Pertikaian terlihat dari jauh, Bunyai hanya melihati apa yang sedang santrinya lakukan dan apa alasan seorang gadis lemah itu di bully.
"Bu, saya izin melerai, maaf buat njenengan (anda) tak nyaman," ucap seorang hadam¹ perempuan itu.
"Jangan dan nikmati saja, jika Allah ingin persaudaraan dari mereka terus terjalin maka akan datang seseorang padanya. Jangan karna kau hadamku dan aku Bunyai di pondok pesantren maka itu bisa jadi alasan buat kamu ikut campur urusan orang lain," tegas Bunyai tersebut.
"Njeh bu," jawab mbak hadam dengan mimik wajah bersalah. Lima menit kemudian datanglah seorang gadis lain menghampiri beberapa teman sebayanya.
"Hei, kau tau? Selama seorang hamba menganggap pada makhluk ada orang yang lebih buruk dari nya,maka ia termasuk orang yg sombong," ucap seorang gadis dengan dandanan yang acak acakan tersebut sembari menenteng tas perempuan yang tersungkur karena di dorong oleh sekelompok temannya.
"Tugasku selesai, ayo mbak pulang," ucap Bunyai dengan menyeruput teh yang hadamnya sediakan, beliau pergi meninggalkan tempat setelah melihat gadis yang melerai pertengkaran para santrinya.
...***...
"Umi habis dari mana?." Tanya seorang lelaki paruh baya dengan meletakkan kopi yang habis ia sruput dan terus memilin butiran butiran kayu yang sudah licin tersebut, lelaki tersebut tersenyum melihat wanitanya datang setelah berkeliling pesantren.
"Bagaimana? Sudah lega?." Tanya laki laki tersebut dengan memeluk sang istri bak orang yang baru pertama kali kasmaran.
"Abah, umi pernah bilang kalau umi ingin abah menikah lagi kan? Umi sudah menemukan wanita yang tepat," ucap sang istri dengan senyuman manis bahagianya. Sang suami bingung dengan sikap istrinya, ia telah menyetujui apa yang selalu istri pertamanya pinta, namun baginya kali ini sang istri sangat kelewatan.
"Umi, abi sudah memiliki tiga istri, abi mempunyai dua putri dari umi dan juga satu putra dari Nyai Fatma? Bagaimana umi bisa mencarikan abi istri lagi jika bagi abi umi saja sudah cukup," ucap sang suami marah dengan nada sedikit membentak, namun sang istri menghadapi amarah suaminya dengan tenang.
"Ini pilihan umi, bantu dia. Mungkin memang nama baiknya tak bagus dikalangan masyarakat karna hanya dia seorang yang tak masuk pesantren, tapi dia gadis yang baik." Sang istri dengan menepuk nepuk punggung suaminya.
"Bahkan umi mencarikan yang seumuran dengan Salsa," ucap sang Kyai dengan sedikit kesal.
Melihat sang suami, Bunyai hanya diam dan tak berkutik sama sekali, Bunyai yakin bahwa permintaannya selalu dituruti oleh sang suami karena bagi para istrinya, Kyai adalah suami yang sangat baik dan perhatian. Waktu makan malam datang, semua anggota keluarga ndalem berkumpul untuk makan bersama seperti biasa, para istri menyambut pak Kyai dengan senyuman manis dan dengan biasa membawa anak anaknya ikut makan dengan mereka semua.
"Abi, habiskan ya," ucap bunda Iffah selaku istri ke dua, disusul dengan ibu Fatma yang menuangkan air dalam gelas sang Kyai, ibu Fatma adalah istri ketiga dari sang Kyai.
"Ibu, bunda. Umi ingin njenengan berdua memaklumi abi, abi butuh seseorang yang membimbing langsung para santri, jadi umi minta njenengan berdua setuju dengan permintaan umi agar abi bisa menikah lagi," ucap Bunyai dengan tegas dan lantang.
"Dengan siapa mi?." Tanya ibu Fatma.
"Sabinna, anak warga," jawab umi Latif.
"Bukannya Sabinna punya karakter ndak baik ya mi?." Tanya bunda Iffah dengan terus terang, namun perbincangan berhenti cukup di pertanyaan bunda Iffah saja. Umi Latif meninggalkan meja makan dan beranjak ke ruang bermain para anak anak.
"Apakah pertanyaan bunda salah bi?, bunda ndak menyinggung umi?." Tanya bunda Iffah yang merasa gugup.
"Bunda, pesan tersirat dari kepergian umi Latif saat makan malam adalah, jangan menilai orang dari perkataan orang lain, kenali dan fahami dahulu. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing masing," tegas abi Nawawi pada kedua istrinya tersebut, abi Nawawi menyusul umi Latif yang sedang ngghodob (marah / jengkel) kepada istri kedua dari sang suami.
"Umi, jangan marah ya, mereka lebih muda dari umi, umi harus sabar dan tegas menghadapi mereka berdua. Iya abi mau menikah dengan Sabinna, umi jangan marah lagi," ucap sang Kyai dengan menenangkan istrinya yang sedang gusar tersebut.
Keesokan paginya, Nyai Latif bersama Kyai Nawawi bergegas membawa bingkisan bingkisan masuk ke dalam mobilnya, beliau berdua telah sepakat bahwa pagi hari ini melamar Sabinna dengan serius. Keduanya memasuki mobil dengan hati yang dag dig dug kencang, takut akan jawaban Sabinna yang sangat jujur dan suka ceplas ceplos.
"Sebenarnya umi sudah uruskan buku nikah abi dan Sabinna, semoga tiga hari kedepan bisa jadi," ucap Nyai Latif dengan senyuman jahilnya.
Ucapan dari Nyai Latifah membuat Kyai kaget dan terheran heran melihat istrinya sangat suka menikahkan dirinya dengan perempuan lain. Kedua hadam di depan tersebut hanya diam saja tak berani menanya nanyai gurunya, takut kena sembur Nyai Latif. Sesampainya di tempat Nyai Latif, Kyai Nawawi dan kedua hadamnya masuk dengan membawa beberapa bawaan dari pesantren.
"Alhamdulillah, pak yai terlihat sehat," ucap nenek Sabinna dengan menyambut ke empat tamu penting tersebut.
"Buk, saya di sini berniat melamar Sabbina," ucap Nyai Latif dengan perasaan tak percaya diri yang kini menyelimuti hatinya, namun penyesalah tak bisa mereka lakukan sekarang.
"Maaf bu, bukan bermaksud menjauhkan ibu dengan Sabinna, tapi inn syaa Allah Sabinna butuh saya untuk membimbing," imbuh sang Kyai yang berusaha memastikan bahwa cucu satu satunya bagi dia akan bahagia bila mengikuti orang baik seperti Kyai Nawawi. Sang nenek hanya manut mangut, mendengar pernyataan dari kedua orang terhormat.
"Assalamu 'alaikum, mbah (nek)," ucap Sabbina menyapa neneknya, ia kaget saat Kyai Nawawi danNyai Latif datang ke rumahnya dengan membawa banyak oleh oleh. Sabinna pun sungkem² kepada beliau berdua.
"Sabinna, nduk (nak). Kamu mau dinikahi sama Kyai Nawawi, kamu mau apa ndak?." Tanya neneknya dengan tulus dan butiran butiran air bening jatuh pada kedua kelopak mata sang nenek, Sabinna merasa iba melihat sang nenek menangis dengan keadaan senang campur terharu.
"Sabinna? Sampean mau apa ndak?." Tanya sang Kyai karena tak kunjung dapat jawaban dari calon istrinya itu. Sabinna gugup, badannya gemetar dan wajahnya memerah, ia berusaha memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan dari sang Kyai padanya.
"Iya Kyai... saya mau.... Kyai," jawab Sabinna tegas walau awalnya ia sempat terhenti dan berpikir dua kali atas jawabannya itu.
Hati Nyai Latif senang, terharu campur dengan sedikit rasa cemburu. Nyai Latif dan Kyai langsung masuk mobil setelah memastikan tanggal pernikahan dengan Sabinna.
"Abi, anggap saja abi membantu Sabinna dari kesulitan, jangan menyertai niat dengan nafsu," tegur Nyai Latifah pada sang suami.
1 \= Hadam adalah kaki tangan atau juga kepercayaan.
2 \= Sungkem adalah tanda bakti.
"Nak, hari ini hidupmu bukan lagi untukmu. Waktu bersenang senangmu sudah habis, jangan kau buat risau suamimu, jangan buat ia mengembalikanmu secara tidak terhormat. Kau harus mampu menjaga wibawamu, menjaga hati dan tata kramamu," ucap sang nenek
Ia terus memandangi cucunya yang sedang di rias oleh penata rias pilihan Nyai Latifah. Sabinna memasuki tempat pengantin dan mendapati Kyai Nawawi sudah siapkan diri dengan mengenakan jas hitam yang membuatnya terkesan sedikit manis, sekilah membuat hati Sabinna teduh saat melihat beliau.
Sabinna duduk dengan jarak satu meter dari Kyai Nawawi, qabiltu yang di iringi ratusan orang yang memandanginya dengan rasa bersyukur dan ada juga rasa iri dengki. Kesempatan terakhir untuk menjadi istri Kyai Nawawi sudah direbut oleh Sabinna sang pembuat onar.
"Aku selalu mendo'akannya agar memiliki suami yang bisa membimbingnya dan kini do'a do'aku sepanjang hari telah terkabulkan," bisik nenek Sabinna pada Nyai Latif. Perkataannya tersebut di sambut dengan senyum manis oleh Nyai.
"Haalan, sah!. Alhamdulillahi rabbi al-'alamiin," ucap para hadirin dengan serempak.
Sang Kyai memberikan tangannya agar Sabinna sungkem pada suaminya itu, walau umur beda selisih tiga puluh tahun akan tetapi suami tetaplah suami. Umi Latif, Bunda Iffah dan ibu Fatma memeluk saudara barunya satu persatu secara bergantian, kisah haru itu memberikan bawang pada setiap pasang mata yang melihat. Malam telah tiba, kini matahati bisa tertidur dengan nyenyak saat bulan muncul pada malam hari, namun itu hanya ada pada dongeng.
Matahari tetaplah matahari, matahati akan tetap bersinar walau pada hari akhir, begitu juga Sabinna kecantikannya memang bersinar mengalahkan semua istri Kyai. Makan malam rutinitas keluarga itu sudah terlaksanakan dengan cepat tanpa sepatah katapun, beda dengan para santri yang senang mendapatkan kotak nasi, ketiga bunyai itu akan merasakan sedikit kecemburuan yang harus ditahan oleh mereka masing masing, itulah mengapa alasan ada mahar untuk mereka.
Hari terus menghilang, gelap bak tak ada lampu di hutan sana, namun rumah itu bukan hutan yang sedang di pikirkan Sabinna. Sabinna sedikit dag dig dug saat memasuki kamarnya yang sudah di persiapkan oleh nyai Latif, ia menggosok badannya sesuai anjuran Nyai Latif berikan padanya. Cklek, pintu kamar mandi terbuka, Sabinna tak mengira bahwa suaminya itu sedang menunggunya di atas ranjang. Sabina berusaha agar terlihat biasa saja dengan keadaan itu, walau sebenarnya itu sangat mengguncang hatinya.
Sabinna meletakkan handuk yang ia buat mengeringkan rambut pada jemuran kecil yang ada di pojokan kamarnya, ia lalu berjalan menuju kasur dengan menahan malu dan pura pura tak melihat sang suami, ia langsung merebahkan tubuhnya dengan kaku, sang suami mengikuti atas yang ia lakukan tanpa menyentuh sehelai kain yang Sabinna kenakan, mereka dalam keadaan terlentang kaku tanpa ada bahan pembicaraan.
"Sabinna," panggil Kyai Nawawi pada istrinya.
"Njeh Kyai," jawab Sabinna dengan lantang dan segera duduk dari tidurnya, tingkah lucu sang istri membuat suaminya terkekeh pelan melihatnya.
"Panggil mas ya, jangan Kyai, ndak enak kalau istri yang dengar," ucap Kyai Nawawi dengan mengelus rambut Sabinna yang terurai kebawah saat akan tidur, Sabinna hanya diam dan mengangguk apa yang Kyai katakan padanya.
"Walau umur beda jauh, tapi kau tetaplah istriku dan aku tetaplah suamimu. Aku takkan benar benar menyentuhmu jika hatimu masih bukan milikku. Aku tua, umurku lima puluh tahun, sedangkan kamu masih gadis remaja yang baru saja menginjak umur dua puluh tahun, perbedaannya sangat jauh jadi wajar saja sulit bagimu menerimaku," imbuh Kyai Nawawi dengan penjelasannya.
Mendengan ucapan itu dari suaminya Sabinna merasa bahwa perasaannya sedang di remehkan, bagaimanapun sudah jelas bahwa Sabinna akan tetap bersentuhan dengannya. Kyai ikut duduk melihat Sabinna terduduk lama tanpa kembali membaringkan tubuh, Sabinna menundukkan kepala dan mengulurkan tangannya pada sang suami, di raihnya tangan Sabinna dan di kecup pelan, Sabinna langsung memeluk Kyai Nawawi dan menutupi wajahnya pada slempitan ketiak lelakinya malam itu.
"Kenapa Sabinna?." Tanya Kyai Nawawi kaget melihat istrinya tiba tiba memeluknya.
"Bisakah kita tidur dengan berpelukan mas? Njenengan sendiri tau bahwa saya masih belum siap tapi tugas istri juga penting, saya kurang faham tugas istri sebagai apa jadi bisakah njenengan maklumi jika saya cuma memeluk hari ini?." Tanya Sabinna dengan nada halus, logat kasar dan angkuhnya hilang seketika saat menghadap Kyai Nawawi juga dengan umi Latif. Malam itu adalah malam untuk keduanya saling mengenal dengan dekat, berbagi cerita satu sama lain dan berbagi tawa yang mereka saling berikan.
"M.. Mas ndak ngantuk?." Tanya Sabinna pada suaminya
"Ndak tapi kalau Bina ngantuk biar tidur duluan," ucap Kyai Nawawi pada istrinya, Sabinna yang merasa tak nyaman akhirnya berdiri dari tidurnya.
"Kenapa d.. dek?." Tanya Kyai Nawawi pada Sabinna.
"Mau buatin mas susu biar bisa tidur, mau ikut ke dapur?." Tanya Sabinna dengan mengajak suaminya bercanda namun candaannya malah di tanggapi dengan serius oleh Kyai Nawawi tersebut.
"Ayo," ucap Kyai Nawawi dengan menggandeng tangan Sabinna keluar dari pintu kamar.
Seketika dua pasang mata melihat ke arah mereka berdua yang keluar dari pintu dengan bergandengan tangan, Nyai Iffah dan Nyai Fatma kaget dengan kedekatan pengantin baru yang tak pernah bertemu itu, kedua ibu pengasuh itu heran karena hanya dipertemuan kedua sang Kyai dan Sabinna sangatlah terlihat mesra dan akrab, Kyai Nawawi dan Sabinna melewari dua orang istrinya pergi menuju dapur dengan terus bergandengan tangan.
"Sebentar ya mas, saya racikkan bubuk susunya. Mas duduk dulu saja ya!." Seru gadis yang tiba tiba mempunyai gelar Nyai tersebut.
Sabinna membawakan susunya dengan hati hati dan meletakkan gelas itu di depan sang suami, di raihnya segelas susu putih itu oleh Kyai Nawawi dan langsung habis dalam beberapa tegukan saja.
Keduanya berusaha agar terlihat tak canggung dan Kyai Nawawi masih berusaha membiasakan diri dengan kedatangan Sabinna sebagai istri keempatnya, tanpa adanya cinta dan kasih sayang Kyai Nawawi terus berusaha membuat Sabinna nyaman di dekatnya. Tak mau ada rasa kecewa pada seorang istripun maka sang Kyai menikahi Sabinna suka rela karena Umi Latif.
Keduanya kembali ke dalam kamar, Kyai Nawawi mulai merasa kikuk dengan keadaannya saat ini. Beliau sama sekali tak tau bagaimana caranya menghadapi hati seorang gadis, karena hati gadis dan wanita biasa sangatlah beda, jika harus meninggalkannya malam ini mungkin Kyai Nawawi akan merasa bersalah namun juga akan bingung untuk memulai hubungan ini dari mana.
"Bagaimana dengan pacarmu?." Tanya Kyai Nawawi membuka percakapan di antara keduanya, mata Sabina terbelalak mendengar pertanyaan yang suaminya lontarkan itu, ingin ia menjawab jujur sang suami tapi takut menyakiti hatinya.
"Ndak ada Kyai, kita sudah ndak berhubungan lagi mulai hari ini," jawab Sabinna dengan menundukkan kepalanya. Keduanya terdiam lama setelah jawaban keluar dari bibir manis Sabinna. Kyai Nawawi mendekap tubuh Sabina dengan hangat dan mengecup kening istrinya tersebut.
"Tapi saya... saya sudah ndak perawan lagi mas," imbuh Sabinna dengan tubuh yang bergetar dalam dekapan sang pujaan hati.
"Aku tau itu, sebenarnya tak perlu kau ucapkan, membuat hati tak sreg lagi ingin memberi belas kasih," tegas Kyai Nawawi dengan langsung menidurkan diri dengan membelakangi Sabinna, Sabinna mengikutinya merebahkan diri dan memeluk suaminya dari belakang, agar amarah sang suami sedikit reda.
Waktu terus berjalan, malampun sebentar lagi menjemput sang fajar namun Sabinna dan suaminya tak kunjung mengistirahatkan kelopak matanya. Sabinna tak berkutik sama sekali walau sang suami terus membelakanginya, sedikit rasa kecewa ada pada benak Sabinna namun ia tetap paksakan dan mengingat bagaimana kecewanya Kyai Nawawi saat mengetahui istrinya tak lagi memiliki perawan sebelum menikah dengannya.
Sabinna beranjak dari tidurnya dan mengambil wudhu karena tak kunjung tertidur. Saat ia membuka pintu Sabinna memandangi wajah sang suami yang sedang terlelap. Sabinna melakukan sholat tahajjud di kamarnya tepat di samping kasur tempat Kyai Nawawi berbaring, dua rakaat yang kini baginya tak cukup ia tambah dengan lamanya sujud sembari tersedu sedu, memantaskan diri bukanlah hal mudah bagi Sabinna yang terbiasa bebas dalam bergaul.
Tangisan Sabinna berhenti, kini Sabinna membaringkan tubuhnya tepat di atas sajadah milik Kyai Nawawi yang sedang ia pakai, Sabinna akhirnya bisa terlelap setelah merengek habis habisan pada sang maha Kuasa agar dikuatkan berjuang untuk pesantren, untuk umi Larifah dan juga untuk Kyai Nawawi.
Kyai Nawawi bangun dari tidurnya setelah melihat Sabinna terlelap, sedari tadi beliau hanya berpura pura tidur agar Sabinna merasa nyaman melakukan sholat tahajjudnya. Kyai Nawawi berjalan menuju tubuh Sabinna dan menggendongnya ke atas kasur agar sang istri tak kedinginan, Kyai Nawawi melipat sajadah yang di kenakan oleh istrinya dan menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhnya dan bersiap sholat subuh.
Tok Tok Tok, suara pintu kamar terdengar berbarengan dengan keluarnya kyai Nawawi dari kamar mandi, langsung Kyai Nawawi berjalan ke arah pintu dan membuka knopnya, terlihat tiga wanita shalekhah di depan pintu sedang menunggunya untuk turun mengimami sholat subuh.
"Saya sedang bersiap dan berangkat dahulu. Istri istriku, bangunkan saudara barumu," ucap Kyai Nawawi dengan membenahi kancing lengan pada kemejanya dan melewati ketiga istrinya, tanda mempersilahkan masuk untuk ketiganya.
"Sabinna, bangun. Kyai sudah turun, ayo jama'ah," ucap bunda Iffah sambil sedikit menepun nepuk punggung Sabinna, Sabinna terbangun dan langsung duduk saat melihat tiga wanita di depannya.
"Sudah waktunya sholat subuh ya umi, umi umi jalan duluan, Sabinna mau cuci muka dan wudhu," pinta Sabinna agar ketiga istri Kyai mendahuluinya.
...***...
"Waktunya umi Latifah mengimami asrama putri, saya juga bunda Iffah ikut Kyai berjama'ah di masjid putra. Assalamu 'alaikum," ucap Nyai Fatma mengucapkan salam, Nyai Latifah mengangguk dan menjawab salam dari Nyai Fatma dengan senyum yang cantik, beliau bertiga langsung bergegas pergi agar sholat subuh tak telat. Semua para jama'ah berdiri untuk memulai sholat subuhnya, dari kejauhan Sabinna yang melihat itu langsung lari terbirit birit agar tak kehilangan raka'at pertama dari sang imam.
"Akhirnya sampai juga" sapa Nyai Iffah ada Sabinna dan langsung membacakan niat sholat subuh.
"Assalamu 'alaikum warahmatullah, Assalamu 'alaikum," salam sang Kyai mengakhiri sholat subuh, dilanjut wirid bersama dan soroghan al qur'an bagi para santriwan maupun santriwati.
"Sabinna, sampean ngaji ke Kyai ya Kyai tidak mengajar untuk subuh, bunda Iffah dan saya mau mengajar ngaji. Saya undur diri," ucap Nyai Fatma pada Sabinna dengan sopan, mendengar keterangan dari Nyai Fatma akhirnya Sabinna memutuskan untuk menunggu Kyai turun dari masjid.
Tiga puluh menit, satu jam, satu setengah jam berlalu namun Kyai Nawawi tak kunjung turun dari masjid akhirnya salah seorang santri putra memberanikan diri menanyai ibu pengasuh barunya karena terlihat sangat kebingungan.
"Nyai, tasek wonten acara nggeh? (Nyai, masih ada acara ya?)" Tanya seorang santri pada Sabinna.
"Kyai pundi? (Kyai mana?)" Tanya Sabinna singkat pada santri tersebut.
"Kyai sampun tindak (Kyai sudah pergi) " jawab santri tersebut dengan sedikit menahan tawa, bagi para santri sehabis malam pertama memanglah bukan hal tabu jika pasangan pengantin saling lengket bak prangko, namun bagaimana bisa jika itu Nyai dari pesantren menunggu kyai yang sudah lama pergi di depan masjid putra.
"Matur nuwun kang (Terima kasih mas)," ucap Sabinna dengan kesal dan meninggalkan masjid putra tersebut.
Sabinna mengomel saat berjalan menuju ndalem³. Ia membuka pintu rumah dan langsung berlari menuju pintu kamarnya, saat memasuki kamarnya pun Sabinna masih terus mengomel sendiri tak karuan bahkan ia tak menyadari bahwa Kyai Nawawi sedang memperhatikannya di tengah pintu ruang ganti.
"Mau ngaji atau terus ngomel?." Tanya Kyai Nawawi dengan berjalan menuju kasur yang kini di tempati oleh Sabinna.
"Ndak mau, mau tidur aja," ucap Sabinna malu malu sambil menutupi wajahnya dengan selimut tebal yang ada di tangannya saat ini. Kyai Nawawi langsung mengambil selimut tersebut dan terus memandangi wajah malu sang istri.
"Mass... Jangan dilihat ihh," ucap Sabinna yang langsung reflek memukul pelan paha suaminya dan tersungkur di atas kasur karena saking malunya.
"Jangan malu malu, bereskan baju sampean nanti tak cucinya, habis ini para hadam mau bersihkan kamar " ucap Kyai Nawawi dengan terus tersenyum sembari membelai rambut Sabinna pelan.
...***...
"Assalamu 'alaikum, abi" ucap ketiga orang istri Kyai Nawawi yang sudah selesai melaksanakan tugasnya. Langsung Kyai Nawawi pergi dari kamar Sabinna dan langsung menghampiri ke tiganya dan menyalaminya.
"Gimana perkembangan santri yang belum bisa baca al qur'an umi?" tanya Kyai Nawawi pada Nyai Latifah
"Alhamdulillah bi, bulan depan inn syaa Allah lancar jika mereka ada niatan untuk serius" jawab umi Latifah dengan penuh keyakinan.
"Yang tahfidul qur'an bagaimana bunda?." Tanya Kyai Nawawi pada Nyai Iffah.
"Alhamdulillah tahun ini inn syaa Allah yang wisuda ada lebih dari sepuluh orang perkamar ayah," jawab Nyai Iffah dengan senyuman manisnya.
"Bagaimana tentang madrasah diniyah tahun ini?" tanya Kyai Nawawi pada Nyai Fatma.
"Semua urusan beres, tinggal persiapan wisuda dan juga hadiah bagi siswa siswi yang berprestasi," jawab Nyai Fatma dengan senyum ciri khasnya.
"Kalau semuanya siap, abah mau minta Sabinna mengurus pesantres. Semua peraturan, keuangan dan yang lainnya. Dia tak pandai dalam mengaji tapi dia tegas dan pintar dalam ilmu dunia, jika di gandengkan dengan kehidupan pondok maka ilmunya takkan sia sia, inn syaa Allah," ucap Kyai Nawawi mengakhiri rapat pagi kali ini.
Melihat para khadam sudah datang membuat Ketiga Nyai tersebut pergi ke dapur dan bersiap memasakkan sesuatu untuk di santap oleh keluarganya. Dari kejauhan Kyai Nawawi melihat dua orang anak kecil berlarian, siapa lagi kalau bukan neng Syifa dan gus Wahyu.
"Wahyu, Syifa. Ojo mbalu mblayu, ndak tibo (Wahyu, Syifa. Jangan lari lari, nanti jatuh)," teriak Kyai Nawawi pada putra putrinya yang masih kecil. Keduanya berhenti berlari dan menghampiri Kyai Nawawi.
"Abah katanya nikah sama kimcil ya?." Tanya neng Syifa pada Kyai Nawawi.
"Ck, kimcil itu apa?." Tanya Kyai pada neng Syifa.
"Ndak tau kata mbak mbak kimcil," jawab gus Wahyu sambil ngos ngosan.
"Sudah, sudah. Masuk rumah, nanti di pukul umi lho," tegur Kyai Nawawi pada kedua anaknya. Setelah melihat kedua anaknya yang memasuki pintu masuk ndalem, akhirnya Kyai Nawawi pergi ke asrama putri untuk mencari siapa dalang yang bermulut comberan tersebut.
3 \= ndalem adalah kediaman Kyai di dalam pesantren.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!