Lantai surga tidak pernah terasa sedingin ini. Ubin berkilauan dimana kedua kakiku bertumpu tak ubahnya bongkahan es batu. Dengan enggan kugerakkan jemari kakiku agar tidak kaku. Kuhentakkan napas kasar dengan tidak sabar. Seharusnya di tempat suci ini tidak mengenal yang namanya waktu. Tapi mengapa rasanya sudah begitu lama aku berdiri di sini sendiri dan menunggu.
Kubebaskan kedua mataku liar menjelajah. Dari posisiku berdiri, di sebelah kanan dan kiri, berjarak sekitar dua atau tiga meter, megah berdiri pilar-pilar besar, lebih tepat kalau kusebut berukuran raksasa, berdiameter lebih dari dua kali pelukanku, berwarna putih keemasan penuh ukiran menjulang tinggi sekali hingga tak dapat kulihat ujungnya. Terselimuti hamparan awan kemuliaan. Pilar-pilar raksasa ini berjejer rapi hingga ke depan sana, dimana terdapat undak-undakan yang mengarah ke tahta dari Yang Maha Tinggi. Sejauh yang bisa kuingat, tidak ada yang berubah dari tempat ini sepeninggalku.
Tempat ini dinamakan Balai Pertemuan. Aku dan saudara-saudaraku biasa berkumpul di tempat ini ke ketika Yang Maha Tinggi membagikan tugas. Pernah satu kali aku ditugaskan untuk menghancurkan sebuah asteroid yang menyimpang dari orbit dan berpotensi menghantam planet bumi dengan kekuatan yang dahsyat. Singkat kata, kuselesaikan tugasku dengan sempurna. Bukan bermaksud menyombongkan diri, selama aku melayani Yang Maha Tinggi, semua tugasku kulaksanakan dengan baik. Namun sayangnya, karena kami bukan makhluk yang sempurna, ada juga di antara kami yang gagal saat bertugas. Dan tentu saja kami mendapatkan hukuman. Di tempat ini juga kami menjalani sidang untuk menentukan hukuman apa yang sepantasnya kami terima. Kurang lebih seperti yang kujalani saat ini.
Semerbak wangi bunga surgawi yang menguar dari taman di luar Balai Pertemuan membuatku tersentak. Sontak terkenang akan masa yang silam. Salah satu kegiatan kesukaanku adalah berjalan dengan kaki telanjang menginjak jalan setapak dari batu permata menuju taman bunga penuh warna. Di taman itu sering kuhabiskan waktu senggangku. Nyaman sekali duduk santai di atas empuknya rerumputan di tepian sungai kehidupan sementara Lucifer bermain harpa. Tidak ada satupun di antara kami yang bermain harpa seindah dia. Suaranya saat bernyanyi juga begitu indah. Tidak heran Yang Maha Tinggi mengangkatnya menjadi pemimpin pujian dan penyembahan. Aku dan Lucifer berteman baik. Dalam berbagai kesempatan, kami sering berbincang bertukar pikiran. Aku begitu mengagumi cara berpikirnya yang revolusioner. Ya, aku mengaguminya. Mungkin itu sebabnya aku memutuskan untuk mengikutinya ketika dia memilih pergi meninggalkan Surga. Sayang sekali pada akhirnya kami...
Suara derap langkah kaki membuyarkan lamunanku. Dari arah kanan, sekitar satu legiun laskar malaikat dengan anggun berjalan memasuki ruangan lalu berbaris rapi membentuk satu kelompok. Beberapa wajah yang kukenal melempar senyum kepadaku. Mau tidak mau aku membalasnya. Juga kulihat Mikael, sang pemimpin, terlihat gagah perkasa dengan pedang kebanggaan tergantung di pinggang. Tapi dia tidak mengacuhkanku, sama sekali tidak mau menoleh melihatku. Mungkin dia masih marah atas perkelahian kami beberapa waktu lalu. Belum sepenuhnya hilang rasa terkejutku, terdengar lagi derap langkah kaki. Kali ini dari arah kiri. Dengan jumlah kurang lebih sama, serombongan H'arka berbadan gempal dan bertanduk melenggang masuk. Beberapa di antara mereka juga kukenal dengan baik. Aku mengernyit. Tidak kusangka banyak sekali yang menghadiri persidanganku. Legion, pemimpin mereka, tertawa lebar saat berjalan mendatangiku. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa. Selain badannya yang terlihat lebih berotot, dia tidak banyak berubah. Kusambut hangat jabatan tangannya.
Suara sangkakala yang tiba-tiba membahana mengejutkan kami berdua. Belum sempat berbasa-basi, Legion bergegas kembali ke dalam barisan. Kulihat para malaikat dan H'arka menundukkan kepala. Aku sendiri tetap berdiri bergeming, kepalaku tegak, pandanganku lurus ke depan. Sementara suara sangkakala masih bergema, seberkas cahaya putih yang sangat terang, datangnya dari atas, menyinari tahta Yang Maha Tinggi, bertambah terang dan semakin terang, begitu menyilaukan mata hingga aku terpaksa memalingkan muka. Seisi ruangan menjadi terang benderang oleh sinar kemuliaan. Dan dalam kecepatan yang tidak dapat kudefinisikan, cahaya menyilaukan itu bergerak menerpaku. Seketika kurasakan sekujur tubuh diselimuti kehangatan. Tanpa bisa kukendalikan, tubuhku terasa lemas dan ambruk ke lantai. Cahaya telah pergi. Suara sangkakala berhenti.
"Leonel."
Terdengar suara dari arah tahta menyebut namaku. Itu suara dari Yang Maha Tinggi. Mendengar namaku dipanggil, sekuat tenaga aku berusaha bangkit namun aku tak mampu. Aku kehilangan kekuatanku. Aku mendengus kesal dan dengan lemah meninju lantai. Kutengadahkan wajah untuk memandang tahta tapi dengan cepat kupalingkan wajahku lagi karena masih terlalu menyilaukan. Sempat kulihat para malaikat dan H'arka berlutut. Akhirnya, kuputuskan untuk duduk bersimpuh di lantai. Terdengar lagi suara dari Yang Maha Tinggi.
"Leonel. Aku mengasihimu."
Itu saja. Sesaat setelah kalimat itu selesai diucapkan, cahaya menyilaukan yang melingkupi tahta perlahan memudar dan menghilang. Kurasakan kekuatanku kembali. Kali ini aku berhasil berdiri. Para malaikat dan H'arka juga berdiri dan dengan rapi perlahan meninggalkan ruangan. Aku kembali sendirian tapi tak lama. Kulihat dari arah tahta muncul sebuah siluet makhluk bersayap terbang menghampiriku. Ketika jarak kami semakin dekat, aku segera mengenalinya sebagai Gabriel, salah satu malaikat yang sering ditugaskan untuk menyampaikan pesan. Dia mendekap sebuah buku tebal di tangan kanan. Wajahnya yang rupawan menyunggingkan senyuman ketika menyapaku lalu mengulurkan buku. Kuterima dengan raut wajah heran.
"Bapa menugaskanku memberikan buku itu kepadamu," ucap Gabriel sebelum aku sempat bertanya. Buku itu berwarna cokelat tua. Sampulnya hanya bertuliskan satu kata. Dahiku berkerut saat membacanya.
Faith.
Iman? Aku mendengus kesal. Apakah Yang Maha Tinggi menolak pertobatanku? Apakah Yang Maha Tinggi menganggap aku kurang beriman sehingga aku harus membaca buku tentang iman setebal ini? Ini tidak masuk akal. Gabriel hanya tersenyum saat aku menyampaikan kekesalanku.
"Leonel, Bapa menerima pertobatanmu." kata Gabriel seraya mendekat hingga kami saling berhadapan. "Bahkan kau sudah boleh bertugas lagi. Buku yang ada di tanganmu," Gabriel menyentuh buku yang kupegang. "Itu adalah tugas pertamamu. Menyelamatkan Faith."
"Menyelamatkan Faith?" Dahiku berkerut lagi. Aku semakin tidak mengerti. Tapi Gabriel hanya tersenyum penuh arti. Dengan tidak sabaran kubuka buku di tanganku dan kubolak-balik halaman demi halaman. Dan sesaat setelah aku menyadari apa yang sebenarnya menjadi tugasku, aku memandang Gabriel dengan tatapan tak percaya. Dan sekali lagi reaksi yang Gabriel berikan hanya sebuah senyuman.
"Aku senang sekali kau kembali, Leonel." Kedua mata Gabriel yang berbinar seakan meyakinkan kesungguhan ucapannya. Ia menepuk ringan pundak kiriku. "Selamat bertugas, saudaraku. Sudah tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan. Aku pergi dulu." Gabriel membalikkan badan dan mulai berjalan. Tapi baru beberapa langkah ia berhenti, memalingkan wajahnya sedikit dan berkata dari balik bahunya, "Aku hampir lupa. Yang Maha Tinggi ingin kau memanggilnya Bapa. Seperti dulu."
Kali ini aku yang tersenyum. Kucoba menyangkal rasa haru yang muncul dalam lubuk hatiku. Kupandangi saja Gabriel yang terus melangkah menjauh. Dengan perlahan kedua sayapnya mengembang lalu terbang menghilang dari pandangan.
Kualihkan pandanganku ke buku di tanganku. Kupandangi lama-lama. Kubaca sekali lagi satu-satunya kata yang tertulis di sampulnya.
Faith.
Kau dan aku akan segera bertemu.
"Ayahmu tidak mencintaimu. Tidak pernah."
"Menurutmu begitu?"
"Tentu saja. Kalau dia memang mencintaimu dia tidak akan memilih wanita itu."
"Sepertinya kau benar."
"Tentu saja aku benar. Ayahmu tidak pernah memikirkan kebahagiaanmu. Setiap saat yang dipikirkannya hanyalah wanita itu saja."
"....."
"Hidupmu sejak kecil hanya berisi air mata dan penderitaan. tidak ada satu orangpun yang mencintaimu. Bahkan ayahmu juga tidak. Apa gunanya hidup seperti ini?"
"Aku..."
"Lihat kan, kau menangis lagi. Hidupmu memang menyedihkan. Sudahlah, hapus air matamu itu. Tidak ada gunanya lagi hidup di dunia yang menyakitkan ini. Tinggalkan saja mereka semua agar jiwamu tenang dan bahagia. Kau berhak bahagia di kehidupan selanjutnya."
"Aku benci hidupku."
"Benar. Lebih baik mati."
"Apakah kalau aku mati aku akan bertemu ibuku?"
"Ya. Ya, tentu saja. Sekarang naiklah ke atas pagar itu dan melompatlah."
Dari balik pagar besi yang membatasi, yang tingginya tidak sampai seleher, gadis itu memandangi air laut yang beriak tenang di bawah sana. Kelap-kelip lampu jembatan yang berpendar di atas permukaan air laksana sekumpulan bintang yang sedang bergoyang. Malam ini begitu gelap dan dingin. Dari tadi entah sudah berapa kali angin berhembus meniup wajahnya, memainkan rambut sebahunya. Sejenak ia memejamkan mata untuk membulatkan tekad. Dalam satu hentakan napas, bertumpu pada telapak tangan, gadis itu mengangkat tubuhnya dan melangkahi pagar. Sekarang ia sudah berada di sisi luar pagar pembatas jembatan.
"Bagus sekali. Sekarang melompatlah."
Dengan pandangan nanar, gadis itu melihat ke bawah dan menelan ludah. Lautan yang tadinya tenang sekarang bergejolak berteriak menuntutnya untuk melompat. Ia mencengkeram kuat besi pagar pembatas. Napasnya memburu. Tubuhnya bergetar. Gadis itu kedinginan dan ketakutan.
"Apalagi yang kau tunggu? Kau benci hidupmu. Melompatlah!"
Aku benci hidupku. Lebih baik aku mati. Aku benci hidupku. Lebih baik aku mati. Dengan bibir bergetar, kalimat itu ia ucapkan berkali-kali. Ia lebih siap sekarang. Ia siap mengakhiri semua rasa sakit ini.
"Kau memang gadis pintar. Melompatlah. Kutunggu kau di bawah."
Gadis itu memejamkan kedua matanya. Semua adegan kehidupan yang menyakitkan berputar bagaikan roll film. Dadanya terasa sesak. Perlahan ia melepaskan pegangan. Diusapnya pipinya yang basah. Seulas senyum muncul sebagai gantinya. Semua kepedihan ini akan berakhir malam ini. Selamat tinggal semuanya. Masih dengan kedua mata terpejam, ia melepaskan kendali atas tubuhnya. Perlahan tubuhnya mulai condong terkulai ke depan.
Tepat pada saat itulah ia merasa rambutnya dijambak dengan keras.
Spontan gadis itu memekik kesakitan dan menoleh. Kedua matanya yang masih basah bertatapan dengan sepasang mata tajam seorang pria.
"Namamu Faith?"
Gadis itu mengangguk.
"Sempurna." Pria itu melepaskan jambakannya. "Hampir saja aku terlambat. Sekarang kembalilah ke sini sebelum kau terjatuh."
"Siapa kau?" tanya gadis itu.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku." sahut pria itu ketus sambil mengulurkan tangan. "Sekarang cepat kembalilah ke sini."
Jawaban itu membuat si gadis meradang. Ia menepis tangan si pria dengan kasar. "Tidak usah ikut campur urusan orang lain, tuan. Urus saja urusanmu sendiri."
"Aku memang sedang mengurusi urusanku sendiri, nona." Pria itu berusaha meraih tubuh si gadis dan mengangkatnya sementara si gadis berusaha menolak dan memberontak. Hal itu berlangsung selama beberapa saat. Hingga si pria mendengar suara dari arah bawah.
"Yuhuu, gadis pintar. Mengapa kau belum melompat juga?"
Pria itu sontak berhenti memaksa dan melongok ke bawah lalu menatap si gadis. "Kau mendengarnya? Siapa itu?"
"Siapa yang kau maksud?" Si gadis memberikan tatapan heran. "Kau benar-benar pria yang aneh."
"Jadi kau benar-benar tidak mendengarnya? kau tidak tahu?"
Kali ini si gadis benar-benar merasa kesal. "Kalau kau ingin tahu, terjunlah dan carilah tahu sendiri, tuan. Aku sudah cukup gila dengan hid..."
Tanpa menunggu si gadis menyelesaikan kalimatnya, si pria melompati pagar pembatas dan terjun ke bawah.
Si gadis berteriak histeris.
Di bawah jembatan, melayang di atas permukaan air laut, dua sosok saling berhadapan.
"Wah, wah, tidak kusangka ada seorang malaikat suci sedang berusaha keras menyelamatkan jiwa seorang manusia hina."
Si Pria tidak bereaksi. "Tidak usah banyak basa-basi. Dasar iblis laknat, andai saja aku diijinkan mematahkan tanduk kecilmu itu."
Sosok yang disebut iblis itu berdecak, memainkan kuku-kukunya yang panjang dan tajam. "Dasar malaikat pengkhianat. Kalau saja Yang Maha Tinggi tidak melindungimu, aku akan mencabik-cabikmu."
"Oh ya?" Sebilah pedang api yang menyala-nyala muncul di genggaman si pria. "Coba maju selangkah saja, akan kupenggal kepalamu."
Si iblis mendesis "Kau tahu aku tidak sebodoh itu. Aku hanya mengingatkanmu, kau sudah melewati batasmu. Jiwa gadis itu hakku."
"Aku tidak tahu menahu soal hakmu dan aku tidak peduli. Yang aku tahu Bapa menugaskanku untuk menyelamatkan jiwa gadis itu. Titik."
"Jiwa gadis itu sudah menjadi hak milik kami. Hak milik tuanku. Kau tentu tidak mau tuanku marah kan?"
Si pria menyimpan pedangnya. Sambil bersedekap, si pria menjawab, "Sudah kubilang aku tidak peduli. Dan sejauh yang aku tahu, selama manusia itu belum mati, jiwanya masih bebas. Bukan hak milik siapa-siapa. Kau tahu kehendak bebas manusia kan?"
"Tidak ada gunanya lagi banyak bicara denganmu." Sambil tertawa penuh kemenangan, si iblis menunjuk ke atas, ke arah jembatan. "Selama kita berbincang-bincang, ada temanku di atas sana yang membuat gadismu itu menggunakan kehendak bebasnya.
Sedikit terkejut, si pria menengadah. Tepat di saat ia melihat gadis itu melompat.
"Kau terlambat, malaikat pengkhianat." kata si iblis tertawa.
Dalam sekejap mata, sepasang sayap putih berkilauan mengepak dari punggung si pria. Dengan cepat ia melesat ke atas. Sebelum tubuh si gadis menghujam permukaan lautan, ia berhasil menangkapnya, mendekapnya dan membawanya kembali ke jembatan meninggalkan si iblis yang berteriak-teriak penuh umpatan dan sumpah serapah.
Di atas, di jembatan, masih dalam dekapan si pria si gadis yang pingsan perlahan membuka kedua matanya. Si pria tersenyum lega melihatnya.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku, tuan." si gadis berbisik lirih.
Si pria hanya mengangguk saja.
"Aku tidak tahu darimana kau tahu namaku. Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
Si pria terlihat berpikir sejenak lalu menjawab singkat.
"Leon. Namaku Leon."
Sudah satu minggu berlalu dan ia masih memikirkan pria itu. Setiap malam sebelum terlelap. Kadang siang juga. Ketika hari-hari di kantornya sedang tidak hectic. Seperti siang ini. Duduk bersilang kaki di balik meja kerjanya, Faith sedang melamunkan pria itu. Membayangkan setiap kejadian di jembatan. Peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya. Tapi pria itu menyelamatkannya. Tanpa sadar ia mengelus lengan seraya membayangkan bagaimana erat pria itu mendekapnya. Ia merasa aman dalam pelukan pria itu. Rasa aman yang selama ini ia dambakan. Betapa nyaman dan ...
"Kau pasti sudah gila senyum-senyum sendiri seperti itu." Faith terkejut dan mengangkat kepalanya. Beth, teman kantor sekaligus sahabatnya, entah sejak kapan, sudah berada di dalam ruangan. Beth menghempaskan tubuhnya di sofa yang terletak di pojok. "Kurasa pria itu sudah membuatmu tergila-gila."
Faith hanya tersenyum dan berusaha mengganti topik. "Kita jadi makan siang di mana?"
Tidak berhasil. Beth bangkit dari sofa dan berjalan ke arahnya. Ia menyeret kursi yang ada di hadapan Faith lalu duduk. Dengan nada yang dibuat-buat ia berkata, "Omong-omong, siapa nama pria pujaanmu itu, oh tolong jangan marah dan maafkan sahabatmu yang pelupa ini."
"Leon." jawab Faith singkat. Nada suaranya terdengar malas-malasan. "Kita jadi makan siang di mana?"
Beth seakan tidak mendengarkan dan melanjutkan, "Jadi menurutmu, pria itu, maksudku Leon, menurutmu siapa pria itu sebenarnya?" cecar Beth tanpa ampun. "Kau masih berpikir bahwa dia bukan manusia biasa? Hmm, bahkan kau bilang waktu itu kau sempat berpikir bahwa Leon adalah seorang malaikat?"
Faith menatap mata Beth lurus-lurus. Merasa sedikit menyesal telah menceritakan semua yang telah terjadi pada sahabatnya ini. Reaksi pertama Beth waktu itu adalah shock saat mengetahui bahwa ia mencoba mengakhiri hidupnya. Mereka sudah berteman sejak di bangku kuliah. Ia sudah biasa menceritakan semua hal termasuk masalah pribadi kepada Beth. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini ia tidak ingin bercerita lagi. Beth memang pendengar yang baik tapi rasa ingin tahunya terlalu besar. Dan satu lagi, mulutnya tidak bisa diam.
"Jadi menurutmu, Leon seorang malaikat?" ulang Beth. Ekspresinya penuh rasa ingin tahu saat melanjutkan, "Kalau aku tidak salah dengar waktu itu kau juga bilang kalau kau sempat melihat sepasang sayap putih berkilauan di punggung Leon?"
"Aku tidak yakin," kilah Faith menyandarkan punggungnya dan mengamati sahabatnya. "Waktu itu sudah malam, hari sudah gelap. Aku bisa saja salah lihat."
Beth balas menatapnya. Masih dengan raut wajah penasaran, ia terlihat menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan penuh kehati-hatian. "Apakah kau jatuh cinta padanya?"
Faith menjawab pertanyaan itu dengan mengalihkan tatapannya ke permukaan meja.
"Ya ampun," Beth belagak kaget menutupi mulutnya dengan tangan. "Kau jatuh cinta padanya." Ia mengambil kesimpulan sendiri. Sesaat kemudian, Beth mengulurkan tangan dan merangkum tangan Faith dengan hangat. "Berjanjilah padaku kau tidak akan melakukan perbuatan tolol lagi seperti yang kau lakukan malam itu."
Sembari tersenyum dan mengangguk, Faith menepuk-nepuk tangan Beth. Ia mengamati wajah sahabatnya itu dan segera menyadari ada yang berbeda. Dengan kagum ia berseru, "Wow, kau benar-benar melakukannya, Beth. Kau membuat tiga tindikan di telinga kirimu."
"Akhirnya kau menyadarinya," ujar Beth sumringah sambil mengangkat kedua tangannya. "Dan masih ada satu proyek tindikan lagi. Di sini." Ia menunjuk hidungnya dengan bangga. "Dan saat aku melakukannya, aku ingin kau menemaniku, kau bersedia kan, Faith?"
Faith berdecak kagum dan mengangguk. Dalam hatinya ia merasa lega. Setidaknya ia berhasil mengalihkan topik pembicaraan. Membicarakan Leon hanya membuat hatinya semakin perih. Satu minggu ini dijalaninya dengan perasaan yang tidak karuan. Ia selalu memikirkan pria itu. Sejak malam itu pria itu tidak pernah muncul lagi. Siapa pria itu sebenarnya? Apakah malam itu adalah pertemuan pertama dan terakhir mereka? Ia tahu ini semua rasanya terlalu berlebihan. Namun harus ia akui, ia merindukan pria itu. Apakah Beth benar, aku telah jatuh cinta?
"Kau melamun lagi."
Faith tersadar. "Aku lapar." sahutnya sekenanya. Ia tidak mau Beth membahas pria itu lagi.
"Ayo kita pergi makan kalau begitu." Beth melompat dari kursi dengan gerakan energik. Ia meraih kedua tangan Faith. "Silakan pilih makanan yang kau suka. Hari ini aku mentraktirmu."
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil Beth yang berjalan dengan kecepatan sedang. Tujuan mereka adalah sebuah restoran steak atas permintaan Faith. Beth duduk di kursi pengemudi sementara Faith duduk di sampingnya di kursi penumpang.
"Kau sering datang ke restoran ini, Faith?" Tanya Beth ketika mereka berhenti di lampu merah. Beth meraih tisu di dashboard lalu menyeka butiran keringat yang bermunculan di dahinya meskipun AC mobil sudah disetel paling dingin. Cuaca di luar memang sedang terik.
Faith menggeleng pelan. "Pernah sekali." jawabnya singkat. Karena Beth merespon dengan bertanya kapan, Faith melanjutkan, "Dulu ayah dan ibu pernah mengajakku sekali ke restoran ini waktu ulang tahunku. Aku lupa ulang tahunku yang keberapa."
Ulang tahun yang ketiga belas. Ia tidak lupa. Ia hanya tidak mau lebih lanjut membahasnya. Ternyata selain membahas Leon, topik tentang kedua orang tuanya juga membuat perih di hati. Faith menyandarkan kepalanya dan menghela napas. Seakan memahami mood sahabatnya, Beth diam dan tidak bertanya apa-apa lagi. Lampu hijau menyala dan mobil kembali berjalan perlahan.
Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. "Kita sudah sampai." kata Beth sambil menyalakan lampu sein dan menepikan mobil. Seorang bapak tukang parkir mengarahkan untuk memarkir mobil mereka di seberang restoran. "Sepertinya restoran sedang ramai. Kita terpaksa menyeberang." kata Beth mengamati restoran di seberang jalan dari balik kaca jendela. Faith tersenyum dan mengangguk.
Kondisi lalu lintas juga sedang ramai. Banyak kendaraan baik mobil maupun motor yang melaju kencang. Beth menggandeng tangan Faith sementara mereka berdiri di tepi jalan menunggu saat yang tepat untuk menyeberang. Akhirnya kesempatan itu datang.
"Ayo, Faith." Beth membimbing Faith untuk berjalan. Sambil tetap bergandengan, mereka berdua mulai mengayunkan kaki melintasi jalan aspal yang lebar. Saat hampir sampai, tiba-tiba Faith melihat seorang anak kecil, berumur sekitar dua tahun, berlari sendirian ke tengah jalan. Reflek ia menyentakkan tangan hingga terlepas dari gandengan Beth dan berbalik berlari untuk mengejar anak itu tanpa menghiraukan Beth yang berteriak memanggil-manggil namanya.
Di saat yang sama sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Teriakan histeris Beth berpadu dengan bunyi klakson panjang dan rem yang berdecit. Faith sontak menoleh hanya untuk terpaku dan terperangah menatap mobil yang sedang melaju kencang ke arahnya. Dalam sepersekian detik, ia merasa begitu dekat dengan kematian. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Faith pasrah dan menutup kedua matanya.
Waktu tiba-tiba terasa melambat. Faith merasa ada yang mendekap tubuhnya. Seseorang mendekap tubuhnya. Dekapan yang tidak terasa asing. Dekapan yang memberikan rasa aman. Dekapan yang ia rindukan. Perlahan Faith membuka kedua matanya.
Sepasang mata tajam itu balas menatapnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!