..."Kehilangan membuatku sadar bahwa kerasnya dunia itu ada. Akanku pastikan sakit ini menjadi nyata, sampai tidak ada satupun yang berani menentangku."...
...~Alaska Dirgantara~...
Semenjak meninggalnya almarhumah Mama Aluna --- ibu kandung Alaska pada saat umurnya baru menginjak tujuh tahun, karena tragedi kecelakaan beruntun yang mengakibatkan Aluna kehilangan nyawanya. Alaska sebagai anak tidak menerima kepergian mamanya itu, sehingga mengakibatkan mentalnya menjadi keras dan susah untuk diberi nasehat.
Tumbuh tanpa seorang ibu dalam usia sekecil itu membuat Alaska menjadi pribadi yang sangat kejam dan keras. Bahkan ayahnya --- Farhan tidak bisa menangani anak semata wayangnya bersama Aluna, sehingga ia menikah lagi dengan Rina yang kini telah menjadi istrinya selama delapan belas tahun.
Selama delapan belas tahun Rina tidak mampu meluluhkan hati Alaska bahkan ia dibenci oleh putra sambungnya itu, apalagi hadirnya anak lain yang dibawa oleh Rina membuat Alaska semakin benci kepada Papa Farhan yang selalu membandingkan keduanya.
Sudah capek dengan sikap Alaska, membuat Papa Farhan merencanakan sesuatu untuk membuat anaknya itu berubah dan kembali seperti dulu sewaktu almarhumah Aluna masih hidup.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Alaska Dirgantara, pemilik wajah tampan dengan ukiran yang hampir sempurna. Hidung mancung, kulit putih, wajah oval serta tubuh tegap membuat Alaska semakin berkarisma. Kini umurnya telah menginjak 28 tahun, menjabat sebagai CEO Dirgantara Group. Terlihat Alaska melangkah masuk ke dalam rumah dengan muka datar tanpa ekspresi. Itu sudah kebiasannya selama delapan belas tahun kebelakang ini.
Semua orang di dalam rumah sudah tidak heran lagi apalagi Mama Rina yang selalu menyambut Alaska setiap pulang dari kantor hanya ditanggapi acuh saja bahkan selama ini Rina hanya bisa pasrah dengan sikap anak sambungnya itu yang menyimpan kebencian bertahun-tahun karena mengira telah menggoda Farhan untuk menikahinya beberapa bulan setelah Aluna meninggal dunia.
"Alaska, kamu sudah pulang Nak? Ayo kita makan bersama, Mama sudah masakin makanan kesukaanmu," ajak Mama Rina dengan senyum merekah di bibirnya.
"Sudahlah jangan berpura-pura menjadi Mama yang baik untukku, karena sampai kapanpun anda tidak akan pernah menggantikan Mamaku, cam kan itu!" tegas Alaska dengan nada yang sangat keras sehingga membuat tubuh Rina terguncang hebat.
"Alaska! Apa-apaan kamu, bicara tidak sopan kepada Mamamu?" Papa Farhan mengepalkan kedua tangannya dan hendak menampar pipi mulus sang anak. Namun terhenti, karena Mama Rina menghentikan aksinya itu.
"Pa, sudah jangan marahi Alaska! Biarkanlah dia istirahat ke kamarnya pasti dia sangat capek," ucap Mama Rina sangat perhatian kepada Alaska walupun tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari putranya itu.
"Apa? Papa mau tampar aku? Silahkan ni, tampar saja wajah Alaska!" Alaska mendekatkan dirinya kepada Papa Farhan sembari menunjuk-nunjuk wajah tampannya dengan sengaja.
"Silan kamu anak tidak tahu diri!" Tangan itu hendak melayang mendarat ke pipi mulus Alaska. Namun, lagi dan lagi Mama Rina menghentikannya.
"Jangan Pa! Alaska masih muda belum mengerti jangan dikasari seperti itu," ujar Mama Rina dengan wajah iba.
"Kamu ini jangan membela Alaska terus, dia anak pembangkang tidak pernah nurut apa kata orang tua bahkan seenaknya saja. Lihat kelakuannya itu sungguh tidak punya tatakrama, kurang apa kita mengurusnya selama ini?" kata Papa Farhan dengan deru nafas naik turun karena emosinya yang sudah sampai memuncak.
"Kenapa Pa tidak jadi? Sungguh Papa macam apa kamu? Anak kandung saja sudah mau main tangan, dikasari, dibentak, sedangkan anak dari wanita itu Papa bangga-banggakan sampai lupa sama anak kandungannya sendiri," ucap Alaska tersenyum sinis sembari melenggang pergi dari hadapan Papa Farhan dan Mama Rina.
"Berhenti di situ! Satu langkah lagi kamu berjalan, aset Dirgantara Group akan Papa kasih kepada Ibrahim semuanya tanpa sisa!" ungkap Papa Farhan lantang.
Deg!
Alaska terdiam, ia berhenti tidak melanjutkan langkahnya dan kembali membalikkan tubuhnya dengan menatap tajam wajah Papa Farhan. "Apa-apaan yang Papa berusan katanya? Alaska tidak akan pernah membiarkan aset keluarga kita dikuasai oleh anak dari wanita itu!" tegasnya menatap tajam Mama Rina.
Papa Farhan tersenyum sinis, hendak merencanakan sesuatu. "Papa akan berikan semua aset Dirgantara Group kepada Ibrahim, kecuali dengan satu syarat," ucapnya dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajah tampannya yang mulai menua.
"Apa yang Papa inginkan? Cepat katakan!" Alaska lantang menegaskan Papa Farhan agar tidak main-main dengannya.
"Syaratnya kamu harus menikahi wanita pilihan Papa. Dengan begitu aset Dirgantara Group akan jatuh kepadamu," ucap Papa Farhan dengan lantang.
"Hah, apa Papa gila? Syarat macam apa itu? Enggak, enggak! Pokoknya sampai kapanpun Alaskan gak bakalan menikah dengan cewe pilihan Papa itu!" tegasnya berulang kali. Alaska menentang keras syarat yang dibuat oleh Papa Farhan.
"Baiklah, berarti Papa anggap kamu menyetujui keputusan Papa untuk memberikan aset Dirgantara Group kepada Ibrahim. Mulai besok Papa akan urus semua surat-suratnya," kata Papa Farhan tetep bersikap tenang walupun anaknya sedang emosi.
Mama Rina yang mendengar ucapan suaminya hanya bisa terdiam tanpa berpikir banyak, karena ia tahu yang suaminya putuskan itu pasti ada sebabnya.
"Baiklah, Alaska terima permintaan Papa. Alaska akan menikahi gadis itu," ucap Alaska dengan berat hati.
Nampaknya Alaska tidak mempunyai pilihan lain selain menerima syarat konyol itu. Di dalam hidupnya tidak pernah terpikirkan bahwa ia akan menikahi wanita, apalagi pilihan Papa Farhan yang jelas-jelas pasti bukan tipenya.
"Benarkah itu Alaska? Apa kamu memenuhi syarat yang sudah Papa minta?" tanya Papa Farhan untuk memastikan kembali.
"Iya Pa, Alaska terima syarat itu asalkan aset Dirgantara Group tidak jatuh ke tangan anak dari wanita itu!" Tatap sinis Alaska yang tidak pernah pudar dari penglihatan Mama Rina.
"Baiklah, besok kamu ikut Papa ke rumah Harun untuk meresmikan perjodohanmu dengan putrinya dan membahas pernikahan," kata Papa Farhan serius.
"Apa? Kenapa secepat itu Pa? Apa tidak bisa diperlambat sekitar setahun atau dua tahun lagi?" tanya Alaska yang masih terkejut dengan perkataan Papa Farhan.
"Tidak bisa! Karena harus secepat mungkin kamu menikah dengan putri dari Harun. Semakin cepat maka cepat pula aset Dirgantara Group jatuh kepadamu. Jika kau ingin memperlambat pernikahan ini, maka aset Dirgantara Group akan jatuh ke tangan Ibrahim!" jelas Papa Fathan dengan santainya.
"Aaahhk! Sialan! Semakin ribet saja," umpat Alaska frustasi berada di dalam pilihan yang rumit.
"Bagaimana keputusanmu Alaska?" tanya Papa Farhan kembali membuat Alaska menatapnya tajam.
"Baik Pa, Alaska mau ikut Papa besok." Alaska hanya bisa pasrah karena tidak ada lagi pilihan lain.
"Bagus, Papa akan kabari Harun nanti. Dan kamu Alaska, siapkan dirimu untuk besok bertemu calon istri kamu!" pinta Papa Farhan dengan tegas.
Alaska tidak menjawab hanya terdiam dan kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertunda. Tidak lama dari itu, terdengar suara pintu kamar Alaska yang ditutup cukup kencang.
..."Menyambung ikatan adalah sebuah pembuktian, mengikatnya menunjukan sebuah kepastian, dan menerimanya adalah pembuktian yang sesungguhnya."...
...~~~...
Brakk!
Suara pintu kamar yang sempet ditutup cukup kencang oleh Alaska.
"Lihatlah kelakuannya Ma, Alaska memang tidak akan berubah sebelum kita yang mengubahnya," seru Papa Farhan sembari tersenyum penuh kemenangan.
"Loh kok Papa bilangnya begitu? Sampe senyum begitu. Jangan-jangan Papa kesambet ya? Sudah marah-marah, tapi malah senyum-senyum gitu sekarang," ujar Mama Rina bergidik ngeri.
"Sutt! Mama ni gimana? Papa ini baik-baik saja loh jangan mikir begitu," balas Papa Farhan yang sedikit kaget dengan penuturan istrinya.
"Iya Papa si malah pake senyam senyum begitu. Jadi, kan Mama pikir Papa ni kenapa-napa. Eh tapi Pa, maksud Papa tadi ke Alaska itu apa coba? Kenapa Papa bilang begitu?" tanya Mama Rina antusias, karena sedari tadi hanya diam saja tanpa bisa berkata sepatah kata pun jika suami serta anaknya sudah bertengkar hebat seperti itu.
"Oh yang itu, Papa ingin buat pelajaran sama anak bandel itu," jawab Papa Farhan singkat.
Mama Rina menautkan kedua alisnya, merasa bingung dengan jawaban dari suaminya. "Apa yang Papa maksud? Pelajaran apa Pa? Apa jangan-jangan Papa mau kasar sama Alaska? Jangan macem-macem Pa sama anak Mama! Mau sekeras apapun Alaska, jangan sampai Papa buat luka. Sedikit saja Papa bertindak kasar, Mama akan marah!" ancam Mama Rina. Entah keberanian dari mana ia mengatakan itu pada suaminya.
"Loh Ma, udah berpikiran begitu saja sama Papa. Udah jangan khawatir ya, Papa gak bakalan macem-macem kok sama Alaska, Papa malah mau buat dia senang nanti," balas Papa Farhan dengan merangkul pundak istrinya yang mulai cemberut.
"Benarkah? Papa janji ya buat Alaska senang nanti, terus bisa menerima Mama sebagai Mamanya?" tanya Mama Rina yang kini suasananya tiba-tiba kembali riang.
"Iya insyaallah, Papa gak janji tapi Papa usahain ya nanti Mama lihat aja kedepannya gimana," ujar Papa Farhan menasehati istrinya supaya lebih bersabar lagi.
Seketika Mama Rina kembali menatap wajah suaminya. "Iya Pa, Mama pasti bersabar kok menantikan hari itu tiba, walupun entah kapan terjadinya," ucapnya dengan senyum yang tidak pernah pudar walaupun sering dihina Alaska.
"Nah gitu dong, Papa yakin sebentar lagi Alaska menerima Mama sebagai Mamanya seperti dulu Aluna masih hidup," kata Papa Farhan yang kemudian diangguki Mama Rina.
...****************...
Keesokan harinya, matahari sudah terbit indah menerangi bumi yang sempat gelap. Suara riuh penghuni bumi saling bertautan, terdengar begitu ramai menghiasi pagi yang cukup cerah.
Di balik tirai kamar yang cukup besar, masuk cahaya kecil yang lambat laun menjadi besar. Cahaya terang itu membangunkan sang empu yang tertidur lelap, dan mulai membuka kedua kelopak matanya karena terusik cahaya matahari yang sengaja masuk ke dalam kamar.
Siapa lagi kalau bukan Alaska Dirgantara, pria tampan dengan segudang pesona. Namun sayangnya, ia sangat keras dan kejam sehingga orang engan mengusiknya.
Lain halnya dengan Mama Rina yang sudah biasa membangunkan putranya itu dengan cara membuka garden kaca besar di depan kamar Alaska supaya anak itu terbangun.
"Apaan si? Masih pagi susah ganggu saja!" keluh Alaska menatap sinis Mama Rina, terlihat sedang berdiri di depan pintu jendela kamarnya yang besar.
"Putra Mama sudah bangun? Bersihkan dirimu sana! Nanti cepat ke bawah, Mama siapkan sarapan untukmu dulu ya," ucap Mama Rina sangat lembut dan penuh perhatian.
"Perlu anda ingat ya! Jangan bersikap perhatian kepadaku, karena kau bukan Mamaku!" kata Alaska dengan penuh penekanan.
Mama Rina hanya diam dan tidak menanggapi kata putranya itu, ia malah melenggang pergi keluar dari kamar Alaska. Begitulah setiap harinya dia lakukan walaupun Alaska tetep engan menerimanya bahkan sampai bertahun-tahun.
***
Lima belas menit kemudian, Alaska mulai menuruni anak tangga dan menghampiri orang tuanya, terlihat Papa Farhan menatap Alaska dengan tersenyum lebar.
Keduanya hanya diam dan beradu pandang, tidak lama dari itu hanya hening yang terjadi di meja makan mewah dan cukup besar itu, sesekali terdengar suara dentuman sendok dan piring yang saling beradu. Alaska hanya menyantap makanan dengan wajah datar dan enggan berkata sepatah kata pun.
Setiap hari seperti itu, Ayah Farhan dan Mama Rina sudah terbiasa dengan sikap Alaska dan tidak mempermasalahkannya. Ke mana putra yang dibawa Mama Rina? Ya dia pergi kuliah ke Kairo Mesir, sudah delapan tahun Ibrahim menetap di sana, sesekali pulang pada saat lebaran dua aid.
"Alaska ayo ikut Papa! Sekarang kita pergi ke rumah teman Papa yang berada di Bandung," ucap Papa Farhan sudah siap dengan pakaian rapih serta berpamitan kepada istrinya.
"Hah, sekarang Pa? Ini masih pagi, apa tidak menunggu siang saja?" Alaska nampaknya mencari-cari alasan untuk mengulur waktu.
"Tidak ada bantahan lagi! Papa tidak mau tahu pokoknya sekarang kamu ikut Papa!" tegas Papa Farhan sekali lagi supaya anaknya tidak lagi membuat alasan.
"Baik, Alaska ikut Papa sekarang," jawabannya lesu tidak ada semangat sama sakali.
Seketika senyum lebar terpampang di wajah Papa Farhan. Di dalam perjalanan, Alaska hanya diam, sedengkan Papa Farhan sekali melirik putranya.
Tidak butuh waktu lama dua jam kemudian, Alaska dan Papa Farhan sampai di kediaman Abi Harun sekaligus pemilik pondok pesantren Darussalam.
"Tempat apaan ini Pa? Ramai orang memakai pakaian aneh, ini rumah apa kontrakan?" tanya Alaska cukup heran, karena ia melihat para santri saling berlewatan di halaman pondok pesantren Darussalam, dengan memakai baju koko, sarung serta peci yang dikenakan di kepalanya. Sungguh menurutnya itu sangat aneh.
Papa Farhan hanya menggelengkan kepala dengan sikap putranya yang cukup minim agama. Semenjak Mama Aluna meninggal, Alaska mamang sulit untuk diajarkan mengaji berbicara saja sangat ngirit. Mama Rina sudah berusaha mengajarkan agama kenapa Alaska seperti halnya Ibrahim. Namun, Alaska sejak dulu menantang itu dan engan berdekatan dengan Mama Rina.
"Cek kamu ni! Sudahlah jangan banyak bicara! Kita temui dulu Harun nanti kamu akan tau tempat apa ini, padahal sudah jelas plang tadi menunjukan ini tempat apa," ucap Papa Farhan melemas.
Alaska hanya diam, ia memang tau ini pondok tapi tidak menyangka di dalamnya banyak orang layaknya pasar atau kontrakan yang memakai pakaian serba aneh.
Setelah sampai di depan pintu rumah Abi Harun, keduanya disambut ramah oleh keluarga. Terutama Ummi Salamah yang merupakan istri dari Abi Harun, nampaknya terlihat sangat ramah pula kepada Papa Farhan karena ia tahu bahwa Papa Farhan adalah teman dekat suaminya, sehingga sering datang kemari.
Di dalam ruangan cukup besar itu, tiba-tiba suasananya menjadi tegang karena mereka mulai membahas perjodohan dan pernikahan yang sudah direncanakan delapan belas tahun yang lalu oleh Papa Farhan dan Abi Harun serta Mama Aluna sewaktu masih hidup.
"Harun pasti kamu sudah tahu maksud kedatangan kami ke sini? Aku akan meremikan perjodohan anak kita yang sudah direncanakan delapan belas tahun kebelakang," ucap Papa Farhan langsung ke intinya.
Kedua mata Alaska terbelalak lebar mendengar penuturan dari Papa Farhan. Sungguh ia sangatlah kaget bahwa selama itu, Alaska sudah terikat perjodohan dengan wanita yang sema sekali belum ia lihat bahkan sampai detik ini.
"Iya tentu saja saya masih inget Farhan. Apalagi yang kita tunggu, putri saya juga sudah cukup umur untuk berumah tangga," jawab Abi Harun sembari tersenyum.
..."Entah seperti apa takdir membawaku, tapi yang pasti, kehadiranmu mampu mengubah cara pandangku terhadapmu."...
...~Arumi Nadya Karima~...
"Haha, kamu ni bisa aja Harun. Sungguh putraku juga sudah tidak sabaran untuk meminang putrimu," ujar Papa Farhan dan langsung mendapat tatapan tajam dari Alaska.
Abi Harun tersenyum, lalu menatap Alaska. "Jadi, ini putramu? Sekarang dia sudah tumbuh dewasa dan tampan seperti dirimu dulu," ucapnya dengan terus menatap wajah Alaska.
"Iya Harun, ini adalah anakku yang dulu saat dia masih kecil pernah dibawa ke sini hanya diam saja di luar, sekarang Alaska sudah tumbuh besar. Tentu saja ini adalah calon menantumu," jawab Papa Farhan sesekali melirik Alaska yang terus saja menatap sinis dirinya.
Seketika Abi Harun tersenyum mendengar penuturan Papa Farhan tentang putranya itu. Lalu, ia pun menatap Alaska kembali, "Apa kamu sudah siap untuk menikah, Nak?" tanya Abi Harun dengan wajah serius.
Alaska melirik sekilas Papa Farhan yang mengangguk memberikan isyarat kepadanya. Dengan nafas berat Alaska menjawabnya, "Iya saya sudah siap!"
"Apa kamu sudah yakin sama putri Abi? Dan menerima semua konsekuensi kedepannya nanti?" tanya Abi Harun kembali membuat Alaska semakin gusar.
"Mau gimanapun nanti, saya terima semuanya karena saya sendiri sudah memilih dia sebagai istri," ucap Alaska. Entah darimana ia bisa mengucapkan kata sopan seperti itu.
Terlihat Papa Farhan sangat kaget dengan jawaban dari Alaska, ia tidak menyuruhnya untuk berbicara seperti itu. Akan tetapi, Alaska cukup pintar menangani semuanya, menjalankan tugasnya dengan bagus.
"Baik kalau begitu, Abi nanti bicarakan ini sama putri Abi yang sedang kuliah Mesir," kata Abi Harun santai dengan sesekali memperhatikan Alaska. Ia lihat bahwa pemuda ini orang yang cukup baik menurutnya.
"Bagaimana kalau kita tentukan tanggal pernikahannya dulu Harun?" tanya Papa Farhan sangat antusias.
"Iya, tapi aku coba bicarakan dulu sama Arumi. Bagaimanapun juga putramu perlu melihat putriku terlebih dahulu untuk menyakinkan," ujar Abi Harun yang ingin tetep mengabari putrinya, walupun sedang tidak ada di rumah.
Triiinng! Tring!
Suara ponsel berbunyi dari saku gamis Ummi Salamah, lalu ia pun mengeluarkannya dan mencoba melihat nama dari ponselnya.
"Abi ini Arumi telpon," ucap Ummi Salamah kegirangan.
"Oh ya? Angkat saja Ummi, kebetulan Abi ingin bicara sama dia," sahut Abi Harun memberikan perizinan.
Kemudian Ummi Salamah mengangkat telpon itu, seketika juga terdengar suara dari sebrang sana. "Hallo Assalamualaikum, maaf Bu dengan keluarga pemilik ponsel ini?" tanyanya di seberang sana.
Kedua alisnya bertaut, nampaknya Ummi Salamah tidak mengenali suara itu. Ia sangat tau betul kalau itu bukanlah putrinya.
"Wa'alaikumsalam, iya saya Umminya Arumi, maaf anda siapa ya? Kenapa bisa ponsel Arumi ada bersamamu? Ke mana putri saya?" tanyanya cukup cemas.
"Maaf Bu sebelumnya, anak ibu mengalami kecelakaan. Pesawatnya jatuh ke jurang, siarannya juga sedang berlangsung di televisi. Banyak sekali korban jiwa, untungnya putri Ibu selamat dan sedang tidak sadarkan diri. Pasien sekarang ada di Rumah Sakit Medika --- Jakarta. Diharapkan Ibu sekeluarga segera kemari!" jelas pemuda di sebrang sana.
"Astaghfirullahaladzim, Arumi! Tidak ini tidak mungkin terjadi pada putriku!" isak Ummi Salamah dengan berderai air mata, tidak kuasa membendungnya lagi.
"Hallo, Apa Ibu baik-baik saja?" tanyanya di sebrang sana, harap-harap cemas dengan keluarga korban.
Tutt! Tuutt!
Seketika sambungan terputus dan pembicaraan meraka pun usai, karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Dan nampaknya baterei ponsel Arumi di sana habis mati total, sehingga pemuda itu tidak bisa berkata lagi.
"Ada apa Ummi, kenapa nangis? Ada apa sama Arumi?" tanya Abi Harun khawatir, tiba-tiba saja Ummi Salamah menangis setelah menjawab panggilan dari putrinya.
"Abi, Arumi hiks! Dia mengalami kecelakan, jatuh dari pesawat yang diterbanginya hiks!" kata Ummi Salamah sembari memeluk suaminya.
Abi Harun, Papa Farhan serta Alaska kaget mengejar itu. Seketika saja mereka berucap, "Astaghfirullahaladzim!"
"Ummi yang sabar ya, sekarang Arumi ada di mana?" tanya Abi Harun terlihat kecemasan dari wajahnya.
"Arumi hiks, dia ada di Rumah Sakit Medika --- Jakarta hiks! Kata pemuda tadi hiks, Arumi tidak sadarkan diri hiks, lalu meminta kami segera ke sana hiks, Abi!" ujar Ummi Salamah tidak kuasa menahan tangisnya.
"Udah Ummi jangan nangis lagi ya? Ayo kita semua ke sana!" ucap Abi Harun langsung diangguki oleh istrinya serta Papa Farhan juga Alaska yang ikut menemani.
...**********...
Tidak membutuhkan waktu lama, hanya menempuh satu jam saja karena Alaska menjalankannya cukup cepat beda dengan tadi yang sengaja diperlambat.
Mereka berempat sudah sampai di Rumah Sakit Medika, seketika mereka masuk ke dalam dengan tergesa-gesa terutama Abi Harun dan Ummi Salamah, sedangkan Papa Farhan langsung sigap menanyakan tempat Arumi dirawat. Beda dengan Alaska yang santai saja karena ia emang tidak sekhawatir itu pada Arumi, kenal saja belum apalagi melihat.
Pada saat meraka sampai di ruang rawat Arumi, kedua orang tuanya langsung masuk begitu saja, lantas diikuti Papa Farhan juga Alaska.
"Arumi, bangun Nak! Ummi kangen kamu," lirih Ummi Salamah sembari memeluk tubuh lemas Arumi yang banyak terpasang alat-alat medis. Melihat keadaannya saja sangat iba.
"Udah Ummi, Arumi pasti sadar kan dia anak yang kuat," ujar Abi Harun menenangkan istrinya walaupun ia juga sangat khawatir.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu ruangan Arumi diketuk oleh sesorang dan itu ternyata dokter yang merawat putrinya.
"Permisi Ibu, Bapak. Kalian semua ini keluarga dari pasien ya?" tanya dokter dengan cukup ramah.
"Iya Dok, kami ini orang tua Arumi." Abi Harun dan Ummi Salamah kompak menjawab.
"Baik, ada yang saya ingin bicarakan kepada kalian semua," ucap dokter yang kini mulai serius berbeda dengan tadi.
"Apa itu Dok? Anak saya baik-baik saja kan?" tanya Ummi Salamah waswas.
"Tolong tenang Bu! Jadi begini, anak Ibu mengalami banyak luka-luka ditubuhnya yang mungkin butuh waktu lama untuk sembuh, karena insiden pesawat jatuh itu membuat pasien hampir kehilangan nyawanya, dan alhamdulillah anak Ibu tertolong. Namun, anak ibu mengalami koma untuk sementara waktu dan saya tidak bisa menentukan anak Ibu kapan sadar dari komanya, hanya Tuhan yang tahu. Banyaklah berdoa untuk kesembuhan pasien," jelas doker panjang lebar supaya keluarga mengerti.
"Innalilahi! Arumi koma? Abi hiks! Putri kita, bagaimana ini Bi? Ummi enggak mau kehilangan Arumi." Ummi Salamah tersungkur lemah di samping suaminya.
"Baik Dok terimakasih untuk semuanya, saya ingin putri saya sembuh. Usahakan yang terbaik ya Dok," ucap Abi Harun penuh harap.
"Baik, akan kami usahakan Pa. Tolong bersabar, karena ini butuh waktu bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan," ujar Dokter bersikap konsisten.
"Tidak apa-apa Dok, yang penting anak saya sembuh," lanjut Abi Harun sesekali menenangkan Ummi Salamah yang masih cemas.
"Kalau begitu, saya permisi. Ada pekerjaan lain yang ingin saya kerjakan," ucap dokter yang berlalu meninggalkan ruangan Arumi setelah mendapatkan perizinan dari pihak keluarga.
"Yang sabar Harun, putrimu pasti baik-baik saja, aku akan tangani semuanya," ucap Papa Farhan sembari sesekali melihat Arumi yang nantinya akan menjadi menantu di keluarganya.
"Dan untuk pernikahan anak kita, putraku akan melakukannya sekarang juga!" lanjutnya yang membuat Abi Harun serta Ummi Salamah terperanjat kaget, mendengar penuturan Papa Farhan yang secara tiba-tiba.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!