kamu perbuat terhadap Satya?"

"Kamu kembali memberinya obat itu?" Tuntut Dokter Sean

Hanita langsung melotot kesal, "Eh, main tuduh sembarangan. Aku tidak melakukan itu!"

"Lalu? Kenapa Satya bisa tiba-tiba drop begini? Kejang sampai kesulitan bernafas, pasti ada pemicunya, kan?" Ujar Dokter Sean

Hanita berdehem, melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku hanya memarahinya semalam. Aku berteriak dan membentaknya, hanya itu."

Dokter Sean langsung menghela nafas berat, ''Kenapa lagi? Tidak puaskah kamu? Melihat Satya sudah seperti ini, kenapa masih terus melampiaskan kemarahanmu dengan membentak dan memakinya?"

''Meski keadaannya begini, tapi Satya pun punya perasaan,Han. Dia tetap manusia biasa, hanya kondisinya saja yang berubah." Terang Dokter Sean

Hanita berdecih sinis, sorot matanya menunjukkan dalamnya rasa sakit dan luka yang dia rasakan akibat ulah Satya di masa lalu.

"Kamu tidak akan mengerti perasaanku seperti apa, Sean. Saat orang yang sangat kamu cintai, secara terang-terangan mengatakan kalau dia membencimu bahkan ingin menceraikanmu juga mengkhianatimu begitu saja..." tutur Hanita

''Han, maaf. Aku tidak bermaksud" sahut Dokter Sean

Hanita mengangguk seraya tersenyum kecut, "Bukan salahmu. Tanpa kamu singgung pun, aku memang tidak akan pernah melupakannya begitu saja."

Dokter Sean mengangguk paham, lelaki yang merupakan sahabat sejati Hanita itu pamit undur diri. Dia sudah memberikan obat untuk Satya dan memastikan kalau keadaan lelaki itu sudah baik-baik saja.

Dokter Sean juga berpesan dan mewanti agar Hanita tidak membuat Satya sampai drop lagi. Bukan dia melupakan rasa sakit Hanita, hanya saja sisi kemanusiaannya sedikit tersentil. Tidak tega pada Satya yang terus menerus disiksa oleh Hanita.

Selepas kepergian Dokter Sean, Hanita bergegas masuk ke dalam kamar Satya. Meski dia sangat mengkhawatirkan sang suami tapi tetap saja perasaan itu Hanita sembunyikan

Dia tidak ingin Satya besar kepala jika sadar kalau ternyata dirinya dikhawatirkan oleh Hanita.

"Sat, are you okey?" Hanita melangkah dan duduk diatas kursi yang berada tepat ditepi brankar Satya.

Satya belum terlelap, lelaki itu menyadari keberadaan Hanita. Hanya saja tubuhnya terasa sangat lemas sampai enggan untuk menggeliatkan kepala menatap Hanita.

"Eeughhh..." lenguhnya seolah membalasa sapaan dari sang istri

Hanita duduk dan menatap lekat sang suami, masih sulit untuk menerima kenyataan kalau lelaki yang sangat dia cintai kini harus hidup dalam keadaan yang seperti ini

Tapi Hanita juga senang, karena kondisi ini lah yang menahan Satya untuk tetap berada disisinya.

Tiba-tiba saja, Satya memukul dadanya dengan kencang menggunakan kedua tangannya yang tidak berfungsi. Lelaki itu terlihat sangat frustasi

"Aaaghh...eeughhh...." teriaknya

Alih-alih menolong, Hanita justru diam dan seolah tengah menikmati kesakitan Satya.

Satya sangat kesakitan, lelaki itu terbatuk dan kembali berteriak dengan kencang. Bahkan dia mulai menangis, wajahnya juga kini memerah

"Aaagghhhh...."

''Apakah itu sakit, Sat? Sesakit apa? Sebandingkah dengan rasa sakitku dulu?" Suara Hanita terdengar sangat dingin

"Eeuugghhh..." Satya menyahut

Hanita tersenyum remeh, wanita itu berdiri dan menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan Satya.

"Kamu itu butuh aku, lalu kenapa dulu sangat membenciku, hem?"

Tangan kanan Hanita ia kalungkan ke leher Satya, memeluk sang suami dengan lembut. Sedang tangan kirinya ia gunakan untuk mengusap dada lelaki malang itu.

"Calm down, relax" bisiknya

"Eeeugghh..." Satya melirih

Untuk sesaat, Hanita membiarkan posisi mereka tetap seperti ini. Menahan Satya dalam dekapannya, membiarkan air mata dan air liur milik lelaki malang itu membasahi dress yang Hanita gunakan.

''Itu sebabnya, jadilah suami yang baik selagi kamu sehat. Kamu tidak akan seperti ini jika tidak macam-macam denganku" bisik Hanita

Satya kembali menggerutu, dan dari suaranya pun Hanita tahu kalau lelaki itu tengah kesal atas penuturannya barusan.

Hanita meletakkan kembali tubuh Satya ke atas brankar khususnya dengan kasar. Hanita bahkan tidak segan menarik rambut sang suami, menunjukkan banyaknya bekas jahitan diatas kulit kepala Satya

Hanita tengah sangat kesal, dia sungguh benci tiap kali Satya mencela apalagi menunjukkan respon tidak suka terhadap dirinya.

''Sepertinya kamu ini memang ingin jadi suami durhaka terus ya?" Hanita menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk seringai kecil

"Jika itu memang yang kamu inginkan, maka baiklah. Kita lihat saja, apa yang akan kulakukan pada tubuhmu ini, Satya" gumam Hanita

Wanita itu melepaskan pegangannya, lalu memaksa Satya untuk tidur sekarang juga.

"Eeugghh..." Satya kembali menangis

Lelaki itu sungguh peka, dia bisa merasakan saat Hanita memarahinya. Apalagi memperlakukannya dengan kasar.

Hingga akhirnya, rasa lelah berhasil mengambil alih kesadaran Satya secara penuh. Lelaki itu memejamkan kedua matanya, mulutnya tetap terbuka hingga menyebabkan air liur terus menerus keluar dan mengotori sekujur wajahnya.

"Lihatlah, kamu bahkan lebih merepotkan daripada Kenan" gerutu Hanita

Meski ia menggerutu tapi tetap saja, Hanita memasangkan handuk pada kedua sisi bahu kurus milik sang suami. Tidak lupa juga dibawah dagunya agar tidak mengotori kaus panjang yang lelaki itu gunakan.

Hanita tetap duduk diatas kursi, menatap dan mengamati sang suami dengan seksama. Satya yang terlelap seperti ini adalah sebuah pemandangan indah untuk Hanita, dia menyukai itu.

Perlahan tanpa di titah, Hanita kembali teringat akan memori dan kenangan indah yang dia dan Satya pernah lalui dahulu. Saat hubungan mereka masih baik-baik saja

Kehadiran foto pernikahan berukuran besar yang terpajang tepat diatas brankar Satya, seolah sukses menyedot Hanita kembali ke masa itu. Dia dan Satya terlihat sangat bahagia. Mereka adalah sepasang kekasih yang baru saja mengikat dan mengucapkan janji suci pernikahan.

"Sial, ternyata kami pernah sebahagia itu dulu..." ujar Hanita

Pandangannya kembali beralih pada sang suami, rasa sakit yang dia terima dari Satya. Semua itu terasa membuncah dalam dada Hanita

"Kenapa kita jadi begini, Sat?"

"Apa yang salah? Dimana letak kesalahannya? Kita pernah bahagia bersama, tapi kenapa?"

"Kenapa semua berubah? Berantakan dan hilang arah"

Hanita tidak tahan lagi berada di sini, wanita itu bangkit dan melenggang keluar dari dalam kamar Satya.

Tidak kembali ke kamar miliknya, Hanita memilih duduk bersantai diatas kursi yang berada di balkon utama. Dia bisa melihat pemandangan langit malam dengan jelas dari posisinya sekarang

Hanita sendirian, hanya ditemani segelas wine di tangan kanannya yang sudah dia teguk habis. Tatapannya mengarah jauh ke atas langit.

Gelas wine yang sudah kosong itu, di letakkan ke atas meja. Hanita menghela nafas panjang

"Darimana semuanya berawal? Aku...tidak ingat, bagaimana dan kenapa semua jadi seperti ini?"

Kenapa Jadi Begini

Kedua manik Hanita terpejam erat, wanita itu coba mengingat lagi kapan tepatnya semua ini bermula. Kehancuran rumah tangganya dan Satya

Ingatan dan pikiran Hanita terbang, melayang jauh ke masa beberapa tahun lalu. Sebelum Satya menjadi seperti sekarang ini.

4 Tahun Yang Lalu

.

"Hoho, makanlah yang banyak,sayang. Cucu Opa ini kenapa tubuhnya sangat kurus?" Ucapan tersebut berasal dari Tuan Besar Handoko Mahendra

Yang tak lain adalah Papi kandung dari Hanita, sekaligus Papi mertua dari Satya. Pemilik dan Ketua dari Mahendra Law Firm, salah satu firma hukum terbesar dan terbaik di Indonesia.

Handoko berucap dengan nada yang tenang, tapi siapapun tahu kalau itu adalah sebuah sindiran yang ditujukan untuk sang menantu. Saat ini, mereka semua tengah melakukan makan malam dikediaman Mahendra, terdiri dari Handoko dan Nyonya Adelia, Mami kandung Hanita. Serta Handika, yang merupakan Kakak kandung Hanita. Handika adalah seorang pengacara handal, yang sudah memiliki nama besar.

Satya yang merasa tersindir pun langsung meletakkan pisau dan garpu yang sejak tadi dia gunakan untuk memotong daging steak mahal di depannya. Jujur saja, suasana hati Satya memang sudah buruk sejak awal kedatangannya ke mansion ini. Dan sekarang pun, terasa kian memburuk rasanya. Satya juga sadar benar kenapa Handoko menyindirnya demikian. Tentu saja karena dirinya yang belakangan ini sangat sibuk mengurus perusahaan  dan jarang memperhatikan kedua anak kembarnya

Lelaki itu melirik sekelilingnya, Adelia dan Handika, kedua orang itu hanya menggeleng pelan.

Kini, perhatian Satya sepenuhnya tertuju pada sang istri, Hanita. Senyuman kecut terbingkai pada sudut bibir Satya kala ia melihat jelas sang istri yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Seolah tidak merasa terganggu sedikitpun pada perkataan Handoko barusan.

Hanita justru kembali memasukkan potongan kecil daging steak ke dalam mulutnya, lalu mengunyah makanan tersebut dengan sangat tenang.

Helaan nafas Satya terdengar berat, diliriknya sang putra sulung yang terlihat kurang nyaman dalam gendongan Handoko. Itu adalah Kenzie, anak pertama Satya dan Hanita. Yang lahir hanya 10 menit lebih awal dari adik lelakinya, yaitu Kenan. Mereka adalah anak kembar, dan sekarang usianya sudah 15 bulan.

Satya lalu menoleh pada Suster Elia yang merupakan pengasuh dari kedua putranya. ''Suster Elia, tolong bawa Kenzie ke mobil."

Suster Elia tidak langsung menjalankan perintah itu, dia lebih dulu mengamati Hanita dan Handoko.

''Kenapa buru-buru, Satya? Tidakkah kamu lihat? Kenzie masih senang bersama Papi" sergah Handoko

"Itu benar, biarkan Kenzie lebih lama disini." Adelia menimpali

Satya berdiri dan menatap kedua mertuanya dengan raut wajah datar, ''Saya rasa sudah waktunya untuk pulang ke mansion kami. Ini sudah malam, pun Kenan juga sendirian dikamar." Satya kemudian mengalihkan perhatiannya pada Hanita

''Kita pulang sekarang, Hanita. Kalau kamu masih lapar, minta saja kepala koki memasak di mansion nanti" tukas Satya

Hanita acuh tak acuh, wanita itu tetap meneruskan gerakan tangannya memotong daging steak. "Duduk dan nikmatilah makananmu, Sat. Tidak lama, daripada nanti mengganggu kepala koki. Lebih baik makan saja dulu, biarkan Kenzie bersama Papi."

''Pulang sekarang kataku, Hanita. Aku mengkhawatirkan Kenan yang kita tinggal sendirian di kamar" tegas Satya

"Kenan tidak sendirian, ada banyak pelayan yang menjaganya" sahut Hanita

Kedua tangan Satya mengepal erat, dia benci tiap kali Hanita membantahnya di depan Keluarga Mahendra. Suasana yang semula canggung kini terasa makin buruk. Suster Elia bahkan tidak berani mengangkat kepalanya, hanya Handoko yang terlihat sangat tenang

"Han-" perkataan Satya terhenti

"Satya, tolong jangan memaksakan kehendakmu. Duduk dan habiskan saja makananmu, baru setelah itu ajak Hanita dan Kenzie pulang" ujar Handika yang akhirnya buka suara

Satya memejamkan kedua matanya dengan erat, lelaki itu melenggang pergi dari ruang makan. Dan tidak ada satupun yang menghentikannya

Hanita hanya melirik melalui ekor matanya saat punggung Satya kian menghilang di telan jarak pandang.

"Dia bisa pulang sendiri kalau mau. Kenapa harus memaksa Hanita dan Kenzie? Mami tidak habis pikir sama dia" celetuk Adelia

''Dia hanya tidak menyukai kita semua" sahut Handoko

Hanita meletakkan garpu dan pisau dengan kasar ke atas piringnya, raut wajahnya terlihat datar dan dingin. "Berapa kali kukatakan pada Papi dan Mami? Jangan pernah membuat suamiku merasa canggung apalagi tidak nyaman di mansion ini." Hanita memutar kepala ke arah Handoko, menatapnya dengan tajam

''Papi sengaja ingin menyindir Satya melalui Kenzie kan? Papi tidak malu? Papi ini sudah tua tapi menyindir menantu sendiri seperti seorang wanita tua yang sedang berjulid."

Hanita berdiri dari kursi yang sejak tadi dia duduki, dia memerintahkan Suster Elia untuk mengambil Kenzie dari Handoko.

Lalu segera menyusul Satya tanpa mengatakan sepatah katapun, hanya Suster Elia yang memberikan hormat pada Handoko dan Adelia.

Adelia mencebik kesal, tidak menyangka kalau sikap Hanita akan jauh berbeda saat Satya tidak ada bersamanya.

"Dasar aneh! Dia diam saja saat Satya disini, dan begitu lelaki itu pergi! Dia justru membelanya lalu menggurui kita semua" gerutu Adelia

Handika terkekeh mendengarnya, "Seperti itulah Hanita dan Satya,Mi. Cinta tapi gengsi, aneh sekali memang."

Handoko tetap diam, kedua mata elangnya menyorot tajam. Entah apa yang ada di dalam pikiran pria paru baya itu.

"Ah satu lagi, Mami." Handika mendadak teringat pada suatu hal

"Apa itu, Han?" Adelia penasaran

Handika justru terkekeh saat ia mengingat ini. Lelaki itu buru-buru menutup bibirnya, mencegah agar tidak tertawa atau hanya akan membuat Handoko kesal.

"Mami ingat? Seperti apa waktu Satya melamar Hanita?" Tanya Handika

Adelia mengangguk, tentu saja dia masih sangat mengingatnya dengan jelas. "Mami tidak bisa lupa saat Satya sengaja memajang foto Hanita pada seluruh papan reklame, dia memberi tulisan will you marry me." Sahut Adelia

"Bukan hanya itu, Satya bahkan mendatangkan langsung penyanyi favorit Hanita. Lalu melamarnya di iringi dengan lantunan lagu dari penyanyi itu" Handika menimpali

Adelia kembali menganggukkan kepalanya, momen dimana Satya melamar Hanita memang sebuah hal yang tidak akan pernah dilupakan oleh semua orang. Hari itu, Satya seolah mengumumkan pada seluruh dunia bahwa dia baru saja melamar wanita yang sangat dia cintai.

Mengingat semua itu hanya membuat Adelia bersedih. Karena kenyataannya, kehidupan Satya dan Hanita berubah 180° setelah mereka menikah. Tidak ada lagi cinta dan kasih sayang yang mereka tunjukkan satu sama lain

Menyadari kalau perasaan sang istri mulai berubah, Handoko pun memutuskan untuk mengakhiri sesi wisata masa lalu ini

"Sudahlah, Handika. Semua itu hanya masa lalu saja, tidak perlu mengingatnya lagi" tegas Handoko

Pria paru baya itu berdiri dan segera meninggalkan meja makan setelah mengatakan itu

Sementara itu di depan sana, Satya dan Hanita tengah bersiap untuk pulang ke mansion mereka.

Satya masuk duluan ke dalam mobil, raut wajah lelaki itu sudah terlihat sangat buruk. Jelas kalau ia tengah marah besar

Hanita mengamatinya dari luar, rasanya sangat malas pulang semobil bersama dengan Satya.

Suster Elia juga masih diluar, berdiri disamping Hanita. "Nyonya, kita masuk sekarang?"

"Masuklah, bawa Kenzie ke dalam" sahut Hanita

Suster Elia pun bergegas naik duluan, ia mengambil kursi di belakang bersama dengan Kenzie yang tengah dia gendong. Anak majikannya itu belum juga terlelap

Satya juga mengamati Hanita dari dalam, heran karena sang istri yang tak kunjung naik.

"Dasar wanita jahat, dia pasti tidak merasa bersalah meski sudah membiarkan suaminya dipermalukan. Aku muak padamu, Hanita" gumam Satya pelan

Hanita sebetulnya tahu kalau saat ini Satya pasti tengah mengumpatnya. Tapi wanita itu masa bodoh, dia menyusul naik ke atas mobil

Mengambil tempat di depan, disamping Satya. Hanita menutup pintu mobil dengan pelan agar tidak membuat Kenzie kaget

"Jalan" tukas Hanita

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!