Di kamar mewah bernuansa hitam putih dengan berbagai macam miniature mahal, cowok tanpa baju di bagian tubuh atasnya masih terlelap dalam tidur di jam yang sudah menunjukkan pukul 06:45. Itu berarti, sekolah akan di mulai sekitar 15 menit lagi.
Pintu kamar terbuka. Seorang wanita setengah baya dengan dress rumahan masuk ke kamar seraya menggelengkan kepala.
“Dasar kebiasaan!” decak wanita itu.
Dia berjalan mendekat lalu menyibak selimut tebal cowok tersebut. Setelahnya dia beralih menyibak gorden hingga sinar mentari dapat masuk dari sela-sela ventilasi jendela.
Mengernyit dalam tidur, cowok itu mengubah posisi membelakangi jendela.
Lagi-lagi, wanita yang lain adalah ibu cowok itu berdecak seraya berkacang pinggang. “Satu menit dari sekarang kamu gak bangun, semua fasilitas kamu Mama sita,” ucapnya, kontan membuat cowok itu mendudukkan badan dengan mata terbuka kecil.
“Masih pagi banget, Ma. Agra ngantuk.” Cowok bernama Agra itu hendak menidurkan dirinya kembali namun Citra—Mamanya—lebih dulu menarik tangannya dan menyeretnya ke kamar mandi.
“Sepuluh menit kamu harus selesai!” tanpa menunggu sahutan Agra lagi, Citra keluar dari kamar untuk menuju lantai satu.
####
Dua kancing seragam terbuka dan tidak di masukkan, sepatu berwarna mencolok, serta rambut tidak rapi. Agra duduk di kursi makan tepat di hadapan mamanya dan sebelah kiri papanya. Tanpa banyak bicara dia mengambil nasi dan beberapa lauk ke piringnya.
Citra yang sejak tadi sudah makan, kini meneguk sedikit air putih lalu kembali menggelengkan kepala.
“Kamu mau ke sekolah apa mau ngemis, sih, Gra? Hancur amat tampilan kamu,” komentar Citra.
Berbeda dengan Citra, Bram—papa Agra—hanya diam dan tenang dengan kegiatan makannya.
Agra menghabisi makanannya dengan cepat lalu meneguk air. “Ini style, Ma,” sanggahnya.
Tidak sampai lima menit makan, dia berdiri lalu menggunakan jaket hitam yang bertengger di sandaran kursi. “Agra sekolah. Udah telat.”
Tanpa salam dan ritual cium tangan cowok itu berlalu dari meja makan. Citra hanya menghela nafas lalu menatap Bram yang sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata sejak tadi.
####
“Pak Satpam bukain!!” Agra berkali-kali membunyikan klakson hingga beberapa siswa yang berjalan menatapnya.
Dari dalam sekolah, terlihat pria paruh baya dengan seragam Security datang dengan tergopoh-gopoh. Mengambil kunci dari saku, pria itu segera membuka gerbang untuk Agra dan motornya.
Belum juga gerbang itu terbuka lebar, Agra sudah menancapkan gas memasuki area parkiran dengan suara motor yang menggelegar di sunyinya sekolah karena jam PBM telah berlangsung sepuluh menit yang lalu. Dan itu menandakan bahwa Agra terlambat sepuluh menit.
Menyisir rambut kebelakang setelah membuka helm, Agra turun dari motor lalu menaiki koridor. Berjalan ke arah kelasnya. Baru juga Agra melangkah selama lima menit, suara terkutuk milik wanita paruh baya yang sangat Agra kenal suaranya terdengar.
“Agra Fransisco Demiand!!”
“Sial!” umpat Agra dalam hati.
Mendengar namanya disebut lengkap seperti itu bukanlah pertanda yang baik untuk saat ini.
Agra menatap datar Guru wanita ber-name tag Endang Saraswati berjalan ke arahnya dengan wajah yang sudah tidak enak di pandang.
“Bagus. Tampilan sudah menyalahi aturan, masuk ke sekolah ribut-ribut, sekarang kamu juga terlambat! Bagus sekali Agra.” Tentu itu bukan pujian. Bahkan anak SD pun tahu itu sebuah cibiran rasa pujian.
Agra memutar malas bersamaan dengan decakannya. “Ibu Endang yang cantik, gimana pun juga semua yang Ibu sebutin tadi itu gak ada yang bagus. Gimana, sih?!”
Wajah Bu Endang semakin masam. “Berani kamu menjawab saya?” kelakar Guru itu.
Agra memilih mendengus. Dia sudah tahu akan berakhir di mana hari ini.
“Lari keliling lapangan lima belas putaran!”
Dan ini dia, berakhir dengan hukuman paling mainstream yang pernah dia dapatkan. Agra memberikan hormat dua jari pada Bu Endang lalu menuju lapangan. Hitung-hitung olahraga, pikirnya.
Bu Endang geleng-geleng kepala. Agra memang selalu membuatnya ingin menggelamkan diri di danautoba.
####
Tidak cukup dua puluh menit Agra telah menyelesaikan hukumannya. Cowok yang sudah melepas seragamnya hingga menyisakan kaos hitam itu menyeka peluh di wajahnya menggunakan lengan. Dia berdecak pelan lalu melangkahkan kaki menuju kantin.
Tapi, terhitung tiga kali Agra melangkah, cowok itu tiba-tiba berhenti. Dia menolehkan wajah ke tepi lapangan dengan mata memicing. Di sana, seorang cewek dengan rambut coklat yang cukup khas, tengah duduk di kursi panjang dengan menunduk. Rambu coklat cewek itu menjuntai di masing-masing sisi wajah hingga wajahnya tidak dapat Agra lihat.
“Tuh, cewek asli apa penampakan doang, sih?” gumamnya.
Agra sibuk meneliti cewek itu beberapa detik lalu memilih mengendikkan bahu karena cewek itu tidak kunjung mendongak.
“Bodo amat, sih, mau asli atau penampakan.”
Agra kembali melanjutkan langkahnya menuju kantin. Demi Swipper yang tidak jadi mencuri, Agra benar-benar butuh air saat ini untuk menyejukkan dahaganya.
####
Suara gesekan kursi dan lantai membuat Deon—yang sibuk makan—mendongakkan wajahnya. Alif—yang bermain game—melirik sekilas pada sang pelaku.
Agra. Cowok itu duduk di antara Alif dan Deon setelah menyampirkan seragam putihnya di sandaran kursi. Dia duduk dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri.
“Kenapa lo telat lagi?” tanya Deon, kembali menyuapkan nasi goring ke mulutnya.
“Biasa, kesiangan.” Agra menyahut acuh lalu mengedarkan pandangan. Di sepersekian detiknya, mata hitam cowok itu jatuh pada cowok cupu yang duduk di sudut kantin dengan sebuah buku bacaan.
“WOY CUPU SINI LO!!” merasa hanya dirinya yang memiliki sikap dan penampilan seperti itu. Cowok yang di panggil cupu oleh Agra berdiri menghampiri meja Agra dan teman-temannya yang memang sudah di booking sejak kelas sepuluh.
Semua mata sudah seperti melekat di tubuh cowok itu. Beberapa bisikan cibiran, dan kasihan sudah mengudara sejak Agra memanggilnya.
“Ke-kenapa?” tanya cowok cupu itu. Kacamata bulat dan besar menutupi kedua mata minusnya. Seragam kebesaran dan pinggang celana yang mencapai perut.
“Pesenin gue makanan. Pake duit lo!” titah Agra, datar.
Cowok cupu itu mengangguk tanpa bantahan. Silahkan saja membantah jika ingin wajahmu berubah warna menjadi biru keungu-unguan.
Alif dan Deon hanya bersikap biasa, seolah ini bukanlah hal asing yang dilakukan Agra.
Itulah Agra Fransisco Demiand. Cowok songong, bad, kaya namun suka memanfaatkan kelemahan orang lain. Contohnya saja tadi, cowok cupu yang dia manfaatkan kelemahannya dan uangnya.
Tidak berselang lama, cowok cupu itu datang dengan sepiring nasi goreng. Dengan tangan gemetar dia membawa piring itu ke hadapan Agra. Tapi belum juga mendarat di meja, Agra berdiri lalu dengan sengaja menyenggol tangan cowok itu hingga nasi tersebut tumpah mengotori sepatu cowok cupu itu.
“Lo kelamaan. Gue gak suka orang lamban!” setelah mengatakan dengan nada datarnya, Agra berlalu keluar kantin. Bersamaan dengan itu Alif dan Deon berdiri menyusul Agra.
Sebelum pergi, Alif sempat menepuk bahu cowok yang sudah menunduk nanar itu.
####
“Kelewatan lo tadi, mbing. Kasian tuh si cupu.”
Agra hanya melirik sekilas pada Deon. Dia menyesap batang berbentuk silinder yang di apit jari telunjuk dan tengahnya lalu menghembuskan kepulan asap dari hidung dan mulutnya.
“Bodo amat,” sahutnya.
Deon berdecak lalu memilih bermain catur dengan anak-anak Wolfer—geng motor yang diketua oleh Agra.
“Lo kaya tapi kelakuan lo kayak orang miskin aja.”
Agra berdecak mendengar itu. Kalimat dengan nada pedas yang tentu saja terlontar dari mulut seorang Alif Fernando Pratama—sahabat Agra. Cowok dengan seragam yang tidak dimasukkan itu duduk di sebelah Agra dengan memainkan rubik kesukaannya.
“Sesekali manfaatin mereka.” Agra menyahut lalu menyesap rokoknya untuk yang terakhir.
Alif mendelikkan bibir. “Gigi lo sesekali. Itu udah kesekian kalinya kali.”
Agra terkekeh. Alif memang benar, kejadian tadi bukanlah pertama kali untuk Agra. Melainkan sudah berkali-kali.
“Oh, iya, Lif. Gue mau nanya deh sama lo.”
“Paan?” Alif terlihat lebih tertarik mengotak-atik rubiknya daripada mendengarkan Agra.
“Lo pernah liat gak, cewek berambut coklat gelap di sekolah ini?” tanya Agra.
Alif menghentikan sejenak kegiatannya lalu mengendikkan bahu, setelah itu dia kembali pada kegiatan awal.
Agra berdecak. Alif memang selalu seperti itu, terlalu cuek dan bermulut pedas.
“Tapi kayaknya cewek itu gak asing, deh. Tapi gue pernah liat dimana?” gumaman Agra ternyata mengundang decakan dari Alif.
“Yang lo mau tau banget itu buat apa?” tanya Alif, datar.
Agra mengangkat bahu. “Pengen tau aja,” jawabnya.
Alif mendelikkan mata sekilas. “Kalau gak salah dia temennya Keyra.”
Agra kontan memusatkan perhatian pada Alif yang tetap sibuk dengan rubik sialan itu.
“Darimana lo tau?” tanya Agra dengan wajah meminta penjelasan.
“Udah jelas cewek berambut coklat di sekolah ini gak ada. Lo tau semua anak orang kaya di Demiand Senior High School. Dan dua hari lalu kayaknya gue pernah liat cewek dengan rambut kayak gitu dengan Keyra.”
Oke, mungkin saat ini Agra akan mengatakan bahwa Alif itu tidak terlalu cuek karena cowok itu masih memperhatikan sekitar.
Agra diam memikirkan jawaban Alif. Sungguh, dia penasaran dengan cewek yang menangis itu.
Menangis dengan pandangan kosong yang tertuju pada tengah lapangan. Entah apa yang ada di pikiran cewek berambut coklat gelap itu. Hanya saja, dia benar-benar lelah akan kehidupannya. Hidup yang tidak pernah bahagia semenjak kedua orang tuanya meninggal.
Mencari nafkah sendiri. Menghabiskan waktu dengan pekerjaan part-time yang entah sudah berapa banyak yang ia punya. Semua yang menurutnya bisa menghasilkan uang dan selagi halal akan ia lakukan tanpa rasa gengsi sedikit pun.
Hangout?
Rasanya ia ingin menertawakan dirinya sendiri saat temannya mengajak ia untuk melakukan kegitan menyenangkan itu. Ia tidak punya waktu untuk hal-hal yang dapat membuang-buang uang dan waktunya. Yang ia tahu hanyalah, belajar-kerja-belajar dan begitu seterusnya.
Helaan nafas keluar dari bibir mungilnya. “Sampai kapan?” gumamnya entah pada siapa.
Merasa matanya memanas, ia memilih menunduk hingga akhirnya airmata itu kembali membentuk
aliran sungai kecil di pipinya.
“Ayah… Bunda… Rara kangen.” Pedih rasanya mendengar gumaman yang cukup menyayat itu. Ia menggigit bibir bawahnya demi menahan isakannya yang
mendorong untuk terdengar.
Ayah dan Bunda. Dua makhluk Tuhan yang benar-benar ia rindukan. Ayahnya yang selalu menyemangati ketika keputusasaan hendak menyapa. Dan Bundanya yang selalu menjadi tempatnya untuk mengadu tentang peliknya dunia.
Elusan di pundaknya membuat cewek itu menghentikan tangis lantas menoleh. Senyum terbit kala melihat cewek berambut kuncir
yang ikut duduk di sampingnya.
“Jangan sedih terus dong, Ra. Fighting! Rara gue orangnya kuat!”
Aurora Mauren atau Rara—panggilan sayang dari orang terdekatnya. Dia berhambur ke pelukan Keyra percayalah, saat kamu tidak punya siapa-siapa untuk mengadu. Ingat, aka nada sosok yang selalu merentangkan tangannya untuk kamu peluk, dan menyodorkan tangannya untuk kamu bangkit.
Sahabat.
Seseorang yang sangat berarti di kehidupan Aurora setelah kedua orang tuanya. “Makasih, Key.” Aurora masih terisak.
Key, alias Keyra Tamara. Cewek cantik yang juga berasal dari keluarga kaya raya. Hebatnya, cewek itu memiliki hati yang mulai dan tidak suka memilih-milih teman. Dia dan Aurora sudah bersahabat sejak kecil, itu sebabnya dia tahu semua tentang kehidupan Aurora.
“Kangen Bunda sama Ayah, Key.”
Keyra mengelus punggung Aurora.
“Bunda sama Ayah juga pasti kangen sama anaknya yang hebat ini. Mereka pasti bangga punya naka kayak lo, Ra.”
Aurora terkekeh lirih lalu mengurai pelukan mereka lantas mengusap pipinya yang basah. “Kok, gue alay gini, yah?” ujarnya dengan kekehan.
Keyra ikut terkekeh. “Tau, lo! Mending ke kantin, kuy. Biar gak menye-menye lagi.” Keyra menambahi.
Aurora mengangguk. “Yuk.”
####
Menikmati nasi goreng di meja pojok yang tidak terlalu tampak memang menjadi spot favorit bagi Keyra dan Aurora. Kedua cewek itu menikmati makanan mereka sesekali ditimpali candaan.
Di pertengahan kegiatan mereka, Keyra menghentikan tangannya yang hendak menyendokkan nasi ke dalam mulutnya lantas mengernyitkan alis ketika samar-samar telinganya mendengar
sebuah keributan.
“Itu apaan yah, Ra, rebut-ribut?” tanyanya.
Aurora menjeda kegiatannya lalu menatap Keyra setelah meneguk air mineralnya. “Entah,” jawabnya mengangkat bahu acuh.
Alis Keyra semakin mengerut dalam saat keributan itu semakin terdengar. “Kayaknya itu pembully-an lagi, deh,” serunya.
Aurora mendengus samar. “Biarin aja, Key. Selagi gak main fisik gak usah ikut campur,” pungkasnya.
Keyra berdecak. “Ya ampun, Ra. Logika aja, deh. Mana mungkin pembullyan gak main fisik!”
Aurora memutar mata malas. Ayolah, Aurora bahkan punya kesibukan lain dari pada harus memikirkan kasus pembullyan yang sudah tidak asing lagi di sekolah swasta seperti ini.
“Aw, hiks.”
Terkejut, Keyra membulatkan matanya pada Aurora yang juga cukup terkejut ketika mendengar suara rintihan disusul dengan isakan.
Keyra berdiri setelah sedikit menggebrak meja. Itu Keyra, cewek yang cukup bar-bar namun tidak tegaan. Berbeda dengan Aurora yang tidak ingin ambil pusing dengan keadaan sekitarnya. Menurutnya, hidupnya saja sudah cukup memusingkan, jadi kenapa harus ambil pusing dengan hidup orang lain.
“Gak bisa dibiarin, nih! Si Agra setan keterlaluan!” Keyra berkelakar penuh amarah. Tanpa banyak kata cewek itu menghampiri Agra yang berada di sudut paling depan. Untuk kantin yang begitu luasnya ini, tentu suara keriuhan hanya bisa Keyra dengan samar karena diapun duduk di pojok.
Dengan malas, Aurora berdiri mengikuti Keyra.
“AGRA STOP!!” suara teriakan Keyra menggema di area kantin. “Lo udah gila, hah?! Main kasar sama cewek lagi!” bentaknya penuh amarah.
Tangan Keyra hendak membantu cewek yang terduduk di depan Agra itu, namun tangannya lebih dulu ditepis oleh Agra.
“Gak usah ikut campur!” Agra mendesis tajam.
Keyra takut?
Tentu saja tidak. Keyra tidak akan tinggal diam jika kaum perempuan dihina oleh kaum lelaki.
“Gak bisa gitu, dong! Lo udah seenaknya sama cewek dan lo nyuruh gue gak ikut campur?” Keyra berdecih sarkas dengan kedua tangan berkacak.
“Gue gak ada urusan sama lo!” Agra kembali berujar. Di meja yang tidak jauh darinya, ada Deon yang duduk bersedekap memandang drama yang dibuat Agra. Alif? Cowok itu lebih memilih memainkan game di ponselnya daripada harus melihat drama harian Agra.
“Gue juga gak ada urusan sama lo! Tapi lo udah nyakitin cewek dan itu ngebuat gue harus ikut campur!” bentak Keyra, lagi. Wajahnya sudah memerah menatap wajah datar Agra.
Agra menyeringai sinis. “Mau jadi pahlawan kesiangan lo? Teman bukan, keluarga bukan, temen bukan, seenaknya banget lo mau jadi pahlawan.”
“Gue emang gak adaa hubungannya sama, nih, cewek.” Keyra menunjuk cewek yang baru saja dibantu oleh Aurora untuk berdiri. “Tapi dia cewek, pe’a! Gak seharusnya lo nyakitin dia, terlebih lo lahir dari seorang perempuan!” Keyra menunjuk wajah Agra.
“Lo!” Agra menggeram pada Keyra dengan telunjuk yang hendak teacung sebelum seseorang lebih dulu menepisnya dengan kasar.
Agra terkejut tentu saja.
“Mau apa lo?”
Nada datar itu menyita perhatian Deon dan Alif. Deon yang tadi bersedekap seraya menyandar kini mengakkan badan. Alif yang tadinya bermain game kini menaruh ponselnya di atas meja.
Semua bisikan para penonton yang hadir di kantin mengudara.
Keyra juga terkejut. Aurora yang biasanya selalu cuek pada hal sekitar entah kenapa melakukan ini.
“Lo sebenarnya cowok gak, sih?”
jika Aurora bisa bersikap cuek pada orang lain, maka beda halnya dnegan Keyra. Ia tidak bisa tinggal diam saat Agra akan memarahi Keyra.
Alis Agra mengerut bersamaan dengan rahangnya yang mengeras. Alif dan Deon saling melempar tatpan untuk sesaat disertai senyum miring.
“Lo mau ikut campur juga?” tanya Agra dengan suara datarnya.
Aurora mengangguk tanpa banyak pikir. “Kenapa enggak?” tantangnya.
Agra tersenyum miring. Cukup takjub dengan keberanian cewek berambut coklat gelap di hadapannya ini.
Tunggu!
Rambut coklat?
Agra meneliti wajah cewek itu saat ia menyadari satu hal. Tentang cewek yang ia lihat menangis di lapangan waktu itu. Agra membulatkan samar matanya. Jadi ini cewek yang ia lihat waktu itu?
“Lo kira gue bakal tinggal diam saat ngeliat sahabat gue dikasarin sama cowok gila kayak lo?” tatapan cewek itu menghunus mata hitam Agra.
Agra terkekeh dengan mulut membulat. “Oh…, jadi ada yang mau sok pahlawan lagi di sini?” sinisnya.
Matanya menatap datar pada Aurora yang juga menatapnya dengan tatapan tajam. Agra tersenyum dalam hati, ia suka tatapan tajam milik cewek itu. Bukannya menyeramkan, malah terlihat menggemaskan menurut Agra.
“Siapa yang mau jadi sok pahlawan?! Gue Cuma gak suka lihat sikap lo yang kasar sama cewek!” kelakar Aurora dengan mendorong bahu kanan Agra dengan telunjuknya.
Suasana di kantin semakin mencekam. Banyak di antara mereka mengangkat ponsel dengan kamera yang tertuju pada mereka untuk mengabadikan moment langkah ini. Cewek yang tadi dibully oleh Agra telah aman bersama Keyra yang masih berdiri di samping Aurora. Alif dan Deon? Kedua cowok itu hanya duduk santai menikmati drama yang tersaji.
“Selagi itu bukan lo yang gue kasarin, kenapa lo harus nyolot?” ujar Agra. Kedua tangannya ia massukkan ke saku celana abunya.
Aurora terkekeh sarkas lalu membuang pandangannya. Rasanya ia ingin meraup kasar wajah Agra jika terlalu lama menatapnya. Cowok yang sama sekali tidak punya rasa kasihan pada perempuan, padahal jelas-jelas dia terlahir dari Rahim seorang perempuan.
“Mau tau kenapa gue nyolot?” Aurora beralih berkacak pinggang.
“Itu karna gue muak liat cowok yang suka kasarin cewek kayak lo. Terlihat pengecut dan gak bermoral, tau?”
Alif dan Deon saling pandang dengan wajah takjub. Benar-benar tidak habis pikir dengan cewek pemberani itu. Bagi mereka, kalimat cibiran yang baru saja cewek itu lontarkan adalah sebuah hiburan untuk mereka.
Agra? Jangan ditanya lagi. Wajahnya sudah memerah menahan amarah dengan rahang yang mengetat. Rasanya ia ingin merobek mulut cewek yang berdiri di hadapannya ini dengan brutal. Tapi entah kenapa ia tidak bisa melakukannya.
“Berani lo sama gue?” desis Agra dengan suara rendah namun mencekam. Ia melangkah untuk mempersempit jarak dengan Aurora.
“Kalau iya kenapa?” Aurora kembali menantang. Walau sempat terkejut dengan nada suara Agra, ia tetap mempertahankan pendiriannya. Aurora tidak akan pernah takut dengan cowok seperti Agra yang suka seenaknya.
Agra menyeringai sarkas. “Lo mau jadi korban berikutnya?”
Aurora mengangkat alis. “Apa dengan semua kekuasaan yang lo punya, lo bisa seenaknya?” Aurora mendekat lalu membalas seringai Agra. “Asal lo tau, gue emang miskin dan cuma anak beasiswa di sini. Tapi semiskin-miskinnya gue, gue gak pernah takut sama cowok macam lo. Camkan, tuh!”
Aurora menepuk pelan pipi kiri Agra sebagai penutup dari kalimatnya lalu berbalik. Hendak pergi meninggalkan kantin bersama Keyra dan korban bullyan Agra, tapi suara cowok itu lebih dulu menghentikannya.
“Oh…, jadi lo cuma murid beasiswa?”
“Oh…, jadi lo cuma murid beasiswa?”
Semua penghuni kantin menunjukkan raut berbeda-beda. Ada yang terkejut, sinis, mengangkat alis bahkan ada yang berdecih. Menurut mereka, cewek yang baru saja disebut murid beasiswa oleh Agra tidak lebih hanyalah mencari perhatian Agra dengan tingkah sok beraninya.
Alif dan Deon juga terkejut mendengar fakta yang baru saja mereka dengar. Cukup lama mereka sekolah di Demiand Senior High School, sekalipun belum pernah mereka menemukan orang yang berani melawan Agra walau kasta mereka sama. Terkecuali Keyra.
Dan sekarang, murid beasiswa itu mengakui sendiri dirinya dengan mudah. Seolah Agra tidaklah berpengaruh padanya.
Aurora menghentikan niatnya yang ingin berbalik. Ia menatap Agra. “Kalo iya kenapa?” datarnya.
Agra tersenyum sinis. “Berani banget lo sama gue.” Ia lalu memandang remeh pada Aurora.
Aurora mengangkat alis lantas berkacak setelah sempat mengedarkan pandangan ke segala penjuru kantin. Auroraa tidak peduli tatapan mereka.
“Kenapa gue harus takut? Sama-sama makan nasi, kan? Lo juga Tuhan, kan, yang nyiptain?”
Agra tidak lagi membalas dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum miring lalu pergi setelah melirik name tag yang terpasang di baju seragam cewek berambut coklat gelap itu.
“Aurora Mauren,” sebutnya membatin.
####
Setelah kejadian di kantin yang cukup drama itu, Agra dan kedua antek-anteknya memilih bersantai di rooftop sekolah. Di temani dengan rokok yang yang terapit di antara dua jari Agra—telunjuk dengan tengah—serta kepulan asap yang mengudara.
Di banding merokok, Alif lebih memilih untuk bersantai dengan game di ponselnya. Deon? Cowok berseragam tidak rapi memilih mengerutkan alis seperti orang yang sedang berpikir.
“Agra,” seru Deon kemudian.
“Paan?”
“Cewek yang tadi itu lo udah pernah lihat sebelumnya?” tanya Deon, dahinya berkerut dalam menatap
Agra yang hanya menatapnya sekilas dengan acuh. “Gak.” Tentulah itu kalimat bohong yang Agra lontarkan, karena nyatanya ia pernah melihat cewek itu di lapangan.
“Bohong lo! Dia cewek yang lo lihat di lapangan itu, kan?” Alif ikut berceletuk. Agra ingin sekali menempeleng kepala cowok berekspresi datar itu, namun ia sedang malas.
“Lah?” Deon kembali bingung.
Memilih tidak ingin membahasnya lebih jauh, Agra mengangkat bahu acuh. Walau sebenarnya ia juga sedikit penasaran dengan cewek sok pemberani itu. Tapi Agra tetaplah Agra. Cowok angkuh dengan segala rasa gengsinya yang melangit.
“Jadi gimana? Lo mau jadiin dia korban bullyan lo selanjutnya?” tanya Deon, kembali.
Alif ikut menunggu jawaban Agra. Soalnya, ini cukup menantang jika Agra akan menjadikan cewek itu sebagai korban bullyan selanjutnya.
Agra berdiri lalu menginjak puntung rokoknya. “Males,” ucapnya lalu hilang di balik pintu rooftop.
####
Aurora dan Keyra berjalan beriringan menuju gerbang sekolah setelah beberapa menit lalu bell pulang sekolah telah berbunyi.
“Ra, pulang bareng gue, ya?” pinta Keyra. Wajahnya memelas dengan harapan Aurora akan mengatakan ‘iya’ atau paling tidak ia mendapat anggukan.
“Gak usah, Key. Gue habis ini langsung ke Cafe, kok.” Aurora menolak dengan halus. Ia bukannya tidak menghargai ajakan Keyra, hanya saja ia merasa sudah sangat merepotkan Keyra selama ini.
Wajah Keyra berubah lesuh dengan bahu yang merosot kecewa. Tapi ia berusaha tetap mengulas senyum. Hal seperti ini bukanlah hal yang awam bagi Keyra, bersahabat lama dengan Aurora tentu membuat Keyra tahu bagaimana prinsip sahabatnya itu.
“Yaudah, deh. Tapi lain kali harus bareng, ya? Gak mau penolakan pokoknya!”
Aurora terkekeh lalu mengangguk. “Siap bosku!”
####
Benar katanya, sepulang dari sekolah Aurora langsung ke Cafe. Duduk di atas kursi yang telah disediakan di atas stage setelah mengganti seragam sekolahnya menjadi baju berkain rajut dan celana jeans panjang.
Lagu Shawn Mendes berjudul Imagination mengalun di telinga para pengunjung. Banyak di antara mereka yang merekam sekadar untuk mempostingnya di instastory mereka. Aurora tidak masalah para pengunjung merekam dirinya lantas diposting ketika sedang menyanyi. Karena menurut Aurora menyenangkan para pengunjung Cafe juga termasuk hal yang harus ia lakukan sebagai pegawai di sini.
Setelah beberapa menit Aurora bermain gitar dan bernyanyi, ia turun dari kursi putar tanpa penyanggah itu lalu membungkuk hormat mengucapkan terima kasih kepada pengunjung.
Aurora menghela nafas kecil lalu kembali ke ruangan para pegawai untuk rehat sejenak. Tubuhnya lelah dan otaknya pun ikut lelah karena seharian harus mengerjakan soal yang cukup banyak.
“Aurora!”
Aurora yang baru saja duduk di kursi panjang yang berbahan kain itu menoleh pada wanita bercelemek putih dan seragam hitam yang berjalan menghampirinya.
“Kenapa?” tanya Aurora.
“Di depan ada pelanggan yang pesanannya pengen diantarkan sama kamu,” jawab wanita itu.
Wajahnya sedikit tidak enak pada Aurora yang notabene penyanyi Cafe namun harus melayani pelanggan karena permintaan yang tidak beralasan dari pelanggan itu.
Aurora mengerutkan alis lantas memperbaiki posisi duduknya.
“Kok, gue?” tanyanya heran.
Wanita itu menggaruk pelipisnya. “Aduh, gimana, ya. Saran saya turutin aja, deh. Karna kata dia kalau bukan kamu yang antar saya bakal kehilangan pekerjaan begitu juga kamu.”
Aurora terkejut. Siapa pelanggan yang berani mengancam seperti itu. Memang, Cafe ini mengutamakan kenyamanan pelanggan, tapi jika pelanggannya seperti ini, mereka juga bisa protes.
Memilih tidak banyak pikir, Aurora menghela nafas lalu berdiri lantas mengangguk. Dia mengikuti wanita itu menuju dapur untuk mengambil pesanan si pelanggan rese itu.
####
Aurora mengumpat dalam hati saat ia telah mengetahu siapa si pelanggan yang seenaknya berbuat itu. Agra. Cowok yang Aurora tantang gara-gara kasus pembullyan.
Sekarang, Aurora harus mati-matian untuk tidak mengeluarkan umpatannya ketika cowok berkaos hitam dipadu dengan topi hitam dan celana abu-abu SMA itu melempar senyum meremehkan padanya.
Kedua sahabatnya juga ikut menatap Aurora, namun itu hanya sekilas karena mereka lebih memilih memakan pesanan mereka.
“Jadi, lo kerja di sini? Sebagai penyanyi?” Agra terkekeh mengejek. “Harusnya, sih, lo jadi pelayan. Lebih cocok soalnya.”
Aurora tetap menampilkan raut datar walau sebenarnya ia ingin sekali melayangkan nampan di tangannya ke wajah songong Agra yang benar-benar menyebalkan.
Memberikan senyum khas pelayan pada pelanggan, Aurora membungkukkan sedikit tubuhnya di depan Agra sebagai bentuk terima kasih pada pelanggan. Setelahnya dia berbalik meninggalka meja cowok menyebalkan itu.
“Sekali aja lo melangkah, gue bisa jamin lo gak akan kerja di sini lagi!” seru Agra menatap punggung mungil itu.
Bukannya berhenti melangkah, Aurora malah menolehkan wajahnya dengan senyum miring yang sukses membuat Agra dongkol.
Berhubung Aurora belum jauh melangkah, Agra dengan cepat berdiri dengan sedikit melangkah untuk menggapai tangan Aurora.
“Apaan, sih?!” tubuh Aurora kontan berbalik saat tangannya ditarik secara kasar menuju meja tempat Agra tadi. Ia kemudian menghempaskan tangan Agra dengan tidak santai.
Para pengunjung Cafe mulai menjatuhkan pandangan pada meraka, Alif daan Deon juga mulai menghentikan acara makannya. Dan itu membuat Aurora ingin meledakkan amarahnya. Ia akan jamin atasannya akan menanyakan keributan ini.
“Gini cara lo ngelayanin pelanggan?” ujar Agra. Kedua tangannya telah tenggelam dalam saku celana abu-abunya.
Aurora memutar mata jengah. “Mau lo apa, sih, sebenarnya?” tanyanya mulai kesal.
Agra mengangkat alis lantas tersenyum miring. “Gue cuma mau bilang, sekali lo ikut campur dalam hidup gue. Maka lo gak akan bisa lepas gitu aja, walaupun lo pergi ke ujung dunia sekalipun!”
“Lo pikir gue takut?” Aurora mengangkat dagu seolah menantang Agra. “Ingat, ya. Gue gak akan pernah takut sama cowok sombong kayak lo. Why? Karna lo cuma berlindung di balik kekuasaan keluarga lo!” Aurora mengangak telunjuk di depan wajah Agra saat mengatakan itu.
“Dan asal lo tau, hidup itu kayak roda. Gak selamanya lo ada di atas, dan gue harap lo bisa ngerasain rasanya berada di posisi bawah!”
Agra terkekeh sarkas. “Sayangnya gue gak akan pernah berada di posisi bawah!” Agra mengakhirinya dengan senyum miring.
“Terserah lo! Gak ada gunanya gue ngomong panjang lebar dengan cowok modelan lo!” saat Aurora kembali ingin berbalik, Agra lagi-lagi mencekal tangannya.
Tepat saat Aurora ingin protes, sesuatu yang sangat dingin dan manis lebih dulu menyapu permukaan wajahnya.
Yah, Agra menyiram juice yang ia pesan ke wajah Aurora. Penghuni Cafe mulai melempar kalimat iba pada Aurora. Deon dan Alif pun melototkan mata tidak percaya.
“Lo jangan gila, Gra!” seru Alif, namun Agra tidak mengindahkannya.
Aurora mengeraskan rahang seiring dengan deru nafasnya yang terdengar memburu. Dia kemudian mengusap wajahnya dengan helaan nafas sesak yang berusaha ia buang dari rongga pernapasannya.
“Jadi gini kelakukan anak orang kaya?” Aurora mendongak menatap nyalang pada mata hitam Agra.
Agra hanya mengangkat bahu dengan kedua tangannya yang bersedekap di dada. Tatapannya ia alihkan dari mata coklat yang berkaca-kaca itu.
Memilih tidak ingin membuat hatinya sakit dan harga dirinya yang diinjak-injak, Aurora mengambil gelas yang tadi Agra gunakan lalu menaruhnya ke nampan. Ia kemudian menundukkan kepala.
“Silahkan duduk. Pihak Cafe akan mengganti juice Anda. Saya permisi.” Aurora kembali mendongak menatap Agra. “Terima kasih!” ia berlalu setelah menekankan kata terima kasih pada Agra.
Agra? Dia hanya menatap punggung yang perlahan menjauh itu. Agra sempat menelan ludahnya saat matanya tidak sengaja menangkap bulir airmata yang lolos dari cewek itu setelah berbalik badan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!