Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan genangan air di luar gudang tua yang terkunci rapat. Di dalam, hanya ada kegelapan dan dingin yang menusuk. Pintu gudang terbuka dengan kasar, dan seorang bocah laki-laki dilempar masuk ke dalam kegelapan. Zavin terjatuh dan meringis kesakitan, tapi cepat-cepat dia bangkit dan melihat sekeliling. Hanya ada satu sumber cahaya dari kaca kecil di atas jendela yang tertutup rapat.
"Siapa nama kamu?" tanya Zavin setelah matanya menangkap sosok kecil yang tersandar di pojok ruangan. Gadis kecil itu menangis dan bahunya terguncang oleh isak tangis yang tertahan.
"Viola," jawabnya dengan suara parau, menatap Zavin dengan mata penuh air mata. "Kakak siapa?"
Zavin mendekatinya perlahan dan berusaha tidak menakuti gadis itu. "Zavin," jawabnya, mencoba tersenyum walau hatinya sama takutnya. Ia duduk di sebelah Viola, meletakkan tangannya pelan di bahunya yang gemetar. "Jangan takut, aku di sini."
Viola mengusap air matanya dan mencoba menghentikan isak tangisnya. "Kenapa kita di sini? Aku mau pulang."
Zavin menggigit bibirnya, menahan rasa takut yang mendera dirinya juga. "Mereka menculik kita dan mungkin minta uang tebusan," jelasnya
"Uang tebusan? Tapi Mama tidak punya uang," kata Viola dengan polos.
Zavin terdiam beberapa saat menatap gadis kecil yang masih berumur lima tahun itu dengan pakaian yang lusuh. "Kita akan keluar dari sini, aku janji."
"Mereka jahat, Kak Zavin," Viola meringkuk lebih dekat, berusaha mencari kehangatan dari Zavin. "Aku dengar mereka bicara kalau aku akan dijual. Memang ada yang mau beli anak-anak?"
Zavin yang sudah berumur sembilan tahun cukup memahami apa yang dikatakan Viola. "Tidak ada. Kita bukan barang. Kamu tenang saja, aku akan menjaga kamu."
Viola mengangguk lemah dan mempercayai bocah laki-laki yang baru ia kenal.
Malam semakin larut, suara hujan di luar menjadi satu-satunya penanda waktu. Zavin dan Viola hanya bisa berpelukan erat, mencoba menghalau dingin. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Zavin memegang erat tangan Viola dan berbisik, "Jangan bersuara."
Pintu gudang terbuka, dan cahaya senter menerobos masuk. Seorang pria tinggi dengan topeng hitam berdiri di ambang pintu. Di tangannya, ia memegang sesuatu yang membuat napas Zavin tertahan. Ya, sebuah ponsel yang sepertinya terhubung dengan kedua orang tuanya.
"Kamu mau bicara dengan orang tua kamu? Jika orang tua kamu tidak ke sini juga, aku akan jual kamu dan anak itu!"
Viola mulai terisak lagi, tapi Zavin memeluknya erat dan menatap pria itu dengan mata penuh keberanian yang ia paksakan. "Papa pasti ke sini. Kita berdua akan keluar dari sini!"
Pria itu tersenyum di balik topengnya dan menyalakan ponsel memperlihatkan waktu di layar ponselnya. "Waktu orang tua kamu untuk membayar hampir habis," katanya dingin. "Jika sampai besok pagi tidak ke sini, kalian tahu apa yang akan terjadi."
Zavin menahan napas, otaknya berpacu mencari jalan keluar. Namun sebelum ia bisa berkata lagi, pria itu menutup pintu dengan keras. Kegelapan kembali menyelimuti mereka.
Viola memeluk Zavin lebih erat, dan Zavin tahu mereka tidak punya banyak waktu. "Kak Zavin..." Viola berbisik, suaranya gemetar. "Apa yang akan kita lakukan?"
Zavin menarik napas dalam dan menatap jendela yang tertutup rapat itu. "Kita akan keluar dari sini."
Zavin memandangi jendela kayu di sudut ruangan yang terkunci rapat. Harapan mereka untuk kabur hanya terletak di sana, di jendela yang telah tertutup begitu lama. Dengan napas yang berat, Zavin mendekati jendela itu dan meletakkan tangannya di bingkainya.
“Viola, aku akan mencoba membuka jendela ini,” bisik Zavin, suaranya tegas meski hatinya diliputi kecemasan.
Viola menatapnya dengan mata yang memantulkan ketakutan. Ia mengangguk pelan, mencoba memberikan semangat pada Zavin.
Zavin menggenggam pegangan jendela dan mulai mendorongnya sekuat tenaga. Jendela itu berderit, menandakan bahwa sudah lama sekali tak dibuka. Butuh tenaga ekstra untuk membuka celah yang cukup agar mereka bisa melarikan diri.
Viola berdiri tak jauh dari Zavin. Dia menggigit bibir bawahnya sambil memandang ke arah pintu, takut penculik itu akan kembali kapan saja.
Ketika Zavin berhasil membuat celah kecil. Ia mendorong lebih keras lagi. Namun, tepat ketika jendela hampir terbuka sepenuhnya, sebuah suara langkah kaki terdengar mendekat dengan cepat.
"Hei! Apa yang kalian lakukan?!" suara penculik terdengar menggelegar, membuat hati Viola nyaris berhenti berdetak. Pintu terbuka dengan kasar, dan penculik itu langsung menghampiri jendela yang berhasil terbuka. Tanpa ragu, ia menutup jendela itu dengan keras. Hingga daun jendela itu menghantam dahi Zavin.
Zavin terhuyung ke belakang sambil menahan kepalanya. Rasa sakit menyeruak dengan cepat, dan ia bisa merasakan cairan hangat mengalir di dahinya. Tangannya bergetar saat ia menyentuh dahinya dan melihat darah di jari-jarinya.
"Kak Zavin." Viola berlari menghampiri Zavin yang kini berlutut sambil menahan rasa sakit di kepalanya. Air mata mengalir di pipi Viola, suaranya pecah ketika melihat darah yang mengalir dari dahi Zavin. "Kak Zavin, berdarah," katanya dengan isakan yang semakin keras.
"Aku tidak apa-apa, Viola," ucapnya pelan sambil menarik tubuh Viola ke dalam pelukannya. "Jangan menangis. Aku tidak apa-apa." Zavin berusaha menahan rasa sakitnya hingga darah itu berhenti mengalir dengan sendirinya.
Penculik itu menatap mereka dengan tatapan dingin setelah kembali mengunci jendela itu. "Jangan coba-coba melarikan diri lagi!" bentaknya. "Orang tua kalian sudah setuju untuk membayar. Uang sedang dalam perjalanan. Jadi, lebih baik kalian duduk manis di sini dan tunggu."
Zavin tidak merespons, matanya terpejam sambil menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Ia hanya fokus pada Viola dan memastikan Viola tidak semakin ketakutan. Penculik itu mendengus kesal dan keluar dari ruangan, meninggalkan mereka dalam kegelapan.
Malam itu terasa begitu panjang. Zavin duduk bersandar di dinding dengan Viola di sampingnya. Angin malam yang dingin menyusup melalui celah-celah ruangan, membuat tubuh Zavin menggigil. Rasa panas mulai menjalar di tubuhnya, pertanda demam yang datang akibat luka di dahinya. Namun, ia berusaha tetap sadar, menahan semua rasa sakit itu.
“Kak Zavin...,” suara Viola terdengar lirih. Ia bisa merasakan tubuh Zavin yang semakin panas. "Kakak demam..."
Zavin tersenyum lemah, mengusap punggung adiknya dengan pelan. "Tidak apa-apa, Viola," bisiknya. "Kita akan segera keluar dari sini. Percayalah."
Viola memeluk Zavin semakin erat, air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Perlahan, kesadaran Zavin mulai memudar. Pandangannya kabur, dan suara Viola semakin terdengar samar. Meski tubuhnya terasa semakin berat, Zavin tetap memeluk Viola erat. Hingga kegelapan mengambil alih dan Zavin tak sadarkan diri.
"Kak Zavin tidur?" Viola juga memejamkan matanya karena dia kira, Zavin hanya tertidur.
Arvin tiba di lokasi dengan tergesa-gesa, diikuti oleh polisi dan beberapa anak buahnya. Wajahnya tegang, penuh dengan kekhawatiran. Seluruh jalan menuju gedung tua itu dipenuhi kendaraan polisi, lampu merah-biru berkedip menerangi pagi buta yang belum menunjukkan sinar matahari. Arvin berlari menuju gedung itu untuk menyelamatkan anak semata wayangnya.
"Di mana Zavin?!" Arvin hampir berteriak pada salah satu anak buahnya.
"Mereka ada di dalam, Tuan. Penculik itu telah dilumpuhkan. Tapi Zavin terluka."
Arvin berlari masuk yang diikuti beberapa polisi. Di salah satu sudut ruangan yang remang-remang, ia melihat tubuh Zavin terbaring lemah dengan Viola di sampingnya.
"Zavin!" Arvin berlari dan berlutut di samping putranya. Ia mengangkat kepala Zavin dengan hati-hati, melihat luka di dahinya dan merasakan betapa panas tubuh putranya. "Zavin, ini Papa... Papa di sini sekarang." Suaranya bergetar ketika menyentuh pipi Zavin.
Viola memandang mereka dengan tatapan kosong. Ia melihat Arvin mendekap Zavin erat-erat, air mata Viola menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak memiliki seorang ayah seperti Zavin. Bahkan sepertinya tidak ada yang peduli padanya.
Arvin segera menggendong Zavin dan membawanya keluar dari gedung tua itu. Dia membawa Zavin masuk ke dalam mobil dan segera menuju rumah sakit.
Viola hanya menangis sambil mendekap dirinya sendiri hingga akhirnya ada seorang polisi yang menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam mobil polisi. Viola juga dibawa ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Setibanya di rumah sakit, para dokter dan perawat segera menangani Zavin. Arvin berusaha tetap di sisi putranya, meskipun harus berulang kali didorong ke luar oleh para perawat yang ingin memberikan ruang untuk tim medis bekerja.
Akhirnya Arvin keluar ruangan saat istrinya datang.
"Kak Arvin, bagaimana kondisi Zavin?" Zeva memeluk suaminya. Dia sangat khawatir dengan kondisi putranya.
"Zavin masih ditanganu oleh dokter. Maaf, aku terlambat menemukan Zavin." Arvin semakin mengeratkan pelukannya.
"Yang terpenting Zavin sudah selamat."
Beberapa saat kemudian dokter yang menangani Zavin keluar. "Bagaimana kondisi anak saya?" tanya Arvin.
"Putra Anda baik-baik saja," kata dokter itu. "Lukanya tidak terlalu serius, ia hanya mengalami demam tinggi. Kami berhasil menstabilkan kondisinya. Ia perlu istirahat penuh selama beberapa hari ke depan."
Arvin menghela napas lega. Kemudian mereka berdua segera berjalan menuju ruang rawat Zavin.
Zeva tersenyum dan mencium kecil kening putranya. "Syukurlah, kamu selamat."
"Aku baru ingat, ada seorang anak perempuan lagi masih kecil. Dia menangis." Arvin segera menghubungi anak buahnya yang sedang bersama polisi. Dia mendengarkan cerita anak buahnya tentang gadis kecil itu.
"Jadi, anak itu tidak memiliki keluarga? Dia sengaja ditinggal di depan panti asuhan sebelum diculik. Biar aku menemuinya di ruang rawat, dia pasti sangat takut dan sedih." Setelah mematikan panggilan itu, Arvin kekuar dari ruang rawat Zavin tapi Zeva mengikutinya.
"Aku ikut!"
...***...
Viola duduk sendirian di ruang rawat rumah sakit. Dia memeluk lututnya, menariknya ke dada, mencoba mencari kehangatan dan kenyamanan yang tidak kunjung datang. Matanya memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong saat matahari mulai bersinar.
“Mama... kenapa tidak mencari Viola?” Viola bergumam dengan suara serak. Tangisnya pecah, mengguncang tubuh kecilnya. Dia terisak dan membiarkan air matanya mengalir tanpa henti.
Viola mendongak ketika mendengar langkah kaki mendekat. Matanya yang merah dan bengkak melihat Zeva yang mendekatinya.
Zeva berlutut di samping brankar, mencoba menyamai tinggi Viola yang duduk di ujung ranjang. Dia meraih tangan kecil gadis itu dengan lembut dan mengusapnya pelan untuk memberikan rasa nyaman.
"Nama kamu Viola?" tanya Zeva dengan lembut dan penuh kehangatan.
Viola mengangguk pelan, matanya masih dipenuhi air mata. "Iya..." jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Zeva menarik Viola ke dalam pelukannya agar rasa takutnya berkurang. "Viola, mau jadi adik Kak Zavin?"
Viola terdiam di pelukan Zeva, isakannya mulai mereda. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Zeva dengan mata yang basah. "Jadi adik Kak Zavin?" ulangnya, suaranya dipenuhi kebingungan dan sedikit harapan.
Zeva mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya, sayang. Mulai sekarang, kamu bisa panggil aku Mama, dan kamu bisa panggil Papa Kak Zavin, Papa. Kita akan selalu bersama. Kamu tidak perlu merasa sendirian lagi."
Viola memandangi Zeva dalam diam. Hatinya yang rapuh masih dipenuhi pertanyaan dan kebingungan. Dia menoleh ke arah Arvin, yang berdiri di dekat mereka dengan ekspresi penuh kehangatan. Dia mencoba memahami apa yang terjadi, tapi usianya yang masih lima tahun membuatnya sulit untuk benar-benar mengerti.
"Viola... akan tinggal bersama Mama dan Papa Kak Zavin?" tanyanya ragu. "Tapi, Viola punya Mama. Viola mau mencari Mama."
Zeva terdiam sejenak dan menangkup kedua pipi Viola. "Mama Viola, suatu saat nanti pasti akan mencari Viola tapi sekarang Viola tinggal sama kita ya, biar Kak Zavin ada teman bermain di rumah."
Viola menatap Zeva dan Arvin bergantian. Perlahan, Viola mengangguk. "Viola... mau jadi adik Kak Arvin."
Zeva merasa senang mendengar hal itu. Ia menarik Viola kembali ke dalam pelukannya. "Mulai sekarang panggil Mama ya."
Viola mengangguk pelan. "Iya, Mama."
Arvin mendekat dan berlutut di samping mereka. Dia mengulurkan tangannya untuk mengusap punggung Viola dengan lembut. "Mulai sekarang, kami akan menjadi keluargamu, Viola. Kita ke ruangan Kak Zavin ya."
Viola menganggukkan kepalanya. Dia menurut begitu saja saat Arvin menggendongnya.
Saat mereka sampai di ruang rawat Zavin, Viola turun dari gendongan Arvin dan mendekati Zavin yang baru saja membuka kedua matanya. "Kak Zavin."
"Viola, kamu tidak apa-apa?"
Viola menggelengkan kepalanya. Dia naik ke atas brankar dan memeluk Zavin.
"Zavin, mulai sekarang Viola akan menjadi adik kamu," kata Zeva.
Zavin tersenyum merekah mendengar hal itu. "Benarkah? Akhirnya aku punya adik." Zavin membalas pelukan Viola yang memeluknya. "Aku pasti akan selalu menjaga kamu, Viola."
"Nanti kalau Viola sudah besar, Viola juga bisa jaga Kak Zavin. Biar Kak Zavin gak terluka lagi," kata Viola.
Zeva dan Arvin tersenyum melihat kedekatan mereka yang begitu cepat terjalin. "Mulai sekarang, kita punya dua anak. Aku akan segera mengurus surat adopsi Viola."
"Lepaskan!"
"Kita harus keluar dari sini!"
Zavin terbangun dengan napas tersengal-sengal. Ia duduk tegak, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Sekelilingnya begitu gelap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Napasnya terasa berat seolah ruangan itu mengurungnya dalam mimpi buruk yang tak pernah usai.
Dengan tangan gemetar, Zavin meraih saklar di samping tempat tidur dan menyalakan lampu kamarnya. Cahaya putih yang tiba-tiba memenuhi ruangan membuat matanya menyipit sesaat. Ia menatap sekeliling untuk memastikan bahwa ia sudah kembali ke kenyataan, jauh dari mimpi yang selalu menghantuinya.
Ia melangkah gontai menuju meja kecil di sudut ruangan dan meraih botol air mineral. Ia membuka tutupnya dengan tergesa-gesa, lalu meneguk air tersebut hingga hanya tersisa setengah botol. Air dingin itu mengalir melalui kerongkongannya, sedikit demi sedikit menenangkan gejolak dalam hatinya.
"Sudah 15 tahun berlalu, tapi aku belum juga melupakannya," gumam Zavin pada dirinya sendiri.
Zavin menatap bayangannya di cermin besar yang tergantung di dinding. Ia mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat dingin, lalu pandangannya turun ke bekas luka samar di dekat rambutnya. Luka yang nyaris tak terlihat lagi, tapi tetap membekas dalam setiap ingatannya. Bekas luka itu adalah saksi bisu dari masa lalunya—masa yang telah membentuknya menjadi sosok yang sekarang.
Ia berjalan perlahan menuju kamar mandi, menyalakan keran dan membasuh wajahnya. Ia sekarang sudah 24 tahun dan sudah mulai memimpin perusahaannya sendiri.
Zavin mengeringkan wajahnya dengan handuk, lalu berganti pakaian. Ia mengenakan kaos dan celana olahraga yang sudah disiapkannya di kursi dekat pintu. Seperti biasa, setelah mimpi buruk itu, ia tak mungkin kembali tidur. Satu-satunya cara untuk mengatasi gejolak batinnya adalah dengan berolahraga, membiarkan tubuhnya lelah sampai tak ada ruang bagi pikiran-pikiran gelap itu.
Ia melangkah keluar dari kamarnya menuju taman di halaman rumah, berharap udara segar sebelum fajar bisa meredakan ketegangan dalam dirinya. Saat ia baru keluar dari kamarnya, ia melihat pintu kamar Viola yang sedikit terbuka. Ia berhenti. Pikirannya sejenak kembali pada Viola yang telah menjadi satu-satunya alasan ia terlihat kuat saat ia diculik semasa kecil dulu. Sejujurnya, ia juga sangat ketakutan sama seperti Viola.
Zavin mendekati pintu itu, berniat menutupnya perlahan agar tidak membangunkan Viola. Namun, dari celah pintu yang terbuka, ia melihat selimut Viola tersingkap dan memperlihatkan paha mulusnya yang terpapar cahaya lampu kamar. Wajah Zavin memerah, dengan cepat ia berpaling. Segera, ia menarik pintu hingga tertutup dengan keras.
"Kak Zavin!" teriak Viola dari dalam kamar.
Zavin tak peduli dengan teriakan itu. Ia segera berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju taman. Di bawah langit yang mulai terang, Zavin mencoba memfokuskan pikirannya pada gerakan-gerakan olahraga yang akan ia lakukan. Ia meninju udara beberapa kali, mencoba mengeluarkan semua beban dari pikirannya. Lalu berlari mengelilingi taman.
"Kak Zavin!" Viola berteriak sambil berlari menghampiri Zavin yang sedang berlari. Dengan sengaja, ia menjulurkan kakinya, membuat Zavin hampir tersandung. Tapi Zavin tak sampai terjatuh, karena kakinya begitu kuat menopang tubuhnya.
"Apa?" tanya Zavin dengan nada kesal, menatap Viola yang kini sudah berusia 20 tahun dan sedang menempuh semester lima kuliahnya.
"Kenapa Kak Zavin ganggu aku tidur?" Viola menggerutu, memasang wajah kesal seperti anak kecil yang baru terbangun dari tidurnya yang nyenyak.
Zavin berdiri tegak dengan kedua tangannya berkacak pinggang. Pandangannya tertuju pada Viola yang kini berdiri di depannya dengan wajah cemberut. "Aku cuma tutup pintu kamar kamu. Kalau tidur, pintunya ditutup."
Viola menggembungkan pipinya, ekspresi yang biasa ia lakukan setiap kali merasa kesal atau tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Wajahnya yang menggemaskan membuat Zavin semakin jengkel. "Memang kenapa? Di dekat kamarku cuma ada Kak Zavin."
"Kamu itu udah gede, Viola. Harus jaga privasi kamar kamu sendiri. Dan satu lagi, jangan masuk ke dalam kamarku sembarangan." Zavin menatap Viola dengan tegas, berusaha menyampaikan batasan yang harusnya sudah dimengerti oleh gadis seusia Viola.
"Kapan aku masuk ke dalam kamar Kak Zavin sembarangan?" Viola berkilah dan memasang wajah tak berdosa, seolah ia tidak pernah melakukan hal yang Zavin maksud.
Zavin menghela napas panjang, mencoba mengingatkan kembali. "Sebulan yang lalu, waktu aku lagi tidur, tiba-tiba kamu masuk dan peluk aku. Kamu cerita panjang lebar tentang masalah cowok kamu. Lalu, seminggu yang lalu, kamu masuk saat aku lagi ganti baju karena aku lupa gak kunci pintu. Jangan seperti itu lagi."
Viola menatap Zavin dengan tatapan bingung bercampur kesal. "Dih, kita ini kakak adik. Memangnya Kak Zavin nafsv sama adik sendiri? Bilang aja, gak mau aku ganggu. Oke, mulai sekarang aku akan jaga jarak dan Kak Zavin jangan larang aku lagi jalan sama cowok aku." Viola sangat kesal. Ia membalikkan badannya dan berjalan menjauh sambil terus menggerutu pelan, tidak peduli apakah Zavin bisa mendengarnya atau tidak.
Zavin hanya bisa menghela napas panjang melihat tingkah Viola. Ia mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi sebelum akhirnya duduk di kursi taman yang terletak di halaman samping rumah. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan Viola yang perlahan menghilang di balik pintu rumah.
"Untung kamu lupa masa kecil kamu," gumam Zavin dengan suara yang hanya bisa didengarnya sendiri. "Coba saja kalau kamu masih ingat. Apa kamu masih berani berbicara seperti itu sama aku?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!