_Menjalani sebuah kehidupan itu ada berbagai macam ujian yang mungkin kita lalui. Ada masa-masa kita merasa sudah putus asa dan ingin menyerah ketika di hadapkan pada sesuatu yang tidak pernah kita sangka sebelumnya. Kadang kita merasa sudah kehilangan harapan untuk hidup di saat orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita untuk selamanya_ Aycha Djiwa Sankara.
Matahari yang nampak terlihat cerah di langit perlahan berubah menjadi awan gelap yang menutupi langit kala siang itu. Seorang gadis berparas cantik yang tengah duduk disamping dua gundukan tanah di sebuah pemakaman umum masih saja menangis tersedu-sedu sambil memeluk papan nisan yang bertuliskan nama seorang perempuan dan laki-laki yang dirasa itu adalah sepasang suami istri.
Nampaknya gadis itu enggan meninggalkan pusara kedua orang tuanya yang sejak satu jam tadi telah di kebumikan. Bahkan, gadis itu juga mengabaikan sebuah rintikan hujan yang turun setetes demi setetes ke permukaan tanah yang semakin lama semakin deras.
Membiarkan tubuhnya di hantam dengan keras dan berharap rasa sedih serta lelahnya dapat ikut luruh bersamaan dengan air hujan yang jatuh.
Tiba-tiba saja tetesan air hujan yang menghantam tubuhnya seketika terhenti karena sebuah payung berwarna hitam terbentang di atas kepalanya.
"Lo gak boleh nyiksa diri lo sendiri buat terus bertahan di sini ketika hujan semakin lama semakin deras, yang ada habis ini lo jatuh sakit." kata anak laki-laki lebih tua satu tahun dari usianya itu sambil berjongkok dan tak di lihatnya. Ia kemudian meraih tangan kanan gadis itu untuk segera mengambil alih payung di tangannya dengan sedikit paksaan.
"Kehilangan boleh tapi jangan sampai membuat diri lo jadi gak ikhlas. Bukan hanya lo satu-satunya orang di dunia ini yang di tinggal pergi untuk selamanya. Tersenyum akan jauh lebih baik demi orang yang masih membutuhkan lo."
Suara teduh lelaki itu sayup-sayup masuk kedalam indra pendengaran gadis cantik yang masih menitikan air matanya. Suara serak nan lembut yang mampu membuat jantung berdebar seketika di tambah aroma kopi, vanilla bourbon dan jasmine yang bercampur jadi satu membuat indra penciuman gadis itu dapat selalu mengingat wangi khas yang menenangkan yang tercium dari tubuh laki-laki yang kini sudah berdiri memposisikan diri di belakangnya.
Rasa yang awalnya tak perduli dan tertarik untuk melihat siapa laki-laki itu berubah menjadi rasa penasaran untuk segera mendongkak melihat siapa laki-laki baik yang sudah berani mengusiknya. Aroma parfum itu mengingatkan ia pada aroma seseorang yang ia kenal yaitu cinta pertamanya sekaligus orang pertama yang menolaknya di waktu SMP dulu. Namun sayangnya ketika baru saja ia ingin melihat siapa laki-laki itu, laki-laki itu pun sudah keburu jauh pergi meninggalkannya.
Gadis itu hanya bisa mengamati punggung tegap laki-laki yang kini sudah berlari kecil menjauh, mengarah dan masuk ke dalam mobil tanpa sempat melihat wajahnya.
"Terimakasih laki-laki baik." gadis yang bernama lengkap Aycha Djiwa Sankara itu hanya dapat berterima kasih di dalam hati.
****
Bulan di atas sana tersenyum membentuk sabit yang memancarkan aura bahagia tanpa bergulung oleh rasa nestapa. Beruntung juga jalan di ibu kota malam minggu ini cukup lenggang meskipun banyak dari muda-mudi berlomba-lomba memamerkan kemesraan mereka di atas motornya.
"Tumben malam-malam gini lo boleh keluar?"
Djiwa tertawa kecil seraya menatap Caldwell Leifara Respati yang sedang mengemudikan mobil menuju sebuah Coffee shop. Gadis yang biasa Djiwa pangil dengan sebutan Adel adalah sahabat perempuan yang selalu ada untuknya.
"Gue ngendap-ngendap."
"Gila lo! Nanti kalau Nena lo kontrol bagaimana?"
Djiwa makin tertawa kencang melihat reaksi Adel. "Bercanda gue, gue sudah izin sama Nena kok."
"Beneran di bolehin?" Adel menoleh sebentar ke arah Djiwa kemudian kembali fokus menatap ke depan.
"Iya beneran, Nena bilang gue juga butuh hiburan dan sesekali malam minggu gue di isi di luar rumah biar gak ngebosenin dan kesepian lagi."
Adel menghela napas lega. "Syukurlah, padahal gue udah deg-degan banget denger omongan lo yang pertama tadi." ujar Adel menggenggam tangan Djiwa. "Lo gak boleh ngerasa kesepian lagi, Dji. Inget ada gue, bokap nyokap gue yang juga sayang sama lo, ada Nena, dan anak-anak lainnya yang selalu ada juga buat lo."
Djiwa memang hanya tinggal berdua saja dengan sang Nenek setelah kedua orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan dua minggu lalu.
Djiwa tersenyum tulus. "Terimakasih ya Del." Adel pun membalas senyuman Djiwa tak kalah tulus, "Jangan pernah bilang terimakasih sama gue, Dji! Karena gue bukan orang lain buat lo."
"Bay the way, kok tadi lo gak masuk sekolah sih, Del?"
Cengiran lebar itu tercetak jelas di wajah Adel bersamaan dengan gadis itu membelokan mobilnya memasuki kawasan Coffee shop yang cukup ramai bila di lihat dari kendaraan yang terpakir di sana.
"Gue bangunnya kesiangan." ujarnya cekikikan.
"Kebiasaan banget sih Del, dari zamannya Smp sampai sekarang masih aja setia dengan hal buruk satu itu." Djiwa menggelengkan kepala tak habis pikir dengan sahabatnya yang satu itu.
"Kuy turun." Adel dan Djiwa langsung turun setelah Adel berhasil memarkirkan mobilnya. Keduanya berjalan beriringan sambil sesekali tertawa membicarakan hal-hal yang random.
Lagu dari Sezairi_It's you dan aroma khas kopi menyeruak menyambut kedatangan siapa saja yang datang termasuk Adel dan Djiwa ke 'Payung Senja Coffee.'
Coffee shop yang baru saja launching beberapa bulan yang lalu pun sudah begitu populer di kalangan anak remaja bahkan penikmat kopi. Bukan hanya rasa nikmat dari kopi yang tersaji yang membuat Coffee shop itu ramai pengunjung, barista dan owner Coffee shop itu pun bagaikan magnet penarik pelanggan yang terus silih berganti.
Terlihat seorang laki-laki dengan celemek berwarna coklat tua persis seperti warna biji kopi sedang menadahkan cup bening besar ke arah kopi dari mesin espresso.
"Silahkan pesanannya satu brown sugar es coffee dan satu lagi iced vanilla latte. Jangan lupa untuk kembali lagi." katanya sambil tersenyum ramah sebagai akhir proses pelayanannya kepada dua pelanggan cewek yang kini berdiri di depannya.
"Terimakasih, Kak boleh minta noponnya tidak?" kata salah satu gadis remaja perempuan yang sedang menerima pesanan mereka dengan terbungkus plastik bening rapih.
"Nopon?"
"Iya nomer telpon, Kak." katanya lagi yang tau kebingungan laki-laki di depannya.
"Maaf, kami tidak memberikan kontak pribadi. Jika ingin delivery service kalian bisa hubungi kontak Coffee shop kami." ujarnya tetap ramah sambil tersenyum.
"Kalau gak boleh minta nomer telpon, kita boleh minta foto bareng?" membuat lelaki itu kembali tersenyum sambil mengangguk. "Boleh."
"Ganteng banget kalau dilihat dari deket." ujar mereka tersipu kegirangan sambil bisik-bisik.
Usai memuji dan berfoto, mereka langsung berjalan ke arah pintu keluar dan tak lupa sebelumnya mereka mengucapkan terimakasih atas pelayanan terbaik yang di berikan Coffee shop ini.
Lelaki yang mendengar ucapan mereka hanya mampu tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala sedangkan kedua sahabatnya yang baru saja datang pun ikut tersenyum.
"Tau aja tuh bocil barang bagus."
"Masih aja lo cemburu, Del." ledek Algerian Madhava atau yang biasa mereka panggil dengan nama Dava dan beralih ke Djiwa, "Nena bolehin lo kesini malam-malam?"
Djiwa menganggukkan kepala. "Tapi gak boleh lebih dari jam 12 malam."
"Ya sudah." mengacak-acak pucuk kepala Djiwa gemas. "Lo berdua mau pesen apa? Biar gue bikinin sekalian."
"Yang lain udah pada dateng?" bukan menjawab pertanyaan Dava, Adel malah balik bertanya.
"Baru ada Melva Mavendra dan Sembagi Arutalla aja. Mereka duduk di area belakang tempat biasa kita nongkrong."
"Renjana Wistara gak ikut nongkrong?" tanya Adel kembali yang di tanggapi Dava dengan gerakan bahu. "Gak tau Gue."
"Gue pesen es coffee gula aren sama milk bun dingin rasa blueberry cream cheese deh. Lo apa Dji?"
"Gue biasa ya, Va. Es macchiato creamy dan milk bun dingin varian nutella strawberry crumble."
"Asiyapp."
Setibanya Djiwa dan Adel di area belakang Payung senja coffee, Melva langsung menoleh kaget ketika pintu digeser. Tidak ada satupun customer di Coffee shop ini yang boleh masuk kedalamnya kecuali orang-orang tertentu karena area ini di buat khusus oleh sang Owner untuk mereka.
"Adel!"
Sembagi melambaikan tangan pada gadis cantik yang baru saja masuk ke area belakang Payung senja dengan satu gadis berjalan di belakangnya sambil menenteng tas. Dua gadis cantik itu tersenyum dan Adel ikut melambaikan tangan lalu menghampiri Sembagi dan high five ketika mereka sudah berhadapan.
"Gi, lo baru dateng apa udah dari tadi?" tanya Adel beberapa detik usai melepas pelukan setelah high five.
"Baru."
Beralih ke Melva, Adel menyapa kembali sambil high five dan berpelukan. "Lo juga baru dateng, Mel?" tanya Adel.
Lelaki itu mengangguk sebagai respon karena mulutnya sudah di penuhi camilan yang baru lima menit tadi Dava berikan lalu gadis itu duduk di bean bag triangle dengan santai sambil menarik Djiwa untuk ikut duduk bersamanya.
"Siapa?" tanya Sembagi
"Oh iya kenalin ini sahabat gue namanya Djiwa." sambil mengambil cemilan yang memang selalu di sediakan Dava untuk mereka.
"Sekelas?"
Adel menganggukkan kepala "Iya."
Beralih menatap ke arah Djiwa, "Dji, kenalin ini sahabatnya Dava dan juga Renjana."
"Djiwa." kata Djiwa tersenyum memperkenalkan diri.
Disela sesi obrolan yang baru saja mereka mulai, tidak lama Dava datang bersamaan dengan pesanan ditangannya dan di belakang laki-laki itu sudah di ikuti oleh Renjana.
"Del, lo gak bareng sama Abang lo?"
"Sejak kapan dia mau jalan bareng satu mobil sama gue?"
"Itu anak sudah sampai mana ya?" monolog Renjana sambil mencari kontak nomer cowok irit senyum tersebut sebelum melakukan panggilan dan menempelkan handphone ke telinganya.
Mendengar apa yang dimaksud oleh Renjana barusan, seketika Djiwa membulatkan mata seiring debaran di dada yang membuatnya berdesir seketika. Djiwa dengan segera memandang Adel dengan tatapan mata yang sulit Adel artikan. "Yang dimaksud Renjana itu Abang lo?"
Adel mengangguk, mengiyakan. "Kenapa?"
"Bukannya dia lagi sekolah di luar?"
"Kebetulan disuruh balik ke Indonesia sama Bokap buat urus berkas kepindahan sekolahnya dan mulai sekolah di sini."
"Pindah ke Smansa (Satria Mandala)?"
"Mana mau dia satu sekolah sama gue. Lo tenang aja dia pindah ke Gatra (Garuda Nusantara) dan lo gak perlu khawatir." ledek Adel menyikut lengan Djiwa.
Djiwa yang terlanjur salah tingkah mencoba mengatur kembali ekspresinya. "Gue gak khawatir, Del. Terus gimana sama beasiswanya?"
"Di cabut, meskipun di cabut Bokap gue masih bisa biayain Abang gue sekolah di Gatra dari pada di sana dia sendirian dan pergaulanya terlalu bebas." Djiwa mengangguk setuju.
Tak lama cowok bertubuh atletis itu datang menghampiri Dava sebelum akhirnya ia ikut duduk bersama ke tiga sahabatnya yang lain. Dikawal ekspresi datar di wajahnya yang begitu sulit di tebak, tidak juga mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Namun bola matanya memandang lekat wajah Djiwa dengan sorot dingin yang entah bermakna apa.
Pandangan Djiwa langsung beralih pada seorang laki-laki di barisan kasir yang baru saja tersenyum ramah kepada pelanggannya. Ia tak berani berlama-lama menatap cowok garang dengan pesona tingkat dewa itu.
Dava tiba-tiba melambaikan tangan ke arah Djiwa dengan senyum manis penuh pesona saat netranya menangkap kalau dirinya sedang di pandangi oleh Djiwa.
"Kenapa?" tanya Dava dengan isarat tanpa suara karena jarak mereka terhalang kaca dan sedikit jauh.
"Apa?" Djiwa menjawab dengan sedikit bingung karena Dava hanya berisarat tanpa suara yang hanya dapat Djiwa baca gerak bibirnya saja.
Dengan kesal Dava menghampiri "Lo kenapa? Sini sayang, mending lo bantuin gue." ujar Dava sedikit bervolume agar Djiwa bisa mendengar dengan jelas.
Dava paham dengan ketidak nyamanan Djiwa yang duduk sejajar tepat di depan triagel laki-laki bermata elang, meskipun ada Adel di dekat gadis itu akan tetapi Adel ikut dalam perbincangan seru mereka dan Dava sangat yakin kalau sedikit kurangnya mereka berdua akan bersitatap dengan netra Gestara yang tajam yang akan membuat Djiwa menjadi tidak nyaman.
Djiwa berjalan mendekat ke arah meja kasir tak perduli dengan tatapan orang-orang yang sempat mendengar Dava berteriak memanggilnya dengan nyeleneh.
"Lo kenapa? Apa masih deg-degan kalau di dekat Gestara?" tanya Dava setelah Djiwa berdiri tepat di samping meja kasir.
"Gue kesini jelas lo tau kalau gue kurang nyaman, lah. Belaga pake nanyain segala lo."
Dava tertawa renyah sambil mengacak-acak rambut Djiwa gemas.
"Baru hari ini gue ketemu dia lagi dan bersitatap langsung setelah sekian lama gue gak liat tatapan maut penuh pesona itu. Ya, deg-degan parah lah gue."
Dava makin tertawa renyah melihat ekspresi lucu Djiwa yang tengah menggerutu. Ia mencubit pipi Djiwa gemas dan tanpa Dava sadari ada sepasang netra yang diam-diam memperhatikan dari kejauhan.
_Berkali-kali aku mencoba jalan yang berbeda dan berharap tidak kembali pada rumah yang sama. Semakin aku jauh melangkah, semakin aku tak punya tujuan untuk menetap. Pada akhirnya ke rumah itu lah aku kembali, rumah ternyaman yang tak kan pernah kudapati dari rumah lain_ Aycha Djiwa Sankara
Sekitar lebih dari sepuluh menit Dava mengirim chat kepada Renjana. Akhirnya Dava mendapatkan notifikasi pesan balik dari sahabatnya Renjana yang mengatakan dirinya kini sudah berada di depan gerbang Smansa dan akan menunggu di area parkir. Maka Dava langsung meraih ransel berwarna merah maroon miliknya dan bergegas turun untuk segera ke area parkiran.
***
Dava kakak tingkat Djiwa yang sekarang menjadi sahabat terbaiknya itu tengah menarik ujung rambut panjang Djiwa yang tergerai indah.
"Aduh!" ringis cewek berparas cantik itu dan langsung menolehkan kepala tapi justru ia tidak menemukan siapapun di belakangnya. Dan disaat ia kembali menoleh menghadap kedepan, kedua matanya tercengang. "DAVA!" pekik cewek itu terkejut mundur satu langkah memegang dadanya dan di detik kemudian ia reflek memukul lengan cowok didepannya yang terlihat tengah tertawa kecil.
"Balik?" tanya Dava selow.
"Kenapa? Pasti minta nebeng deh!" galak gadis yang berbadge Djiwa .
"Nanya doang gue." decaknya.
Djiwa mencimingkan mata, "Ekm, curiga nih gue." selanya menatap penuh curiga.
Dava mendengus lalu bergerak memiting leher Djiwa dan menggeret cewek itu menuju parkiran Smansa.
"Dava lepasin gue gak? Ish, ketek lo itu basah, tau!" Djiwa memukul-mukul lengan Dava yang terus memiting lehernya.
Meskipun ketiak Dava itu basah tapi tidak sedikit pun menguarkan aroma yang tidak sedap. Justru sebaliknya, aroma cowok itu sungguh tercium sangat wangi sekali.
Djiwa berhasil lepas dari apitan Dava. Ia merapikan sedikit rambutnya yang terlihat acak-acakan lalu kemudian ia menggandeng lengan Dava posesif sambil berjalan menuju ke arah parkiran sekolah dengan begitu santai tanpa memperdulikan beberapa tatapan fans garis keras Dava yang sudah seperti ingin menguliti.
"Dava!" seruan cowok manis berlesung pipit yang terdengar di telinga, memanggil saat Dava terlihat di depan lorong pintu keluar kearah parkiran.
Pemilik nama yang baru saja di sebutkan jadi menoleh dan mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil tersenyum tipis lalu berjalan sedikit mendahului Djiwa.
Djiwa mengekor di belakang Dava satu langkah mengikuti Dava untuk menghampiri motor dimana ada kakak tingkatnya sewaktu SMP yang tak lain adalah sahabat mereka yang kini berbeda sekolah.
Tiba-tiba saja dua wanita berbisik-bisik lalu kemudian ada yang memperhatikan sambil menutup mulut mereka seperti orang yang sedang menahan tawa mengejek saat Djiwa sudah sedikit melewati mereka.
"Kenapa sih lo pada?" tanyanya heran.
"Lo tembus." sahut salah satu cowok yang berdiri di belakang Djiwa.
"Apa sih, lo pikir gue dedemit bisa tembus!" omel gadis itu tanpa menoleh membuat si pemberitahu melotot geram.
"Guys, guys, coba sini lihat deh. Ada yang pamer lukisan abstrak selai strawberry, nih." ledek Janis yang sangat iri dengan kedekatan antara Djiwa dengan Madhava yang terkenal dengan cowok paling populer yang banyak meraih penghargaan dalam prestasi dan berteman baik bahkan bersahabat dengan tiga cowok ganteng yang takalah pintar dan popular di Gatra alias SMA Garuda Nusantara.
"Eh soul, lo gak bawa roti apa? Selai strawberry lo tuh tumpah-tumpahan!"
Suasana mendadak ramai hampir dari setengah yang berada di parkiran tertawa meremehkan.
"Cewek sinting berulah lagi." batin Djiwa menyambut.
"Lo lagi datang bulan?" bisik Dava.
Gadis itu langsung menoleh dan terbelalak mendengar ucapan pemuda yang sudah berada di belakangnya entah sejak kapan. Pasalnya memang ia sedang datang bulan sejak tiga hari yang lalu.
"Renja, emang gue tembus ya?" tanyanya masih belum yakin apakah ia benar-benar tembus.
Cowok yang sering ia panggil dengan nama itu pun lantas langsung turun dari motor kesayangannya kemudian memutar tubuh gadis itu untuk mengarah kepada dirinya dan melihat apakah benar ada bercak dar*h di rok sahabatnya itu. Di detik kemudian pun cowok yang sering Djiwa panggil Renja pun mengangguk. "Iya."
Rasanya Djiwa ingin menghilang detik itu juga, Djiwa hampir ingin menangis menahan malu di depan banyak orang.
"Va gimana nih? Gue malu anj*rr."
"Tunggu sebentar disini! Gue mau beliin lo roti khusus wanita dulu di mpok Janah sekalian nyari sesuatu yang bisa nutupin rok lo. Makanya besok-besok bawa jaket atau gak tuker tas lo pakai yang ransel." ujar Dava dan langsung berlari sedangkan Renjana dan Sembagi langsung sigap berdiri di belakang gadis itu sesuai intruksi Dava.
Sementara satu teman mereka yang kurang peka malah terlihat cuek dan hanya sibuk dengan siomay yang sejak tadi ia makan lewat plastik yang di buka ujungnya.
"Tapi, ... " ucapan Djiwa terjeda saat Dava sudah menghilang dari pandangannya.
Cowok yang mengenakan kemeja di keluarkan dari celana abu-abu dengan satu kancing teratas di biarkan terbuka serta dasi sedikit longgar yang melekat pada kerah di balut jaket hitam itu bangun berdiri dan menghampiri Djiwa karena kesal mendengar seruaan cewek-cewek yang berdiri dibelakangnya yang terus saja beceloteh meledek Djiwa.
Ia langsung membuka jaket yang ia kenakan serta melilitkannya di pinggang gadis itu guna menutupi rok yang sudah tembus karena sedang datang bulan lalu kemudian mengikat simpul kedepan dengan tenang.
Sungguh rasanya jantung Djiwa seperti mau copot di perlakuan seperti itu oleh cowok yang sebenarnya masih Djiwa kagumi sampai sekarang.
Hampir seluruh murid terutama murid cewek di Smansa yang berada di parkiran sudah nyaris ingin berteriak memprotes. Pasalnya mereka sangat iri atas perlakuan manis cowok berparas tampan yang terkesan sangat perhatian. Mereka sungguh ingin bertukar posisi dengan Djiwa sekarang.
Bayangkan saja, siapa yang tidak ingin di posisi gadis itu. Cowok yang bernama lengkap Gestara Pradeepa Respati adalah salah satu cowok yang langsung menjadi sangat populer dikalangan banyak sekolah terutama sekolah Gatra dan Smansa semenjak rumor beredar kalau ada murid baru berwajah tampan di Gatra. Banyak dari kaum hawa yang begitu terobsesi untuk mendapatkan perhatian seorang Gestara dari awal anak itu tergabung menjadi murid Gatra. Eh, dengan beruntungnya malah Djiwa bisa mendapatkan perhatian itu tanpa harus bersusah payah terlebih dahulu.
***
"Maksudnya tuh mata elang apaan, sih? Kenapa coba pakai sok-sokan baik ngasih ini jaketnya ke gue! Udah gitu pakai acara di iket di pinggang gue segala, biar apa coba? Biar di bilang keren dan romantis?!" decak Djiwa sebal saat mengingat kembali momen di parkiran tadi.
Dava yang tengah fokus mengendarai motor matic milik Djiwa pun berusaha untuk sabar mendengarkan curhatan gadis comel yang ada di belakangnya.
"Mungkin aja dia gak mau lo jadi bulan-bulannan nya si Janis atau mungkin sebenernya dia ada hati sama lo, Dji!"
"Enggak, gak mungkin kalau dia ada hati sama gue, Va!" tekan Djiwa seraya menepuk punggung Dava keras. "Secara dia aja udah nolak gue berkali-kali."
"Kali aja waktu dia mendarat dari pesawat ke jedot terus geger otak ringan."
"Tau gitu kenapa gak sekalian aja lo pukul belakang kepalanya pakai tongkat kasti biar sekalian amnesia tuh cowok. Lo mau bantuin gue kan?"
"Bantuin apa?"
"Bantuin pukul dia buat amnesia." gelak tawa keduanya terdengar nyaring namun terhapus angin.
"Ada-ada aja lo, Dji."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!