“Kamu dipecat!” teriak seorang pria dengan wajah merah padam di ruang kerja, emosinya mencapai puncak karena kesalahan fatal yang dilakukan oleh Hazel.
“Tapi, Pak, saya bersumpah saya tidak bersalah,” bela diri Hazel dengan matanya mencerminkan keputusasaan.
“Leo! Bawa dia keluar. Saya muak melihat wajahnya,” perintahnya kepada Leo sambil membalikkan tubuhnya angkuh, tanpa menyisir pandangan ke arah Hazel yang ditarik paksa oleh kedua pengawal yang dipanggil kembali oleh Leo.
“Mari, Hazel,” ujar Leo dengan tegas, mengulurkan tangannya ke arah pintu luar, Padahal Leo juga sangat menyayangkan apabila Hazel harus di pecat, karena kinerjanya cukup bagus. Bahkan hanya dia lah satu satunya sekretaris yang mampu bertahan selama satu tahun belakangan ini.
“Lepaskan! Saya bisa sendiri,” ucap Hazel dengan suara gemetar, mencoba melepaskan diri dengan susah payah dari genggaman kasar para pengawal yang menarik paksa lengannya.
Seluruh mata karyawan tertuju pada mereka, menyaksikan adegan tersebut dengan wajah
terkejut. Lila, seorang gadis di antara mereka, tersenyum puas dan melemparkan pandangan sinis pada Hazel.
Setiap langkah kaki Hazel terasa menyakitkan di tempat yang dulu menjadi rumah kedua baginya. Matanya terus menelisik setiap sudut ruangan yang pernah penuh kenangan. Namun, kini tempat itu telah berubah menjadi tempat yang menakutkan dan tak bersahabat.
Hazel yang mengemas barangnya, dihampiri oleh Ivy, seorang wanita yang langsung memeluknya erat dan menangis. “Hazel, maafkan aku, aku tidak bisa membantumu. Bahkan aku tidak mengerti bagaimana ini semua bisa terjadi,” tangis Ivy terdengar tulus, membuat beberapa karyawan ikut meneteskan air mata.
“Sudahlah, Ivy, mungkin pekerjaanku memang hanya cukup sampai di sini,” kata Hazel berusaha tegar, meskipun hatinya sangat tersayat oleh kesalahan yang tidak dia lakukan.
“Kau bohong. Ayo ikut denganku. Akan aku paksa bos angkuh itu agar tidak memecatmu sembarangan,” ajak Ivy sambil menarik paksa lengan Hazel, namun dihentikan oleh Hazel yang melepaskan genggamannya.
“Jangan, Ivy, jangan hanya karena aku, kamu juga harus merelakan jabatanmu di sini. Mencari pekerjaan itu tidak mudah, Ivy,” ujarnya dengan lembut, membuat Ivy semakin menangis tersedu.
“Tapi, jika kamu tidak ada di kantor ini, aku tidak akan sanggup.”
“Kita masih bisa bertemu di luar, jangan khawatir. Aku tidak akan memblokir nomor teleponmu itu,” kata Hazel mencoba menghibur suasana.
“Lagian, kenapa kau yang menangis seperti ini? Harusnya kan aku,” kesal Hazel, setengah mencebik.
Ivy pun terkekeh kecil, menyadari perkataan Hazel benar adanya. “Kau tahu, Hazel, kau adalah rekan terbaikku di perusahaan ini. Aku akan selalu mendoakanmu yang terbaik.”
Hazel tersenyum tulus. “Kau tidak menganggapku sahabatmu?” tanya Hazel.
“Tentu saja, selain rekan kerja terbaik, kau juga sahabat terbaikku, Hazel,” jawab Ivy lantang, pelukan mereka semakin erat. Tidak bekerja di satu perusahaan bukan berarti menjadi perpisahan di antara mereka.
“Terima kasih sudah menjadi rekan kerja terbaikku selama aku bekerja disini Ivy” katanya tersenyum tulus, menggenggam kedua tangan Ivy dengan lembut. Ivy membalas tersenyum manis.
“Sudah. Lebih baik kau membantuku untuk mengemasi barangku. Aku ingin segera menikmati liburanku dengan tidur selama mungkin tanpa ada yang mengganggu” lanjutnya.
“Huh.. keterlaluan. baiklah” ujar Ivy, dengan nafasnya yang berat.
…
Seorang wanita memasuki perusahaan dengan angkuh. Seluruh karyawan sudah sangat mengenalnya hingga turut menghormati kedatangannya, ya Wanita itu bernama Reina kekasih dari bos Lucas.
Berbeda dengan Hazel, kali ini pertama kalinya dia tidak bersikap selayaknya seorang karyawan, dia merasa bukan lagi tugasnya untuk menghormati wanita itu. Apalagi, setelah dia di pecat secara tidak hormat oleh bosnya Lucas. Selain itu, Reina juga memang tidak pernah menyukai keberadaannya, kemungkinan besar dengan dipecatnya Hazel memberikan kabar yang sangat Bahagia untuk Reina.
Reina melintasi Hazel dengan pandangan sinis, mengangkat satu alisnya dengan penuh keangkuhan. Tanpa sepatah kata pun, Reina meninggalkan Hazel, melangkah dengan penuh keyakinan menuju ruangan Lucas.
Dengan langkah mantap, Reina memasuki perusahaan, keangkuhan terpancar dari setiap gerakannya. Kehadirannya tak terlewatkan oleh seluruh karyawan, yang dengan hormat mengakui posisinya sebagai kekasih bos Lucas.
Di tengah atmosfer yang dipenuhi aura keangkuhan, Hazel, yang baru saja dipecat dengan tidak hormat oleh Lucas, memutuskan untuk tidak lagi tunduk pada norma-norma karyawan salah satunya untuk tunduk apabila Reina datang.
Rasanya, kewajibannya untuk menghormati Reina telah sirna bersamaan dengan pemecatan tak adil yang dia terima dari Lucas. Reina sendiri, selama ini tidak pernah menyukai kehadirannya, dan pemecatan Hazel mungkin membawa kabar bahagia bagi perasaannya.
Ketika pintu hendak terbuka, Lucas juga muncul, membuka pintu dengan senyum di wajahnya. Tanpa ragu, Reina langsung mencium pipi Lucas, menambahkan sentuhan kehangatan di udara yang sebelumnya terasa dingin. Detail posisi tubuh mereka menciptakan gambaran yang tajam; ciuman di pipi, senyum, dan kehangatan yang tercipta, semuanya terjadi di depan mata Hazel.
Baru saja Lucas melihat wajah Hazel dengan penuh kebencian, namun dengan cepat, kehadiran Reina membuat suasana berubah drastis, seolah-olah api pertentangan baru saja dipadamkan oleh kehadiran wanita anggun itu. Melihat adegan ini, Hazel merasa berkecamuk dalam perasaannya, menyaksikan perubahan dramatis dalam sekejap.
Bukan karena Hazel menyukai Lucas, hanya saja dia terus mengingat akan sikap Lucas yang sudah memecatnya secara tidak hormat.
Seorang pria menghampiri Hazel yang tengah mengemaskan barang yang akan dibawa nya pulang “Hazel, bukankan ini kekasihmu si John?” tanya Romy yang juga cukup dekat dengan Hazel di perusahaan, sembari mengulurkan lengannya untuk menunjukkan sebuah foto di handphone nya.
“Dari mana kamu mendapatkan foto ini Romy?” tanya Hazel serius.
Foto yang menunjukkan kemesraan seorang Wanita dan pria di sebuah bar. Wanita itu duduk tepat dipangkuan John kekasih Hazel.
Hazel yang menatap foto tersebut dengan ekspresi campur aduk antara keterkejutan dan ketidakpercayaan. Wajahnya pucat, dan matanya terpaku pada gambar yang menggambarkan keakraban antara John dan wanita lain di bar tersebut.
"Romy, dari mana asal foto ini?" tanya Hazel, mencoba untuk tetap tenang meskipun jelas terlihat bahwa dia terguncang.
Ivy yang melihat tubuh sahabatnya yang gemetar hebat, mencoba menenangkannya dengan mengusap kedua pundaknya “Tenanglah sedikit Hazel”
Romy menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu, Hazel. Aku hanya melihat mereka secara kebetulan di bar tadi malam dan mengambil foto ini."
“Sebenarnya aku tidak ingin memberitahumu akan hal ini, tapi aku tau kalau kamu adalah wanita yang baik sekaligus teman dekatku. Jika aku biarkan, aku tidak tega melihat teman baikku di hianati seperti ini”
“Tapi kamu justru membuatnya semakin terluka Romy! Hazel itu baru saja di pecat dan kamu memberikan informasi sampah seperti ini? Hah!” ucap Ivy kesal dengan nada cukup tinggi.
Hazel menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Cukup Ivy, aku tidak apa. Aku rasa aku perlu bicara dengan John," ucapnya dengan suara tegas.
Romy mengangguk, "Aku harap kamu bisa menyelesaikan ini dengan baik, Hazel. Aku hanya ingin membantu. Maafkan aku"
“Tidak Romy, justru aku berterima kasih atas informasi yang kamu berikan. Daripada semakin sakit, lebih baik biarlah diselesaikan saat ini juga” kata Hazel dengan wajah tampak menyedihkan.
Hazel ingin meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat, hatinya berdebar keras. Dia merasa seperti dunianya runtuh. Begitu nanti tiba dirumah, dia akan segera menghubungi John, kini pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan dan kekhawatiran tentang hubungannya dengan John.
“Aku antar kamu sampai rumah ya Hazel” kata Ivy tak tega melihat kondisi Hazel.
Hazel terkejut, lantaran tak ada seorang pun yang tahu tepat rumahnya, karena dia selalu menyembunyikannya dengan hati-hati. Hazel tidak ingin siapa pun mengetahui, termasuk Ivy. Dia tidak ingin membuat Ivy kecewa atau berpikir buruk tentang dirinya.
"Tidak perlu, Ivy. Aku sudah memesan taksi online, sepertinya cukup muat karena ternyata barangku tidak begitu banyak," ucap Hazel dengan senyum canggung.
“Baiklah, kalau begitu segera kemas. Ayo Rom, bantu Hazel juga dong, jangan hanya melihat saja.” Ketus Ivy pada Romy.
“Iya, iya…” jawab Romy malas berdebat dengan Ivy. Entah bagaimana mereka jadinya jika tanpa Hazel. Kehadirannya seperti perekat yang membuat mereka saling membutuhkan.
“Ivy, terima kasih ya sudah membantuku” ucap Hazel tulus sembari memeluk Ivy.
“Kau tidak ingin memelukku juga, Hazel?” tanya Romy.
“Terima kasih juga, Romy.” Hazel pun tersenyum dan memeluk Romy.
Seorang pria menatap sinis penuh kebencian saat keluar dari gedung perusahaan menuju restoran bintang 5. “Ck.. menjijikan,” desis Lucas kesal. Melihat Hazel dengan mudahnya memeluk Romy, membuatnya merendahkan gadis itu. Entah mengapa pria itu sangat membenci Hazel, tidak ada yang tahu.
“Ada apa, sayang?” Tanya Reina kekasih Lucas dengan tangan yang memeluk erat lengan pria itu.
“Tidak ada, sayang,” ujar Lucas sambil mengelus lengan Reina yang sangat halus.
“Kalian harus biasakan akrab ya. Lanjutkan pekerjaan kita, kalian harus tetap menjadi tim yang terbaik. Oke?” pinta Hazel.
Setelah mendengar permintaan dari Hazel, keduanya saling berpandangan. Membuat jantung keduanya berdegup kencang.
“Ehm,” Hazel tersengguk. Keduanya sontak terkejut. Romy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedangkan Ivy terkekeh kecil tersipu malu, mencetak bekas merah merona di pipinya.
“Awas loh, nanti beneran suka.” ancam Hazel, sambil tersenyum misterius.
Ivy menepis perkataan Hazel, mnegetuk kepalanya sendiri berulang kali “Ih engga ya, amit-amit, mending aku jomblo seumur hidup daripada harus sama pria kayak dia” Ujarnya dengan cepat. Romy yang melihatnya hanya memandang malas ke arah Ivy. Tidak ingin masalah semakin diperpanjang, Romy tidak menggubris perkataan Ivy. Lagi pula, Romy memang tidak pernah menyukai gadis menyebalkan itu (mungkin).
Hazel pun memasuki mobil yang sudah menjemputnya tepat di depan kantor, memudahkan Ivy dan Romy membantunya memasukkan barang-barang.
“Beres, sudah semua kan, Hazel?” tanya Ivy.
“Sudah.” Diangguknya oleh Hazel.
“Terima kasih, Ivy, terima kasih Romy.” Seulas senyuman tulus Hazel diberikan pada mereka berdua.
Ivy dan Romy tersenyum kembali melihat Hazel memasuki mobil tersebut. "Hati-hati ya, bye," ucap Ivy dan Romy sambil melambaikan tangan mereka.
…
“Pak, tidak jadi ke apartemen saya. Langsung ke mansion saja” kata Hazel, sembari menyandarkan tubuhnya yang tengah duduk di kursi belakang.
“Baik non” jawab Ady, Sopir pribadi keluarga Hazel. Rupanya Hazel berbohong bahwa sebenarnya dia bukanlah memesan taksi online, melainkan sopir pribadi yang telah mengabdi pada keluarganya bahkan sejak Hazel belum terlahir ke dunia ini.
POV Hazel
Hazel Harrison, seorang gadis cantik dan seksi berkulit putih mulus, mewarisi darah Rusia dari ayahnya dan Indonesia dari ibunya. Di usianya yang baru menginjak 24 tahun, Hazel merasa hidupnya masih panjang. Namun, orang tuanya, Foster dan Mega Harrison, berpikir sebaliknya. Mereka menganggap Hazel sudah cukup tua untuk belum menikah. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Hazel hanya memiliki satu kakak laki-laki bernama Fery, yang meskipun dingin dan serius, selalu perhatian padanya. Fery tidak pernah mendesak Hazel untuk segera menikah, meski dia sendiri sudah berusia 28 tahun dan juga belum menikah.
Keluarga Harrison adalah salah satu keluarga terkaya di Indonesia. Foster Harrison, ayah Hazel, menjalankan Royalfood Harrison, perusahaan makanan terbesar di negeri ini, yang diwariskan oleh kakek Hazel setelah pensiun. Nama keluarga Harrison selalu mendominasi, terutama dalam urusan bisnis. Meskipun Hazel sering merasa canggung jika identitas keluarganya terbongkar oleh calon perekrut, ia berhasil menjaga kerahasiaan dengan tinggal di apartemen sendiri dan membuat kartu keluarga yang terpisah.
Bukan karena Hazel ingin hidup sendiri, melainkan ia ingin merasakan bagaimana mencapai kesuksesan dengan usahanya sendiri. Walaupun dia tahu, keluarganya memiliki kekayaan yang akan membuatnya nyaman tujuh turunan sekalipun.
Selama dua tahun terakhir, Hazel menjalin hubungan dengan John. Namun, hubungan itu kini berakhir. Kedua orang tuanya dan Fery tidak pernah merestui hubungan mereka sejak awal. Hazel sempat tidak memahami alasan di balik penolakan keluarganya, tetapi pada akhirnya, kenyataan pahit terungkap bahwa John bukanlah pria yang baik.
Di saat kehidupannya seolah berada di titik terendah, diberhentikan dari pekerjaan secara tidak hormat karena kesalahan yang bukan miliknya dan dikhianati oleh kekasihnya, Hazel duduk terdiam di dalam mobil, merasa tidak berdaya.
Namun, kesedihannya tidak bertahan lama. Hazel segera menyadari siapa dirinya. Dia adalah putri keluarga Harrison, dan untuk apa merisaukan pekerjaan? Tanpa perlu meminta, dia bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dengan mudah. Bahkan, keluarganya tentu akan mencarikannya pasangan yang setara dengan status mereka, jika ia memutuskan untuk menerima perjodohan.
Dengan tekad baru, Hazel memutuskan untuk kembali ke mansion keluarga dan meminta haknya. Usaha sendiri belum tentu memberikan hasil yang sempurna, pikirnya. Kini, dia siap untuk menjalani hidup sesuai dengan kehendak keluarganya dan menerima perjodohan yang disarankan oleh mereka.
….
Hazel yang masih terduduk diam memandang jalan, seketika terkejut lantaran paman Ady menegurnya.
“Nona Hazel, anda baik baik saja?” Tanya paman Ady, pria paruh baya berusia 55 tahun yang sudah mengabdi pada keluarga Harrison.
Hazel terkejut dan tersadar akan sikapnya yang dilihat oleh paman Ady dibalik spion kaca dalam mobil, “Tidak paman, saya baik-baik saja” lirih Hazel tersipu malu.
Ady tersenyum, “Itu baik. Kembali ke mansion pasti membuat semua orang senang, terutama tuan dan nyonya Harrison. Mereka pasti senang melihat anda kembali.”
Hazel hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Hatinya berdebar-debar, karena dia tahu bahwa kedatangannya kali ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Meskipun dia mencoba untuk tampil kuat, tapi rasa khawatir dan kecemasan tetap menyelinap di dalam dirinya.
Setelah beberapa saat, mobil meluncur masuk ke dalam gerbang megah mansion keluarga Harrison. Hazel melihat pemandangan familiar yang pernah dia tinggalkan beberapa tahun lalu. Keindahan taman, kesan mewah mansion, semuanya mengingatkannya pada masa kecilnya.
Tiba di depan pintu utama, paman Ady membuka pintu mobil untuk Hazel. “Terima kasih, Paman Ady,” ucap Hazel sambil turun dari mobil.
Hazel melangkah menuju pintu utama dengan langkah mantap, mencoba menahan gugupnya. Dia memutar kunci dan pintu besar mansion terbuka perlahan. Suasana dalam mansion terasa hening, dan Hazel bisa merasakan tatapan penuh ekspektasi dari para pelayan yang telah lama melayani keluarga Harrison.
Seiring langkahnya masuk, pintu ruang tamu terbuka lebar, dan dia melihat ibu nya sudah menunggu dengan senyuman di wajah mereka. Hazel mencoba balas tersenyum, meskipun hatinya masih dilanda ketidakpastian.
“Hazel, anakku, kau kembali,” sambut Nyonya Mega dengan senyuman penuh kebahagiaan. Hazel melangkah mendekati dan memberikan salam hormat pada kedua orang tuanya.
Hazel berlari melepaskan tas sembarang tempat dan menghampiri sang ibunda “Aku sangat merindukan ibu,” kata Hazel sambil memeluk erat ibu Mega, cairan bening keluar begitu saja dari matanya.
“Ibu sangat sedih, kakakmu seringkali keluar negeri, sedangkan kamu memilih menetap di apartemen. Sekarang, kau harus tetap di sini dan jangan pernah kembali ke apartemenmu lagi, mengerti?” perintah ibu Mega yang masih memeluk erat sang putri, senyum merekah terpancar di bibir Hazel.
“Iya, ibu. Aku akan menetap kembali di mansion.” Hazel berkeinginan tinggal di mansion, namun justru di perintahkan untuk menetap di sana. Tanpa Hazel memintanya, semua itu bisa dia dapatkan dengan mudah.
“Luna, antarkan barang-barang Hazel ke kamarnya, ya?” perintah Ibu Mega pada salah satu asisten di sana.
“Baik, Nyonya.” ujarnya dengan sopan, mengambil beberapa tas dan kotak yang berisi alat kantor milik Hazel.
“Ibu, kau tahu? Aku sangat merindukan masakan sayur capcay ibu.” Ujar Hazel bergurau, namun ibu nya langsung menurutinya begitu saja, lantaran sangat senang Hazel telah kembali untuk bersamanya di Mansion.
“Ibu akan masakkan untukmu, sayang,” ucap Ibu Mega, mengusap kedua pipi Hazel nan lembut, lalu bergegas berjalan menuju dapur yang sudah lama sekali tidak disentuh olehnya karena tak lagi berselera tanpa kehadiran dua sosok anak kesayangannya.
“Sekarang, kau rapikan barang-barangmu, ganti pakaianmu, dan kembali kesini, kita akan makan bersama ya nak” ujar Ibu Mega begitu lembut, mengalahkan kelembutan kain sutra.
Sungguh, momen ini sangat diinginkan oleh Hazel. Ketika dia baru saja kembali dan disuguhkan dengan kasih sayang dari ibu Mega, hatinya yang awalnya panas membara dan kecewa, kini berganti menjadi kesejukan yang menyegarkan.
Luna, salah satu asisten rumah tangga keluarga Harrison, membantu membawa barang-barang Hazel ke kamarnya. Hazel mengikuti Luna sambil menatap sekeliling mansion yang begitu megah. Dia merasa sedikit aneh, seolah-olah kembali ke masa lalu yang telah lama dia tinggalkan.
Tiba di kamarnya, Hazel melihat kembali ruang yang dulu menjadi tempatnya tumbuh besar. Walaupun dia telah memiliki apartemen pribadi, kembali ke kamarnya di mansion memberikan rasa kenyamanan tersendiri. Luna meninggalkannya untuk menyusun barang-barangnya.
Sementara itu, Ibu Mega dengan senang hati memasak sayur capcay favorit Hazel di dapur. Hazel merasa bahagia dan bersyukur atas momen ini. Dia menyadari akan kehidupannya, meskipun penuh dengan lika-liku dan cobaan, tetap berharga ketika dia bisa kembali ke pelukan keluarganya.
Setelah selesai memasak, Ibu Mega memanggil Hazel untuk makan bersama. Mereka duduk di meja makan, dan aroma harum capcay mengisi ruangan. Ibu Mega tersenyum bahagia melihat putrinya menikmati masakannya.
Saat Hazel menuruni anak tangga, dia sangat mengenal tubuh pria paruh baya yang duduk di kursi meja makan. Pria itu mendengar langkah kaki Hazel dan terbangun dari duduknya untuk segera menghampiri Hazel. Hazel pun memanggilnya dengan lirih, “Ayah.”
Keduanya saling berpelukan, “Putriku yang cantik, kesayangan ayah,” ujarnya sambil meraih tangan Hazel dengan penuh kasih.
“Tentu kesayangan Ayah, karena putri ayah hanya aku. Bagaimana ayah tahu aku ada di sini?” tanya Hazel, menunjukkan sikap manjanya kepada sang ayah sambil kembali ke meja makan masing-masing.
“Tentu saja,” mata ayah tertuju pada ibu Mega, mengisyaratkan bahwa kedatangannya tentu diberitahu oleh sang ibunda. Hazel tersenyum bahagia melihat kedua orang tuanya yang masih sangat sehat dan terlihat baik-baik saja.
"Hazel sayang, apa yang membuatmu memutuskan untuk kembali ke mansion?" tanya Ibu Mega sambil menyendokkan nasi ke piring Hazel dan suaminya.
Hazel tersenyum, "Ibu, aku merasa bahwa di sinilah tempatku. Mansion ini adalah rumahku, tempat di mana aku merasa penuh kasih dan dukungan. Aku merindukan momen-momen bersama keluarga, dan aku ingin lebih dekat dengan kalian."
“Oh ya, benarkah begitu yang dikatakan oleh putrimu, ayah?” cibir ibu Mega meledek Hazel.
Ayah tersenyum bangga, "Kamu selalu menjadi kebahagiaan kami, Hazel. Kami senang kamu kembali di sini."
“Aku baru saja dipecat, dan aku juga diselingkuhi oleh John,” tutur Hazel jujur, merasa sedih. Meletakkan kedua garpu dan sendoknya di piringnya.
“Apa?” Sontak Ayah Foster dan Ibu Mega terkejut.
“Aku merasa aku difitnah, dipecat atas kesalahan yang tidak aku perbuat,” kata Hazel, wajahnya semakin suram.
Hazel duduk tepat di sebelah ayah dan ibu. Karena Hazel terlihat bersedih, ibu Mega menghampirinya dan memeluknya, sedangkan Ayah Foster mengelus lembut lengan Hazel.
Ibu Mega meraih tangan Hazel, "Jangan khawatir, kita pasti akan menyelesaikan masalah ini. Dan, terkait dengan John, mungkin itu adalah takdir yang lebih baik. Ayah dan ibu selalu mendukungmu." Hazel hanya membalasnya dengan senyum dan berlinang air mata.
Hazel tersenyum sedikit, merasa terhibur oleh dukungan dan cinta keluarganya. Meskipun hidupnya sedang diuji, Hazel merasa bahwa dia memiliki kekuatan untuk menghadapi segala tantangan.
"Sekarang, kita akan mengurus semuanya. Ayah akan membantumu menyelesaikan masalah di pekerjaan, dan ibu akan membantumu mengatasi perasaanmu terkait John," ujar Ayah Foster sambil memberikan senyuman penuh keyakinan.
“Tidak perlu Ayah, aku sudah mengikhlaskan semua yang terjadi padaku, terkait pekerjaan aku tidak perlu di permasalahkan, lagipula aku ini keluarga Harrison bukan? Aku bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik di perusahaanku sendiri. Betul bukan Ayah?” gurau Hazel.
“Tentu! Jika kamu ingin bekerja diperusahaan Ayah akan sangat senang” jawab Ayah, sambil terus mengunyah makanannya.
“Ibu dan Ayah tidak akan lagi memaksakan kehendak kami, Ayah juga sudah bilang pada ibu, kalau ayah tidak akan menjodohkanmu lagi pada pria manapun. Semua keputusan ada pada kamu” Ucap ibu dengan nada lembut.
Hazel tersenyum Bahagia, lagi lagi secercak air mata membasahi pipinya, ibu dan ayah merasa khawatir takut jika perkataannya menyakiti perasaan Hazel. Padahal sebaliknya, tanpa mereka Hazel rasa dia tidak akan berarti di dunia ini, beruntung sekali bisa terlahir sebagai putri dari keluarga Harrison bukan?
“Ayah, Ibu. Aku memutuskan untuk mau menikah dari pria pilihan Ayah dan ibu” ujar Hazel lirih.
…
“Tidak, aku sudah bilang kalau aku tidak akan mau menikah dengan cara dijodohkan seperti ini. Aku sudah mempunyai kekasih yang sangat aku cintai ayah” ucap suara berat seorang pria yang terbangun dari sofa panjang ruang keluarga yang kini berubah menjadi suasana yang menegangkan.
“Keterlaluan kamu Lucas, sampai kapan kamu menutup mata bahwa wanita itu bukanlah wanita baik-baik?” tanya pria paruh baya dengan nada cukup tinggi. Sedangkan seorang wanita paruh baya disampingnya mencoba menenangkannya dengan mengingatkan bahwa jika terlalu emosional, maka penyakit jantungnya akan kambuh.
“Lucas, duduklah dahulu nak. Kita bicara baik-baik ya?” ujar Ibu sangat lembut. Lucas pun duduk kembali ke tepi sofa, sambil bersandar dan menyilangkan kedua kakinya, enggan melihat ke arah wajah sang ayah.
“Ayah, bicaralah dari hati ke hati, Lucas itu adalah putramu. Dan kamu harus ingat, kamu tidak boleh berbicara dengan nada tinggi apalagi emosi, ingat kesehatanmu sayang”
Ayah Henry pun menarik napasnya berat untuk mengontrol emosinya.
“Baiklah, jika kau tidak mau Lucas. Kamu harus tau, bahwa kau tidak akan mendapatkan warisan sepeser pun dari ayah. Kau pun juga tau, bahwa perusahaan Indodrink saat ini masih tertera nama ayah” geram ayah Henry meninggalkan Lucas dan Ibu Nara.
Ibu pun terbangun dari duduknya dan menghampiri Lucas “Nak, pikirkanlah sekali lagi keputusanmu. Kau harus tau, jika kau bisa seperti ini karena perjuangan ayahmu membangun bisnis dan membuat kita hidup berkecukupan” kata Ibu lirih, mengeluh lembut pucuk kepala sang anak, lalu meninggalkan Lucas sendirian.
Lucas pun pergi masuk ke dalam kamar, merebahkan dirinya seperti tak bertenaga, menatap dinding-dinding langit yang memberikan ruang baginya untuk merenung.
…
POV Lucas
Lucas Arthur, pria tampan berusia 28 tahun, memiliki reputasi sebagai seseorang yang dingin dan keras kepala. Dengan tinggi badan 186 cm, kulit sawo matang, dan tubuh kekar, ia menjadi idaman banyak wanita. Setiap kali dadanya terekspos, para wanita terpesona dan tidak bisa menahan diri untuk mengaguminya.
Namun, di balik penampilan dinginnya yang lebih membekukan daripada salju di Kutub Utara, Lucas memiliki sisi hangat yang hanya diberikan pada satu wanita, Reina kekasihnya.
Reina, wanita cantik bertubuh seksi, telah bersama Lucas selama dua tahun. Lucas bangga memilikinya. Meski begitu, hubungan mereka tidak disetujui oleh keluarga Lucas, terutama oleh kedua orang tuanya, Henry dan Nara Arthur. Lucas adalah pewaris dari Arthur Indodrink, perusahaan minuman terbesar di Indonesia yang dimiliki keluarganya.
Hidupnya terlihat sempurna dari luar, lahir dari keluarga kaya raya dan terpandang. Namun, semua itu terguncang ketika ayahnya berencana menjodohkan Lucas dengan putri seorang rekan bisnis.
Pilihan itu membuat Lucas bimbang. Menolak perjodohan berarti ia harus siap kehilangan pekerjaannya di perusahaan keluarganya. Keluarganya tidak pernah merestui hubungan Lucas dengan Reina, meski Lucas tidak pernah melihat kekurangan apa pun dari kekasihnya. Cinta telah membutakan pandangannya, bahkan meski Lucas mengakui bahwa hubungan mereka selama dua tahun terasa kurang bermakna dibandingkan lamanya waktu bersama.
…..
Saat jam menunjukkan pukul 7 malam, Reina mencoba menghubungi Lucas lima kali. Namun, tidak ada satu pun panggilan yang dijawab, karena Lucas tertidur lelap setelah hari yang panjang.
Ketika akhirnya ia terbangun, Lucas tersadar bahwa ia telah melupakan janji untuk menemani Reina berbelanja malam itu. Rasa cemas muncul, takut Reina akan marah karena menunggunya.
Lucas pun menghubungi Reina kembali, takut akan Wanita nya marah karena menunggunya.
“Halo Reina, kamu dimana? Aku ketiduran” seperti biasa, meskipun Lucas berbuat salah, tak akan ada kata maaf yang terucap di bibirnya.
“Kamu kan sudah janji padaku, bagaimana kamu bisa ketiduran seperti ini? Cepat! Aku tunggu di depan rumah sekarang” ujar Reina kesal yang terhubung melalui ponselnya.
“Baiklah, tunggu aku segera kesana” ucap Lucas bergegas bangun dari ranjangnya dan mengganti pakaiannya terlebih dahulu dengan atasan kaos polo dan celana pendek lengkap dengan sepatu sneakers putih membuatnya terlihat sangat tampan, karena sebelumnya dia memakai baju kantor yang cukup formal layaknya pekerja pada umumnya.
“Mau kemana kamu Lucas?” tanya ibu Nara yang tidak sengaja melihatnya turun dengan tergesa gesa dari anak tangga.
“Mau ketemu Reina bu” jawabnya datar tanpa menghentikan langkahnya dan tanpa berpamitan.
Ibu hanya bernapas berat melihat perilaku putranya yang merasa semakin tidak menghargai kedua orang tuanya semenjak dia berpacaran Bersama Reina, tetapi ibu Nara tidak pernah memaksa Lucas untuk mengakhiri hubungannya dengan Reina, berbeda dengan sang ayah yang sangat tidak menyukai wanita itu. Entah, apa yang menyebabkan ayahnya tak menyukai kekasih Lucas.
“Sayang, kenapa kamu lama sekali?” tanyanya manja dengan nada sedikit kesal pada Lucas.
Lucas hanya terdiam sambal menyetirkan mobilnya menuju sebuah mall terbesar di Jakarta.
“Kita mau kemana?” tanya Lucas dingin, matanya tetap tertuju pada arah jalan tanpa memandang wajah Reina yang duduk di sebelah nya.
Reina yang seakan acuh dengan sikap Lucas tak memperdulikan hal itu, yang terpenting baginya adalah dia mendapatkan segalanya dari kekasihnya Lucas “Kita ke salon dulu ya sayang, kalua semakin malam dia sudah tutup” jawabnya tersenyum riang.
Mereka pun sampai di sebuah mall, memasuki basement untuk memarkirkan mobilnya. Saat turun dari mobil, Sikap Lucas tidak seperti biasanya, dia terus memikirkan tentang perkataan ayahnya. Jika yang dikatakan ayahnya benar, lalu bagaimana nasibnya? Sedangkan, dia tau betul bahwa Reina bergantung pada dirinya dan dirinya telah memberikan kartu kredit untuk Reina gunakan shoping ataupun liburan.
Jika dilihat, memang Reina adalah wanita yang sangat boros, entah sudah berapa banyak barang mewah ada di rumahnya. Karena sudah menjadi rutinitas Reina untuk pergi shoping seminggu dua kali, entah terkadang Bersama ibu Reina, Bersama Lucas, bahkan sendirian.
Tetapi Lucas tidak pernah mempermasalahkan sikap Reina yang sangat boros, dia berpikir bahwa mau sebanyak apapun uang keluarganya tidak akan pernah habis. Terlebih, Lucas sangat menyayangi Reina, hanya Reina lah satu-satunya wanita yang berhasil menaklukan hati Lucas.
Sepanjang perjalanan di mall keduanya hanya diam, lucas yang dipenuhi oleh pikirannya yang kacau, sedangkan Reina sibuk bermain handphone untuk membalas pesan seseorang.
Lucas yang sudah tau persis salon langganan Reina pun menyuruh Reina untuk pergi mendahuluinya, “Kamu duluan saja, aku ingin beli minuman dulu. Kamu mau? Tanya Lucas.
“Tidak usah sayang, kamu saja. Aku duluan ya” pamit Reina dan dianggukan oleh Lucas.
Lucas yang sedang menunggu minumannya, mengalihkan pandangan ke berbagai arah, hingga matanya tertuju pada seorang wanita yang bersama dengan pria paruh baya yang sangat dikenalnya, akan masuk ke dalam sebuah restoran.
Lucas mengernyitkan dahinya, “Bukankah itu Tuan Foster dan Hazel? Mengapa mereka bersama? Apa hubungan di antara mereka berdua?” gumamnya dalam hati. Lucas terus berpikir, mengetahui bahwa Tuan Foster hanya memiliki satu anak perempuan, dan kabarnya anak itu ada di luar negeri. Bagaimana mungkin Hazel, yang menurut profil yang dikenalnya, berasal dari kalangan biasa, bisa saling mengenal dengan Tuan Foster? Bahkan, keduanya terlihat sangat akrab. Lucas melihat Hazel merangkul lengan Tuan Foster dengan erat.
“Apakah mungkin Hazel telah beralih profesi menjadi wanita simpanan?” pertanyaan konyol tersebut terlintas di pikirannya.
Seorang pelayan ramah mendatangi Lucas, “Tuan, ini minumannya. Terima kasih,” ucapnya sembari menyajikan minuman untuk Lucas. Lucas pun segera mengambilnya.
Untuk memastikan penglihatannya, Lucas memutuskan untuk mengunjungi restoran tersebut. Dia ingin mengetahui dengan pasti apa yang sedang terjadi di antara Tuan Foster dan Hazel.
Lucas memutuskan untuk mengikuti Tuan Foster dan Hazel ke dalam restoran. Dengan langkah yang cepat, dia menyusul mereka tanpa membuat dirinya terlalu mencolok. Ketika masuk ke dalam, Lucas mencari meja tempat Tuan Foster dan Hazel duduk.
Tak jauh dari pintu masuk, dia melihat mereka duduk di sudut restoran. Lucas memilih meja yang agak tersembunyi namun cukup dekat untuk dapat mendengar percakapan mereka. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia memesan makanan dan duduk menunggu sambil berusaha menyamarkan kehadirannya, namun tetap saja tidak terdengar, karena suara di restoran itu terdengar sangat bising.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!