...01...
Ruangan itu tampak hancur, jejak amukan jelas terlihat di setiap sudut. Kursi-kursi terguling, dengan kaki-kakinya patah seakan ditendang dengan penuh amarah. Pecahan vas porselen berserakan di lantai marmer yang kini penuh dengan serpihan kaca dan debu tebal.
Meja-meja yang tadinya rapi kini berantakan, dokumen-dokumen yang terlipat rapi beterbangan dan berserak tak karuan, sebagian sobek akibat kekuatan tangan yang melemparkannya. Tirai jendela berkibar, sebagian robek, seolah tak kuat menahan kekacauan yang terjadi di dalam.
Di sudut ruangan, para pelayan berdiri kaku. Mereka menundukkan kepala, wajah mereka pucat pasi dengan keringat dingin mengalir di pelipis, tak berani mengangkat pandangan.
Tubuh mereka tampak gemetar halus, tak satu pun dari mereka berani bergerak atau bersuara, hanya bisa berharap agar amukan itu mereda. Sesekali terdengar suara pelan dari kaki yang menggeser pecahan keramik di lantai, namun cepat-cepat dihentikan, takut membuat suasana semakin mencekam.
Ruangan itu, yang tadinya menjadi lambang ketenangan dan kekuasaan, kini hanya menyisakan sisa-sisa kehancuran dan rasa takut yang membekas di setiap sudutnya.
Liora Ravenscroft duduk di sofa dan tertidur setelah puas mengacak-acak ruangan tersebut. Wajah cantiknya yang rupawan tampak kontras dengan pakaian yang ia kenakan saat itu.
Sayangnya, kepribadian buruk yang ia miliki membuat penampilan menawan saja tidak cukup untuk membuatnya terlihat baik di mata siapa pun.
Para pelayan yang baru saja menerima perlakuan kasar dari Liora tidak berani bergerak sedikit pun, berdiri diam di tempat. Mereka seolah berhadapan dengan seorang pemangsa yang buas dan tak terkendali.
Diam dan menunduk tampaknya menjadi satu-satunya pilihan yang bisa mereka ambil.
Beberapa saat kemudian, Liora terbangun dari tidurnya, mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya.
Para pelayan yang melihatnya segera dilanda ketakutan yang lebih dalam, tubuh mereka semakin gemetar, dan mereka pun semakin menunduk.
"Hais, di mana ini...?" gumam Liora, menyapu pandangannya ke sekeliling dengan mata cerahnya.
"Kenapa ruangan ini begitu berantakan?" gumam Liora, bingung. "Hei, kau. Kenapa ruangan ini berantakan sekali?" tanyanya pada salah satu pelayan di sebelahnya.
Pelayan yang masih diliputi ketakutan hanya bisa menjawab dengan terbata-bata.
"K-ka-karena, karena..." ucapnya, namun tak mampu melanjutkan.
Liora yang melihat reaksi tersebut merasa heran. Ia memicingkan matanya, seolah kebingungan dengan perilaku para pelayan di sekitarnya.
"Lupakan. Sekarang jawab aku, di mana ini? Mengapa kalian memakai pakaian pelayan sementara aku mengenakan gaun seperti ini? Apakah kita sedang bersiap-siap untuk sebuah drama?" tanya Liora, memberikan pertanyaan yang semakin membuat para pelayan kebingungan.
Para pelayan saling bertukar pandang, bingung dengan pertanyaan aneh dari majikan mereka.
"A-a-anu, My Lady. Saya tidak mengerti maksud dari perkataan My Lady," jawab salah satu pelayan dengan gugup.
Liora memiringkan kepalanya, seolah ikut bingung mendengar jawaban pelayan tersebut.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi? Mengapa suasana di sini sangat aneh?" pikir Liora, sementara berbagai pertanyaan berputar di kepalanya.
Di tengah kebingungannya yang semakin memuncak, Liora kembali menyapu ruangan itu dengan tatapan penuh rasa penasaran.
Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada sebuah cermin retak, dan di sana, ia melihat pantulan dirinya.
Kaget bukan kepalang, mata Liora membulat ketika melihat sosok yang begitu berbeda dari dirinya. Ia mendekati cermin itu dengan tergesa-gesa, meraba wajahnya yang kini tak lagi sama.
"A-apa yang terjadi? Di mana wajah Asia itu? Mengapa wajahku berubah menjadi wajah orang Eropa?" bisiknya tercekik.
Melihat keanehan Liora, para pelayan yang ada di sekitarnya semakin cemas. Mereka saling bertukar pandang, namun tak ada satu pun yang berani bersuara.
"Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi padaku setelah aku pingsan karena kelelahan bekerja? Apakah aku mati, lalu merasuki tubuh ini?" pikirnya, masih diliputi kebingungan yang mendalam.
Tatapannya segera beralih ke salah satu pelayan. Ia mendekati pelayan itu dengan langkah tergesa-gesa, membuat pelayan yang dituju semakin ketakutan.
"Selain kau, semua keluar dari sini!" perintahnya dengan suara tegas.
Tanpa ada penolakan, para pelayan langsung keluar dari ruangan, kecuali pelayan yang ia tahan.
Pelayan yang kini berdiri di hadapan Liora dilanda ketakutan yang mendalam. Keringat bercucuran di keningnya, wajahnya pucat, dan tubuhnya bergetar.
"Heh, bantu aku mengingat semua ingatanku," ucap Liora sambil duduk di sofa.
Pelayan yang mendengar hal itu pun tampak kebingungan. Ia mengangkat pandangannya sedikit, melihat Liora dengan penuh rasa takut.
"Apa yang ingin My Lady ketahui?" tanya pelayan itu, tak berani mempertanyakan alasan mengapa Liora sampai melupakan ingatannya.
"Siapa namaku, apa nama belakangku, dan... kenapa ruangan ini berantakan?" tanya Liora, sempat terdiam sejenak sambil menyapu pandangannya ke seluruh ruangan dengan tatapan tajam.
"Nama My Lady adalah Liora Ravenscroft. My Lady adalah putri bungsu dari Grand Duke Dimitri Ravenscroft. Dan... My Lady baru saja mengamuk, mengacak-acak ruangan ini," jawab pelayan itu, meskipun masih cemas akan kemungkinan Liora menganiayanya.
Keningnya berkerut, kebingungan menyelimuti pikirannya. Nama itu terdengar familiar, tapi ia tidak pernah membaca novel, apalagi menonton drama. Jadi, dari mana ia mengenal nama tersebut?
"Kenapa aku mengacak-acak ruangan ini? Apa alasannya?" tanya Liora lagi, semakin dalam rasa penasarannya.
"K-karena, My Lady baru saja dijatuhi hukuman skors selama tiga hari oleh Baginda Grand Duke," jawab pelayan itu dengan suara gemetar.
"Baiklah, aku mengerti," ujar Liora tanpa protes, membuat pelayan yang sedang menjelaskan merasa heran.
Biasanya, Liora akan mengamuk seperti orang gila dan menganiaya para pelayan untuk melampiaskan amarahnya. Namun, sekarang ia tampak tenang, lebih banyak berpikir.
"Apa yang kulakukan hingga aku terkena hukuman skors?" tanyanya lagi.
"Karena... My Lady diduga telah meracuni kekasih tunangan My Lady, yaitu kekasih Putra Mahkota," jelas pelayan itu dengan suara ragu dan penuh kecemasan.
!!
Liora terkejut mendengar penjelasan tersebut. Ia tidak menyangka akan mendengar tuduhan yang begitu tidak masuk akal.
"Sudah sangat pantas dia diracuni, sial*n! Apa-apaan ini!" geram Liora, sambil memijat pelipisnya dengan frustrasi.
"Maafkan hamba, yang mulia. Kesalahan hamba mengatakan hal itu!" pelayan itu tiba-tiba berteriak lalu bersujud dengan tubuh gemetaran.
Liora yang mendapatkan reaksi yang terlebih itu tercengang, menatap pelayan dengan heran.
"Kenapa kau bersujud? Tidak ada yang marah, bangunlah!" perintah Liora sedikit kesal seolah dirinya sedang menganiaya pelayan tersebut, padahal dia hanya bertanya saja.
Pelayan itu bangun dengan perlahan, matanya merah seolah sedang menahan tangisannya.
"Lalu, siapa namamu?" tanya Liora.
Pelayan yang tak terbiasa mendapatkan pertanyaan tersebut hanya bisa memberikan reaksi terkejutnya. Biasanya tidak akan ada bangsawan yang bertanya siapa nama dari pelayan yang melayani nya. Namun, Liora tiba-tiba saja bertanya seolah dia tertarik.
"Nama saya adalah Saina, My Lady"
^^^TO BE CONTINUED^^^
...02...
Kamar yang semula hancur lebur akibat amukan seseorang kini telah mengalami perubahan drastis. Kekacauan yang menyelimuti ruangan, barang-barang berserakan, lemari yang terbuka, dan meja yang tertutup oleh tumpukan barang, satu per satu disingkirkan dengan cekatan. Pelayan yang telaten bekerja tanpa henti, mengembalikan kondisi kamar ke keadaan yang tertata rapi.
Perabotan yang sebelumnya berantakan kini diletakkan kembali pada tempatnya, dan lantai yang tertutup oleh barang-barang kini bersih, menyisakan permukaan yang mengkilap.
Tirai yang berantakan kini terpasang dengan rapi, membiarkan cahaya matahari pagi menyinari ruangan. Buku-buku yang berserakan di lantai telah dikembalikan ke raknya dengan tertib. Meja yang sebelumnya penuh dengan barang-barang yang tidak pada tempatnya kini tertata bersih, dengan dokumen-dokumen tersusun rapi.
Di balik perubahan ini, kerja keras pelayan yang penuh perhatian dan dedikasi terlihat jelas. Mereka telah berhasil mengubah kekacauan menjadi ketertiban dengan tangan mereka yang cekatan dan mata yang tajam. Ruangan yang tadinya hancur kini menampilkan ketenangan dan kerapian, berkat upaya tanpa lelah mereka.
Liora Ravenscroft duduk di sofa kamarnya, merenungi semua hal yang terjadi padanya hingga mengubah hidupnya dalam sekejap. Tatapan matanya kosong, tertuju pada buku tebal dengan sampul berwarna hijau tua.
Buku itu mengisahkan tentang sejarah Kerajaan Valoria, tempatnya menjalani kehidupan keduanya. Liora berniat untuk mengulik semua informasi yang ada, agar dia tidak terlihat seperti orang bodoh yang baru melihat dunia.
"Sialan, di kehidupan pertamaku, aku terlalu banyak belajar dan bekerja hingga meninggal dunia. Jangan sampai di sini aku meninggal lagi karena banyak belajar!" ucapnya pelan dengan frustrasi.
Gila rasanya, tiba-tiba terlempar ke dunia yang berbeda dan menjadi seorang putri bungsu dari Grand Duke yang agung.
"Saina sudah menjelaskan semuanya padaku. Rupanya aku memiliki sifat yang sangat buruk. Tapi... Tidak ada alasan bahwa aku pantas diselingkuhi! Wajar saja jika Liora kesal, tunangannya saja memiliki kekasih lain selain dirinya! Dasar berandal bajingan, aku akan memukulmu di tempat yang tepat sehingga masa depanmu terganggu!" kesal Liora, melampiaskan kekesalannya pada sebuah cangkir teh di meja.
KRAK!!
Cangkir teh itu secara mengejutkan retak hanya karena Liora meremasnya dengan sedikit tenaga. Tidak bisa dijelaskan betapa terkejutnya dia.
"Apa-apaan... Kenapa cangkir ini mudah pecah?" gumam Liora heran. "Hah, semakin lama semakin aneh tempat ini!" lanjutnya.
Dia kembali bersandar di sofa dengan perasaan yang semakin frustrasi. Berharap dengan bersandar, perasaannya akan semakin membaik. Namun, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan memperlihatkan butler (kepala pelayan) memasuki kamarnya.
"Nona Muda, saya datang untuk menyampaikan pesan dari Baginda Grand Duke, bahwa Nona Muda diminta untuk menghadap beliau," ucap sang butler sedikit tidak sopan.
Tanpa mengetuk pintu, tanpa menunduk memberi salam, dan berani mengarahkan tatapan kepada Liora, sungguh tidak sopan. Liora yang berasal dari dunia modern saja tahu bahwa sikap itu tidak sopan. Dia memicingkan tatapannya pada sang butler.
Tersenyum sinis, Liora berkata sarkastis, "Sungguh sikap yang sangat sopan, ya, Butler. Sepertinya pengajaran yang kau terima benar-benar yang terbaik."
Butler hanya diam dengan wajah datarnya. Bukan berarti ia tidak paham maksud Liora, namun butler pribadi Grand Duke yang terkenal memiliki kepribadian tenang dan tajam itu memilih untuk diam dan tidak terpengaruh.
"Ck! Baiklah, pergi saja duluan. Aku akan menyusul nanti," ucap Liora pasrah menghadapi butler yang sulit untuk dihadapi ini.
"Kalau begitu, saya pamit undur diri, Nona Muda."
Liora hanya menatap punggung sang butler yang kini perlahan menghilang, ditelan oleh ambang pintu. Perasaan kesal, heran, dan bingung telah ia rasakan. Bagaimana caranya menghadapi Grand Duke nanti? Karena dia tidak mengetahui hubungan sebenarnya antara Liora dan Dimitri.
Hubungan seperti apa yang mereka miliki sehingga membuat Liora ragu untuk menghadapinya? Apakah dia harus bersikap sok akrab atau hormat layaknya seorang bangsawan?
"Aku harus memberikan reaksi seadanya demi melindungi nyawaku. Aku tidak tahu, orang seperti apa Grand Duke itu, aku tidak boleh salah langkah," ucapnya hampir berbisik.
...****************...
Di dalam kediaman Grand Duke, suasana ruangan tampak damai dan teratur. Langit-langit yang tinggi dihiasi dengan ukiran indah, dan sinar matahari yang lembut masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan permainan cahaya yang menenangkan di atas lantai marmer yang berkilauan.
Di sepanjang dinding, rak-rak buku penuh dengan karya-karya klasik dan manuskrip berharga, menambah nuansa tenang namun sarat dengan pengetahuan.
Namun, di balik ketenangan yang tampak, terdapat aura ketegasan yang tak bisa diabaikan. Ruangan itu seolah memancarkan sebuah kekuatan dan kepemimpinan yang menggetarkan, membuat setiap benda di dalamnya seakan berdiri tegak dalam hormat.
Grand Duke sendiri, meskipun berusia lebih dari empat puluh tahun, memiliki wajah yang tampak seperti pemuda berusia dua puluh lima tahun. Ciri-ciri wajahnya tetap tajam dan tampan, dengan mata yang tajam dan penuh wibawa, dan kulit yang tampak awet muda.
Aura yang tak terbatas yang mengelilinginya membuatnya seolah tidak mengalami penuaan. Setiap gerakan dan tatapan yang dikeluarkannya memancarkan kekuatan dan kebijaksanaan yang mengesankan.
Di meja besar yang terletak di tengah ruangan, tumpukan dokumen dan berkas yang menumpuk menunjukkan betapa sibuknya Grand Duke. Dia dengan tekun memeriksa setiap lembaran, tangan terampilnya bergerak cepat dari satu dokumen ke dokumen lainnya.
Setiap detik berharga bagi Grand Duke, dan meskipun tampaknya terbenam dalam pekerjaan, keberadaan dan karismanya tidak pernah meredup.
Ruangan ini, meskipun tenang, adalah tempat di mana kekuatan dan kecerdasan bersatu dalam harmoni yang sempurna, mencerminkan sosok Grand Duke yang memimpin dengan tangan yang kuat namun penuh kebijaksanaan.
Suasana ruangan yang sunyi tiba-tiba dipecahkan oleh suara ketukan pintu.
Tok Tok Tok...
"Masuklah," ucap Dimitri dengan suara pelan namun tegas.
Pintu ruangan terbuka perlahan, memperlihatkan Liora yang sedang mengintip sebelum akhirnya masuk ke dalam. Dengan sikap canggung, Liora membungkuk sedikit untuk memberikan hormat.
"Selamat siang, Yang Mulia," ucapnya dengan keanggunan khas seorang bangsawan.
Namun, sapaan tersebut tidak mendapatkan balasan. Dimitri tetap sibuk dengan berkas-berkasnya. Liora, yang merasakan ketidakpedulian itu, memutuskan untuk berbicara lagi.
"Saya di sini—" namun ia belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika Dimitri menyela.
"Ini adalah surat pembatalan pertunangan," ucap Dimitri dengan nada berat. "Kau dan Putra Mahkota resmi berpisah."
Liora terpaku, menatap surat itu dengan tatapan kosong. Meskipun di dalam hatinya ia bersorak gembira karena perpisahan ini menguntungkannya, penampilannya justru menunjukkan kesedihan dan frustasi. Dimitri, yang melihat ekspresi Liora, mengira putrinya sedang patah hati.
"Liora?" panggil Dimitri, membuat lamunan Liora buyar.
"I, iya, Yang Mulia?" jawab Liora, masih berusaha mempertahankan ekspresi wajahnya.
Dimitri terdiam sejenak, melihat putrinya dalam kondisi yang tampak berantakan. Dia merasa khawatir dengan perasaan putri bungsunya, namun dia tidak punya pilihan selain memisahkan Liora dari Putra Mahkota yang terang-terangan berselingkuh.
"Lupakan saja, dan kembali ke ruangan mu," ucap Dimitri.
"Baiklah, Yang Mulia. Jika begitu, saya pamit undur diri," jawab Liora sebelum meninggalkan ruangan.
Dimitri menatap punggung putrinya saat ia pergi, perasaan bertanya-tanya mengisi pikirannya.
"Mengapa Liora memanggilku 'Yang Mulia' dan bukan 'Ayah,' seperti biasanya?" gumam Dimitri dengan penuh rasa ingin tahu, seolah dirinya baru saja kehilangan sesuatu.
Penampilan Grand Duke Dimitri Ravenscroft :
^^^TO BE CONTINUED^^^
...03...
Sesaat setelah Liora keluar dari ruangan, hatinya dipenuhi kebahagiaan. Namun, tanpa diduga, di depan pintu, berdirilah Beans Ravenscroft, putra pertama Grand Duke, kakak dari Liora Ravenscroft.
!!
Liora terdiam, mematung saat melihat sosok pria yang tampak asing namun berpakaian seperti bangsawan. Ia tidak mengenal pria gagah yang kini berdiri di hadapannya.
Beans Ravenscroft berdiri dengan sikap yang jauh dari ramah. Matanya yang gelap memancarkan ketegangan yang tak terucapkan, tatapannya tajam, seakan-akan Liora adalah musuh yang harus diwaspadai.
Ia tidak berkata sepatah kata pun, hanya menyuguhkan keheningan yang mencekam, membuat suasana semakin dingin. Setiap gerakan Beans tampak terkendali, penuh perhitungan, namun Liora justru terfokus pada detail yang berbeda.
Rambut hitam panjang Beans berkilau di bawah cahaya lilin. Ia mengikat sebagian rambutnya dan membiarkan sisanya terurai dengan anggun. Pakaian bangsawan berkualitas tinggi yang dikenakannya menyembunyikan dada bidang yang tampak terlatih, menambah kesan maskulin pada sosoknya.
Meski atmosfer di antara mereka terasa tegang, tak bisa dipungkiri bahwa rupa Beans begitu rupawan, wajahnya tampak seakan dipahat dari marmer, dengan lekukan yang sempurna, hingga membuat siapa pun lupa sejenak akan dunia di sekeliling mereka.
Liora, meski berusaha tetap fokus pada situasi yang genting ini, tak bisa menahan godaan untuk memandangi wajah Beans, sebuah wajah yang tampaknya diciptakan untuk memikat perhatian. Namun, di balik pesona itu, Liora tahu satu hal: Beans sama sekali tidak menunjukkan keramahan, dan situasi ini bisa berubah berbahaya jika ia tidak berhati-hati.
"Selamat siang," sapa Liora, menunduk dengan sopan sesuai etiket bangsawan.
Beans tetap diam, mengabaikan Liora. Setelah beberapa saat, ia berjalan melewati Liora dan dengan suara tajam berkata, "Berhenti membuat masalah, diam di ruangan mu seperti tikus mati!" setelah itu, ia masuk ke dalam ruangan Dimitri.
Liora terpaku, masih mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. "Dia berbicara denganku? Aku?" bisiknya, terkejut dengan perkataan tajam dari pria yang sama sekali tak dikenalnya.
Sambil berusaha memahami apa yang baru saja terjadi, Liora tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu yang tak terduga. Sebuah ingatan terlintas di benaknya, seperti kepingan puzzle yang perlahan mulai tersusun. Bersamaan dengan itu, ia memuntahkan darah, yang terciprat ke gaun indahnya.
"Apa-apaan ini..." gumamnya tercekik, kebingungan melihat darah yang keluar dari tubuhnya.
Segera, Liora berlari sekencang mungkin menuju kamarnya. Ia tahu bahwa kejadian ini tidak boleh dilihat oleh siapa pun selain dirinya sendiri. Ingatan yang tiba-tiba datang bersama kondisi fisiknya yang memburuk, terasa bukan sebagai kebetulan.
Sesampainya di kamar, Liora segera berdiri di depan cermin. Matanya terbelalak melihat dirinya yang kini bersimbah darah—darah yang berasal dari tubuhnya sendiri. Lebih mengejutkan lagi, ia tiba-tiba bisa mengingat masa lalu Liora.
"Ingatan Liora...," bisiknya pelan. "Ingatan tentang hubunganku dengan Beans seolah menjadi peringatan yang mendesak, sesuatu yang harus aku ingat agar tidak tersesat."
Liora terus menatap cermin tanpa menyadari bahwa seseorang telah mengetuk pintu kamarnya sejak tadi.
"My Lady, saya akan masuk," ucap Saina dari luar, sebelum membuka pintu kamar sambil membawa teh dan kudapan. "Saya membawakan teh untuk Anda, My Lady."
!!
Kaget bukan main, Saina langsung tersentak ketika melihat pantulan Liora melalui cermin. Nampan yang digenggamnya terjatuh, menghantam lantai dengan keras.
PRANKK!
"My Lady, apa yang terjadi?" Saina bertanya panik, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Ia segera berlari ke arah Liora, memeriksa sekujur tubuhnya, takut Nona Muda-nya terluka.
Namun, tidak ada luka di tubuh Liora. Saina semakin bingung. Jika ini bukan darah Liora, darah siapa? Berbagai pikiran memenuhi benaknya, tapi semuanya segera sirna ketika Liora dengan polosnya berkata,
"Aku baru saja memuntahkan darah."
Saina tersentak kembali, lalu menyeret kakinya mundur sebelum berlari sekuat tenaga sambil berkata, "Bertahanlah, My Lady. Saya akan panggilkan dokter!"
Kepergian Saina membuat Liora mematung, merasa sesak dan ingin menangis. Dia bingung harus melakukan apa. Sepertinya ini adalah perasaan alami yang dimiliki oleh pemilik tubuh ini.
"Sialan! Beans adalah sumber trauma Liora," ucapnya dengan suara tercekik, sambil kini duduk di lantai, menahan rasa sakit yang luar biasa.
Bersandar di dinding kamarnya seolah menjadi satu-satunya pilihan untuk sedikit meredakan penderitaannya. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Di tengah usahanya yang keras, Saina akhirnya datang bersama seorang dokter. Melihat kondisi Liora yang semakin memburuk, Saina dan sang dokter menjadi semakin panik.
"Dokter, tolong bantu Nona Muda! Dia sekarat!!" pekik Saina, dilanda kepanikan berlebihan.
Mendengar pekikan itu, dokter muda yang tampan turut merasakan kegelisahan. Tanpa banyak berpikir, ia mengangkat tubuh Liora dengan mudah, seolah tak ada beban, dan meletakkannya di atas kasur untuk segera diperiksa.
Dengan cepat, dokter mengeluarkan peralatan medisnya dan mulai memeriksa Liora. Setelah beberapa pemeriksaan, ia berhenti dan menatap Saina yang menunggu dengan penuh harap.
"Bagaimana, Dokter? Apa yang terjadi pada Nona Muda?" tanya Saina dengan cemas.
"Nona Muda tampaknya mengalami stres berat, yang menyebabkan tekanan pada mentalnya. Selain itu, dia juga mengalami demam tinggi. Tolong, bantu Nona Muda agar terbebas dari stres ini ke depannya. Dia perlu melupakan sumber trauma yang membuat kondisinya semakin memburuk," jelas dokter dengan sangat serius mengenai kesehatan Liora.
Setelah mendengar penjelasan dokter, Saina tak kuasa menahan tangis. Suaranya lirih dan hampir tercekik saat ia berkata, "Saya akan melakukan segala cara untuk membantu Nona Muda melupakan semua sumber sakit hati yang ia alami. Saya berjanji."
Di dalam ruangannya, Grand Duke Dimitri Ravenscroft sedang tenggelam dalam pekerjaannya, menyelesaikan tumpukan berkas yang hampir rampung.
Momen ini sangat dinantikannya, karena setelah semua selesai, ia bisa beristirahat dan makan siang bersama keluarganya. Sebuah kesempatan berharga yang tak ingin ia lewatkan. Sementara Beans, dia duduk di sofa ruang sambil membaca koran.
Namun, ketukan di pintu ruangannya menghentikan kegiatan keduanya.
"Masuklah," ucap Dimitri tanpa mengalihkan pandangan dari berkas di tangannya.
Pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sang butler yang memasuki ruangan dengan ekspresi sulit dibaca. Ia menunduk memberi hormat pada Dimitri.
"Ada apa? Ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Dimitri, masih fokus pada berkas-berkas di depannya.
"Yang Mulia, Nona Muda jatuh sakit. Beliau belum sadarkan diri hingga kini, sudah dua jam berlalu," ujar sang butler, menyampaikan kabar yang menusuk hati Dimitri.
Terkejut, pena mahal yang sedang digenggam Dimitri terjatuh, menghantam lantai hingga patah menjadi dua. Tanpa berpikir panjang, Dimitri segera meninggalkan kursinya dan berlari secepat mungkin menuju kamar yang kini menjadi saksi bisu atas kondisi putri bungsunya.
"Apa yang terjadi pada putriku?" pikirnya yang berputar tak henti-henti di dalam kepala, seolah tidak boleh ada yang terjadi pada Liora.
Dimitri terus berlari, menerobos tatapan heran para pelayan yang melihat sosoknya bergerak dengan tergesa-gesa. Ekspresi kalut terpancar jelas dari wajahnya, sebuah pemandangan yang sangat jarang terlihat. Biasanya, Grand Duke dikenal tenang dan penuh wibawa, namun saat ini, reputasi itu seolah lenyap dalam sekejap.
Sedangkan Beans, dia masih diam di ruangan itu, skeptis pada kondisi yang dialami oleh adik bungsunya.
"Rencana apa lagi yang ingin ia buat?!" bisik Beans kesal.
Penampilan Beans Ravenscroft :
^^^TO BE CONTINUED^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!