"Sshh ... ahh ..."
"Ughh ... Lebih cepathh—"
Seorang pria yang tengah menggagahi wanita di bawah tubuhnya itu terus mendesah satu sama lain. Penyatuan keduanya di bawah sana terus menimbulkan bunyi kecipak yang semakin nyaring.
Apalagi, saat sang pria sudah semakin merasakan penisnya yang mulai berkedut. Siap mencapai puncaknya.
"Ahh— Fuck! Lebih dalam, Zam. Ahhh...."
"Enak, hm? Mau lebih dalam.lagi?"
"Yeahh .... please. Ghazam, Ahh—"
"Shhh— Aku akan keluar!"
"Keluarkan di dalam, Zamhhh—"
"Ahhh....."
Tubuh sang pria pemilik nama Ghazam Headar itu lantas melemah setelah kejantanannya berhasil menyemburkan cairan kental berwarna putih yang berantakan di atas pakaian wanita di bawah tubuhnya.
Ya, tidak mengindahkan permintaan sang wanita untuk mengeluarkannya di dalam kewanitaan itu, Ghazam lebih memilih untuk menarik miliknya dengan cepat sebelum klimaks itu tiba. Di mana pada akhirnya Ghazam memilih untuk menyemburkan cairannya di atas dress yang dikenakan oleh wanita tersebut.
"Uhm, Zam? Kau puas kan? Mau aku menginap di sini dan—"
"Tidak," jawab Ghazam cepat sembari bangkit dari posisinya.
Ghazam juga segera membersihkan kejantanannya dengan tisu, sebelum akhirnya kembali memakai celana yang sempat diturunkan hingga ke batas pahanya.
"Pergilah. Sudah cukup. Nanti uangnya aku transfer ke rekening yang sudah disepakati," ucap Ghazam kemudian.
Ya, nyatanya wanita yang baru saja dia nikmati liang kenikmatannya itu adalah wanita yang dia sewa dari temannya sendiri. Wanita malam yang dengan sengaja dia sewa untuk memuaskannya di acara pesta pernikahan kakaknya sendiri ini.
Sehingga tanpa rasa bersalah atau semacamnya, Ghazam mengusir wanita itu keluar setelah merapihkan diri.
"Brengsek, Ghazam!" Maki wanita itu sembari berjalan keluar dari kamar yang dimiliki Ghazam.
Sementara Ghazam sendiri hanya menyunggingkan senyum miringnya. Dia tidak masalah sama sekali dengan cacian itu. Lagipula, menurutnya dia tak salah. Wanita itu juga dibayar untuk dia nikmati, dan kesepakatan awalnya memang sudah seperti itu. Wanita yang disewa untuk memuaskan Ghazam saat acara pesta itu terasa membosankan.
"G–Ghazam?"
Suara kecil seorang gadis yang kini tengah berdiri di depan pintu kamar Ghazam membuat pria itu terdiam sejenak.
Pasalnya, raut wajah sang gadis yang ditunjukan saat itu membuat Ghazam menebak satu hal. Tentang kemungkinan jika gadis itu melihat apa yang dilakulan Ghazam dengan wanita sewanya beberapa saat yang lalu.
"Sheila? Ah, sejak kapan kau—"
"A–aku tidak melihat apapun!" Potong gadis bernama Sheila itu dengan cepat.
Sebuah jawaban yang membuat Ghazam menyunggingkan senyuman miringnya. "Yakin? Kalau melihat juga tidak apa-apa. Anggap saja sebagai pelajaran untuk malam pertamamu dengan kakakku malam ini," ucap Ghazam dengan kerlingan mata yang sudah dia tunjukan pada gadis di depannya.
Ya, sebenarnya Sheila adalah pengantin yang sudah sah menjadi istri dari kakak kandung Ghazam malam ini. Sheila sendiri masih berusia 22 tahun, tapi gadis itu menikah dengan kakak Ghazam yang merupakan duda berusia 45 tahun. Perbedaan usia yang cukup jauh, sampai Ghazam yakin sekali, tujuan Sheila menikahi kakaknya hanya untuk hartanya saja.
"Tidak perlu berlagak polos, tidak pantas untukmu," ujar Ghazam sekali lagi.
Sheila hanya bisa terdiam dan menarik nafasnya dalam. Gadis itu tengah berusaha menahan diri atas apa yang dikatakan Ghazam, sang adik ipar. Sebab, Sheila juga sudah tahu tentang sikap kurang ajar pria itu selama ini.
"Kak Ares memintaku untuk memanggilmu ke kamarnya," ucap Sheila mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sementara Ghazam justru malah terlihat acuh. Seolah tak peduli sama sekali. Dia justru malah berjalan melewati Sheila untuk menuju dapur, bukan kamar Ares sang kakak.
"Ghazam," panggil Sheila yang mengekor di belakang Ghazam.
"Apa? Pesta pernikahannya sudah selesai bukan? Ya sudah, apa lagi? Jalani saja malam pertama kalian, kasihan si Ares, pasti sudah tidak sabar mencicipi tubuh seksi mu itu," ucap Ghazam dengan santainya.
"Jaga bicaramu, Ghazam Headar! Aku kakak iparmu sekarang!" Tegas Sheila yang mulai kehilangan kesabarannya.
Sungguh, rasanya dia sudah mulai muak dengan ketidaksopanan Ghazam di sana.
Mendengar ucapan Sheila, Ghazam kini malah berbalik dan menghadap ke arah gadis itu. Dia menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki gadis yang berusia tiga tahun di bawahnya itu dengan seksama. Sebelum akhirnya Ghazam menyunggingkan senyuman miringnya.
"Aku tidak heran kalau kakakku si tukang kawin itu memilihmu karena kau memang memiliki tubuh yang bagus. Tapi yang aku heran, kenapa gadis muda sepertimu mau dengan kakakku yang tua itu? Apa kau begitu membutuhkan uang sampai—"
Plak!
Satu tamparan mendarat tepat pada pipi Ghazam.
"Sudah aku bilang jaga bicaramu, Ghazam Headar!" Peringat Sheila kemudian.
Sayangnya, apa yang dilakukannya merupakan langkah yang salah. Sebab yang terjadi selanjutnya adalah Ghazam yang sudah menarik tangan Sheila dengan kasar. Di mana Ghazam juga mendorong dan menghimpit tubuh Sheila pada tembok yang ada di dekatnya. "Brengsek, berani-beraninya kau menamparku, hah?!" Bentak Ghazam kemudian.
Sheila meremat pakaian yang dia kenakan sekarang. Sebab sorot mata pria di depannya benar-benar tajam, membuat Sheila cukup ketakutan dengan tubuh yang benar-benar tidak bisa lagi bergerak apalagi meloloskan diri.
"L–lepaskan aku," ucap Sheila lirih.
Bukannya melepaskan gadis itu, Ghazam justru malah terkekeh. Menertawakan dengan remeh.
"Kalau begini saja, baru menunjukan kelemahan. Dasar jalang," ujar Ghazam tepat di depan wajah Sheila.
Sheila kali ini terdiam. Dia tidak mampu lagi berkata-kata. Setidaknya sampai Ghazam kembali membuka mulut dan berkata, "Biar aku coba dulu bagaimana rasanya sebelum bibir lancang ini dinikmati kakakku."
Ghazam tiba-tiba saja mencium bibir Sheila. Memberikan lumatan-lumatan yang cukup kasar. Kedua tangannya juga berusaha menahan tangan Sheila yang berusaha memberontak dan mencoba melepaskan diri dari ciuman Ghazam.
Sayangnya, kekuatan Ghazam jelas jauh lebih unggul. Sehingga pria itu masih tetap bisa mempertahankan posisinya untuk melumat dan menyesap bibir bawah dan atas Sheila secara bergantian.
"Eumhh— kau manis. Kakakku pasti suka," ucap Ghazam di sela ciumannya.
Sebelum akhirnya pria itu kembali melumat bibir Sheila, dan menggigit bibir bawah gadis itu hingga mulutnya terbuka. Memudahkan Ghazam untuk memasukan lidahnya ke dalam mulut Sheila.
Ghazam juga tersenyum dalam ciuman paksa yang dia lakukan. Dia menyukai momen ini. Belum lagi, rasa manis yang terasa dari bibir gadis itu membuat Ghazam terus menerus melakukan ciumannya. Tak perduli saat gadis itu terus memberontak dan memukul dadanya berkali-kali. Justru yang dilakukan Ghazam saat ini adalah menelusupkan tangannya ke balik dress yang dikenakan Sheila. Membiarkan jemarinya mengusap paha bagian dalam milik gadis itu hingga melenguh tertahan di tengah pemberontakannya.
"Umhh—"
"Sheila? Kau di mana?"
Ghazam sontak menghentikan aksinya saat mendengar suara Ares. Pria itu juga segera menjauhkan diri dan mengusap bibirnya sendiri yang sudah basah akibat ciuman yang dia lakukan. Sebelum akhirnya Ghazam kembali menatap Sheila setelah memastikan Ares masih belum sampai menuju ruangan di mana mereka berada sekarang.
Setidaknya, kali ini aman. Apa yang sudah dia lakukan, tidak ketahuan Ares.
"Mau melapor pada Ares? Silahkan, tapi kau tahu aku bisa memutar balikkan faktanya," ancam Ghazam pada Sheila.
Sementara Sheila hanya bisa terdiam sembari mengatur nafasnya. Dia juga masih mencoba menenangkan dirinya atas apa yang sudah terjadi.
"Jangan macam-macam, Sheila. Tapi lain kali, aku pastikan aku bisa mencicipi bagian tubuhmu yang lain. Bersiaplah."
"Oh, kau di sini ternyata. Sheila, bisa buatkan aku minuman hangat?" tanya Ares yang sudah melangkahkan kakinya menuju pintu dapur.
Permintaan yang membuat Sheila menganggukkan kepalanya. Menurut. "Baik, Kak Ares."
"Dan kau, Ghazam, ikut aku. Kita perlu bicara," ucap Ares pada sang adik.
Ghazam awalnya enggan untuk mengikuti perintah sang kakak di sana. Akan tetapi, mendapat tatapan tajam dari Ares membuat Ghazam mendecak kesal dan lantas melangkahkan kakinya, mengekor di belakang Ares yang sudah berjalan meninggalkan dapur.
Sementara itu, Sheila kini memilih memenuhi permintaan suaminya beberapa saat lalu. Dia membuatkan teh jahe madu hangat untuknya. Sebab seingat Sheila, suaminya memang cukup menyukai teh jahe madu hangat. Apalagi, teh seperti ini bisa meredakan rasa lelah. Mungkin, ini bisa sedikit membantu untuk Ares setelah acara pesta pernikahan mereka yang cukup panjang malam ini.
"Ah, biar aku siapkan camilan kecil juga untuk Kak Ares," gumam Sheila selanjutnya.
Hanya membutuhkan waktu sebentar untuk membuat teh jahe tersebut. Tapi, Sheila juga membutuhkan beberapa waktu lain untuk menyiapkan camilan. Setidaknya sekitar sepuluh menit berlalu sejak Sheila menyiapkan semuanya, sebelum akhirnya Sheila membawa semua itu ke ruang tamu. Tempat di mana Ares seharusnya berada bersama Ghazam.
"Loh, Kak Ares dimana?" tanya Sheila saat yang dia dapati di sana hanyalah Ghazam seorang. Tidak ada Ares.
"Kamar," jawab Ghazam singkat.
Pria itu juga langsung berdiri dari duduknya, meninggalkan Sheila begitu saja.
Hal yang membuat Sheila juga lebih memilih memasuki kamarnya bersama Ares malam ini.
"Kak, ini tehnya. Aku juga sudah buatkan sedikit camilan," ucap Sheila pelan saat melihat Ares yang berbaring di atas ranjangnya.
"Taruh saja di meja," jawab Ares pelan dengan mata yang masih tertutup.
Sheila menatap pria itu dengan lekat.
Sebenarnya, dia cukup takut akan malam ini. Malam pertama yang mungkin akan menjadi malam di mana dia melepaskan keperawanan yang dia jaga selama ini. Dan meskipun Ares sudah sah menjadi suaminya, Sheila tetap merasa takut. Karena pada faktanya, dia memang menikahi Ares bukan atas dasar cinta.
Sheila juga tidak mungkin menikahi pria yang jauh lebih tua darinya itu karena cinta.
"Mau berdiri di situ terus? Kemari, temani aku tidur sebentar di sini," ucap Ares sekali lagi. "Ghazam membuat kepalaku sakit, aku perlu pengalihan," tambahnya tanpa menatap ke arah Sheila.
Sheila sendiri langsung merasa gugup saat Ares berkata demikian. Dia masih belum benar-benar siap. Dia masih merasa takut.
"A–aku melupakan sesuatu di luar. Tunggu sebentar di sini, Kak. Minum saja teh nya lebih dulu, aku mau keluar sebentar," ujar Sheila membuat alasan.
Ya, benar-benar hanya alasan. Dia hanya mencoba melarikan diri dari situasi yang membuatnya gugup tersebut. Dia perlu waktu. Sampai akhirnya satu anggukkan di kepala Ares membuat Sheila melangkahkan kakinya keluar lagi.
Di mana langkahnya kini justru malah membawanya kembali ke dapur.
"Lihat! Sepertinya kita berjodoh karena terus bertemu!"
Sheila hampir terlonjak kaget saat kalimat itu terdengar di telinganya saat dia meneguk isi botol mineral yang ada di kulkas. Sebelum akhirnya dia memutar bola matanya malas setelah mendapati Ghazam yang sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berada sekarang.
"Jangan gila. Kita bahkan berada di rumah yang sama!" Kesal Sheila tanpa menoleh sekalipun padanya.
Ghazam lantas terkekeh pelan. Sebelum akhirnya dia mendekatkan dirinya pada Sheila di sana.
"Harum!" Seru Ghazam saat hidungnya mulai mendengus aroma di sana.
"Tentu saja! Asal kau tahu kalau aku pandai memas—"
"Tubuhmu yang harum," ucap Ghazam memotong ucapan Sheila.
Ghazam sendiri kini malah menempelkan hidungnya pada rambut Sheila. Perbedaan tinggi mereka yang cukup jauh membuat Ghazam dengan mudah mencium puncak kepala gadis itu. Sementara Sheila sendiri lantas seberusaha mungkin segera menghindar.
"Jangan macam-macam, Ghazam. Aku tidak ingin Kak Ares melihat dan berpikir yang tidak-tidak!" Tegas Sheila pada Ghazam.
Bukan Ghazam namanya kalau harus menurut. Pria itu kini malah kembali mendekat pada Sheila lagi dan melingkarkan tangannya dengan paksa pada pinggang gadis itu. Wajahnya juga telah dia dekatkan. Tidak perduli dengan Sheila yang berusaha memberontak sembari melihat kesana kemari, memastikan tak ada yang melihat aksi adik iparnya tersebut.
Akan terlalu bahaya jika sampai ada yang melihat dan melapor pada Ares, suaminya.
"Lepas, Ghazam!"
Bukannya menurut, Ghazam kini malah menggelengkan kepalanya. Dia juga telah menunduk dan mendekatkan wajahnya pada ceruk leher Sheila, menghirup aroma manis yang menguar dari tubuh gadis itu.
"Apa malam ini kau akan bermain dengan kakakku? Dia sudah tua, pasti dia akan cepat kelelahan. Kau yakin kau akan puas dengan permainannya?" tanya Ghazam dengan kurang ajarnya.
Sheila bahkan sudah menatapnya tajam. "Apa urusanmu?!"
"Tenang, Kakak ipar cantikku. Aku hanya bertanya. Sekalian menawarkan jika saja kau kurang puas dengan kakakku yang loyo itu, kau bisa datang ke kamarku dan membuka lebar kakimu di hadapanku," bisik Ghazam seduktif. "Aku bisa memberikan kepuasan dengan gagah, tidak seperti Ares," tambah Ghazam bersamaan dengan satu kecupan pada collarbone milik Sheila.
Sheila langsung mendecih dengan kesal. "Jangan bermimpi kau bisa menyentuhku!"
Mengeratkan rangkulan tangannya pada pinggang ramping Sheila, Ghazam justru malah mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah kakak iparnya tersebut. Membuat Sheila yang berkali-kali berusaha mendorong tubuh kekar Ghazam pun tak dapat membuat pria itu menjauh darinya.
"Tentu tak bermimpi, Sheila. Aku bisa melakukannya secara nyata, bukan hanya mimpi."
Tanpa menjawab Ghazam, Sheila sudah berhasil dibungkam oleh ciuman yang diberikan Ghazam.
Untuk yang ke dua kalinya, Ghazam menyesap bibir Sheila dengan begitu bernafsu. Dalam kepalanya membayangkan bagaimana Sheila nantinya disentuh oleh sang kakak. Membuat Ghazam juga jadi membayangkan bagaimana jika Sheila turut berada di bawah kuasanya.
Sheila sendiri jelas memberontak. Dia berusaha melepaskan pagutan yang dilakukan Ghazam. Meski lagi-lagi percuma, sebab pria itu malah semakin memperdalam ciumannya.
"TOLONG! TUAN ARES—"
Teriakan terdengar dari kamar Ares. Membuat Ghazam melepaskan ciumannya pada Sheila dengan terpaksa. Meski jauh dalam dirinya menginginkan gadis itu lebih lagi.
Nafas Sheila yang terengah berusaha mengais oksigen sebanyaknya. Lututnya terasa lemas karena ciuman yang diberikan Ghazam. Ciuman yang panas, ciuman yang penuh akan gairah.
"Sialan! Ada apa sampai mengganggu kesenanganku!" Kesal Ghazam sembari melangkahkan kakinya menuju asal suara.
Sheila berusaha mengatur nafas dan mengusap bibirnya yang basah karena sudah bertukar saliva dengan Ghazam. Dia mencoba untuk tak membuat curiga siapa pun yang ada di sana. Sebelum akhirnya dia menyusul Ghazam untuk menuju ke tempat wanita yang berteriak tadi.
"Ada apa?" tanya Ghazam ketus pada seorang wanita yang kini sudah berdiri di depan kamar Ares.
Wanita itu salah satu pelayan di rumah mereka.
"T–tuan Ares. Dia, tidak bernafas," ujarnya gugup dan ketakutan secara bersamaan.
Mendengar hal itu, Ghazam nampak berlari cepat ke dalam kamar sang kakak. Begitu juga dengan Sheila yang segera ikut masuk untuk mengecek keadaan suaminya tersebut.
Wajah Ares terlihat begitu pucat. Dia berbaring terlentang dengan kedua tangan yang sudah berada di atas perutnya. Bibirnya sedikit membiru, bahkan saat Ghazam menyentuh tangannya, dia sudah merasakan dingin pada tubuh itu.
"Sepertinya, dia sudah meninggal," ujar Ghazam lirih. Kepalanya menunduk, bersamaan dengan helaan nafas yang keluar dari mulutnya. "Sudah aku katakan padanya agar tidak terlalu kelelahan hari ini. Seharusnya dia juga memperhatikan kesehatannya."
Sheila yang mendengarnya membulatkan mata terkejut. Sebelum akhirnya dia mengulurkan tangannya untuk mengusap bahu Ghazam yang kini terduduk di sisi ranjang Ares.
Matanya memerah, memancarkan kesedihan di sana. Meski dia baru mengenal Ares dan baru saja menikah dengannya, tetap saja Sheila juga kehilangan. Sebab Ares juga sudah banyak membantunya selama ini. Bahkan hingga Sheila tak perlu lagi bekerja part time kesana kemari demi keperluan sehari-harinya.
Namun, siapa sangka Ares akan meninggal secepat ini. Membuatnya harus menjadi seorang janda di usia mudanya. Belum lagi, kenyataan jika dia belum disentuh suaminya sama sekali. Menjadikan dirinya sebagai janda yang masih perawan. Janda di malam pertamanya.
"Kau harus menghubungi keluargamu, Ghazam," ujar Sheila lirih.
Suaranya juga terdengar gemetar menahan tangisnya.
Sementara Ghazam menganggukkan kepalanya atas apa yang dikatakan Sheila. Sebelum akhirnya dia mendongak untuk menatap Sheila yang masih mengusapkan tangannya pada bahu Ghazam. Mencoba untuk menenangkan Ghazam yang mungkin lebih bersedih darinya karena kehilangan kakak kandungnya sendiri.
"Apa kau akan pergi dari sini kalau suamimu sudah meninggal seperti ini?"
Pertanyaan yang dilontarkan Ghazam berhasil membuat Sheila menatap tak percaya padanya.
Bukan mengungkapkan kesedihan karena kehilangan sang kakak, Ghazam malah mempertanyakan hal yang sepertinya tak etis untuk ditanyakan saat keadaan seperti ini.
Hal yang membuat Sheila menatap Ghazam lekat. Penuh teka teki. "Kau tidak mungkin membunuh kakakmu sendiri 'kan, Ghazam?"
Sheila menatap nisan yang kini telah bertuliskan nama pria yang baru kemarin menyandang status sebagai suaminya. Dia terdiam bahkan ketika satu persatu pelayat yang ada melangkahkan kakinya meninggalkan area pemakaman. Dia diam, memandang lurus ke depan.
Satu yang ada di pikirannya saat ini, 'Apakah aku harus kembali tinggal di kosan sempit dengan berbagai part time yang harus dikerjakan kalau Ares sudah tidak ada seperti ini?'
Ya, mungkin terdengar kejam saat Sheila hanya memikirkan dirinya dan bukan tenggelam dalam kesedihan kematian suaminya sendiri. Tapi, mau bagaimana lagi? Sheila menikahi Ares demi bisa mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman. Bukan malah mendapat status janda di usia mudanya ini.
"Mau terus diam di sini? Tidak mau pulang?"
Sheila menoleh. Di mana dia mendapati Ghazam dengan pakaian serba hitamnya yang sudah berdiri tak jauh di belakang Sheila.
Tidak menjawab, Sheila juga lebih memilih untuk kembali menatap nama Ares di atas nisan. Seolah pertanyaan Ghazam memang tidak menarik sama sekali untuknya.
"Biarkan Ares beristirahat dengan tenang. Seharusnya kau sudah tahu kalau dia memiliki kondisi jantung yang buruk bukan? Hal ini tidak bisa dihindari, mungkin sudah takdirnya seperti ini," ucap Ghazam yang sudah melangkahkan kakinya mendekat ke arah Sheila dan berdiri tepat di samping gadis itu.
"Apa kau tidak bersedih sama sekali? Kakakmu baru saja meninggal, tapi kau terlihat cukup santai untuk seseorang yang baru saja kehilangan keluarganya," ujar Sheila tanpa menoleh ke arah Ghazam.
Ghazam sempat terdiam, sebelum akhirnya dia tersenyum, miris. "Entahlah. Aku sendiri tidak tahu apakah aku merasakan kesedihan itu atau tidak. Tapi yang jelas, hubunganku dengannya tidak baik sejak dulu. Apa yang sudah dia lakukan rasanya sudah membuatku mati rasa."
Sheila mengernyit setelah mendengar ucapan Ghazam. Kali ini dia menoleh ke arah pria di sampingnya, penasaran. "Apa maksudnya? Memangnya apa yang sudah Kak Ares lakukan padamu?"
Tak menjawab, Ghazam kini lebih memilih memainkan kunci mobil yang ada di tangannya. "Mau ikut puang bersamaku tidak? Orang-orang sudah pergi, di sini jarang ada kendaraan umum," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
Nyatanya, Sheila juga sadar kalau Ghazam enggan menjawab pertanyaannya.
"Aku ikut, sekalian membawa beberapa barang dan pakaianku yang masih ada di kamar Ares," ucap Sheila pada akhirnya.
Baiklah, tidak penting memikirkan apa yang sudah terjadi di antara Ghazam dan Ares. Yang lebih penting sekarang, Sheila yang harus mencari tempat tinggal lain.
Baru beberapa langkah mereka meninggalkan area pemakaman, seseorang sudah berdiri tepat di depan keduanya.
"Halo, Nona Sheila. Kita bertemu lagi. Turut berduka cita atas meninggalnya Tuan Ares."
Sheila menatap seorang pria yang nampak seusia dengan Ares yang kini berdiri di hadapannya. Membuat Sheila sedikit menundukkan kepalanya untuk menyapa pria tersebut.
"Terima kasih sudah hadir di pemakaman Tuan Ares," ujar Sheila lembut.
Dia sedang berusaha bersikap sopan. Karena dia jelas tahu pria di hadapannya bukanlah orang yang sembarangan. Apalagi saat Sheila juga mengingat jika pria itu begitu dihormati Ares saat hari pernikahannya.
"Maaf sekali. Tapi, aku tak begitu memiliki ingatan yang bagus," jawab Sheila lebih sopan lagi.
Dia tidak ingin membuat pria itu malah salah paham karena Sheila sama sekali tidak mengingat namanya.
"Aku Jeremy. Teman baik Ares," ujar pria itu dengan tangan yang sudah terulur pada Sheila.
Sheila mengerutkan keningnya. "Jeremy? Jeremy Graffin?"
Sebuah anggukan ditunjukan Jeremy di sana. "Betul sekali!"
Sheila membuka mulutnya tak percaya. Dia tak menyangka jika yang berhadapan dengannya saat ini adalah seorang CEO dari salah satu stasiun televisi nasional terbesar. Dimana seingat Sheila, pria itu memiliki kekayaan yang tak terhitung lagi jumlahnya.
"Ah, maaf sekali tidak mengenalimu, Tuan Jeremy," ucap Sheila sembari menerima uluran tangan Jeremy.
Sheila tersenyum lebar. Mengingat Ares yang memiliki hubungan baik dengan Jeremy, mungkin bisa membuat Sheila juga mendapatkan koneksi darinya. Sehingga dia bisa kembali bertahan dengan kehidupannya setelah Ares meninggal.
"Tidak apa-apa, cantik."
Sheila tertegun saat Jeremy berkata demikian. Sehingga Sheila hanya bisa tersenyum kaku saat mendengarnya. Pasalnya, bukan hanya itu saja. Jeremy bahkan tak melepaskan tangan Sheila begitu saja. Pria itu masih menggenggamnya.
Dan beberapa saat kemudian, pria itu malah menarik Sheila untuk lebih dekat dengannya. "Aku siap menggantikan Ares," bisik Jeremy pada Sheila.
Sekali lagi, Sheila membulatkan matanya. Dia mencoba melepaskan tangannya dari Jeremy, tepat saat pria itu juga sudah menggerakkan jari telunjuknya di telapak tangan Sheila. Bergerak menggelitik di sana.
"T—tuan," ucap Sheila menjadi ketakutan sendiri.
Tatapan mata Jeremy terlihat begitu menyeramkan. Sebab pria itu sudah menatap Sheila dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Belum lagi dengan lidah yang sudah menyapu bibirnya sendiri di sana.
Jelas, Sheila tahu sekali arti tatapan itu. Jeremy tak jauh berbeda dengan Ares.
"Aku bisa memberikan penawaran lebih banyak daripada Ares. Bahkan, kau juga tak perlu menikah denganku. Cukup memuaskan aku, aku akan memberikan berapa pun yang kau inginkan, Manis."
Sheila menggeleng. Dia menolak tanpa harus berpikir lagi. Dia memang menikahi Ares karena dia berharap Ares bisa menyelamatkannya dari kemiskinan. Tapi, bukan berarti Sheila akan mudah memberikan dirinya pada siapa saja.
"Mau sok jual mahal? Aku bahkan bisa memberikanmu mansion, kapal pesiar atau—"
"Maaf sekali, Tuan Jeremy. Tapi, dia tak membutuhkan semua itu. Aku sebagai adik dari Tuan Ares juga bisa memberikan semua itu untuk kakak iparku ini."
Ghazam segera memotong ucapan Jeremy di sana saat merasa pria di depannya semakin bersikap kurang ajar. Di mana hal itu jelas membuat Sheila segera menarik tangannya, mengambil kesempatan melepaskan diri saat Jeremy tengah lengah karena ucapan Ghazam.
Jeremy juga nampak terlihat gelagapan karena ucapan Ghazam di sana. "K–kau Ghazam? Adik Ares?"
"Menyingkirlah dari sini. Sebelum istrimu melihat kau baru saja menggoda kakak iparku ini," tambah Ghazam begitu dia sudah berdiri di depan Jeremy.
Sheila tak mengerti, kenapa Jeremy begitu saja menurut akan apa yang dikatakan Ghazam. Padahal, sekelas Ares saja saat itu memperlakukan Jeremy dengan hormat. Tapi Ghazam justru malah terlihat begitu mudah membuat Jeremy menurut.
"Lain kali jangan biarkan pria lain menyentuhmu," ucap Ghazam yang kini sudah berhadapan dengan Sheila.
Sheila menatap Ghazam dengan tatapan tak percayanya. Membuat gadis itu juga bertanya-tanya apa yang mungkin Ghazam miliki hingga bisa bersikap seperti itu pada Jeremy. Karena kalau soal harta, Sheila tak begitu yakin. Ghazam selama ini pergi dari Ares, tanpa membawa harta Ares sedikit pun. Belum lagi, Sheila juga tak mengetahui selama ini Ghazam bekerja sebagai apa.
"Apa urusannya denganmu?" tanya Sheila yang kini sudah menunjukan keangkuhannya pada Ghazam dengan sengaja.
Dia juga menatap tajam pada Ghazam di sana dengan kedua tangan yang sudah terlipat di depan dada.
Mengulurkan jemari tangannya untuk mengusap lengan atas Sheila, Ghazam lantas tersenyum dengan penuh arti. "Karena hanya aku yang boleh menyentuhmu," ucapnya begitu pelan.
Sheila memutar bola matanya malas. Seharusnya dia sudah tahu sejak awal maksud Ghazam. Apalagi saat pria itu menyebut dirinya sebagai kakak ipar dari Ghazam sendiri. Gila, rasanya memuakkan untuk Sheila kalau diingat lagi.
"Sheila, karena suamimu alias kakakku sudah tidak ada. Jadi, biarkan aku yang menikmatimu," bisik Ghazam sekali lagi pada Sheila.
Kalimat yang telah berhasil membuat Sheila mengepalkan tangannya kesal karena hal itu. Ghazam gila, tak waras. Sheila tak bisa tetap di sana kalau sudah seperti ini.
***
Sheila menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang begitu dia baru saja kembali dari pemakaman Ares. Menatap langit-langit kamarnya, malam ini akan menjadi malam terakhir Sheila tinggal di sana.
Dia sudah kehilangan Ares sebagai suaminya, jadi tidak ada alasan untuk Sheipa tetap berada di sana.
"Pria itu bahkan membuatku seperti ini setelah meninggal," ucap Sheila yang kemudian menghela nafasnya berat. "Seharusnya aku bertindak lebih cepat."
"Bertindak lebih cepat untuk menguras harta si tua Ares itu?"
Sheila tersentak. Saat sekarang Ghazam sudah melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar tersebut. Bahkan, wanita itu sudah segera bangkit dari duduknya. Membenarkan dress simple hitam panjang yang dia kenakan yang sempat tersingkap saat dia terlentang di atas kasurnya.
"Mau apa kau kemari?!" tanya Sheila tegas.
Melihat raut wajah Ghazam membuat Sheila mendecih. Semudah itu raut wajah pria itu berubah setelah pagi tadi terlihat muram saat Ares meninggal.
Membuat Sheila sadar, jika Ghazam tidak benar-benar bersedih akan kepergian Ares, kakaknya sendiri.
"Mau menemani kakak iparku. Siapa tahu kau kesepian dan membutuhkan seseorang di atas— maksudku, di sampingmu."
Ghazam sudah menunjukan senyuman jahilnya. Menunjukan sekali kalau dia memang tengah bermain-main pada Sheila. Belum lagi tatapannya, membuat Sheila sekali lagi merasa muak akan Ghazam.
Baiklah, beruntung sekali Sheila juga akan segera pergi dari kehidupan Ghazam. Setidaknya Sheila bisa melarikan diri dari kehidupan adik dan kakak yang selalu berhasil membuatnya menggelengkan kepala tak percaya. Walaupun Sheila juga harus merelakan fakta bahwa dia harus menjadi janda muda yang tidak mendapatkan keuntungan apapun selama menikahi Ares, pria yang jauh lebih tua darinya.
"Keluarlah! Aku juga akan segera pergi besok," ujar Sheila.
Dia tak mencoba menutupi kenyataan jika dia memang akan segera mengangkat kaki dari rumah Ares.
"Benarkah? Bagus sekali! Tapi, tetap saja tidak akan mengurungkan niatku untuk menghilangkan rasa kesepianmu," ujar Ghazam dengan senyuman yang dia tunjukan.
Ini gila. Teramat! Dia mengerti apa maksud Ghazam di sana. Terlebih, saat pria itu sudah berjalan cepat mendekat pada Sheila dan menghimpit tubuh wanita itu pada tembok. Dia melakukan kabedon pada gadis itu di sana.
"Hari pertamamu menjadi janda, bagaimana rasanya? Aku tahu kau pasti teramat kesepian sekarang, 'kan? Tidak ada lagi yang memenuhi tubuhmu? Tidak ada lagi suami tua mu yang menikmati bibirmu?" bisik Ghazam sensual di telinga Sheila.
Sheila hampir terbuai dengan bisikan lembut yang Ghazam tunjukan. Dia nyaris saja kehilangan akalnya. Seandainya saja jika dia tidak mencoba mengendalikan diri, mungkin dia sudah berada dalam sebuah masalah.
"J–jangan, macam-macam!" Seru Sheila mencoba memperingatkan.
Namun, bukannya sebuah kepatuhan yang dia dapatkan, justru Sheila malah mendapatkan satu ciuman yang memaksa, ciuman yang cukup kasar untuk bibir Sheila di sana.
"Diamlah! Biar aku tunjukan permainan yang lebih baik di tengah kesepianmu!" Seru Ghazam saat Sheila terus memberontak sehingga dia harus melepaskan ciuman yang dia lakukan.
"Ummphh—"
Sheila kembali memberontak di tengah pagutan yang diberikan Ghazam. Tangannya berkali-kali memukul dan mendorong tubuh pria itu. Namun, sayangnya tenaga Ghazam dengan tubuh kekarnya itu tak sebanding dengan dirinya. Membuat Sheila tetap tak bisa melepaskan ciuman panas tersebut.
Berkali-kali Sheila melenguh dan mencoba berteriak, tapi tetap tak digubris Ghazam.
Merasa perlawanannya tak berhasil, Sheila lebih memilih merapatkan bibirnya dengan kuat. Sehingga membuat Ghazam kesulitan untuk menyesap bibirnya.
"Sialan! Buka mulutmu, Sheila. Aku sedang berbaik hati memberikan diriku untuk janda bekas sepertimu!"
Gila. Hanya itu yang bisa Sheila pikirkan soal Ghazam. Adik iparnya sendiri.
Mendengar apa yang dikatakan Ghazam saja, Sheila lantas meludah ke sisi kirinya. Seolah menatap Ghazam adalah hal yang paling menjijikan untuknya hingga meludah seperti itu.
"Brengsek!" Seru Ghazam tak terima saat Sheila berlaku demikian. "Biar aku buat kau melenguh di bawah kuasaku, Sheila. Akan aku tunjukan bagaimana nikmatnya milikku. Akan aku buat kau melayang tinggi sebelum akhirnya aku jatuhkan kau kembali dengan keras!"
Ya, Ghazam marah. Dia tak terima. Hingga dia sudah mencengkram dagu Sheila dengan satu tangannya. Cengkeramannya juga begitu kuat hingga gadis itu merasakan sakit di kedua sisi pipinya.
Sebelum akhirnya, Ghazam sudah kembali melumat bibir sang gadis. Dengan sebuah gigitan yang dia berikan pada bibir bawah gadis itu hingga mengaduh dan membuka mulutnya. Sampai Ghazam menyunggingkan senyumnya atas apa yang telah dia lakukan. Tersenyum puas penuh kemenangan, saat dia sudah berhasil menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Sheila. Bergerak menyusun setiap deretan gigi Sheila dan menyesap lidah wanita itu.
Sheila sadar. Ghazam memang begitu brengsek!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!