NovelToon NovelToon

Jodoh Si Gadis Pipi Merah

Dipaksa Menikah

Matahari sore menyinari kamar Kamala dengan teriknya. Debu-debu beterbangan di udara, menari-nari di antara sinar mentari yang menembus celah jendela. Kamala terduduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar, air matanya mengalir deras. Ia melihat bayangannya di cermin besar yang menghiasi dinding kamar. Sebuah tanda lahir berwarna merah menyala menghiasi pipinya, menyerupai bunga mawar yang layu. Bekas luka di bawah matanya, warisan dari kecelakaan yang merenggut orang tuanya, menambah rasa tidak percaya dirinya.

Di luar, suara gaduh menggema. Renata, ibu ankatnya, berteriak-teriak, menyerukan nama Kamala. Suara itu bagaikan petir yang menggelegar, menghantam hati Kamala. Ia tahu, Renata pasti akan memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan.

"Kamala, cepat pakai gaun pengantin ini!" titah Renata, suaranya terdengar seperti gertakan. Ia melemparkan sebuah gaun putih ke arah Kamala, kainnya mengenai wajah Kamala. Kamala terisak, air matanya semakin deras. Sejak kepergian ayah angkatnya, Renata selalu memperlakukannya dengan buruk.

"Aku tidak mau menikah, Ma!" Kamala membela diri, suaranya terengah-engah. Ia tidak mau menikah muda, apalagi ia tidak mencintai calon suaminya.

"Jangan membantah, tinggal menikah saja apa susahnya!" bentak Renata. "Gadis buruk rupa seperti itu, masih untung juga ada yang mau menikahimu!"

Renata menarik badan Kamala, menariknya ke depan cermin. Kamala meringis kesakitan, tubuhnya ditarik secara kasar.

"Tanda lahir merah diwajahmu itu, membuat orang jijik melihatnya! Apalagi wajahmu sudah cacat dengan bekas luka!" Renata menunjuk wajah Kamala dengan kasar. "Jadi, kau harus beruntung mendapatkan jodoh, walaupun jodohmu itu pria miskin, kerjanya jadi tukang bangunan!"

Renata mendorong badan Kamala ke ranjang. "Segera pakai gaun itu, karena calon suamimu sedang menunggumu!" tegas Renata, lalu dia meninggalkan Kamala sendirian di kamar.

Kamala terduduk di ranjang, menatap gaun putih yang tergeletak di kakinya. Ia merasa seperti boneka yang dipaksa untuk memakai pakaian yang tidak sesuai dengan keinginannya. Hatinya hancur, ia merasa tak berdaya menghadapi kekejaman Renata.

Di luar, suara riuh semakin keras. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kamala tahu, ia tidak bisa menghindar dari takdir yang telah direncanakan Renata. Ia hanya bisa pasrah, menunggu saat-saat ketika hidupnya akan berubah selamanya.

Kamala terduduk di tepi ranjang, menatap bayangannya di cermin. Gaun pengantin putih menempel di tubuhnya, menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Namun, senyum tidak pernah hadir di wajahnya. Ia merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar, terpaksa memakai pakaian yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Tangannya meraih syal putih yang tergeletak di tempat tidur. Ia memasangkan syal putih ke wajahnya. Syal itu menjadi tembok pembatas antara dirinya dan dunia luar, menghindari tatapan orang yang mungkin akan membuatnya merasa rendah diri.

"Aku harus gimana sekarang?" gumam Kamala, suaranya hampir tak terdengar. Rasa bingung dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Namun, sebercak harapan kecil mulai muncul di hatinya. Mungkin dengan menikah, ia bisa terbebas dari kekejaman Renata, menemukan kehidupan yang jauh lebih baik.

Kamala beranjak bangun, langkah kakinya terasa berat. Ia mendekati cermin, menatap bayangan wajahnya yang tidak ditutupi syal. Matanya memancarkan kesedihan, ketakutan, dan sedikit harapan.

Ia teringat masa kecilnya, ketika ia selalu menutupi wajahnya dengan syal. Hanya sahabatnya, Yoana, yang pernah melihat wajahnya tanpa syalk. Di rumah, ia juga berani memperlihatkan wajahnya kepada Sugandi, ayah angkatnya.

Namun, sejak kepergian Sugandi, ia selalu menutupi wajahnya. Ia takut, takut orang-orang akan memandangnya dengan jijik karena tanda lahir merah di pipinya dan bekas luka di bawah matanya.

Kamala menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus kuat, ia harus menghadapi kenyataan. Ia harus melangkah maju, mencari kebahagiaan yang mungkin tersembunyi di balik selendang putih yang menutupi wajahnya.

Langkah kakinya semakin mantap, ia melangkah keluar dari kamar. Pintu kamar terbuka, menyambutnya dengan cahaya mentari sore yang menyilaukan. Ia melangkah maju, menelusuri lorong yang dihiasi dengan bunga-bunga berwarna cerah.

Di ujung lorong, ia melihat seorang pria berdiri tegak. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya terlihat tampan. Kamala tahu, pria itu adalah calon suaminya.

Kamala melangkah mendekat, hati nya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, ia berharap, kebahagiaan akan menunggunya di balik selendang putih yang menutupi wajahnya.

Ganesha Bimantara, pria berusia tiga puluh tahun, berdiri tegak di hadapan Kamala. Matanya menatap tajam wajah Kamala yang tertunduk, syal putih menutupi seluruh wajahnya. Ganesha penasaran, ingin melihat wajah di balik selendang itu.

Ganesha menatap wajah Kamala yang tertunduk, syal putih menutupi seluruh wajahnya. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak mencapai matanya. Di dalam hatinya, ia merasa geli. Ia tidak mencintai Kamala. Ia menikahinya karena sebuah taruhan dengan sahabat-sahabatnya.

Malam itu, di sebuah klub malam yang remang-remang, anggota geng Fornax berkumpul. Mereka adalah enam pria muda, penuh dengan uang dan keangkuhan. Setiap kali mereka berkumpul, mereka selalu bermain kartu remi dengan taruhan yang fantastis. Mobil, motor, uang, bahkan perempuan, pernah menjadi taruhan mereka.

Malam ini, taruhannya berbeda. Mereka bertaruh siapa yang harus menikah dengan Kamala Jayanti, gadis si syal putih. Mereka belum pernah melihat wajah Kamala, hanya melihat fotonya di Instagram, di mana wajahnya selalu tertutup syal putih.

Ganesha, pemimpin geng Fornax, selalu menang dalam setiap taruhan. Namun, malam ini, nasib berkata lain. Ganesha kalah. Ia tidak bisa mundur, karena setiap taruhan mereka selalu diiringi surat perjanjian di atas materai.

Ganesha menghela napas, mencoba untuk menerima kenyataan. Ia harus menikahi Kamala, gadis yang bahkan belum pernah ia temui.

"Lo tidak perlu khawatir, Ganesha," kata Kalingga, sahabatnya. "Kamala itu cantik. Dia hanya menutupi wajahnya dengan syal putih, jangan salah, dia cantik."

"Cantik?" Ganesha mengernyitkan dahi. "Gue tidak peduli dengan kecantikannya."

"Ya, sudahlah. Nikmati saja. Lo pasti akan mendapatkan istri yang baik," kata Kalingga sambil menepuk bahu Ganesha.

Ganesha mengangguk, mencoba untuk bersikap optimis. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, ia harus menikahi Kamala. Ia harus memenuhi janjinya.

Ganesha tak sabar ingin melihat wajah Kamala. Ia mendekat, jantungnya berdebar kencang. "Angkat kepalamu!" titahnya, suara yang biasanya tenang kini bergetar. Kamala, dengan wajah memerah, perlahan mengangkat kepalanya. Tatapan mereka bertemu, sepasang mata yang penuh harap dan cinta. Ganesha terpesona, kecantikan Kamala melampaui imajinasinya. Rambutnya yang hitam legam terurai indah, matanya yang cokelat berkilauan seperti bintang di malam hari, dan bibirnya yang merah merekah seperti bunga mawar. Tangannya terulur, ingin membuka syal yang menutupi wajah Kamala. Ia ingin merasakan sentuhan lembut kulitnya, ingin menelusuri lekuk wajahnya yang sempurna.

Namun, sebelum sentuhannya menyentuh kain halus itu, Renata muncul di ambang pintu. "Kalian masih disini. Ayo cepat, akad segera dimulai!" kata Renata, suaranya sedikit meninggi. "Kenapa kalian berdua masih berlama-lama?"

Ganesha menarik tangannya, sedikit kecewa. "Maaf, Tante. Saya hanya ingin melihat wajah Kamala," jawabnya, matanya masih tertuju pada Kamala.

Kamala menunduk, pipinya semakin memerah. "Ayo, Tuan. Kita harus segera ke sana," katanya, suaranya hampir tak terdengar.

Ganesha menggerutu dalam hati, kecewa karena tak bisa melihat wajah Kamala lebih lama. Ia hanya bisa menatap punggung Kamala yang menjauh, langkahnya ringan dan anggun. "Ah sial, gue belum melihat wajahnya!" gumamnya, suaranya mengalir kecewa.

Ganesha, pria yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam merayu wanita, yang sering berganti pacar secepat kilat, kini merasakan sesuatu yang berbeda. Di hadapan Kamala, ia merasa tertantang, terikat oleh suatu kekuatan tak terlihat. Ia ingin mengetahui lebih jauh tentang wanita yang bersembunyi dibalik syalnya, ingin menjelajahi rahasia di balik senyum manisnya, ingin menemukan apa yang tersembunyi di balik tatapan matanya yang menawan.

******

Upacara pernikahan sederhana itu terasa sunyi. Hanya keluarga Kamala yang hadir, memenuhi ruangan kecil di rumah mereka. Tak ada keluarga Ganesha, tak ada sorak sorai, tak ada tawa riang. Ganesha, dengan wajah datar, duduk di samping Kamala. Ia datang seorang diri, tanpa didampingi keluarga. Hanya anak-anak Fornax, organisasi rahasia tempatnya bernaung, yang tahu tentang pernikahan ini.

Kamala duduk di samping Ganesha, menunduk malu. Ia tak berani menatap para tamu, tak berani menatap wajah-wajah yang asing. Ini adalah kali pertama ia duduk berdekatan dengan seorang pria, dan itu pun dalam suasana yang tak biasa. Perasaannya campur aduk, takut, gugup, dan sedikit gembira. Ia tak pernah memiliki teman laki-laki, tak pernah berkenalan dengan pria, dan tak pernah merasakan perhatian dari seorang pria. Ketidakpercayaan diri menyergapnya, membuatnya merasa kecil di hadapan Ganesha yang berwibawa dan menakutkan.

Ganesha menggenggam tangan Penghulu, tangannya berkeringat. Wali nikah Kamala diwakilkan oleh Penghulu, dan Ganesha akan segera mengucapkan ijab qabul. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang berpacu kencang. "Saya terima nikah dan kawinnya Kamala binti..." suaranya lantang, mengucapkan kalimat sakral itu dengan penuh keyakinan. "Dengan mas kawin tersebut tunai.”

Suasana hening menyelimuti ruangan setelah ijab qabul dilantunkan. Ganesha, yang biasanya piawai merayu perempuan, kini terdiam kaku di hadapan Kamala. Ia terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Lugu dan polosnya Kamala, yang sama sekali berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah ia dekati, membuat Ganesha merasa canggung. Ia tak berani bersikap agresif, tak berani melakukan tindakan romantis seperti yang biasa ia lakukan.

Ganesha menatap Kamala, matanya tak berkedip. Ia terpesona dengan kecantikan Kamala yang sederhana, aura polos yang terpancar dari wajahnya. Namun, di balik pesona itu, Ganesha merasakan sebuah misteri yang belum terpecahkan.

Penghulu, yang menyaksikan keheningan di antara pengantin, merasa geram. Ia terbiasa melihat pengantin baru saling berpelukan, berbisik mesra, atau setidaknya tersenyum bahagia. Namun, di sini, ia melihat dua insan yang saling terdiam, seperti dua orang asing yang dipaksa untuk bertemu.

"Pengantin perempuan, silahkan cium tangan suaminya!" ucap Penghulu, suaranya sedikit meninggi.

Kamala mendongak menatap wajah Ganesha yang sedang menatapnya. Wajah Ganesha yang tampan, dengan sorot mata yang lembut, membuat jantungnya berdebar kencang. Apakah ia harus mencium tangan pria yang ada di hadapannya? Pria yang ia tidak tahu siapa, bahkan ia tidak tahu siapa nama pria itu. Hanya ketika ijab qabul, ia baru tahu jika nama suaminya adalah Ganesha Bimantara, namanya yang indah dan gagah. Nama yang terasa asing, namun menarik, seolah mencerminkan kepribadian pria yang sedang menatapnya dengan tatapan yang dalam.

Ganesha menatapnya balik, matanya penuh dengan kelembutan. Ia terpesona dengan kecantikan Kamala yang sederhana, aura polos yang terpancar dari wajahnya. Namun, di balik pesona itu, Ganesha merasakan sebuah misteri yang belum terpecahkan.

Udara di sekitar mereka terasa panas dan menyesakkan. Detak jantung Kamala bergema di telinganya, berirama dengan ketukan sepatu Ganesha yang mendekat. Ia merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya, dan jantungnya berdebar kencang, seakan hendak meledak dari dadanya.

Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu terukir rasa cinta dan kerinduan yang terpendam selama bertahun-tahun. Kamala merasakan tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin sekali melarikan diri, namun kakinya terasa lumpuh, tak berdaya.

Dengan keberanian yang teramat besar, Kamala mengulurkan tangannya, jari-jarinya gemetar hebat. Ia ingin mencium tangan Ganesha, yang sudah sah menjadi suaminya.

Ganesha merasakan kegugupan Kamala. Tangan Kamala yang panas dingin dan gemetar membuat Ganesha semakin tersentuh.

Ketika Kamala berhasil mencium tangannya, Ganesha pun reflek mencium kening Kamala untuk pertama kalinya. Sentuhan lembut Ganesha di kening Kamala membuat tubuhnya bergetar hebat. Mata mereka bertemu, hanyut dalam keindahan mata masing-masing.

Senyum sinis Renata terukir di bibirnya saat ia menyaksikan Kamala dan Ganesha mengucapkan janji suci di hadapan penghulu. Mata Renata berkilat tajam, penuh kepuasan. Seolah-olah beban berat yang selama ini membebani hatinya telah terangkat.

"Akhirnya," gumamnya, suaranya penuh kepuasan. "Aku bebas.”

Renata teringat seminggu lalu ….

Ganesha mengusap wajahnya dengan lelah. Sudah berjam-jam ia menatap layar laptop, mencari informasi tentang Kamala Jayanti. Calon istrinya itu selalu membuatnya penasaran. Wajahnya yang selalu tertutup, hanya matanya yang terlihat, membuat Ganesha semakin ingin tahu. Ganesha menggulir layar Instagram Kamala, membaca puisi-puisi yang ditulisnya.

Kata-kata yang indah, penuh makna, seolah menggambarkan jiwa Kamala yang lembut dan dalam. "Ada apa dengan gadis ini?" gumam Ganesha, matanya tertuju pada foto Kamala yang selalu tertutup syal. "Kenapa dia selalu menyembunyikan wajahnya?" Ganesha merasa ada misteri yang tersembunyi di balik wajah tertutup Kamala. Ia semakin penasaran untuk mengungkapnya.

Ganesha menghela napas, matanya tertuju pada alamat Kamala Jayanti yang baru saja ia dapatkan. Ia harus menemukan cara untuk mendekati Kamala. Gue harus berpura-pura menjadi orang miskin," gumam Ganesha, matanya berbinar. Ia punya rencana. Ia akan menyamar menjadi tukang kuli bangunan, agar Mama angkat Kamala tidak curiga.

"Jika Mama angkatnya tahu gue orang kaya, mungkin yang ada dia akan memanfaatkan aku," pikir Ganesha. Ia ingin mendekati Kamala dengan tulus, tanpa embel-embel materi. Ia ingin membuktikan bahwa ia mencintai Kamala karena dirinya, bukan karena kekayaannya.

Sementara itu, Kamala tersenyum tipis, matanya tertuju pada layar ponselnya. Ia baru saja selesai memposting puisi terbaru di Instagram. Ia selalu menyembunyikan wajahnya dalam foto, hanya memperlihatkan matanya dan rambut panjangnya yang terurai.

"Ini cara terbaik untuk menjaga privasi," gumam Kamala, matanya tertuju pada foto yang baru saja ia posting. Ia tak ingin orang-orang mengaguminya karena kecantikannya, ia ingin mereka mengenal jiwanya melalui kata-kata yang ia tulis.

"Aku ingin mereka mencintai aku karena aku, bukan karena wajahku," bisik Kamala, matanya berbinar. Ia ingin mencintai dan dicintai dengan tulus, tanpa embel-embel materi atau kecantikan fisik.

Membawa Kamala

Matahari sore mulai meredup, menyorot jingga keemasan melalui jendela kaca patri ruang tamu mewah itu.  Di dalam, Renata duduk tegak di sofa beludru, membaca majalah mode terbaru.  Rambutnya yang diwarnai pirang berkilauan, berpadu dengan gaun sutra yang mahal.  Kehidupannya adalah sebuah pementasan, sebuah pertunjukan kekayaan dan keanggunan.  Namun, ketenangannya terusik oleh ketukan pintu yang tiba-tiba.

 Ganesha  berdiri di ambang pintu, sosoknya kontras dengan kemewahan ruangan itu.  Kemeja usang yang dihiasi bercak-bercak dan celana jeans belel yang robek menutupi tubuhnya.  Rambutnya kusut, wajahnya penuh dengan garis-garis kasar, dan matanya, meskipun redup, memancarkan aura misterius.  Renata mengerutkan kening, merasa jijik.  Siapa gerangan pria ini?

 "Ada keperluan apa anda ke rumah saya?" tanya Renata, suaranya dingin dan penuh penolakan.  Matanya, yang tajam dan penuh kecurigaan, menatap pria itu dengan jijik.

 Ganesha tersenyum, senyum yang samar, namun mengandung makna yang dalam.  "Kedatangan saya kesini, ingin melamar putri Ibu, yang bernama Kamala Jayanti," ungkapnya, suaranya rendah dan tenang.

Renata terpaku, matanya membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kamala, putrinya yang keras kepala, yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling, ternyata ada yang melamar?

 "Apa saya tidak salah dengar?" tanya Renata, suaranya bergetar, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

 Ganesha, pemuda yang duduk di hadapannya, tersenyum tipis.  "Anda tidak salah dengar. Saya memang benar ingin melamar Kamala."

 Renata menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.  "Saya senang mendengarnya," ucapnya, berusaha agar suaranya terdengar tenang.  "Akhirnya gadis itu ada yang melamar juga.”

 "Tapi…, jika Anda menikahi Kamala, ada 2 syarat yang harus kau penuhi!" ungkap Renata, suaranya bergetar menahan emosi.

 "Apa syaratnya?" tanya Ganesha, suaranya serak.

 "Syarat yang pertama, jangan pernah mengembalikan Kamala ke saya, apapun itu alasannya, saya tidak mau menerima Kamala lagi!" ucap Renata tegas, ia sebenarnya ingin sekali melepaskan Kamala si anak angkat itu.

 "Yang kedua, jaga dia baik-baik," lanjut Renata, ia akan bahagia jika Kamala pergi dari rumah ini dan ia tidak perlu repot-repot mengurus Kamala yang setiap harinya hanya diam di kamar.

Ganesha menarik napas dalam-dalam, matanya menatap Kamala yang duduk di hadapannya.  "Baiklah, saya setuju dan seminggu lagi saya akan menikahinya," ucap Ganesha penuh yakin, suaranya sedikit gemetar, namun tekadnya bulat.

***** 

Suasana haru dan syahdu pernikahan Kamala dan Ganesha perlahan memudar, digantikan oleh kesunyian senja yang menyelimuti rumah besar itu.  Acara akad nikah yang sederhana, tanpa pesta meriah, telah selesai.  Kamala, dengan balutan kebaya putih yang masih menempel di tubuhnya, melangkah gontai menuju kamarnya.  Langkahnya berat, beban perasaan yang tak terungkapkan menyelimuti hatinya.

 Di balik pintu kamar, Kamala merasakan sebuah bayangan mendekat.  Ia menoleh dan mendapati Ganesha, suaminya, berdiri di sana,  wajahnya datar tanpa ekspresi.  Ganesha akan nyelonong masuk ke kamar Kamala,  tapi keburu disadari oleh Kamala.

 “Tuan, mau kemana?” tanya Kamala, suaranya sedikit gemetar.

 “Saya mau masuk kamar,” jawab Ganesha santai,  nada bicaranya datar, tanpa sedikitpun menunjukkan rasa kasih sayang atau kelembutan.

 “Tapi …,” gumam Kamala,  kata-katanya terhenti,  tak berani melanjutkan kalimatnya.

 “Oke, saya mengerti,” ujar Ganesha memotong ucapan Kamala,  suaranya dingin dan tegas.  “Lebih baik kamu segera kemasi barangmu, karena sekarang juga kita pergi ke rumah saya!”  Ganesha memutuskan untuk membawa Kamala malam ini juga,  tanpa peduli dengan perasaan Kamala.

Kamala hanya mengangguk sebagai respon atas perkataan Ganesha,  matanya berkaca-kaca,  menahan air mata yang ingin tumpah.  Ia mengerti,  sudah kewajibannya menuruti perkataan Ganesha.  Mungkin sudah saatnya ia pergi dari rumah ini,  mencari kebahagiaan yang selama ini tidak ia dapatkan.  Kebahagiaan itu hilang ketika ayah angkatnya pulang untuk selamanya,  meninggalkan Kamala dalam kesedihan yang mendalam.

 Kamala melangkah gontai menuju lemari,  mengeluarkan pakaian dan barang-barangnya.  Tangannya gemetar,  hatinya  terasa kosong dan hampa.  Ia tak tahu apa yang menanti di depan,  namun ia yakin,  hidupnya akan jauh lebih baik jika ia meninggalkan rumah ini,  meninggalkan masa lalunya yang penuh dengan kesedihan.

 Ganesha hanya diam,  menatap Kamala dengan tatapan dingin.  Ia tak peduli dengan perasaan Kamala,  yang penting,  ia mendapatkan apa yang ia inginkan.  Ia ingin membawa Kamala ke rumahnya,  menjadikan Kamala sebagai miliknya.

 "Bisa lebih cepat, gak?" tanya Ganesha kesal melihat Kamala yang sangat lambat ketika mengemasi barang-barangnya. Suaranya dingin dan menusuk,  menimbulkan rasa takut di hati Kamala.  Ia  menatap Kamala dengan tatapan tajam,  menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kelambanan Kamala.

 Mendengar teguran dari Ganesha, Kamala mempercepat mengenai barangnya,  ia tidak mau membuat Ganesha kesal lagi.  Ia takut akan kemarahan Ganesha,  takut akan sikap dingin dan tak berperasaan yang selalu ditunjukkan Ganesha.  Tangannya gemetar,  mencoba untuk  mempercepat gerakannya,  namun  rasa takut dan ketidakberdayaan  menyelimuti hatinya.

 "Saya sudah siap, Tuan," ucap Kamala sambil menyerah kopernya.  Suaranya gemetar,  menunjukkan rasa takut dan ketidakberdayaan.  Ia menunduk,  tak berani menatap mata Ganesha,  takut akan kemarahan yang mungkin akan meledak kapan saja.

Ganesha mengambil alih koper yang dibawa oleh Kamala.  Melihat tindakan Ganesha membuat Kamala tersentuh,  ternyata di balik wajahnya yang sangat dingin dan tak berperasaan,  ada sisi lembutnya.  Ganesha, dengan gerakan yang cepat dan pasti,  mengangkat koper itu dan berjalan mendahului Kamala.

 Mereka berjalan berdampingan melewati ruang-ruang  di dalam rumah dan tiba mereka melewati Renata dan Davina juga yang baru pulang dari luar negeri.

 “Selamat atas pernikahannya adekku, semoga kau bahagia! “ ucap Davina dengan senyuman sinis,  ia merasa senang melihat Kamala menikah,  apalagi ia melihat suaminya Kamala yang tampan usang dan kampungan,  membuatnya tertawa bahagia.  Namun,  di balik tawa itu ia mengejek Kamala yang kurang beruntung memiliki suami yang miskin.

 Kamala merasakan aura ketidaksukaan dari Davina,  namun,  ia tetap bersikap baik.  “Terima kasih, kak, “ ucapnya,  suaranya lirih,  menunjukkan rasa sedih dan kecewa.  Ia menunduk,  menghindari tatapan Davina yang tajam dan menusuk.

Kamala, gadis sederhana dengan hati yang lembut, muncul di ambang pintu, didampingi oleh Ganesha, suaminya yang miskin. Ganesha, pria dengan mata yang penuh cinta dan tekad,  menuntun Kamala dengan lembut, tangannya menggenggam erat tangan Kamala.

 Renata dan Davina menatap Kamala dengan tatapan dingin.  Mereka memandang rendah Ganesha, menganggap pria itu tidak pantas untuk Kamala.  "Jika sudah pergi jangan pernah datang kembali!" sindir Renata, suaranya berbisik namun tajam, menusuk hati Kamala yang tengah berjalan menjauh.

 Ganesha hanya tersenyum sinis, bisa-bisanya keluarga Kamala bicara seperti itu! "Saya akan memastikan, jika Kamala tidak akan pernah datang kembali lagi!" bisiknya, matanya berkilat dengan tekad yang kuat.

 Kamala berjalan mendekat, hatinya berdesir. Ia mengulurkan tangan pada Renata, ingin mengucapkan selamat tinggal, namun Renata menepisnya dengan kasar. "Saya tidak sudi salaman dengan gadis buruk rupa!" desisnya, suaranya pelan namun menusuk.

 Kamala mencoba lagi, kali ini pada Davina, saudara perempuan Kamala. Namun, Davina juga menepis tangan Kamala dengan jijik. "Gue gak sudi salaman sama orang kumuh macam lo!" ejeknya, suaranya penuh dengan kebencian.

 Air mata berkilauan di mata Kamala, namun ia tetap tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang menusuk hatinya. "Ma, kak aku pamit. Semoga kalian selalu sehat dan bahagia," ucap Kamala, suaranya bergetar menahan tangis.

 Kamala berbalik, melangkah, meninggalkan rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Di sana, ia hanya dipenuhi dengan rasa benci dan hinaan. Namun, di hati Kamala, masih ada secercah harapan. Harapan untuk membangun kehidupan baru bersama Ganesha, suaminya yang sederhana namun penuh cinta.

 Ganesha, dengan lembut menarik tangan Kamala, menggenggamnya erat seolah memberikan kekuatan dan semangat pada Kamala.  Sentuhan itu, sentuhan pertama dari seorang pria, membuat Kamala tersentak.  Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasakan aliran listrik yang menyengat mengalir di tubuhnya.  Kulitnya terasa panas dingin, dan tangannya kaku.

 Ganesha merasakan kegugupan Kamala. Ia melirik Kamala sambil berbisik, "Sebaiknya kita cepat pergi. Tidak ada gunanya lagi kehadiran kita di rumah ini!"  Ia sengaja meninggikan suaranya, menyindir Renata dan Davina yang masih menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian.

 Mereka pun berjalan keluar rumah, meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan pahit.  Di luar, sebuah taxi online sudah menunggu.  Ganesha membuka pintu mobil dan membantu Kamala masuk.  Ia duduk di samping Kamala, tangannya masih menggenggam erat tangan Kamala.

 Mobil melaju meninggalkan rumah mewah itu, membawa Kamala dan Ganesha menuju kehidupan baru mereka.  Di dalam mobil, Kamala menunduk, air mata mengalir di pipinya.  Namun, di balik air mata itu, ada secercah harapan.  Harapan untuk membangun kehidupan baru, kehidupan yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan bersama Ganesha.

Ini Wajah Asli Saya, Tuan

Mobil taxi online berhenti di depan rumah megah dan modern yang memiliki 5 lantai.  Kamala, yang baru keluar dari mobil, tercengang.  Matanya membulat sempurna, menatap rumah itu dengan tak percaya.  Rumah itu berdiri gagah di atas lahan yang luas, dihiasi taman yang indah dan kolam renang yang berkilauan.  Pintu gerbang yang terbuat dari besi tempa terbuka lebar, memperlihatkan kemegahan rumah itu.

  "Tuan, kenapa kita kesini?" tanya Kamala, suaranya sedikit gemetar,  seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.  

Ganesha, yang berdiri di samping Kamala, tersenyum lebar.  Akhirnya, ia bisa bernafas lega.  Ia tidak akan menyembunyikan identitas aslinya lagi.  Ia sebenarnya bukanlah tukang bangunan, melainkan pemilik perusahaan arsitektur, Steel Cedar Inc.

 "Kita kesini untuk tinggal," jawab Ganesha santai, sambil melangkahkan kaki menuju pintu masuk rumah.

 "Maksudnya?" tanya Kamala, masih merasa bingung.

 "Saya pemilik orang ini, Kamala! Kamu pikir, saya ini orang miskin gitu!" jawab Ganesha, suaranya penuh dengan canda.  Ia menarik tangan Kamala dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Kamala terdiam, matanya masih tertuju pada rumah megah itu.  Ia tidak percaya bahwa Ganesha, pria yang ia ketahui sebagai tukang bangunan sederhana, adalah pemilik rumah mewah ini.  Ia teringat kembali pada kata-kata Renata dan Davina yang meremehkan Ganesha karena kemiskinannya.

 Ganesha menggandeng tangan Kamala, mengajaknya masuk ke dalam rumah.  Di dalam, Kamala disambut oleh kemewahan yang luar biasa.  Ruangan-ruangan yang luas, dihiasi dengan perabotan mahal dan karya seni yang indah.  Kamala terkesima, hatinya berdebar kencang.  Ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan tinggal di rumah semewah ini.

 "Ini rumah saya, Kamala," ujar Ganesha, "Saya membangunnya sendiri dengan keringat dan jerih payah saya."

 Kamala terdiam, matanya berkaca-kaca.  Ia terharu melihat kesungguhan Ganesha.  Ia tidak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini ia cintai memiliki kehidupan yang begitu sukses.

 "Saya tidak pernah bermaksud untuk menyembunyikan identitas asli saya darimu, Kamala," jawab Ganesha jujur, suaranya sedikit bergetar.

Kamala mengangguk, hatinya dipenuhi rasa haru.  Ia mencintai Ganesha bukan karena kekayaannya, tetapi karena kebaikan hatinya dan kesungguhannya dalam bekerja.

 "Sekarang, ayo kita masuk," ajak Ganesha, "Saya ingin menunjukkan seluruh rumah ini padamu."

 Kamala mengangguk, ia mengikuti Ganesha masuk ke dalam rumah.  Ia berjalan menyusuri lorong yang dihiasi dengan lukisan-lukisan indah.  Ganesha menunjukkan setiap ruangan, mulai dari ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, hingga kamar tidur.

 "Kamar ini untukmu," ujar Ganesha, menunjukkan sebuah kamar yang luas dan mewah.  Kamar itu dihiasi dengan perabotan yang elegan dan pemandangan taman yang indah.

 Kamala terkesima, ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan memiliki kamar semewah ini.  Ia tersenyum, hatinya dipenuhi rasa bahagia.

 "Terima kasih, Tuan," ucap Kamala, suaranya bergetar karena haru.

Ganesha, dengan wajah yang memancarkan kasih sayang, mencium kening Kamala dengan lembut. "Tidak perlu berterima kasih, ini juga rumahmu," bisiknya, suaranya lembut seperti deburan ombak di pantai.

 

Sepasang suami istri yang sudah halal dalam segala hal, namun sang suami sama sekali belum pernah melihat wajah istrinya. Sebuah misteri yang terselubung dalam kain sutra.

 

Mata Ganesha tertuju pada syal yang menutupi wajah Kamala. Rasa penasaran menggerogoti hatinya. Ia mengulurkan tangan, jari-jarinya menelusuri kain sutra yang lembut. "Izinkan saya untuk melihat wajahmu!" ucap Ganesha, suaranya sedikit bergetar.

 Kamala, yang selama ini menyimpan rahasia di balik syal itu, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia sadar, sudah waktunya Ganesha tahu wujud wajah aslinya. Dengan ragu, ia mengangguk mengizinkan Ganesha membuka syalnya.

Jari-jari Ganesha gemetar saat ia membuka lipatan syal terakhir.  Detik berikutnya, wajah Kamala terungkap, cantik dan bersinar, namun sebuah kejutan menghantam Ganesha. Di kedua pipinya, terdapat tanda lahir berwarna merah yang mencolok, dan di bawah matanya, bekas luka yang samar terukir.

 Ganesha terdiam, matanya terbelalak tak percaya.  "Ka … ma … la, kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya, suaranya bergetar menahan kekecewaan.

 Kamala merasakan jantungnya mencelos.  Ia sudah menduga reaksi Ganesha, namun rasa sakit tetap menusuk hatinya.  "Ini wajah asli saya, Tuan!" jawabnya, suaranya terbata-bata.

 Sebuah keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara detak jantung mereka yang terdengar.  Momen yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan, berubah menjadi kekecewaan yang pahit.  

Apakah cinta Ganesha akan bertahan menghadapi kenyataan ini?

Ganesha berlari keluar rumah,  langkah kakinya berat,  menyeret beban perasaan yang tak terungkapkan.  Ia perlu menenangkan diri,  mencoba untuk  mencerna kenyataan pahit yang baru saja  ia  hadapi.

 Kamala,  istrinya,  tak  secantik  yang  ia  bayangkan.  Syal putih yang  selalu  menutupi  wajah  Kamala  terkuak,  menyingkap  tanda  lahir  merah  menyala  di  kulitnya  dan  bekas  luka  di  bawah  matanya.  Ganesha  terkejut,  kecewa.  Ia  menginginkan  istri  yang  cantik,  yang  bisa  membanggakannya  di  mata  teman-temannya.

Namun,  di balik kekecewaan itu,  Ganesha  melihat  sepasang  mata  yang  indah.  Mata  itu  berbinar-binar,  mencerminkan  jiwa  yang  lugu  dan  tulus.  Mata  itu  menarik  perhatian  Ganesha,  mengingatkannya  pada  keindahan  yang  tak  terlihat,  keindahan  yang  tersembunyi  di  balik  luar  yang  tak  sempurna.

 Ganesha  berlari  ke  garasi,  masuk  ke  dalam  mobil  sportnya  dan  berlalu  meninggalkan  rumah,  meninggalkan  Kamala  di  malam  pertama  pernikahan  mereka.  Ia  perlu  waktu  untuk  menenangkan  diri,  untuk  mencoba  memahami  perasaannya  yang  bercampur  aduk.  Ia  perlu  waktu  untuk  mencari  jawaban  atas  pertanyaan  yang  menghantui  pikirannya.

 Apakah  ia  bisa  mencintai  Kamala,  gadis  yang  tersembunyi  di  balik  syal  putih  itu?

Kamala terduduk di lantai,  punggungnya menempel pada pintu kamar,  tangisnya pecah,  menyeruak  keheningan malam.  Ia  menangisi  keadaannya  yang  menyakitkan.  Ternyata,  suaminya  sendiri  pun  merasa  jijik  dengannya.

 Ganesha,  pria  yang  baru  saja  menikahi  Kamala,  meninggalkan  rumah  tanpa  sekalipun  menoleh  ke  belakang.  Ia  tak  mampu  menahan  kekecewaan  yang  menyergap  hatinya  saat  melihat  wajah  Kamala  yang  tak  sempurna.

 Kamala  menutupi  wajahnya  dengan  tangan,  air  matanya  mengalir  deras,  membasahi  syal  putih  yang  selalu  menutupi  wajahnya.  Ia  merasa  terpuruk,  terjatuh  ke  dalam  lubang  kesedihan  yang  dalam.

 "Tuhan, kapan aku bisa bahagia!"  gumam  Kamala  terisak  dengan  air  mata.  Ia  merasa  tak  berdaya,  tak  berharap  lagi  pada  kebahagiaan.  Ia  hanya  bisa  menyerahkan  segalanya  pada  takdir,  mengharapkan  keajaiban  yang  mungkin  tak  akan  pernah  terjadi.

 Namun, di tengah kesedihannya,  sebuah suara lembut  menembus  kesunyian.  "Kamala,  kamu kenapa?"

Kamala  menoleh,  matanya  melihat  seorang  wanita  tua  berdiri  di  pintu  kamar.  Wanita  itu  adalah  Nenek Ganesha.

 “Nek,  aku...  aku  sedih,"  ucap  Kamala,  suaranya  bergetar,  menahan  tangis  yang  ingin  meletus  kembali.

 Nenek Gamita mendekati  Kamala,  menarik  gadis  itu  ke  dalam  pelukannya.  "Tenanglah,  Kamala.  Nenek  disini  untukmu,"  bisik  Nenek Gamati,  menenangkan  hati  Kamala  yang  terluka.

 Nenek Gamati  tahu  segalanya.  Ia  tahu  tentang  permainan  kartu  yang  menjadikan  Kamala  sebagai  taruhan.  Ia  tahu  tentang  kekecewaan  Ganesha  yang  menyakitkan  hati  Kamala.

 "Ganesha  butuh waktu untuk menerima kondisimu,"  ucap  Renata,  suaranya  tegas,  menunjukkan  keberaniannya.  "Kau  pantang  untuk  sedih,  Kamala.  Kau  gadis  yang  kuat,  kau  punya  keindahan  yang  tak  terlihat  oleh  mata  biasa.  Kau  harus  percaya  pada  dirimu  sendiri."

 Nenek  menarik  Kamala  ke  cermin.  Ia  menunjuk  mata  Kamala  yang  berbinar.  "Lihatlah,  matamu  indah,  mencerminkan  jiwa  yang  luhur.  Kau  tak  perlu  menutupi  wajahmu,  Kamala.  Kau  indah  dengan  segala  kekuranganmu."

 Nenek Gamita mencoba  menenangkan  Kamala.  Ia  tahu  bahwa  jalan  yang  menanti  Kamala  tak  akan  mudah.  Namun,  ia  bertekad  untuk  selalu  ada  di  samping  Kamala,  memberinya  kekuatan  dan  semangat  untuk  menghadapi  segalanya.

Nenek Gamita menuntun Kamala ke kamarnya,  tangannya yang keriput  mencengkeram  lembut  tangan  Kamala.  Ia  menuntun  Kamala  dengan  hati-hati,  seolah  menjaga  sebuah  benda  yang  sangat  berharga.

 "Sebaiknya,  kamu  istirahat  dan  jangan  menunggu  Ganesha  pulang,"  ucap  Nenek  Gamita,  suaranya  lembut  dan  menenangkan.  Ia  tahu  betul  sifat  cucunya  yang  nakal,  tidak  pulang  semalaman  itu  sudah  hal  biasa  dan  ia  tidak  pernah  menegurnya,  karena  percuma  ia  menegur,  hanya  buang-buang  tenang  saja.  Ia  membebaskan  cucunya,  dan  tidak  ikut  campur  dalam  urusannya,  ia  hanya  menyimak  saja  dan  diam-diam  memantaunya  dari  kejauhan.

 Kamala  menangguk,  ia  tidak  akan  banyak  bertanya,  karena  ia  cukup  sadar  diri,  Ganesha  butuh  waktu  sendiri  seperti  dirinya  juga  yang  membutuhkan  waktu  sendiri.  Ia  merasa  takut  dan  sedih,  namun  ia  tak  mau  menunjukkan  kelemahannya  di  depan  Nenek  Gamita.

 Nenek  Gamita  menatap  Kamala  dengan  tatapan  penuh  kasih  sayang.  Ia  melihat  kesedihan  yang  tersembunyi  di  balik  senyum  palsu  Kamala.  Ia  tahu,  Kamala  terluka,  hatinya  tergores  oleh  perbuatan  Ganesha.

 Nenek  Gamita  menarik  Kamala  ke  pelukannya.  "Jangan  sedih,  Kamala,"  bisik  Nenek  Gamita,  suaranya  menenangkan.  "Aku  di  sini  untukmu.  Aku  akan  selalu  menjagamu."

 Nenek  Gamita  melepaskan  pelukannya,  menatap  mata  Kamala  dengan  tatapan  yang  penuh  kehangatan.  "Kamu  gadis  yang  kuat,  Kamala.  Kamu  bisa  melewati  segalanya.  Percayalah  pada  dirimu  sendiri."

 Nenek  Gamita  mencium  kening  Kamala  dengan  lembut.  "Istirahatlah,  Kamala.” 

Nenek  Gamita  meninggalkan  kamar  Kamala,  meninggalkan  gadis  itu  sendiri  dengan  segala  perasaannya.  Ia  tahu,  jalan  yang  menanti  Kamala  tak  akan  mudah.  Namun,  ia  bertekad  untuk  selalu  ada  di  samping  Kamala,  memberinya  kekuatan  dan  semangat  untuk  menghadapi  segalanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!