NovelToon NovelToon

ISTRI KE 13

Prolog

Nikmatnya pagi ini. Coba katakan adakah suasana yang senikmat pagi ini. Matahari tidak begitu menyengat panasnya. Bunga-bunga lavender, geranium dan Bougenville sedang menari-nari ditiup angin. Aku suka bergumul dengan mereka. Mereka begitu damai dipandang. Cantik dan anggun.

Kukatakan pada calon anakku, "Hai Nak, jadilah seperti bunga itu, hidup bersama berdampingan dengan damai. Jadilah seperti bunga itu dimana banyak orang akan menyukai keberadaanmu, senang memandangmu dan enggan memetikmu" Sambil kuelus lembut dia yang tertidur di dalam perutku.

Aku bahagia. Benar-benar bahagia. Coba katakan adakah hal yang bisa membuat bahagia selain bersanding dengan orang yang disayangi, ekonomi yang berkecukupan dan sebentar lagi, tanda cinta itu akan lahir. Adakah kebahagiaan melebihi itu?

"Bu, saya berangkat duluan, ada kegiatan penting di kampus" Mehmed, anak tiriku berpamitan.

"Biar diantar sopir ya, atau sama Ayah, biar kuberi tahu biar cepetan" Kataku padanya.

"Tidak usah Bu, Ayah masih sarapan. Saya buru-buru"

Akhirnya kuperbolehkan ia pergi sendiri meski agak khawatir. Tapi biarlah, dia sudah dewasa dia harus belajar mandiri.

"Ehm, Bu bolehkah saya meminta sesuatu?" Mehmed membalikkan badan dan bertanya sesuatu yang tidak penting. Bukankah ia tahu ia tak perlu meminta apapun karena semua yang kumiliki sejatinya adalah miliknya.

"Hm?"

"Setelah anak Ibu lahir, saya akan membeli rumah dan hidup sendiri" Katanya.

Permintaan macam apa itu. Bagaimana seorang anak akan hidup berpisah dengan orang tuanya meskipun bukan orang tua kandungnya.

"Kenapa, apa ada yang belum bisa Ibu turuti? Bilang Nak kita bisa bicarakan baik-baik kan?" Bujukku.

"Tidak Bu, bukan begitu. Saya tidak ingin mengganggu kebahagiaan Ibu yang baru saja terbentuk. Biarkan saya hidup sendiri, saya janji, saya akan tetap berhubungan baik dengan Ibu dan calon adik saya. Tetapi biarkanlah saya hidup sendiri. Tenang saja saya tidak akan seperti Romo" jelasnya.

Sebenarnya itu bukanlah suatu alasan yang pas. Tapi aku paham, bagaimanapun ia merasa canggung tinggal dengan orang tua tiri.

"Nanti kupertimbangkan dengan Ayah dulu ya"

Mehmed tersenyum dan berangkat kuliah. Sementara suamiku yang tidak membiarkan aku mengerjakan pekerjaan rumah, sedang menikmati sarapannya. Ia akan berangkat kerja. Kami punya toko serba ada yang cukup besar dengan karyawan puluhan orang. Sangat cukup untuk hidup kami.

"Mehmed....sidah siap? Makan dulu Med" Teriak suamiku.

Aku beranjak masuk dan mengatakan padanya bahwa Mehmed sudah berangkat karena buru-buru.

"Naik apa dia?" Tanya suamiku. Sepertinya ia khawatir.

"Mungkin grab atau gojek mungkin"

"Apa kita belikan mobil saja ya, mungkin dia ingin bebas" Katanya.

"Coba saja nanti ditanya"

Aku belum berani mengatakan niat Mehmed untuk pindah rumah. Suamiku pasti melarang. Ia terlalu khawatir dengan anak tiri kami. Terlalu banyak yang telah ia alami semasa remajanya. Skandal dan perihnya kekerasan hidup bisa saja merusak masa depannya. Suamiku begitu khawatir akan hal itu.

Masa lalu kami yang penuh lika-liku tak kusangka bisa kulewati dan berkahir indah. Kupikir kisahku akan berakhir menyedihkan. Kupikir aku akan menjadi perawan tua yang dipelihara oleh pria kaya. Nyatanya Tuhan mempunyai segudang cara untuk mengatur hambaNya.

Baiklah, akan kuceritakan masa lalu pahit itu, namun jangan menghujat siapapun, tidak ada yang lebih benar atau yang paling salah. Kupikir inilah hidup. Benar bisa jadi salah, yang salah juga bisa dibenarkan.

Kuceritakan masa lalu itu. Ambillah hikmahnya. Buanglah perihnya. Simpan pelajarannya.

Kematian Pengantin

Aku sudah lulus. Seragamku putih abu-abu sudah penuh coretan dari teman-temanku. Masa kelulusan ini membuat kami senang sekaligus sedih. Siapa yang mau berpisah dengan masa indahnya SMA. Siapa yang mau berpisah dengan para sahabat yang begitu rekat.

Pulang sekolah ini ada hal yang ingin kupamerkan kepada Bapak dan Ibu di rumah. Bukan nilaiku yang berada di peringkat kedua, tapi lebih dari itu. Aku membawa surat dari sekolah. Itulah yang akan kutunjukkan pada orang tuaku.

Sampai di depan rumah aku bertemu Mbak Fitri, tetangga dekatku.

"Mbak... Mbak Fit aku lulus Mbak!!" Begitu bangganya kukatakan pada Mbak Fitri.

"Iya iya, itu nanti saja sekarang ayo masuk dulu" Mbak Fitri buru-buru membawaku masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Bukankah itu mencurigakan.

"Ono opo to Mbak?" Tanyaku penasaran.

"Wes to ikut saja" Jawabnya.

Aku bertemu Ibuku. Dia sudah siap dengan pakaianku yang bagus. Itu pakaian yang biasa kupakai ke pesta.

"Ada apa ini Buk?" Tanyaku.

"Pakai dulu, ada tamu ingin bertemu denganmu" Jawab Ibu singkat.

Aku berhadapan dengannya, tua bangka yang akan menikahiku. Itu yang dikatakan Ibu bahwa aku akan dinikahi oleh pria kaya demi menolong martabat keluarga. Ternyata pria kaya itu adalah tua bangka dihadapanku ini. Dia sudah memiliki tiga istri di rumahnya dan masih ingin menikahi gadis yang baru saja lulus SMA sepertiku? Cih, dasar tidak tahu diri.

"Saya tidak mau terlalu lama, dua minggu lagi saya kira pas. Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir tidak usah membuat persiapan yang macam-macam, semua akan kami siapkan sendiri. Cukup penghulu saja yang ditembusi" Begitu kata tua bangka itu.

Dalam dua minggu aku akan menikah dengannya, lebih tepatnya dipaksa menikah. Setelah tamu satu mobil itu pulang aku mengunci diriku di kamar. Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa masa depanku menjadi seperti ini. Kenapa aku harus menikah dengan tua bangka atas nama kehormatan keluarga. Kehormatan yang mana yang harus aku bela. Kenapa harus aku yang tak tahu apa-apa menjadi yang paling bertanggung jawab. Ada apa sebenarnya.

Surat resmi dari sekolah masih ada di dalam tasku. Itu adalah surat undangan dari Kampus di Yogyakarta. Aku mendapat beasiswa Bidikmisi jurusan kebidanan. Bukankah itu suatu yang membanggakan. Kenapa langkahku justru dihentikan oleh pernikahan tak lazim ini.

Aku menumpahkan marahku dalam kamar kecil itu. Mataku sampai membengkak karena semalaman hanya menangisi nasib. Kepalaku pusing. Keningku hangat. Tapi aku tidak sakit. Aku tahu bagaimana aku harus lepas dari perjodohan gila ini. Aku mencari obat-obat di kulkas, tinggal sirup, obat tablet tak ada. Aku ingat masih ada obat demam di lemariku. Kukumpulkan semua obat yang ada di rumah ini. Aku tidak sakit, obat-obatan ini adalah untuk mengakhiri semuanya. Ya, aku akan bunuh diri. Dengan begitu aku tidak akan menikah dengan pria tua itu.

Aku keluar dari kamar untuk mengambil minum. Tak sengaja lewat depan kamar Bapak, Ibuku menangis. Sama kerasnya dengan tangisku semalam. Aku berhenti di sana beberapa saat.

"Azimah.....nasibmu Nduk..." Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Ibuku. Bapakku hanya memeluk Ibuku. Mereka berdua menangis.

Aku memberanikan diri masuk ke dalam kamar yang tidak dikunci itu. Bapak Ibuku kaget dengan kedatanganku. Aku berlutut di depan mereka.

"Bapak....Ibu...." Kataku bergetar.

Mereka menyuruhku mendekat lalu mendekapku dalam peluk mereka. Inilah alasan pernikahan kami. Mereka menjelaskan dengan terperinci.

Leluhurku adalah tuan tanah yang kaya raya. Hampir seluruh pelosok desa mengenal kakek buyutku. Tanahnya tersebar di hampir seluruh desa di kecamatan kami. Kami hidup makmur. Tapi itu dulu saat aku masih dala kandungan. Setelah aku lahir, adik bungsu kakekku membuat ulah. Ia berurusan dengan mafia narkoba di kota. Entah darimana dia mengenal gerombolan pengedar narkoba itu. Adik bungsu kakek diporotin hingga yanah kakek buyut satu persatu dijual demi memenuhi kebutuhan adik bingsu kakek yang sudah kecanduan. Bukan hanya doal kebutuhan. Gerombolan itu mengancam akan laolporpolis jika tidak dituruti keinginannya.

Setelah harta kakek buyut menipis mafia itu menghilang entah kemana bahkan polisi pun tidak bisa menemukannya. Terdengar rumor bahwa mereka bisa mengubah identitasnya dengan mudah.

Selesai dengan urusan mafia, kakek buyut sakit-sakitan. Ia butuh banyak biaya pengobatan. Habislah semua harta kakek buyut. Sepeninggal beliau kakekku banyak hutang karena adik bungsunya tak henti-hentinya meminta uang. Anehnya dengan narkoba yang bersarang di tubuhnya ia tidak juga mati. Kakekku menanggung semua kebutuhannya sampai keduanya meninggal. Tinggallah Bapakku yang meneruskan hutang Kakekku. Dan hutang itu adalah kepada tua bangka yang akan menikahiku. Saat itu ia masih muda dan gagah. Sekarang ia sudah tua dan memiliki tiga istri. Namun karena keluargaku tidak mampu membayar hutang, ia membebaskan hutang kami dengan sistem barter. Menukarku dengan hutang itu.

Aku harus bagaimana, apakah aku akan membiarkan hidupku ditangan tua bangka itu? Atau kubiarkan saja orang tuaku menanggung hutang yang tak kunjung terbayar itu. Aku hidup namun mati. Aku adalah mayat hidup. Aku adalah boneka. Aku adalah benda yang bisa diperjual belikan bahkan ditukar.

***

Hari perayaan kematianku tiba. Jika mayat lain dibungkus kain kafan, aku dibungkus kebaya putih bertaburan payet kristal. Jika mayat lain wajahnya pucat, wajahku justru memerah karena gincu dan blash on. Sebentar lagi aku akan dibawa menuju kematian. Orang-orang akan mengantarkanku sambil menangis. Aku akan menuju kehancuranku secara perlahan.

"Jangan kuatir, aku dulu sama Mas Jono juga beda belasan tahun tapi akhirnya kita saling mencintai. Tenang saja lambat laun kalian pasti saling cinta" Kata seorang tetangga, tetapi aku yakin itu hanya untuk menghiburku. Setelah keluar dari kamar, ia tentu akan bergosip tentangku.

Semua orag sibuk di dapur. Tak ada satupun yang di kamarku. Tampaknya mereka tidak tega melihat pengantin yang seperti mayat hidup ini. Baguslah. Aku memang ingin sendiri. Tak ingin kudengarkan celoteh apapun dari siapapun karena itu tak berpengaruh apa-apa.

"Mbak Zi, cantik sekali" Adikku yang masih SD, Yasmin, mendekatiku.

Dia satu-satunya orang yang berbahagia. Yang ia tahu pengantin adalah ratu dala sehari. Ia akan menjadi pusat perhatian karena kecantikannya. Dialah yang tercantik. Yasmin masih sangat polos. Dia tidak tahu bagaimana sebenarnya pernikahan ini bisa terjadi. Aku memeluk adikku erat. Sebentar lagi kami akan terpisah. Aku pasti merindukannya.

Tok..tok...tok.. jendelaku diketuk oleh seseorang. Dari suara ketukannya ia seperti terburu-buru. Kubuka jendela kamarku. Aku terkejut dengan apa yabg kulihat di jendela.

"Firman!" Aku terkejut.

Firman adalah teman dekatku di SMA. Kami saling menyukai tetapi tidak berani mengungkapkan satu sama lain. Tapi kami tahu. Sama-sama tahu.

"Ayo kita pergi" Ajak Firman

Apakah itu ide yang bagus? Aku melongo dengan ajakannya. Apa aku sedang bermimpi.

"Cepat Zi jangan buang waktu. Anak-anak nunggu di luar. Kita sudah siap mobil, ayok cepat" Firma mengulurkan tangannya.

Aku masih tidak mengerti. Apa yang harus kulakukan. Aku harus lari dengan Firman? Jika kulakukan aku akan bahagia karena kutahu Firman banyak akal. Ia pasti menjamin keselamatanku. Ah apa aku ikut saja ya?

"Mbak Zi" Yasmin adikku ketakutan dengan kehadiran Firman.

"Dek, kamu keluar sebentar ya, jangan bilang siapa-siapa. Janji?" Bujukku.

Yasmin mengangguk lalu keluar pelan-pelan. Aku kembali pada Firman yang masih menunggu di jendela.

"Fir, kamu pulang gih. Aku sudah putuskan akan melanjutkan ini" Kataku. Batinku bergetar hebat saat mengucapkan ini. Aku sungguh ingin lari dengannya. Tapi bagaimana dengan orang tuaku? Bisa-bisa mereka kena serangan jantung. Mereka akan dicemooh banyak orang. Aku bingung.

"Kamu sudah gila?? Kamu mau nikah sama pria tua yang lebih pantas jadi kakekmu? Ayo jangan kelamaan bisa ketahuan. Anak-anak sudah nunggu di luar cepetan" Bujuk Firman.

Aku benar-benar takut. Ketahuilah Firman aku ingin pergi denganmu. Tapi aku khawatir akibatnya akan fatal.

"Firman kamu tenang dulu, biar aku nikah sama tua bangka itu, aku akan cari cara biar dia ceraikan aku. Setelah itu aku akan kuliah di Jogja sesuai rencana kita. Kamu sabar ya" Kataku. Aku bohong. Aku belum punya rencana apa-apa setelah nikah.

"Sekarang, atau tidak sama sekali" Firman tampak kecewa dengan keputusanku tadi.

Pertanyaan itu benar-benar serius. Bagaimana aku menjawabnya? Firman plis mengertilah. Apa kamu tak ada ide lain selain kabur? Kemana akal cerdikmu itu. Aku mengumpat dalam hati.

"Aku....pilih lanjutkan ini, karena...."

" Oke, fix kamu cuma pura-pura sedih dengan perjodohanmu yang tak wajar itu kan? Yang benar adalah kamu kegirangan dapat pria kaya itu. Biar kamu kaya mendadak, biar kamu hidup mewah"

Selesai berbicara demikian Firman pergi begitu saja. Membiarkan jendela tetap terbuka. Aku tak mampu mencegahnya. Dia tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan dengan baik apa yang sebelumnya terjadi.

Rombongan pengantin pria sudah tiba. Beberapa mobil kini berjajar di depan rumah. Semuanya mobil mewah. Para tetangga berbondong-bondong melihat iring - iringan pengantin. Seserahan yang tampak mencolok dan modern turut menjadi daya tarik tetangga yang suka gosip. Mereka pasti berdecak kagum dengan seserahan itu. Pasti mahal, begitu mungkin komentar mereka.

Kami memang tergolong miskin, tapi untuk acara pernikahan kami akan mengupayakan semeriah mungkin. Dekorasi pengantin kami sewa dengan harga yang cukup menguras kantong. Kami berharap akan ada kembalian dari suamiku yang kaya raya itu. Hidangan juga kami hadirkan dari catering. Sedikit ngoyo memang tapi biarlah. Demi menjaga kehormatan keluarga kami, sekuat tenaga kami lakukan.

Pengantin pria telah siap di depan meja untuk akad nikah. Akupun diminta keluar didampingi oleh salah satu famili. Sampai di pintu, seorang perempuan yang mungkin seusia Ibuku datang menjemputkan. Dia cantik, riasannya tertata, tetapi usia tidak bisa dibohongi dengan riasan itu. Hijabnya yang senada dengan baju yang dikenakan, membuatnya berbeda dengan hadirin yang lain.

"Saya Halimah, istri tertua Romo Djani" Katanya memperkenalkan diri.

Oh, jadi itu istri yang paling tua. Meski sudah tua dia tampak terawat. Aku melihat sekeliling. Mana istri yang lainnya, apakah mereka turut serta?

"Mari..." Ajak perempuan yang mengaku bernama Halimah itu.

Akad nikah dimulai.

"Sodara Djani Bahuwirya, kunikahkan dan kukawinkan engkau dengan Azimah Ruhaniya binti Abdullah dengan mas kawin satu unit mobil, satu villa, dan emas seberat 12 gram, tunai"

Setelah itu aku tidak begitu mendengarkan. Aku melamun. Pikiranku jauh ke awang-awang. Aku ingin mati saja rasanya. Tak pernah kubayangkan nasibku akan seperti ini. Kulirik Ibuku, di menangis dalam diam. Wajahnya sendu. Bapakku pun demikian. Wajahnya tak seceria biasanya. Aku yakin merekapun terpaksa menyetujui permintaan suamiku yang sudah bau tanah itu.

Berita ini pasti sudah menyebar sampai ke seluruh desa bahkan mungkin se kabupaten sudah mendengar bahwa ada pria tua menikahi gadis belia. Teman-temanku pasti sudah mendengar. Mereka pasti sedang membicarakanku. Mereka pasti berpikir aku cewek matre yang mau nikah dengan laki-laki tua asalkan kaya raya. Lalu Firman, bagaimana kabarnya. Marahkah? Sedihkah? Atau benci?

***

Perjalanan

Aku masih di dalam kamar mewah di rumah besar milik Romo Djani, begitu semua orang memanggilnya. Di sini tidak ada perayaan apa-apa padahal dia orang kaya. Yah, aku kan hanya istri tambahan. Yakin pasti tidak lama lagi aku akan dicampakkan. Kutunggu saat itu. Aku hanya perlu bersabar.

"Non Azimah, maaf, ditunggu Ibu dan Romo di bawah" Seorang pembantu memberitahuku.

Aku menurut seperti yang diwanti-wanti Ibuku, aku tidak boleh membuat ulah di hari pertama. Bagaimanapun aku sudah menyetujui pernikahan ini. Aku harus menjalankan posisiku dengan baik.

Ruang makan yang berkelas. Mejanya lebar, kursinya bagus, hidangannya bermacam-macam padahal hanya untuk tiga orang. Aku, Romo dan istri tertuanya. Tetapi ada belasan orang yang melayani kami di rumah ini. Tapi dimana kedua istri yang lain? Bukankah Romo punya tiga istri sebelum menikahiku?

"Ayo cepat duduk, Romo menunggu dari tadi" Bisik Halimah.

Beberapa pelayan menunggu di ruang itu di belakang kami berjaga-jaga jika ada yang kami butuhkan. Sungguh suasana di rumah ini seperti di istana kerajaan. Semua orang seakan tunduk dengan Romo Djani yang kini menjadi suamiku. Rasa hormat yang amat sangat. Bahkan istri tertuanya pun menunduk di hadapannya. Tak berani berkata sepatah katapun jika tidak terlalu penting atau jika tidak diminta.

"Semua sudah berkumpul, kita berdoa dulu" Romo membuka kegiatan makan pagi ini.

Selama makan tidak satupun yang bersuara. Hanya piring dan sendok yang beradu menjadi musik pengantar pagi ini. Hidangan di sini sungguh lezat pasti tukang masaknya diseleksi sebelum dipekerjakan. Selezat apapun masakan di sini, aku tetap tak selera. Begitu makanan sampai di kerongkongan, rasanya seperti ingin kembali dimuntahkan. Entahlah. Mungkin karena aku tidak nyaman di tempat ini.

"Aku sudah menelepon Deni, semua akan di urus, besok pagi kita berangkat, karena perjalanan kita cukup panjang, saya harap semuanya hari ini istirahat yang cukup" Kata Romo.

Sebentar, sebenarnya kami mau kemana. Bukankah ini rumahnya. Ah, bulan madu. Mereka merencanakan bulan madu untukku. Mendengar kata itu hatiku seperti diremas-remas. Sakit sekali. Aku tidak ingin bulan madu, aku tidak mau. Aku tidak mau melayani tua bangka itu. Sayang keperawananku jika kuserahkan pada lelaki tua peyot itu. Tidak, jangan. Aku tidak mau.

Sepanjang malam aku berpikir keras. Bagaimana jika suami tuaku meminta kami berhubungan badan, bagaimana aku akan menolak. Dosakah jika aku sebagai istri menolak permintaan suami. Tapi lebih berdosa mana jika melakukan tanpa keikhlasan.

"Azimah, sudah tidur?" Suara istri tertua Romo dari balik pintu.

Kubukakan pintu pelan-pelan. Ia tersenyum, senyumnya begitu teduh kurasakan. Kupersilahkan ia masuk.

"Belum bisa tidur?" Sepertinya dia tahu kegundahanku atau keterpaksaan pernikahanku.

"Besok kita mau kemana Bu?" Kuberanikan diri bertanya.

"Kita sama-sama istri Romo Djani, kedudukan kita sama. Panggil saya Mbakyu. Istri yang lain juga memanggil begitu" Katanya dengan lemah lembut.

Tunggu dulu, kenapa dia begitu baik. Tidakkah dia merasa cemburu padaku? Atau dia sudah terbiasa diduakan ditigakan bahkan kini diempatkan. Apa dia tidak mencintai Romo Djani? Atau mungkin dia sama sepertiku? Korban hutang leluhur?

"Besok kita ke Lombok, kedua istri yang lain sudah menunggu di sana" Kata Mbakyu.

"Kenapa? Rumah ini?"

"Ini hanya rumah singgah. Romo Djani hanya sesekali mampir ke sini. Selebihnya diurus oleh orang lain. Romo Djani punya banyak rumah, tapi tempat berkumpulnya para istri ada di Lombok"

Dasar orang kaya. Punya rumah dimana-mana tapi tidak ditempati. Mubadzir. Kasihkan saja satu untuk orang tuaku. Rumahku bahkan tidak ada sepersepuluhnya dari rumah ini. Buang-buang duit percuma.

Setelah Mbakyu keluar dari kamarku, beberapa pelayan datang membawa beberapa ember dan entah apa yang ada di dalam tas itu. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan malam ini. Aku hanya diam melihat mereka menyiapkan ini itu yang aku tak tahu maksudnya.

"Permisi Non, kami akan memijat Non Azimah, bisa anda ganti pakaian dengan ini?" Kata salah seorang dengan hormatnya.

Apa? Aku mau di message? Dilulurin? Dipijit? Hmmm aku mau dimanja malam ini. Aku bahkan sekalipun belum pernah nyalon bagian badan. Paling ke salon cuma potong rambut. Untuk beberapa saat aku terlena dengan pelayanan bak ratu ini. Tapi setelah sadar berapa harga yang harus aku bayar untuk semua ini. Hidupku menjadi bayaran. Aku menjadi ikan dalam akuarium. Dipuja dan disayangi namun dikurung tanpa ampun.

***

Seperti yang dikatakan Mbakyu semalam, kami berangkat ke Lombok. Kami tidak berada pada satu mobil, melainkan mobil masing-masing. Satu mobil berisi satu penumpang. Kata Mbakyu mobil yang kutumpangi itu adalah milikku sebagai mas kawin pernikahan kami.

Kupegang erat buku catatan dari Ibuku. Di dalamnya banyak pesan yang harus kupelajari satu persatu. Menurutnya aku masih terlalu muda untuk menjalani pernikahan apalagi terpisah jauh dari orang tua. Aku masih perlu banyak petunjuk.

Perjalanan dari Kediri menuju Lombok butuh waktu hingga sembilan jam jika perjalanan lancar. Belum lagi menyeberang selat Bali dan selat Lombok. Syukurlah aku tidak semobil dengan Romo ataupun Mbakyu, jadi aku bisa tidur sepanjang perjalanan.

Ditengah perjalanan, mobil berhenti entah kenapa. Seseorang datang mengetuk pintu mobil. Kubuka jendela kaca itu.

"Maaf Nyonya, Romo tanya, Nyonya baik? Tidak mabuk? Atau ingin istirahat sebentar?" Katanya.

Aku menggeleng. Lalu ia memberikan sekantong besar cemilan padaku. Kuintip bagian depan, beberapa pelayan baru keluar dari minimarket, mungkin Romo yang menyuruhnya. Kemudian mobil melaju lagi.

"Nyonya....Nyonya" Sopir membangunkanku. Sudah berapa lama aku tertidur di dalam.

"Nyonya, Romo meminta istirahat sebentar. Monggo Nyonya" Seorang pelayan datang menghampiriku.

Aku keluar dari mobil, Mbakyu menghampiriku dengan senyum yang masih sama.

"Sudah pernah ke Bali? Kita sekarang ada di Bali. Sembari Romo istirahat, nikmatilah alam Bali yang indah" kaya Mbakyu

Bali? Aku ada di Bali? Apa aku mimpi? Oh...oh Bali....dulu saat SMA ada tour ke Bali tapi aku tidak ikut, apalagi alasannya kalau bukan biaya. Hmmmm aku menghirup udara Bali. Apa bedanya dengan udara di desaku? Jelas beda lah, dan hanya aku yang merasakan. Bali. Benar-benar indah suasana Bali. Lautnya, langitnya, daun-daunnya, hmm. Begini rasanya jadi istri orang kaya. Memang benar-benar dimanjakan. Namun jika ingat suami kaya itu lelaki peyot yang sudah beristri tiga, merusak suasana hati saja.

Kami ada Bangli. Romo beristirahat di salah satu penginapan di Bangli. Ada wisata yang terkenal di sana. Desa Penglipuran. Konon desa ini sering digunakan syuting sinetron atau film. Aku memutuskan berkunjung ke sana. Seorang pelayan bersedia menemaniku. Aku maklum jika Mbakyu tidak bersedia menemaniku, aku hanyalah juniornya. Jujur saja aku lebih senang begini, sungkan rasanya jika harus ditemani Mbakyu.

Kunikmati keindahan dan keunikan desa ini. Seluruh rumah memiliki bentuk bangunan dan gapura yang sama persis. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku berfoto-foto sesuka hatiku. Kunikmati masa itu sebelum aku harus menangis lagi melihat takdirku bersama pria tua dan ketiga istrinya.

"Nyonya, mau coba loloh cemcem?" Tanya pelayan yang ditugaskan menemaniku.

"Apa?"

"Loloh cemcem Nyonya, minuman khas Bali"

Bolehlah. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu ini. Kami duduk di salah satu kedai di Desa Penglipuran. Dalam sekejap kami telah menerima loloh cemcem yang ada dimaksudkan. Rasanya unik. Gurih, kecut, juga sedikit pahit, namun segar. Ada potongan daging kelapa muda di dalamnya. Aku belum pernah meminumnya sebelumnya. Minuman ini mungkin hanya ada di Bali.

Puas bermain-main di Desa Penglipuran, kami -aku dan pelayan yang menemaniku- kembali ke penginapan. Apa-apaan ini, aku belum juga istirahat, mereka sudah bersiap mau melanjutkan perjalanan. Tampaknya mereka menungguku sedari tadi.

Satu-persatu masuk mobil. Akupun mengikuti. Pelayan yang tadi menemaniku memberiku sekotak nasi. Katanya Romo telah makan siang bersama istri tertuanya, sementara aku belum datang juga, sehingga mereka membekaliku dengan makan siang.

Masih ada berjam-jam lagi perjalanan kami. Kihabiskan perjalananku dengan tidur di dalam mobil. Bali, nanti kalau aku bercerai dengan Romo dan menikah dengan Firman, akan kuajak dia bulan madu di Bali. Rasanya akan lebih seru dari ini. Kutunggu masa itu. Aku akan bersabar.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!