Pada zaman dahulu, di sebuah desa terpencil yang dikelilingi pegunungan bisu dan hutan lebat tak tertembus cahaya, malam selalu datang lebih cepat dari seharusnya.
Dan di malam-malam itu…
Bayangan bukan hanya sekadar gelap.
Ia adalah pembunuh.
Desa itu dulunya penuh cahaya. Lampu-lampu minyak bergoyang lembut di jendela rumah. Anak-anak bermain hingga senja, dan nyanyian para ibu terdengar dari dapur-dapur kayu. Tapi itu semua berubah saat ia datang.
"Pembunuh Bayangan," mereka menyebutnya.
Sosok misterius itu memburu dalam senyap. Ia muncul hanya saat bulan tertutup awan, saat jangkrik berhenti bersuara, dan saat angin berhenti bertiup. Dalam sekejap, satu rumah bisa dibungkam—semua penghuninya terbujur kaku dalam keheningan abadi.
Tak ada jejak.
Tak ada ampun.
Hanya darah dan bayangan yang tersisa.
---
Pada suatu malam kelam, tragedi terbesar menimpa desa itu.
Jeritan mengguncang udara, rumah-rumah terbakar, dan darah mengalir di atas batu jalanan yang dulu bersih. Para pembunuh bayaran menyergap dari segala arah, wajah mereka tersembunyi dalam tudung hitam. Mereka bukan manusia biasa—gerakan mereka secepat angin, suara mereka tak terdengar. Kematian menyelimuti langit.
Di atas atap rumah lapuk yang dipenuhi lumut dan jamur, seorang dari mereka berlari—mata dinginnya menyorot ke arah target. Tapi malam itu berbeda.
Seorang wanita menghadangnya.
---
Belati di tangan wanita itu berkilau terkena petir. Rambutnya basah oleh hujan, tapi mata itu… menyala. Bukan karena sihir, tapi karena kemarahan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku," katanya pelan, "Tapi di sini, aku akan menghentikanmu."
Sang Pembunuh Bayangan menarik napas… dan tersenyum.
Dalam sekejap, pedang sihir muncul dari udara. Keduanya bergerak cepat—lebih cepat dari kilat. Suara benturan besi menari-nari di udara, cahaya dari pedang mereka menciptakan bayangan yang menari gila di dinding rumah-rumah.
“Target kami bukan dirimu,” kata sang pembunuh, menahan satu tebasan.
“Rakyat sepertimu tidak layak mati. Kemampuanmu sangat berguna. Bergabunglah denganku.”
“Aku menolak,” jawab wanita itu lantang.
Benturan demi benturan. Lompatan ke kiri. Tebasan ke kanan. Dan akhirnya, keduanya melompat mundur, terengah.
Dalam hati sang pembunuh:
“Sungguh menjijikkan para pemimpin itu… berlindung di balik rakyat jelata seperti wanita ini.”
“Baiklah,” katanya, tenang namun tajam, “Kau terpaksa melakukan ini. Aku akan mengakhiri penderitaanmu.”
Seketika ia menghilang. Wanita itu—Nelia—tak sempat berpikir. Hembusan angin dingin menyentuh tengkuknya.
Dia ada di belakang.
---
Namun sebelum tebasan itu jatuh...
CLANG!!
Sebuah pedang lain menahan serangan itu. Seorang elf wanita muncul dari bayangan, matanya penuh amarah dan keberanian.
“NELIA!! APA KAU TIDAK APA-APA!?”
Nelia terkejut, air matanya hampir jatuh.
“Melly… Kau datang…”
---
Sang Pembunuh Bayangan melompat mundur. Tatapannya tajam ke arah Melly.
“Tenanglah, Nelia,” bisik Melly, “Seluruh Kesatria Bangsawan sedang menuju ke sini. Kejahatan ini akan berakhir malam ini.”
Di kejauhan, suara langkah berat para kesatria mengguncang tanah. Mereka berlari di tengah hujan, menembus malam, membawa obor dan pedang suci. Suara teriakan mereka menusuk malam:
“DIA DI ATAS GEDUNG! KEPUNG!!”
---
Namun dari balik kabut, satu per satu anggota Pembunuh Bayangan muncul, berdiri setia di sekitar pemimpinnya.
“Tuan dalam bahaya. Lindungi dia!”
Pembunuh itu mengangkat tangannya, menghentikan mereka.
“Tidak usah,” katanya.
“Kalian bodoh jika berpikir semua ini akan berakhir. Kami bukan di pihak kebenaran, tapi kami juga bukan kejahatan. Kami berjalan di jalur yang tidak bisa kalian pahami.”
Seorang kesatria maju, “Menyerahlah! Atau kau akan mati!”
Sang pembunuh tertawa.
Tawanya dalam, menggema, dan... kosong.
“Menyerah? Siapa? Mengapa? Kenapaaaa!!!”
Suara itu meledak jadi sihir—tanah bergetar, hujan berhenti. Pedang para kesatria bergetar di tangan mereka.
“Serangan!” teriak pemimpin kesatria.
Tapi sebelum mereka bisa bergerak—
SWOOSH—
Kepala salah satu kesatria melayang, disabet dalam satu gerakan. Melly dan Nelia membeku.
“Larilah, jika tak ingin mati,” katanya pelan. “Amukan akan segera dimulai.”
---
Ia menatap mereka… dan memberi pelindung sihir.
“Serahkan sisanya padaku. Kalian akan baik-baik saja.”
Nelia terisak. Melly menggenggam tangannya dan mereka berlari—meninggalkan medan perang.
---
Langit berubah. Tanah terbelah.
Sang Pembunuh mengangkat tangannya dan menciptakan barrier raksasa yang menutupi langit, mengurung seluruh kota, sekolah sihir, dan balai kota.
“Bersiaplah… semua akan mati di sini.”
Ia melayang ke udara, jubahnya berkibar seperti dewa kehancuran.
“Barrier ini adalah jangkauan ledakan sihirku. Destroyer… ledakan terbuka!!”
---
Cahaya putih menyilaukan.
Langit membara.
Tanah berguncang.
Awan jamur raksasa naik ke langit.
Semua... hancur.
---
Ketika debu mereda, dan api padam...
Melly dan Nelia membuka mata. Mereka masih hidup. Barrier pelindungnya retak… tapi cukup kuat.
Dari kabut reruntuhan, dia berjalan menghampiri mereka. Tubuhnya berdarah, tapi langkahnya tenang.
“Kalian selamat. Gunakan hidup kalian… untuk menciptakan dunia baru.”
Lalu dia berjalan pergi. Tanpa menoleh. Tanpa nama.
Bayangan terakhir… dari malam paling kelam dalam sejarah.
---
Bertahun-tahun telah berlalu sejak ledakan maha dahsyat menghancurkan Desa Terang — tragedi yang mengguncang dunia sihir hingga ke akar-akarnya. Namun waktu, seperti biasa, berjalan tanpa belas kasihan… dan umat manusia, seperti biasa, memilih untuk bangkit.
Sekolah sihir Sendai Tatsuno, simbol harapan dan kebangkitan, kini berdiri kembali. Dindingnya yang dulu hangus kini menjulang megah, menampung harapan baru generasi penerus. Di antara mereka, seorang elf tua bernama Melly, saksi hidup tragedi masa lalu, kini berdiri sebagai guru sihir paling dihormati. Dengan ketenangan dan kebijaksanaannya, ia membimbing para murid muda — menyalakan nyala api kecil di dalam jiwa mereka.
---
Di tepi desa, di sebuah rumah kayu sederhana, dua saudara tengah berlatih.
Chaerin, gadis remaja berambut hitam panjang dan sorot mata tegas, memegang pedang kayu dengan tangan mantap. Setiap gerakannya tajam dan cepat — seperti bayangan yang menebas udara. Di hadapannya, berdiri seorang anak laki-laki bermata cokelat yang penuh semangat, tubuh kecilnya dibasahi keringat. Mugi — adik sekaligus murid satu-satunya.
“Bersiaplah, Mugi,” ucap Chaerin, sambil mengangkat pedangnya. “Kau akan masuk sekolah sihir. Pedang dan sihir, kau harus tangkas dalam keduanya.”
Mugi menatap kakaknya dengan wajah polos.
“Meskipun aku berlatih sekeras apa pun... aku tetap tidak akan menang melawan Kakak, kan?”
Chaerin tersenyum, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang samar di balik kelembutan wajahnya.
“Kau tidak boleh seperti itu, Mugi. Kau pasti bisa.”
Chaerin melompat menyerang. Pedang kayunya menghujani Mugi dengan gerakan cepat dan beruntun. Mugi berusaha menangkis, tapi gerakannya kaku dan lamban. Beberapa pukulan menghantam tubuhnya, menjatuhkannya ke tanah.
“Aduh... Kakak terlalu kuat...” keluh Mugi sambil mengelus lengannya yang memar.
Chaerin menatap adiknya dengan tatapan resah.
“Dia masih belum berkembang…” bisiknya dalam hati. “Mugi, kau harus berlatih sendiri dulu. Aku akan pergi sebentar.”
Chaerin meninggalkan halaman, langkahnya berat.
Tapi saat punggungnya menghilang di balik pintu rumah...
Mugi berdiri perlahan, dan senyum licik terukir di bibirnya.
“Berakting jadi orang lemah itu… sangat melelahkan,” gumamnya.
Ia berjalan masuk ke kamar dan menarik sebuah buku tua dari bawah ranjang. Sampulnya lusuh, namun di dalamnya tergambar sosok berjubah gelap — Pembunuh Bayangan. Tatapan Mugi menyala.
“Dia… keren banget,” bisiknya. “Nanti di sekolah, aku juga akan jadi sosok misterius seperti ini. Lemah di luar... tapi sebenarnya hebat.”
---
Keesokan harinya, gerbang Sendai Tatsuno dibuka lebar-lebar. Murid-murid baru membanjiri halaman utama dengan wajah penuh semangat, takut, dan rasa penasaran. Di antara mereka, Mugi berdiri, mengenakan jubah lusuh dan ekspresi kosong.
“Lumayan banyak murid baru,” gumamnya. “Baiklah... mode ‘figuran lemah’ aktif.”
Di kejauhan, dua gadis berjalan berdampingan. Zahra, dengan rambut dikuncir dan langkah percaya diri, menunjuk ke arah Mugi.
“Lihat cowok itu, Rida. Culun banget, ya?”
Rida, yang lebih kalem dan sopan, tersenyum.
“Kita nggak boleh nilai dari tampangnya aja. Siapa tahu dia jago sihir.”
Zahra mendengus. “Ah, mungkin kau benar.”
Rida menarik Zahra menuju aula penyambutan. Di lantai dua, Melly memandang dari jendela kaca besar, menyapu barisan murid baru dengan senyum hangat... hingga pandangannya jatuh ke satu anak.
Mugi.
Ia membelalak. Tatapan matanya tajam, membaca aura yang tak terlihat oleh manusia biasa.
“Itu… inti sihir penciptaan…” bisiknya. “Seperti… Haruto…”
Langkah kaki menghentikannya. Pak Gensou, kepala sekolah tua dengan jubah panjang dan tongkat berlambang bintang tiga, menghampiri.
“Pagi, Melly,” ucapnya ramah.
“Selamat pagi, Pak Gensou,” balas Melly.
Pak Gensou mengangguk perlahan.
“Pekerjaanmu semakin berat, ya?”
Melly menghela napas. “Sepertinya begitu... murid-murid terus bertambah.”
Gensou menatap langit.
“Jangan menyerah. Mereka ini bukan sekadar murid. Mereka calon pahlawan masa depan. Sekolah ini… hanya tiang pancang. Kau, Melly, adalah jembatannya.”
Melly menunduk dalam-dalam, mengenang wajah seseorang.
“Haruto…” gumamnya. “Mimpimu… akhirnya terwujud.”
---
Di ruang kelas, suasana riuh penuh tawa dan perkenalan. Tapi di sudut ruangan, Mugi duduk sendirian, wajahnya malas.
“Berisik banget,” gerutunya dalam hati.
Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berambut cokelat acak-acakan menghampirinya.
“Yo! Kenapa diem aja, teman?” sapanya ceria. “Namaku Oneal! Sihirku suport — aku bisa ngasih buff ke orang lain!”
Mugi memandangnya datar.
“Kau terlalu mencolok…”
Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki lain, Leon, mendekat sambil menyeringai sinis.
“Cowok… dan tipe sihir suport? Memalukan.”
Oneal gugup. “Tapi... bukankah sihir suport bisa memperkuat teman dalam pertarungan?”
Leon menyeringai dan mendorong bahunya. “Kau berani membantah seorang bangsawan?”
Mugi menyipitkan mata.
“Menarik…” pikirnya. “Tapi aku hanya figuran. Belum saatnya tampil.”
Leon mengangkat tangan — api muncul di telapak tangannya.
“Kau mau ngerasain ini, hah?”
Tiba-tiba—
SHHH!
Sebuah pelindung air muncul, membendung api itu.
“APA-APAAN ITU!?” bentak seorang gadis.
Rida berdiri di depan Oneal, wajahnya marah.
“Kau menyerang orang yang bahkan tak menyakitimu? Dasar pengecut!”
Leon tertegun. Tapi dalam sedetik, senyumnya kembali.
“Hmm… kemampuanmu lumayan… dan kau juga cantik.” Ia mengedip. “Aku mulai mengagumimu, Nona.”
Rida memutar bola mata.
“Menjijikkan.”
---
Langit pagi mulai berubah terang saat Leon mendekati Rida. Tatapan matanya tajam, seperti belati yang siap menebas rasa aman siapa pun. Senyum sinis terukir di wajahnya.
"Hai, Nona manis... maukah kau berjalan bersamaku sepulang sekolah nanti?" tanyanya, suaranya licin seperti ular berbisa.
Rida menatapnya dengan jijik. "Sungguh menjijikkan," jawabnya tegas, meski suaranya bergetar.
Wajah Leon mengeras. Ia mencengkeram dagu Rida kasar, menarik wajah gadis itu mendekat. Mata mereka bertemu — satu penuh kebencian, satu lagi ketakutan yang dipendam.
"Berani sekali kau menolak ajakanku. Kau tahu siapa aku?" bisik Leon, dingin. "Kau akan menyesalinya nanti."
Ia melepas cengkeramannya dan pergi dengan tawa licik. Rida gemetar, air mata mulai menetes tanpa bisa ditahan. Zahra, yang melihat semua itu, langsung menghampirinya.
"Rida! Kau tidak apa-apa?"
Rida mengguncang kepala, tubuhnya gemetar.
"Aku takut, Zahra. Leon... dia akan melakukan sesuatu padaku."
Zahra menarik Rida duduk dan memeluknya erat.
"Tenang. Aku akan melindungimu... apapun yang terjadi."
Di sudut ruangan, Mugi memperhatikan dalam diam. Matanya memantulkan bayangan yang samar, ekspresinya netral — tapi dalam hatinya, ia mencatat.
"Apa yang akan dilakukan Leon nanti…? Ini menarik," bisiknya dalam hati.
Leon menyadari tatapan itu dan menyeringai.
"Oi, jelata. Apa yang kau pikirkan? Jangan coba-coba ikut campur!"
Mugi terkejut.
"Ti-tidak! A-aku tidak memikirkan apa pun!"
"Heh, pecundang." Leon meludah ke tanah dan pergi.
---
Tak lama kemudian, Melly masuk ke kelas, membawa hawa segar dan senyum yang menenangkan.
"Halo semuanya. Aku Melly, guru kalian. Salam kenal."
"Salam kenal, Guru Melly!" jawab para murid bersamaan.
Melly memandangi mereka dengan tatapan bijak.
"Sekarang, perkenalkan diri kalian satu per satu, ya."
Ketika giliran Mugi, ia bangkit dengan tubuh bergemetar.
"Na-nama... ku Gi-gi... gu-ru..."
Seluruh kelas tertawa. Melly ikut tersenyum.
"Coba sekali lagi ya, lebih tenang."
Dalam hati, Mugi memaki dirinya sendiri.
"Kontrol dirimu, Mugi! Ini bagian dari rencana!"
Ia berjalan menuju papan tulis, tapi tersandung kakinya sendiri dan jatuh telentang.
"Haaah... figuran sejati..." gumamnya lirih, mematung di lantai sementara tawa terus bergema.
---
Hari pun berlalu. Sementara teman-teman beristirahat, Leon menemui seorang pria bertubuh tegap di dekat gerbang sekolah. Ia menyodorkan secarik kertas.
"Ini targetmu berikutnya. Tangkap hidup-hidup... aku yang akan menghabisinya."
Pria itu menatap kertas itu, lalu menyeringai. "Serahkan padaku."
Di kertas itu... terukir gambar Rida.
---
Sementara itu, di kantin, Mugi dan Oneal makan bersama.
Oneal terus berceloteh. "Kenapa ya, Rida nolongin aku? Apa dia suka padaku?"
Mugi menatapnya polos.
"Itu cuma formalitas. Jangan GR."
Oneal berdiri dramatis.
"Tidak!!! Aku yakin dia suka padaku!!"
Perdebatan konyol pun dimulai.
"Iya kan?"
"Tidak."
"Iya kaaan?"
"Tetap tidak."
---
Malam turun, dan sekolah telah sepi. Rida berjalan sendiri menyusuri jalan setapak.
"Sendirian lagi..." gumamnya, menggenggam tas erat-erat.
Namun langkahnya terhenti. Sesuatu... atau seseorang... menguntitnya. Nafasnya memburu. Ia berbalik — kosong.
"Perasaanku saja?" pikirnya.
Tapi saat ia kembali berjalan, tubuhnya menabrak seseorang.
"Kau...? Rida, bukan?" suara itu akrab, tapi mencurigakan.
Rida bersiap menyerang, tapi sebelum sempat bergerak — ZAP!
Stun magic dari belakang menyambar tubuhnya. Dunia langsung gelap.
---
Saat tersadar, Rida mendapati dirinya diborgol dengan alat sihir. Ia mencoba mengangkat tangan — tak ada respons dari kekuatannya.
"Apa ini...?"
Seorang pria muncul dari kegelapan.
"Alat penyegel sihir. Baru dikembangkan. Kau tak bisa kabur."
Penculik lain tertawa.
"Target kami bukan main. Klien kami ingin kau... mati."
Rida menggigit bibir. "Dendam? Siapa yang... ingin aku mati?"
Salah satu dari mereka mendekat perlahan, senyum kejam menghiasi wajahnya.
"Dia ingin menghabisimu dengan tangannya sendiri. Kami cuma kurir. Dia akan datang sebentar lagi."
Rida bergemetar. Tapi sebelum teror sempat berlanjut...
CRAKK!
Langit-langit gudang retak. Debu berjatuhan.
"Bunuh?" terdengar suara lembut namun menusuk. "Bukankah itu dilarang?"
Seluruh penculik terdiam. Mata mereka menatap ke atas.
BRUAAAK!!
Seseorang berjubah hitam menembus atap, mendarat di tengah ruangan. Debu menyebar seperti kabut. Angin dingin berputar liar.
"Siapa itu!?"
Salah satu penculik maju dan menyerang — tapi orang berjubah itu menangkapnya, memutar tubuhnya seperti boneka kain dan membantingnya ke dinding. Suara tulang retak terdengar.
"Liq!!!" teriak penculik lain.
"S-siapa kau!?"
Sosok berjubah itu menatap mereka, matanya bersinar dalam kegelapan.
"Namaku… Keter. Sang pemburu dalam bayangan."
Rida menatapnya penuh kekagetan.
"Ke... ter?"
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!