NovelToon NovelToon

Sang Villain Yang Merebut Hati

KUNTI ASUUU!

Amanda memutar gas motornya sedikit lebih dalam. Angin malam menampar wajahnya, sementara bibirnya komat-kamit melafalkan doa dan mantra yang ia hafal sejak kecil. Di jok belakang, Bela memeluknya erat, tubuhnya gemetar, matanya tak lepas dari jalanan gelap di depan.

"Astaga, Mand… gue beneran gak nyangka bakal sesepi ini," bisik Bela, suaranya bergetar.

Amanda mengangguk pelan tanpa menoleh. "Gila sih… ini masih jam tujuh malam, tapi suasananya kayak jam dua dini hari."

"Dan… cuma kita doang di sini," tambah Bela pelan. Kepalanya makin menunduk, seolah takut melihat apa pun yang bisa muncul dari balik bayangan.

Jalanan itu membentang sunyi, hanya ditemani cahaya lampu motor mereka yang kuning redup dan rembulan pucat yang mengintip dari balik awan. Di kanan dan kiri, kebun-kebun gelap mengapit mereka seperti dinding tak bernyawa. Tak ada suara lain selain dengung mesin motor dan desiran angin yang terasa dingin menusuk kulit.

Cahaya iman pun rasanya tak cukup untuk menenangkan mereka malam itu.

Amanda dan Bela baru saja pulang dari sekolah setelah rapat panjang dan latihan ekskul pramuka. Sebagai anggota OSIS sekaligus pengurus pramuka, mereka sibuk mempersiapkan kegiatan class meeting yang akan digelar esok hari. Waktu berlalu tanpa disadari hingga sekolah benar-benar sepi dan mereka jadi yang terakhir pulang.

Sialnya, jalan utama sedang diperbaiki. Lubang-lubang besar dan tanah yang tak rata memaksa mereka memilih rute alternatif ini—jalur lama yang dikenal angker, dan sudah lama tak dilalui warga.

Amanda menggigit bibirnya. "Gue benci jalan ini. Tapi gak ada pilihan lain."

Bela memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi saat itu juga, motor Amanda melintasi sebuah lubang kecil, dan lampu depannya berkedip lemah—sekilas saja. Namun cukup untuk membuat jantung mereka hampir copot.

"Gak lucu, Mand. Jangan mati di sini lampunya. Sumpah gue bisa pingsan!" seru Bela panik.

"Gue juga gak niat, Bel," balas Amanda cepat, kali ini suaranya ikut gemetar.

Mereka tak tahu, malam itu mereka bukanlah satu-satunya penghuni jalan gelap itu.

Bela menyipitkan matanya, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar. Suara tawa… pelan, lirih, tapi jelas. Seperti suara seorang wanita—tapi bukan tawa manusia biasa. Terdengar serak, melengking, dan menggema di udara malam yang sepi.

Refleks, Bela menoleh ke kanan, lalu ke kiri, sebelum akhirnya pandangannya terhenti pada sebuah pohon besar di sisi jalan. Di sanalah ia melihatnya.

Sosok putih. Rambut panjang menjuntai sampai menutupi wajahnya. Duduk berayun pelan… sambil tertawa.

Jantung Bela seperti berhenti berdetak sejenak.

"MAND—" Bela langsung memukul bahu Amanda dengan keras. "MANDA! ADA KUNTI ANYING DI POHON! CEPETAN, NGEBUT LAH, NGEBUT PLISS!"

Amanda, yang sedang fokus di kemudi, langsung goyah karena Bela mengguncangnya seperti boneka.

"YA ELAH, DIEM LAH MONYET!" pekik Amanda, berusaha menyeimbangkan motor yang sempat oleng. Ia mencengkeram setang kuat-kuat, wajahnya mulai panik.

"PEGANGAN! GUE NGEBUT NIH! GAK MAU DISERET KE POHON GUE!"

Ngeng

Swessss

Bela nyaris terjengkang dari jok belakang karena motor langsung melaju kencang, menabrak angin malam yang dinginnya seperti ikut berteriak bersama mereka.

Amanda memicingkan mata, mencoba menembus gelapnya jalan di depan. Tangannya menggenggam erat stang motor sambil menarik gas sekuat tenaga. Angin malam menerpa wajahnya, membuat rambut panjangnya berkibar liar ke belakang—terlihat seperti pahlawan super, meski jantungnya sama sekali tidak merasa heroik malam itu.

Sementara itu, Bela menoleh ke belakang, berharap apa yang ia lihat tadi hanya ilusi mata. Tapi harapannya langsung hancur berantakan.

"KUNTI NYA NGIKUTIN, MANDA! NGIKUTIN ANJIR!" teriaknya panik, sambil memukul punggung Amanda seperti menabuh drum perang.

Dan benar saja.

Di belakang mereka, melayang pelan, sosok itu datang mendekat. Gaun putihnya berkibar, rambutnya terurai berantakan, dan tawa khasnya terdengar menyeramkan—tajam dan dingin.

“Hiihi~hihihi~”

Amanda menjerit—bukan karena takut, tapi karena kesal.

"SETAN BANGSAT! UDAH SEREM, BURIK, MUKA KAYAK DUGONG NYASAR, MASIH AJA NGIKUTIN ORANG! LO GAK ADA KERJAAN BANGET SI BABI?!"

Alih-alih tenang, Bela malah makin panik. Ia bukannya membaca doa, malah meloncat-loncat di jok belakang seperti orang kesurupan.

“AAAA! PERGI LO SETAN! GUE PANGGIL MAMA DEDEH! LO DI SIKAT. MAMPUS LO!”

Namun respons sang kuntilanak justru lebih nyebelin: tawa yang makin nyaring, seperti menikmati kekacauan itu.

“Hihihihihihihi~”

Motor melaju kencang membelah gelap malam, tapi suara tawa itu tetap membuntuti mereka, seolah ingin ikut naik dan minta dibonceng.

Amanda menahan kemudi erat-erat, motor sudah melaju sekencang yang ia bisa, tapi teriakan Bela dan kehadiran makhluk terbang itu membuat fokusnya nyaris hancur.

“BELA KAMPRET! BERHENTI PUKUL-PUKUL GUE, WOY!” teriak Amanda sambil meringis.

Ia mendesis kesal, lalu menjerit lagi, “BACAA AYAT KURSI KEK! JANGAN PANIK DOANG!”

Tapi Bela, yang pikirannya sudah tercerai-berai seperti lembaran kisah aku dan dia yang ditiup angin, malah spontan membaca doa yang paling dia ingat:

“ALAHUMMA BAARIK LANA FIIMAA—”

“LO MAU NGUSIR SETAN APA MAU MUKBANG, SIH?!” potong Amanda, nyaris frustasi.

Tanpa sadar, Amanda sendiri panik dan justru ikut-ikutan salah.

“AYAT KURSI TUH—AAAH GUE TAU NIH! ALLAHUMMA LAKA SHUMTU WABIKA—AAAAAAAA!”

Ia menjerit tiba-tiba.

Sebab tepat di depan mereka, di tengah jalan, sosok itu muncul. Tak lagi di pohon. Tak lagi terbang. Kini berdiri tegak, menyambut mereka dengan senyum lebar menakutkan.

Kain putihnya berayun pelan, rambut panjang menjuntai, dan matanya… kosong.

Tawa itu terdengar lagi. Dingin. Mengolok.

“Hihihi… dasar manusia tolol. Ayat kursi aja gak bisa. Hihihihi…”

Karena kaget luar biasa, Amanda refleks membanting setang motor ke samping. Tanpa sempat berpikir panjang, motor mereka menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan dengan keras.

Brak!

Tubuh Amanda dan Bela terlempar dan terguling-guling di tanah seperti dua tahu bulat digoreng dadakan. Sementara motornya—yang bahkan cicilannya belum lunas—tergeletak tak bernyawa. Ban depan menggelinding entah ke mana, spion terbang masuk ke semak-semak, dan bodi motor sudah tak berbentuk. Hanya menyisakan jok motor saja.

...

...

Bela sudah terkapar, matanya tertutup, mulutnya sedikit terbuka seperti patung tidur. Amanda masih sedikit sadar, meski seluruh tubuhnya nyeri, pegal, dan remuk seperti mie kremes habis diremas emak-emak.

Dengan sisa tenaga, ia berusaha duduk, menatap ke arah makhluk itu dengan mata nyalang.

“Kunti… asu… gue bales lo… di akhirat,” geramnya, sebelum akhirnya jatuh terkapar lagi.

Tapi yang terjadi justru di luar dugaan.

Sosok kuntilanak itu melayang mendekat perlahan, wajahnya muram. Matanya basah, dan senyumnya telah lenyap. Ia menghela napas seperti habis kena marah guru BK.

“Maafkan aku, manusia… huhu…” suaranya lirih dan terdengar menyesal. “Aku cuma… pengen ngobrol. Aku kesepian. Udah lama banget gak ada yang lewat sini…”

Ia menunduk, menyeka air mata yang mungkin imajiner, lalu melanjutkan dengan suara makin pelan.

“Tadinya aku cuma pengen ngajarin kalian ayat kursi… aku tuh setan baik, loh. Tapi kalian malah takut… huhu… aku bikin panik, ya?”

Amanda, yang masih separuh sadar, hanya bisa mengangkat alis satu milimeter.

Bela tiba-tiba mengerang pelan. “Lu ngajarin… ayat kursi… tapi ketawanya kayak…ngejek gitu”

Kuntilanak itu terdiam. Tersinggung sedikit, tapi lebih banyak sedih. Ia menatap langit, lalu menatap dua manusia yang kini tak sanggup berdiri.

“Aku… pamit ya huhuhu~. Maafin aku…huhuhu~”

Dengan pelan, ia terbang menjauh, meninggalkan jalan sunyi itu dengan hati berat. Rasa kecewa, rasa bersalah, dan kesepian yang menggantung seperti kabut tipis di udara malam.

Jalanan itu kembali sepi.

Yang tersisa hanyalah dua manusia tergeletak, satu motor hancur lebur, dan satu kuntilanak baik yang kini merasa… tidak enak hati.

           ( saranghaeyo buat kaliaann😺💗)

KAMU TEGA MASS!

Kantin yang semula dipenuhi suara tawa, obrolan seru, dan denting sendok beradu dengan piring tiba-tiba sunyi seketika. Seolah ada tombol yang ditekan untuk menghentikan seluruh kehidupan di ruangan itu. Semua mata serempak menoleh ke arah pintu masuk.

Lima sosok pria melangkah masuk dengan aura mengintimidasi. Mereka bukan sembarang murid-mereka adalah pusat perhatian, simbol kekuasaan tak tertulis di sekolah ini. Mereka tampan, dingin, dan tak tersentuh. Dan di antara mereka, satu nama selalu disebut pertama: Reza.

Reza berjalan di depan, tubuhnya tegap dan tatapannya tajam menembus udara. Di sisi kirinya, ia merangkul seorang gadis-basah kuyup, kotor, dan gemetar. Gadis itu menangis pelan, air mata bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Namanya Luna.

Langkah Reza panjang dan tergesa, seolah marah pada waktu itu sendiri. Tangannya mencengkeram lengan Luna, bukan untuk menyakiti, tapi cukup erat hingga tak ada ruang bagi penolakan. Luna terseok, berusaha menyamakan langkah, namun sesekali tersandung oleh jejak Reza yang terlalu besar untuk diikuti.

Semua yang melihat tak bersuara. Diam, antara penasaran, takut, dan tidak ingin terlibat. Karena jika Reza sedang marah-bahkan langit pun sepertinya tahu untuk tidak menantangnya.

Langkah Reza berhenti tepat di depan meja yang dihuni empat gadis penuh gaya dan aroma kesombongan. Di antara mereka, sepasang mata menatap Luna dengan penuh kebencian dan ejekan tersembunyi. Vellyn.

Tanpa berkata apa-apa, Reza mengangkat tangannya dan menghantam meja itu dengan keras.

Brakkk!

Suara dentuman membuat seluruh isi kantin kembali menegang.

"Cukup!" bentaknya, suaranya tajam seperti cambuk.

Vellyn mengangkat alis, masih bersikap seolah tak bersalah. "Apa? sekarang kamu mau jadi pahlawan, Reza?"tanyanya sinis.

"Gue udah diam terlalu lama," ucap Reza. " lo pikir gue nggak tau apa yang kalian lakuin ke Luna? Setiap hari? Ngehina, mempermalukan, nyakitin dia. Dan kali ini. Kalian nyiram Luna pake air bekas lap pel! Mau sampe kapan kalian kaya gitu hah?!"

Reza sebenarnya berusaha menahan bau yang di sebabkan oleh gadis di samping nya

"Uuhh pantesan bau"

"Gue pikir bau apaan ternyata bau nya si Luna"

"Anjir gue pikir lo kentut "

"Makanya jangan asal nuduh. Gue bilang cium aja bokong gue kalo ga percaya"

" Najis monyet"

Begitulah lontaran perkataan dari para penghuni kantin.

Vellyn berdiri, berhadapan langsung dengan Reza. "AKU LAKUIN ITU KARNA AKU SUKA SAMA KAMU, REZA!" teriaknya, nadanya pecah. "TAPI KAMU MALAH MILIH DIA?! DIA SIAPA? CUMA ANAK MISKIN BEASISWA YANG SEHARUSNYA NGGAK LAYAK ADA DI SEKOLAH INI!"

Suasana mendadak semakin tegang. Beberapa murid mulai berdiri dari kursi, seakan tak percaya apa yang baru mereka dengar.

Luna terdiam di belakang Reza, tubuhnya mengecil dalam pelukan ketakutan. Tapi sebelum Reza sempat bicara, Vellyn melangkah maju dan mendorong Luna dengan kasar.

Tubuh Luna jatuh ke lantai dengan tidak elitnya, tangannya menahan tubuh yang nyaris membentur keras ubin. Tangisnya pecah, ia menangis dengan keras seperti bayi bagong yang tidak diberi makan selama tiga bulan.

Reza mendadak bergeming. Sorot matanya berubah. Dingin. Berbahaya.

Tanpa banyak pikir, tangan Reza terangkat... dan mendarat di pipi ellyn.

Plak!

Suara tamparan bergema. Kantin terdiam total. Bahkan waktu seolah berhenti sejenak.

Vellyn mematung. Pipi kirinya merah menyala. Matanya membelalak, tak percaya Reza benar-benar melakukan itu.

Tamparan itu bergema lama di telinga semua orang, tapi hanya satu orang yang merasakan perihnya lebih dari sekadar fisik. Vellyn.

Matanya melebar, pipinya panas, bukan hanya karena tamparan, tapi karena rasa malu yang mencabik harga dirinya di hadapan semua orang. Napasnya tercekat, dadanya sesak. Ia tak sempat berkata apa-apa. Tak ingin. Tak sanggup.

Dengan tangannya yang gemetar memegang pipi, Vellyn menatap tak percaya pada Reza

"Kamu tega Za!!"

Ia berlari keluar kantin. Isak tangisnya pecah begitu kaki meninggalkan ambang pintu. Semua tatapan menusuk punggungnya, seperti ribuan jarum yang menghakimi. Tapi tak satu pun yang lebih menyakitkan dari kenyataan: Reza menamparnya. Orang yang selama ini dia suka.

Reza masih berdiri di sana, mematung. Tatapannya kosong tertuju pada telapak tangannya sendiri, seolah tak percaya bahwa dia-Reza-benar-benar menampar seorang perempuan. Gadis yang dulu sering tertawa bersamanya. Gadis yang, meski menyebalkan, tetap bagian dari lingkaran yang pernah dekat.

"Sumpah... gu-gue nggak sengaja," gumamnya lirih, tapi tak ada yang mendengarkan.

Empat sahabatnya pun hanya bisa menatapnya penuh kecewa.

Haikal Arkatama, yang paling dulu bicara, mendesis pelan, "Lo udah kelewatan, Za."

Aldan Jenandra mengangguk pelan, tak mampu menyembunyikan ekspresi kecewanya. "Gue ngerti lo marah. Tapi bukan gini caranya."

Lintang Argantara yang memang paling bawel dan mulutnya paling tajam , menatap kesal ke arah Reza. "Lo tau lo kayak apa barusan? Kayak cowok boti yang main tangan ke cewek. Gue nggak nyangka lo bakal serendah itu. Mangkal aja sana di depan lampu merah sambil joged bang jali! Cocok tu sama lo!"

Bintang Argantara saudara kembar sekaligus adik dari Lintang yang jarang ikut berkomentar dan jarang berekspresi, hanya mengangguk pelan. Tapi sorot matanya ikut berbicara-penuh rasa kecewa dan tidak percaya.

Satu per satu, mereka pergi. Tak ada yang menoleh lagi ke Reza. Meninggalkannya sendiri di tengah kantin yang kini kembali sunyi, tapi kali ini, bukan karena kekaguman... melainkan karena keterkejutan dan kecanggungan yang tak bisa dilupakan.

Reza masih berdiri di tempatnya. Terdiam. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya... ia merasa kalah. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh dirinya sendiri.

...--------...

Vellyn masih terisak sambil berlari, napasnya tercekat di dada. Air mata terus mengalir, memburamkan pandangannya, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh. Dari Reza. Dari teman-temannya. Dari semua tatapan murid-murid yang kini hanya akan mengenalnya sebagai "Cewek yang ditampar Reza".

Langkahnya tak tentu arah. Sepatu kulitnya yang biasanya melangkah anggun di koridor kini berlari tanpa kendali. Tangan kanannya menutupi wajah, mengusap air mata yang tak henti menetes, seakan tangisnya tak ingin berhenti.

Ia tidak menyadari bahwa dirinya kini sudah keluar dari area kantin. Lapangan luas yang sepi siang itu menjadi tempat pelariannya. Namun, yang tidak ia lihat-karena pandangan tertutup dan pikirannya kacau-adalah tiang bendera yang berdiri kokoh di tengah lapangan.

DENG!

Suara nyaring menghentak udara saat kening Vellyn menabrak besi dingin itu dengan cukup keras. Tubuhnya terhuyung.

"Aduh..." desisnya pelan. Matanya berkunang. Dunia berputar. Tapi sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, bibirnya masih sempat menggerutu lemah,

"Ngalangin aja lo... tiang..."

Dan setelah itu, gelap. Vellyn jatuh terduduk lalu ambruk ke tanah, tak sadarkan diri, dengan pipi masih merah dan kening mulai membiru. Angin siang mengibas lembut rambutnya, seakan memberi simpati... atau mungkin mengejek.

Suara "DENG!" tadi cukup keras untuk memecah perhatian siswa-siswa yang sedang berlalu lalang di sekitar lapangan. Beberapa dari mereka langsung menoleh, lalu mulai mendekat ketika melihat sosok tubuh tergeletak di bawah tiang bendera.

"Eh... itu Vellyn, kan?" bisik salah satu siswa dengan nada tak percaya.

"Dia pingsan?" tanya yang lain, tapi tak satu pun berani menyentuhnya. Mereka hanya mengerumuni, menatap, berbisik-bisik... seperti menonton sebuah drama langsung yang tak mereka sangka bisa terjadi pada gadis paling populer di sekolah.

Beberapa dari mereka bahkan sempat merekam, entah karena refleks atau keinginan menyebarkan kabar-dalam dunia sekolah, segala sesuatu menyebar lebih cepat dari angin.

"Eh, Rizky! Lo kan anak PMR, bantuin dong!" seru seorang siswi yang akhirnya sadar situasi ini nggak bisa dibiarkan begitu saja.

Rizky, yang memang mengenakan rompi kecil bertuliskan PMR di dadanya, mengangguk cepat dan mulai melangkah maju. "Iya, gue gendong ke UKS ya-"

Namun belum sempat dia menyentuh Vellyn, suara dalam dan tenang terdengar dari belakang.

"Biar gue aja."

Semua kepala menoleh bersamaan. Suara itu... tidak asing. Tegas, tapi berat, dan penuh beban.

Rizky terdiam. Ia menatap pemuda itu sebentar, lalu perlahan mundur, memberi ruang.

...-------...

***********

Istighfar lo Rezaa 🤬

KHODAM BINTANG

Amanda terbangun dengan kepala yang terasa pusing dan pandangan yang kabur. Perlahan, ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Pandangannya fokus pada seorang pemuda tampan yang berdiri di sampingnya, mengenakan kalung salib perak yang memantulkan cahaya matahari siang. Tanpa berkata-kata, cowok itu menjulurkan tangannya dengan sikap santai.

“Baru aja mau gue gendong, lo udah bangun aja,” ucapnya dengan senyum tipis, seakan tidak ada yang aneh.

Amanda bingung, matanya mulai memandang sekeliling. Ia melihat diri sendiri, memakai seragam sekolah yang biasa ia kenal—seragam putih dan rok abu-abu. Tapi, ada yang aneh. Ada yang salah.

Dia menatap wajah cowok itu sejenak, lalu melihat ke arah lapangan. Semua murid yang berada di sekitar lapangan menatap ke arahnya, beberapa dengan ekspresi penasaran, lainnya tampak bingung. Tapi suasana itu terasa berbeda. Ada keheningan yang tak biasa, seperti ada sesuatu yang hilang dari realita ini.

Kenapa gue di sini? pikir Amanda. Tubuhnya terasa kaku, bukan karena pingsan, tapi seolah ada kekosongan yang besar di dalam dirinya.

Dia meraba tubuhnya, menyentuh wajahnya, lalu pakaian yang ia kenakan. Semuanya terasa familiar, tapi tak seharusnya ia ada di sini. Ia bukan Vellyn. Bukan gadis yang jatuh di lapangan. Tapi tubuh ini, seragam ini… semuanya mengikatnya pada kenyataan yang berbeda.

“Apa yang terjadi?” bisiknya, suaranya terlepas dari bibirnya dengan rasa kebingungan yang mendalam.

Cowok itu, yang masih berdiri dengan tangan terulur, tampak tak terganggu dengan kebingungannya. “Lo pingsan karena nabrak tiang bendera,” jawabnya santai, tanpa rasa cemas sedikit pun.

Tapi, Amanda bisa merasakan ada sesuatu yang salah. Pandangannya yang semakin kabur, suara-suara yang terdengar aneh di telinganya, dan tubuhnya yang terasa… tidak sepenuhnya miliknya. Seperti ada dua jiwa yang bertempur dalam satu tubuh, satu yang tak tahu apa-apa, dan satu yang sudah hilang.

Dan kemudian, sekelebat bayangan datang—siluet seorang wanita berambut panjang, berpakaian putih dengan aura menyeramkan—melintas dalam pikirannya. Bayangan itu datang begitu cepat, membuat tubuh Amanda terhentak. Kunti. Ia tahu itu. Amanda mengenali sosok itu. Itu adalah kunti yang membuat dirinya dan temannya kecelakaan.

Mengingat kejadian itu ia tiba-tiba emosi. Tanpa aba-aba ia berteriak dan mengangkat tangannya ke atas dengan simbol fuck you🖕

"KUNTI ASUUU! DEMI APAPUN GUE GA AKAN MAAFIN LO SETAN!"

Pemuda yang bernama Kenzo itu sontak terhempas ke belakang karna terkejut dengan gerakan tak disangka yang tiba-tiba.

...-----...

Dari kejauhan, keempat pemuda yang merupakan sahabat Reza—Bintang, Lintang, Aldan, dan Haikal—berjalan santai di koridor lantai dua yang menghadap langsung ke lapangan. Mereka sempat melirik ke bawah ketika melihat kerumunan siswa yang tampak heboh berkumpul di tengah lapangan.

Haikal mengernyit, mencondongkan tubuh ke pagar pembatas. “Eh, rame amat tuh di lapangan. Ada apaan?”

Aldan menyipitkan mata, berusaha mengenali sosok di tengah kerumunan. “Itu… kayaknya ada pembagian sembako deh.”

“Itu Vellyn, Goblok! Sembako aja di pikiran lo. Tapi… ngapain dia sama si Kenzo?” Aldan menunjuk ke arah cowok berkalung salib yang kini berdiri di dekat Vellyn—atau orang yang mereka kira masih Vellyn.

Lintang yang sejak tadi menatap diam, menjawab dengan santai, “Ya mana gue tau. Tanya aja khodamnya si Bintang.”

Haikal menoleh cepat, mengernyit. “Hah? Emang apaan khodam si Bintang?”

Lintang menjawab sekenanya, tanpa ekspresi, “Si Alucard.”

Sejenak, hening. Haikal memproses nama itu di otaknya.

Lalu satu detik kemudian, Haikal meledak dalam tawa, nyaris terjatuh dari sandaran pagar. “Anjir! Itu kan hero ML!"

Haikal dan Lintang saling pandang sejenak, lalu seolah mendapatkan ide yang sama, keduanya menegakkan tubuh dan menirukan gaya dramatis Alucard dari Mobile Legends. Dengan suara dibuat berat dan nada sok-sangar, mereka berucap serempak:

“Aku berlutut? Cih... tidak akan.”

Lalu keduanya membuang muka ke samping, seolah meludahkan kejijikan pada dunia.

“Dingin… tetapi tidak kejam.”

Detik berikutnya, tawa meledak dari keduanya. Haikal sampai menepuk-nepuk pundak Lintang, sementara Lintang setengah membungkuk sambil tertawa geli sendiri.

Khodam Bintang

Aldan menatap mereka dengan muak

Bintang akhirnya melengos pergi tanpa berkata apa pun, langkahnya mantap menuju kerumunan siswa di lapangan. Matanya fokus, penuh rasa ingin tahu, seolah sedang menyelidiki sesuatu yang tidak beres. Aldan hanya menghela napas, lalu berjalan cepat mengikuti di belakangnya.

Melihat kedua temannya bergerak, Haikal segera berseru, “Eh-eh! Lah kok pada ninggalin gua sih!” Ia pun ikut berlari menyusul dengan langkah tergesa-gesa, sepatunya nyaris lepas gara-gara terburu-buru.

Beberapa detik kemudian, Lintang ikut berlari—namun tentu saja tidak tanpa gaya dramatisnya sendiri. Ia menyusul Bintang, lalu langsung merangkul bahu adiknya itu dengan gaya teatrikal ala drama Romeo dan Juliet.

“Tatang! Tungguin aku! Jangan tinggalkan Juliet-mu, Romeo!” serunya lebay, lengkap dengan ekspresi nelangsa dan tangan satunya yang menutup dada sendiri, seolah hatinya remuk redam.

Bintang menghentikan langkah, menoleh perlahan ke arah Lintang. Wajahnya datar. Matanya mengarah ke tangan Lintang yang masih melingkar di bahunya. Lalu... pandangan jijik terbit dari matanya, seperti ingin berkata "kalo lo bukan sodara gue, udah gue lempar ke Israel."

...------...

Amanda mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, matanya membelalak. Ratusan pasang mata menatap ke arahnya dari segala penjuru lapangan, seolah ia adalah tontonan aneh yang tak bisa dijelaskan.

"GUE DIMANA SIH INI?!” teriaknya dengan nada panik dan putus asa.

Pikirannya kacau. Terakhir yang ia ingat, ia sedang mengendarai motor bersama temannya . lalu ia melihat setan dan karna kaget motor mereka menabrak pohon... lalu tubuhnya terbang... lalu—gelap.

Seharusnya sekarang, kalau benar dia sudah meninggal, ia berada di alam Barzah. Seharusnya jiwanya tidak lagi terikat dengan dunia fana. Tapi ini… sekolah? Seragam? Orang-orang yang tidak ia kenal? Kenapa gue malah balik ke sini?! jerit batinnya.

Langkahnya limbung saat ia mencoba berdiri, tubuhnya berat seperti bukan miliknya. Ia melihat tangannya sendiri, tubuhnya... bukan tubuh Amanda. Wajahnya berubah ngeri.

“Ini... bukan gue,” bisiknya ketakutan.

Matanya lalu tertuju pada sosok cowok yang tadi menjulurkan tangan padanya—Kenzo, yang kini terduduk di tanah sambil menatapnya bingung. Tatapan mereka bertemu sejenak. Di mata Kenzo, ada rasa cemas… namun juga keraguan. Seolah dia menyadari, bahwa gadis ini bukanlah Vellyn yang ia kenal.

Amanda—dalam tubuh Vellyn—hendak melangkah mendekat, namun baru satu langkah, tubuhnya limbung. Dunia berputar di hadapannya, suara-suara mendadak terdengar samar.

Dan tubuh itu pun kembali terjatuh. Tapi kali ini, Kenzo sigap. Ia bergerak cepat dan menangkap tubuh Vellyn sebelum benar-benar membentur tanah.

“Vell?” bisiknya lirih, memastikan. Tapi jawaban yang ia dapat hanyalah napas berat dan tubuh yang tidak merespons.

...---------...

Amanda terbangun dengan napas tersengal. Matanya menatap langit-langit ruangan yang asing—terang, tapi sepi. Bau alkohol medis dan antiseptik menyengat di hidungnya. Ia duduk perlahan, matanya menyapu ruangan.

“UKS?” gumamnya, bingung. “Kenapa gue di sini?”

Kepalanya masih berat. Ia mencoba mengingat—lapangan… pemuda berkalung salib… pingsan. Tapi yang paling membingungkan adalah: siapa dirinya sekarang? Kenapa dia masih di dunia?

Belum sempat ia menjawab pertanyaannya sendiri, tap tap tap... ada suara langkah ringan. Lalu... tap. Sebuah sentuhan dingin terasa di bahunya.

Amanda langsung menoleh cepat.

“SIAPA?!” teriaknya panik.

Tapi yang dilihatnya membuat darahnya seakan berhenti mengalir. Di hadapannya berdiri sosok perempuan berambut panjang kusut, gaun putihnya lusuh dan penuh noda tanah, matanya merah menyala.

Kuntilanak.

Amanda menjerit, tubuhnya mundur hingga menabrak dinding ranjang UKS. Tapi sosok itu hanya diam, tidak bergerak. Kemudian… dengan suara lirih dan mengejutkan lembut, ia berkata:

“Tenang, aku tidak jahat. Aku... datang untuk minta maaf.”

Amanda mematung, ketakutannya bercampur kebingungan.

“Apa?”

Kuntilanak itu menunduk, rambut panjangnya jatuh menutupi wajah pucatnya. “Akulah penyebab kecelakaan motormu . Aku hanya ingin bermain dengan mu... Tapi aku malah mengejarmu. Kamu yang tidak salah, malah jadi korban.”

Amanda terdiam. Matanya perlahan melembut, meski tubuhnya masih gemetar.

“Kenapa lo di sini sekarang?”

Sosok itu menghela napas pelan, sebuah ironi karena dia sudah tidak lagi bernapas.

“Sebagai penebusan... aku memohon pada atasanku untuk memberimu kesempatan hidup lagi. Tapi karena tubuhmu sudah tak bisa diselamatkan, maka... jiwamu dimasukkan ke tubuh gadis yang pingsan itu—Vellyn.”

Amanda menatap tak percaya. “Jadi… gue hidup lagi? Di dunia... novel?”

Sosok kuntilanak itu mengangguk pelan. “Iya. Dunia ini bukan dunia lamamu, Amanda. Ini dunia fiksi... tapi semuanya terasa nyata. Aku tahu ini tidak adil, tapi ini satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku.”

Amanda perlahan duduk kembali di brankar. Tubuhnya masih bergetar, tapi pikirannya mulai jernih. Ia memperhatikan sosok hantu itu lebih dalam. Tatapannya tidak menggigit. Ia hanya terlihat... menyesal.

Kuntilanak itu kembali menunduk. “Maafkan aku, Amanda. Aku tahu ini tak akan mengembalikan hidupmu yang dulu. Tapi… aku hanya ingin kamu punya kesempatan lagi. Sekalipun hanya di dunia cerita.”

Amanda terdiam. Dan untuk pertama kalinya sejak sadar, ia tidak merasa marah. Hanya... hampa.

“Gue gak tahu harus bilang apa… Tapi, terima kasih.”

Di luar jendela UKS, angin berembus pelan. Langit tampak kelabu, seolah dunia ikut memahami kisah rumit yang sedang terjadi di dalam ruang sempit itu.

...

   Manis bgtt ketawa kamu Haikal😘

...

...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!