"Kaa, Jakaaa!! Ayok berangkaaat!!" teriak Supri dari halaman rumah Jaka dengan punggung mencangklong keranjang rumput dari anyaman bambu ukuran sedang, berisi sabit dan sekantong kresek hitam besar jajanan + minuman.
Karena yang empunya nama belum juga keluar, bocah gembul itu pun akhirnya duduk di teras rumah. Minggu pagi itu, Jaka dan Supri memang sudah janjian akan ngarit (mencari rumput) bareng di area hutan pinus, untuk pakan ternak mereka.
"Kamu itu kebiasaan kok Mbul, sukanya teriak-teriak di depan rumah. Gak pake toa saja sekalian biar kedengaran satu kampung," omel Jaka setelah keluar dari dalam rumah dengan mencangklong keranjang rumput persis miliknya Supri.
"Itung-itung olah vocal, Jaak. Siapa tahu aku nanti bisa ikutan Indonesian Dodol," seperti biasa, jawaban anaknya Pak Bedjo sering membuat Jaka gedeg.
"Ya otakmu itu yang dodol," ucap anak laki-laki bertubuh tinggi kurus itu blak-blakan.
"Jenang dodol itu enak lo, Jak," obrolan dua bocah itu semakin ngelantur.
"Halah wes emboh. Ayok berangkat sekarang."
Tak berapa lama, kedua anak laki-laki itu pun berangkat menuju ke area hutan pinus.
🎶 Aku adalah anak Pak Bedjo, selalu riang dan banyak makan... 🎶
Mendengar nyanyian Supri yang memlesetkan lagu 'Aku Anak Gembala', membuat Jaka geleng-geleng kepala geregetan.
40 menitan kemudian, kedua bocah laki-laki itu sudah menemukan area yang banyak rumputnya. Dengan segera, Jaka dan Supri menurunkan keranjang rumput mereka.
"Apa itu, Mbul?" tanya anaknya Pak Rahmat saat Supri mengeluarkan bungkusan tas kresek hitam besar dari keranjang rumputnya sekalipun Jaka sendiri sudah bisa menebak apa isinya.
"Ini isinya amunisi, Jak. Nanti kalau aku kelaparan trus pingsan, memangnya kamu mau tanggung jawab," sahut anaknya Pak Bedjo.
"Dih amit-amit, untuk apa aku mesti tanggung jawab. Kalau kamu pingsan ya mending tak tinggal pergi saja. Lagian yang mau nyulik kamu yo siapa. Wong makanmu sehari saja bisa sampek 5 piring, itu belum termasuk jajannya. Bisa-bisa penculiknya bangkrut," ujar Jaka terus terang.
"Uwes Jaak, gak usah nyindir-nyindir teruus. Wong kamu nanti juga ikut kebagian."
Selama puluhan menit suasana menjadi hening karena dua bocah laki-laki itu menyabit rumput tanpa saling ngobrol.
Tiba-tiba...
Toloong... toloong...
Sayup-sayup telinga Supri mendengar suara perempuan minta tolong, yang membuat anak bertubuh gembul itu mengedarkan pandangannya, namun di sekitar mereka tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua.
"Jak, kamu denger suara orang minta tolong gak?" tanya Supri untuk meyakinkan pendengarannya.
"Suara minta tolong opo? Aku gak denger tuh," balas Jaka apa adanya sambil mengalihkan pandangannya pada si gembul.
"Apa kupingku yang salah denger ya," gumam anaknya Pak Bedjo yang kemudian melanjutkan menyabit rumput.
Toloong... Tolong akuu...
Suara orang minta tolong terdengar kembali, yang kali ini membuat Supri semakin penasaran campur heran. Dengan segera, bocah laki-laki itu pun bangkit berdiri lalu mengedarkan pandangannya lagi, yang tentu saja membuat Jaka bertanya dalam hati kenapa sikap teman sekaligus tetangganya tersebut hari ini kok nganeh-nganehi.
"Ada apa to, Mbul?" tanya anaknya Pak Rahmat penasaran.
"Suara minta tolongnya kedengeran lagi lo, Jak," timpal Supri dengan masih mengamati keadaan sekitar disertai tanda tanya dalam hatinya.
"Apa iya sih? La aku kok gak denger blas to," Jaka menjadi bingung lalu ikutan bangkit berdiri.
"Kok aneh yo Jak."
Di saat kedua bocah itu sedang kebingungan, tiba-tiba sepasang mata si gembul melihat seorang perempuan cantik, berambut hitam panjang lurus sepinggang, sedang berdiri di samping pohon besar, yang jaraknya puluhan meter di depannya. Perempuan tersebut mengenakan celana panjang berwarna hitam dengan atasan kaos lengan panjang berwarna biru muda.
Tak berapa lama, si gembul pun mendekati Jaka lalu berbisik.
"Kamu lihat perempuan itu gak, Jak?" tanya anaknya Pak Bedjo dengan memberi isyarat mata.
"Perempuan mana? Dari tadi kan cuma kita berdua yang ada di sini, Mbul," jawab Jaka dengan volume suara lumayan tinggi.
"Kamu kalau ngomong jangan keras-keras to Jak, nanti kedengeran sama Dia. Masa' sih kamu gak lihat perempuan berbaju biru di samping pohon besar itu?" Supri bertanya sekali lagi.
"Ya ampun Priii Pri, aku itu beneran gak liat ada perempuan di sana!" saking jengkelnya, tanpa sadar telunjuk Jaka menuding ke arah pohon besar, yang kemudian langsung dipukulnya tangan Jaka sama Supri.
"Kalau yang bisa lihat cuma aku, berarti dia itu hantu, Jak," ujar bocah laki-laki bertubuh gemuk tersebut dengan masih berbisik.
Tolong diik... Tolong akuu...
Suara itu kembali terdengar, yang Supri sendiri tidak yakin darimana suara itu berasal.
Di kejauhan, tampak perempuan berbaju biru itu tiba-tiba menunjuk ke sebuah arah. Tanpa minta persetujuan terlebih dahulu, beberapa saat kemudian, si gembul pun langsung menarik tangan Jaka lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjuk oleh perempuan tersebut.
"Kamu mau ngajak aku kemana sih, Mbul?" tanya anaknya Pak Rahmat kebingungan.
"Sudah kamu nurut saja."
Beberapa menit kemudian, Jaka dan Supri telah sampai di area tanah yang di atasnya banyak dedaunan dan ranting kering, yang kesannya seperti sengaja ditimbun di situ.
"Bantu aku menyingkirkan daun dan ranting kering ini, Jak," anaknya Pak Bedjo memberi instruksi, yang masih dituruti oleh Jaka sekalipun bocah bertubuh tinggi kurus itu masih belum paham apa maksudnya Supri.
Begitu dedaunan dan ranting kering sudah disingkirkan, terlihatlah gundukan tanah yang sepertinya baru saja digali.
"Kita kembali dulu untuk mengambil barang-barang kita, Jak. Sabitnya nanti bisa kita pakai untuk mengorek tanah," kata Supri yang lagi-lagi membuat Jaka bingung.
"Mengorek tanah? Untuk apa Mbul?" tanya Jaka tambah penasaran.
"Mencari harta karun," sahut anaknya Pak Bedjo asal-asalan, yang kemudian langsung beranjak meninggalkan tempat tersebut untuk mengambil barang-barangnya. Sementara itu, Jaka, mengekor Supri dengan hati masih diliputi tanda tanya.
Saat ini tampaklah kedua bocah laki-laki itu sedang mengorek tanah menggunakan sabit mereka dengan hati-hati. Belasan menit kemudian, hidung Jaka dan Supri mulai mencium bau bangkai, yang membuat kedua anak laki-laki tersebut menghentikan aktifitasnya lalu sedikit menjauh dari tempat itu.
"Jak, sekarang kamu pulang dan beritahu orang rumah kalau di sini ada jasad," sekali lagi si gembul memerintah Jaka.
"Hah, jasad? Maksud kamu apa sih, Mbul?" tanya Jaka yang sampai sekarang ini masih belum paham dengan situasi.
"Tak beritahu yo Jak, bau bangkai tadi asalnya dari jasad. Itu jasadnya si embak berbaju biru yang tadi aku lihat," terang Supri yang membuat Jaka lumayan kaget.
"Itu beneran jasad, Mbul? Kamu jangan ngadi-ngadi lo ya," bocah bertubuh tinggi kurus itu masih belum percaya.
"Biar kamu percaya, mending sekarang kita lanjutkan menggali saja," usul Supri yang disetujui oleh Jaka.
Seperti dikomando, dengan serempak, kedua anak laki-laki itu pun lalu melepas kaos masing-masing yang mereka gunakan untuk menutup hidung.
Puluhan menit kemudian...
Anaknya Pak Rahmat sangat shock setelah kain putih kotor yang membungkus 'sesuatu yang menjadi sumber bau bangkai' sedikit dibuka. Untuk sesaat, Jaka sempat mematung.
"Gimana? Sekarang kamu percaya to? Berhubung larimu cepet, mending kamu pulang lalu beritahu orang rumah kalau ada jasad di sini."
Tanpa banyak cakap, bocah bertubuh tinggi kurus itu pun langsung melesat menuju ke rumahnya.
Sementara itu si gembul, selama Jaka tidak ada, dia duduk di tempat yang agak jauh dari lokasi penemuan jasad karena tidak tahan dengan baunya. Sebenarnya ada rasa takut dalam diri Supri, tapi dia berusaha mengalahkan rasa takutnya itu.
Anaknya Pak Bedjo celingukan, mencari keberadaan perempuan berbaju biru yang sejak mereka mengorek tanah tadi tidak terlihat lagi. Bahkan di saat Supri sendirian seperti sekarang ini, arwah itu tidak mau menampakkan dirinya.
*
"Paak, Bapaaak!!" teriak Jaka dengan napas ngos-ngosan sambil mencari keberadaan bapaknya yang ternyata sedang nguras kolam lele dengan Mang Udin di belakang rumah.
"Kamu jangan ikutan suka teriak-teriak kayak Supri gitu to Le," tegur pria paruh baya itu setelah menghentikan aktivitasnya sebentar.
"Pak, ada jasad di hutan, Pak," ucap bocah bertubuh tinggi kurus itu dengan nafas masih tersengal-sengal.
Mang Udin, rewang keluarganya Pak Rahmat, langsung ikutan berhenti menguras kolam karena saking kagetnya dengan omongan anak majikannya. Begitu juga Bu Ida, Emaknya Jaka, langsung keluar dari dapur lewat pintu belakang dan mendekati anaknya.
"Opo Le, jasad? Maksudnya?" tanya Pak Rahmat meminta penjelasan.
"Supri dan Jaka menemukan jasad di hutan, Pak. Ayo cepat Pak kita ke sana, soalnya Supri juga sendirian," jelas bocah bertubuh tinggi kurus seperti bapaknya itu.
"Beneran Le?" sela Bu Ida yang juga kaget.
"Iyo Mak, beneran ini."
Dengan segera, Pak Rahmat pun menyuruh Mang Udin untuk pergi ke pos polisi terdekat lalu meminta istrinya untuk memanggil Pak Sholeh, yang juga salah satu rewangnya, yang saat itu sedang bekerja di kebun.
Sekarang ini, tampaklah Pak Rahmat, Jaka, dan Pak Sholeh sedang berlari menuju hutan tempat ditemukannya jasad.
Sementara itu, Bu Ida, yang dasarnya seperti kebanyakan emak-emak lainnya, saking penasarannya, mengajak Bu Maemunah dan suaminya, yang merupakan tetangga sebelah rumah, untuk melihat jasad yang ditemukan oleh Supri dan Jaka, karena anaknya tadi sudah memberitahu dimana lokasinya.
Tanpa menunggu lama, berita penemuan jasad di hutan mulai tersebar di Desa Suka Makmur.
*
Saat ini, tempat ditemukannya jasad sudah dikerumuni banyak orang. Terdengar beberapa orang sedang kasak kusuk, membahas tentang jasad tersebut dan siapa orang yang telah tega berbuat sekejam itu, karena kondisi jasadnya sangat mengenaskan, hampir seluruh tubuhnya hangus terbakar.
Tadi, sewaktu Pak Rahmat, Jaka, dan Pak Sholeh tiba di tempat tersebut, pria paruh baya itu sempat bertanya-tanya pada Supri dan Jaka, bagaimana awal ceritanya mereka sampai bisa menemukan jasad tersebut.
Setelah mendengar penuturan Supri, Pak Rahmat mengambil keputusan, agar nanti saat Supri dan Jaka ditanya oleh pihak kepolisian, mereka harus menjawab jika jasad itu mereka temukan secara tidak sengaja karena mencium bau bangkai. Tak lupa, Pak Rahmat juga mewanti-wanti Pak Sholeh agar tidak menceritakan pengalaman mistisnya Supri.
Diantara orang yang berdatangan di lokasi, tentu tak ketinggalan ada juga Pak Bedjo dan Bu Aminah yang merupakan kedua orang tua Supri.
"Bagaimana ceritanya kok kamu dan Jaka bisa menemukan jasad itu, Le?" tanya pria bertubuh gemuk itu penasaran.
"Ya gak sengaja nemu Pak, soalnya bau bangkainya lumayan menyengat," Supri menjawab pertanyaan bapaknya sama seperti yang diinstruksikan oleh Pak Rahmat. Begitu juga jika ada tetangganya yang mengajukan pertanyaan yang sama seperti itu, bocah gembul itu akan menjawab demikian.
1,5 jam an kemudian, muncullah sosok Mang Udin bersama 3 orang polisi yang 2 diantaranya membawa tandu. Seperti dikomando, kerumunan banyak orang itu sedikit menjauh dari lokasi penemuan jasad, untuk memberi ruang gerak pada ke 3 pria berseragam tersebut. Dengan segera ke 3 polisi itu bertindak, ada yang olah TKP dan ada yang mengajukan beberapa pertanyaan pada Jaka, Supri, Pak Rahmat dan Pak Sholeh.
Setelah olah TKP dan investigasi tahap awal selesai, 2 orang polisi memindah jasad ke tandu untuk dibawa ke lab forensik. Beberapa menit kemudian, ke 3 pria berseragam itu meninggalkan lokasi dengan membawa jasad untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Sepeninggal ke 3 polisi tersebut, kerumunan orang mulai mengurai dan kembali ke rumah masing-masing.
*
Sore ini, Supri dan kedua orang tuanya sedang nonton TV bersama di ruang keluarga. Seperti biasa bocah bertubuh gembul itu nonton TV nya sambil memamah biak, yang saat ini dia ngemil kacang kulit 'Garuda'.
"Woo, jadi kamu tadi mbohongi Bapak gitu," kata Pak Bedjo dengan perasaan sedikit kecewa pada anaknya.
"La disuruh Pakdhe Rahmat lo, Pak. Lagipula Supri juga tidak mau kalau nanti ada orang yang tanya-tanya tentang pengalaman mistisnya Supri. Bisa bikin heboh lak an."
Setelah diberi penjelasan dari anaknya, pria paruh baya itu menjadi lega. Keputusan Pak Rahmat ada benarnya juga.
"Kok bisa begitu yo Pak, padahal kita berdua dan Embah-Embahnya Supri tidak ada yang punya kelebihan seperti itu lo," ucap Bu Aminah keheranan.
"Yo emboh Mak, Bapak sendiri juga tidak tahu. Mungkin saja demitnya seneng sama anakmu," ujar Pak Bedjo asal-asalan. Rupanya sifat ndlodognya Supri diwariskan dari bapaknya.
"Jangan-jangan nanti malam dia ndatengi aku, Pak," kata bocah laki-laki bertubuh gemuk itu dengan mulut mengunyah kacang.
"Yo diajak kenalan to, Le. Tanya namanya siapa, rumahnya dimana, dan kenapa bisa meninggal mengenaskan seperti itu. Siapa tahu kamu bisa meringankan tugas polisi," timpal Pak Bedjo.
"Tapi ada bahayanya juga lo Pak kalau Supri ikut campur masalah ini. La kalau pelakunya lebih dari 1, trus sadis, nyawa anakmu lak bisa diincer," sela Bu Aminah dengan bergidik ngeri saat membayangkan apa yang diomongkannya.
"Yo malah beneran to Mak. Itung-itung bisa ngurangi jatah makan, jatah duit dan jatah jajan. Bisa cepet sugih kita kalau tidak ada Supri," kelakar pria paruh baya itu.
"Jadi Bapak seneng kalau anak kita nanti diapa-apakan sama si pelaku? Lagipula Supri itu kan fotocopyannya Bapak. Tuh lihat, perutnya saja sama-sama mblendhing kayak orang hamil 6 bulan," semprot istrinya.
Mendengar kedua orang tuanya sedang debat, Supri tidak peduli. Pemandangan seperti ini sudah biasa terjadi, sama halnya kalau dia sedang debat dengan Jaka.
Senin jam 4.30 pagi...
Supri menggeliat sebentar yang tak lama kemudian bocah bertubuh gemuk itu pun lalu duduk dan mengucek-ngucek matanya. Dengan segera dia beranjak dari kasurnya kemudian merapikan perkakas tidurnya.
Sambil menguap lebar sampai bersuara, anaknya Pak Bedjo melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi.
"Piye (gimana) Le, tadi malam kamu didatangi mbak berbaju biru gak?" tanya Bu Aminah yang saat itu sedang memasak di dapur dengan mengalihkan pandangannya pada anak tunggalnya.
"Mboten (tidak), Mak," jawab Supri singkat.
"Beneran?" wanita paruh baya tersebut bertanya sekali lagi hanya untuk memastikan kalau anaknya tidak berbohong
"Beneran Bu Aminaaah," lanjut si gembul sengaja menyebut nama emaknya.
"Kalau ada masalah apa-apa crita lo Le, jangan dipendem sendiri," tambah istrinya Pak Bedjo.
"Inggiiih... Wes Mak aku mau mandi dulu."
Supri pun melanjutkan langkahnya yang tak lama kemudian terdengar suara guyuran air di kamar mandi.
*
"Kaa, Jakaa!!" panggil Supri dari depan rumah Pak Rahmat sambil mulutnya mengunyah tempe goreng. Bocah gemuk itu memang membawa 5 potong tempe goreng dari rumah yang dibungkusnya dengan plastik.
Tak lama kemudian, keluarlah Jaka dengan berseragam merah putih lengkap dan mencangklong tas ransel di punggungnya.
Saat ini tampaklah Jaka dan Supri berangkat ke sekolah bareng dengan berjalan kaki.
"Kemarin malam kamu dilihati si mbak baju biru lagi gak, Pri?" tanya Jaka ingin tahu.
"Untungnya tidak, Jak. Aku malah bisa tidur pules," balas Supri apa adanya.
"Kira-kira penemuan jasad kemarin sudah masuk berita apa belum ya, Jak?" lanjut anaknya Pak Bedjo dengan masih mengunyah tempe goreng.
"Sudah mungkin. Wong sekarang jamannya jaman canggih. Berita lewat media sosial, google juga bisa cepet nyebar," jawab anaknya Pak Rahmat.
"Mudah-mudahan tidak ada wartawan yang nyari kita. Males aku kalau ditanya-tanya, difoto, apalagi sampek diviralkan," lanjut si gembul.
"Kemarin kan Bapakku sudah pesen ke polisinya supaya identitas kita jangan diungkap ke publik," ucap Jaka.
"Mau tempe goreng, Jak? Masih 2 potong ini lo," tawar Supri sambil menyodorkan plastik berisi tempe goreng.
"Gak wes, wong laukku tadi juga ada tempe gorengnya. Kamu itu kalau makan mbok ya diatur to Mbul. Besok ke depannya dipikir. Orang obesitas itu rawan penyakit," bukan sekali ini anaknya Pak Rahmat memperingatkan Supri.
"Sudah terlanjur, Jak," balas si gembul dengan entengnya.
"Iyo, terlanjur ketagihan banyak makan. Olahraga saja males-malesan apalagi kok disuruh diet. Jelas angel," tukas bocah bertubuh tinggi kurus itu apa adanya.
"Kan seminggu sekali aku juga ikut olahraga di sekolahan to, Jak," anaknya Pak Bedjo membela diri.
"Halah olahraga opo, wong gak niat gitu. Baru lari keliling lapangan sekali saja napasmu sudah senin kemis," sindir Jaka blak-blakan.
Tak terasa kedua bocah laki-laki itu sudah sampai di sekolahan. Seperti yang sudah diprediksi oleh Jaka dan Supri sebelumnya, teman-teman sekolahnya pasti ada yang tanya-tanya soal kejadian kemarin.
*
Setelah jam istirahat pertama, pelajarannya adalah matematika. Begitu Bu Ratna selesai menerangkan materi tentang bangun ruang, anak-anak disuruh mengerjakan latihan soal yang ada di buku paket.
Di saat suasana kelas hening karena semua murid kelas V sedang serius mengerjakan soal, tiba-tiba Sri, yang duduknya di baris kedua dari pintu kelas, terlihat menangis begitu menyayat hati sambil berkata 'sakit' beberapa kali. Tentu saja Lastri, teman sebangkunya Sri dan anak-anak yang lain menjadi kaget.
Karena awalnya dikira sakit, beberapa anak yang duduknya dekat Sri pun bertanya dan berusaha menenangkan. Tapi anehnya Sri tetap menangis dan merintih kesakitan. Tak cukup sampai di situ, murid perempuan yang bernama Dina ikut-ikutan seperti Sri.
Sadar kalau ada muridnya yang kesurupan, Bu Ratna cepat tanggap. Pertama, beliau memerintahkan murid-muridnya untuk keluar kelas dengan tenang, tentu saja kecuali Sri dan Dina. Tak lama kemudian, wali kelas V itu pun segera meminta bantuan ibu kepala sekolah dan beberapa guru termasuk guru agama untuk menangani Sri dan Dina.
Setengah jam an kemudian, setelah Sri dan Dina didoakan oleh Pak Mahmud, si guru agama, kedua murid perempuan itu pun sadar tapi masih sedikit linglung. Dengan segera, ibu kepala sekolah dan Bu Ratna memberi mereka minum air mineral kemasan gelas.
Sementara itu di luar kelas, murid-murid kelas V lainnya sedang duduk tenang di teras kelas dengan menyimpan tanda tanya pada benak masing-masing karena selama mereka sekolah di SDN Suka Makmur, baru kali ini ada kejadian kesurupan.
Untuk mencegah terjadinya kesurupan susulan, maka ibu kepala sekolah dengan disetujui guru-guru yang lain, sepakat untuk memulangkan para murid lebih awal. Sedangkan untuk Sri dan Dina diantar pulang oleh ibu kepala sekolah dan Bu Ratna sekaligus memberi penjelasan pada orang tua mereka.
Sebelum langkah Jaka dan Supri sampai di gerbang sekolahan, sepasang mata si gembul tiba-tiba melihat penampakan mbak berbaju biru sedang berdiri di bawah pohon beringin besar dan rimbun.
Kok dia ada di sini ya, jangan-jangan dia yang ngrasuki Sri sama Dina tadi, batin Supri berkecamuk.
"Ada apa, Mbul?" tanya Jaka penasaran karena anaknya Pak Bedjo melihat ke suatu arah selama beberapa detik.
"Mbaknya baju biru ada di sini, Jak," balas si gembul dengan suara berbisik dan kembali mengarahkan pandangannya ke posisi semula.
"Beneran?" ucap anaknya Pak Rahmat dengan berbisik juga.
"Iyo Jak, itu dia lagi berdiri di bawah pohon beringin. Jangan-jangan yang ngrasuki Sri sama Dina tadi dia, Jak," lanjut Supri dengan masih volume suara yang sama.
"Dia kok bisa ada di sini yo, Pri?" tanya Jaka lagi.
"Kalau itu aku juga tidak tahu, Jak. Jangan-jangan dia ngikut aku sampai di sini. Tapi anehnya pas aku di rumah kemarin kok gak nglihati aku sama sekali. Munculnya kok malah di sekolahan," pikiran si gembul tambah berkecamuk.
Dalam perjalanan pulang, kedua bocah laki-laki itu saling diam karena larut dalam pikiran masing-masing.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!