"Freya? Freya tunggu! Freya ... aku bisa jelasin semuanya."
Langkah kaki Freya terhenti karena lelaki yang memanggilnya berhasil menahan lengannya. Wanita yang bernama Freya itu melirik tajam ke wajah kekasihnya yang bernama Rey, lebih tepatnya mantan kekasih.
Dengan mata kepalanya sendiri wanita yang rambutnya hitam pekat itu melihat lelaki yang sudah menemaninya selama dua tahun bercumbu dengan wanita lain.
"Apa lagi? Semua juga sudah jelas, aku berdiri di sana selama menit, aku lihat semuanya!" sentak Freya yang masih berusaha meredam amarahnya.
Freya menepis tangan laki-laki yang lebih tinggi darinya itu, dia ingin segera pergi dari rumah Rey karena tidak ingin melihat wajahnya lelaki itu, apalagi wanita yang sedari tadi melihat mereka berdua berdebat.
"Freya, ini juga tanggung jawab kamu, aku melakukan hal ini juga karena kamu!" seru Rey yang tidak terima di salahkan oleh kekasihnya.
"Salahku? Apa kamu gil4? Kamu yang melakukan perbuatan menjijikan itu dan sekarang kamu menyalahkan aku?" Freya balik bertanya kepada laki-laki itu.
Wanita itu benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran Rey, laki-laki yang sangat dia cintai. Selama dua tahun menjalin hubungan pacaran, Rey sangat baik kepada Freya. Mereka saling mendukung karir masing-masing.
Hatinya hancur, badannya gemetaran saat melihat sendiri Rey menyentuh wanita lain. Dan sekarang lelaki itu malah menyalahkan Freya yang jelas-jelas sebagai korban di hubungan ini.
"Kamu sekarang mulai sibuk, kamu tidak bisa menyempatkan waktu senggangmu untuk bertemu denganku. Sheila, wanita itu bernama Sheila. Dia yang menghiburku selama dua minggu ini di saat kamu sibuk," ungkap Rey dengan gamblangnya.
Freya tersenyum tipis. "Sudahlah, lanjutkan aktivitas kalian yang sudah terganggu. Ini salahku? Baik, aku minta maaf. Puas?"
Wanita berambut panjang itu masuk ke mobil dan pergi dari tempat itu dengan segera mungkin. Tangannya masih gemetaran, tangisnya pecah saat dia mengemudikan mobilnya.
Sepertinya, semesta merasakan kesedihan wanita itu. Hujan gerimis turun membasahi semua yang ada di bumi. Dadanya yang sesak berangsur-angsur normal. Walaupun masih terasa berat saat dia menarik napas.
Bayang-bayang Rey bersama wanita lain terus menghantui Freya. Tangisannya tidak berhenti, matanya sedikit kabur karena air mata yang terkumpul di pelupuk mata.
"Dasar laki-laki brengsek! Sial4n!" maki Freya seraya memukul stir mobil.
Mobil yang di kendarai Freya melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin dia ingin meluapkan emosinya dengan mengemudikan mobil dengan kecepatan yang tidak biasa.
Tiba-tiba, saat Freya masih menyetir, dia dikejutkan dengan suara ketukan dari kaca jendelanya. Dengan cepat dia menyeka air matanya. Orang yang mengetuk kaca jendela itu mengisyaratkan kepadanya untuk berhenti di bahu jalan.
"Ada apa? Kenapa kamu menyuruhku berhenti?" tanya wanita yang ada di dalam mobil. Kedua mata Freya tampak merah dan sedikit bengkak karena menangis.
"Kalau lagi menangis, lebih baik berhenti saja terlebih dahulu. Selain membahayakan diri sendiri, orang lain juga bisa terkena imbasnya," ucap laki-laki yang mengendarai motor besar itu.
Freya tidak tidak bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas, karena sebagian wajahnya tertutup dengan helm. Dia hanya bisa melihat kedua mata lelaki itu yang berwarna cokelat.
"Di depan sana ada mini market, lebih baik tenangkan dulu di sana, aku akan menemanimu," sambung lelaki itu.
Wanita itu tidak bereaksi apapun, bagaimana lelaki itu bisa tahu jika dirinya sedang menangis? Tapi anehnya, dia menuruti perintah laki-laki yang tidak ia kenal untuk berhenti di sebuah mini market.
"Apa aku sedang terhipnotis? Kenapa aku mau di suruh datang ke sini? Tapi orang yang terkena hipnotis tidak akan menyadari jika dirinya sedang terhipnotis," Freya bermonolog dengan dirinya sendiri.
Wanita itu melepas sabuk pengaman, bersamaan dengan sepasang netranya yang melihat lelaki yang memarkirkan motornya tidak jauh dari mobilnya. Lelaki itu turun dari motornya dan melepas helmnya.
Perlahan Freya melangkah dan menghampiri laki-laki itu, dia sendiri bingung kenapa dia mau. Mungkin karena saat itu dia membutuhkan seseorang untuk meluapkan keluh kesahnya.
"Ada apa denganmu? Kenapa kamu menangis sambil menyetir? tanya laki-laki itu lagi. Dia mempersilahkan Freya untuk duduk di bangku yang mini market itu sediakan.
Wanita yang menggerai rambut panjangnya itu menghela napas panjang, membuat laki-laki itu semakin penasaran dengan apa yang dia lalui.
"Baru putus?" tanya laki-laki yang memakai jaket berwarna hitam itu.
Freya terkejut karena sedari tadi, dia menebak apa yang terjadi pada dirinya dan tebakannya benar. Saat mereka mengobrol, hujan di luar semakin deras. Tubuh wanita berparas cantik itu terkena percikan air hujan yang turun.
Laki-laki yang menemani Freya itu melepas jaketnya dan menyelimuti punggung wanita itu. Tentu saja hal itu mengejutkan dirinya padahal Rey saja tidak pernah sepeka ini.
"Terima kasih, tapi bagaimana bisa kamu tahu aku baru putus?" tanya Freya penasaran.
"Apa lagi? Apa lagi hal yang bisa membuat wanita menangis kalau bukan masalah percintaan?" balas lelaki yang memakai kaos berwarna putih polos.
Freya hanya mengangguk pelan, lalu dia tersenyum masam saat kepalanya memunculkan wajah Rey. Dengan cepat dia memalingkan wajahnya melihat hujan untuk mengalihkan pikirannya.
"Memang bukan jodohnya mungkin, nanti juga bakal ketemu kok sama yang lebih baik," ucap lelaki itu dengan santainya.
Bagi Freya, itu tidak mudah. Rey adalah tipe laki-laki idamannya. Tinggi, tampan, hidupnya terstruktur dan mapan. Ia hanya bisa mengembuskan napas panjang, tidak tahu harus berkata apa karena memang dia sedang hancur.
"Kenapa laki-laki tidak cukup dengan satu wanita?" tanya Freya tiba-tiba.
"Hm ... tidak semua seperti itu, tergantung dengan kepribadian masing-masing, bukan? Memangnya sudah berapa lama berpacaran?" balas lelaki itu seraya menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Dua tahun," lirih Freya, wanita itu menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba Freya mendongak, dia melihat lelaki itu bangkit dari bangkunya dan masuk ke dalam mini market itu. Tidak lama kemudian, dia keluar dengan membawa dua botol minuman untuk dirinya sendiri dan Freya.
Sebelum memberikan botol minuman itu, dia membuka tutup botolnya yang masih tersegel. Dia terus memperhatikan hal detail yang di lakukan lelaki yang baru saja dia kenal itu.
"Kalau jodoh pasti ketemu lagi. Semangat, ya?" ucap lelaki itu dengan lembut.
Freya mengangguk pelan. "Bagaimana kamu tahu aku menangis di dalam mobil?" tanyanya.
"Tentu saja aku tahu, kamu ngebut dan mobilmu sedikit oleng saat mencoba menyalip," jawab lelaki itu.
Mereka mengobrol tentang percintaan yang mereka alami hingga hujan reda. Lelaki itu melirik jam tangan yang dia pakai di pergelangan tangan kirinya.
"Maafkan aku, aku ada janji temu dengan klien. Senang bisa mengobrol denganmu. Jangan terlalu berlarut dalam kesedihan." Lelaki itu bangkit berdiri dan melangkah menuju motornya.
"Terima kasih," sahut Freya singkat. "Tunggu! Siapa nama kamu?" tanya Freya setengah berteriak dari tempat duduknya.
"Tama. Namaku, Tama," sahut lelaki itu dengan tersenyum manis.
Tama melambaikan tangannya ke arah Freya yang sudah bangkit berdiri. Wanita itu juga akan melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
"Ah si4l, jaket Tama ..." gumam wanita itu saat menyadari jaket yang dia pakai bukan miliknya.
next part? don't forget like, comment and vote❤
Lelaki yang sedang duduk bersantai itu terlihat tenang, tapi pikirannya penuh dengan bayangan seorang wanita yang baru saja dia temui. Mata yang indah, senyum yang menawan dan kepribadiannya yang hangat.
"Seharusnya dia menyadari itu," gumam Tama seorang diri.
Tama duduk di teras rumahnya, kepalanya mendongak menatap jutaan bintang yang berkelap-kelip menghiasi langit malam itu. Dia terhanyut dalam keindahan semesta, hingga tidak sadar dengan kedatangan temannya.
"Aku meneleponmu berkali-kali, kenapa kau tidak mengangkatnya?" tanya Danu, sahabat Tama. Lelaki itu langsung duduk di bangku kosong dekat sahabatnya.
"Telepon?" lirih Tama pelan seraya memeriksa kantong celananya.
Lelaki itu tidak menemukan ponselnya. Dia berusaha mengingat dimana dia meletakkan benda yang bentuknya persegi panjang itu. Tama bangkit berdiri untuk mencari ponselnya, mungkin saja berada di kamar.
Tidak lama kemudian, lelaki tinggi menjulang itu melangkah keluar menghampiri Danu dan meminjam ponsel sahabatnya untuk menghubungi ponselnya. Ponsel Danu dia tempelkan ke telinga, berharap seseorang mengangkat teleponnya.
"Halo? Siapa ini?" tanya Tama.
"Tama? Maaf aku lupa mengembalikan jaketmu dan aku lihat nomor ini terus meneleponmu jadi aku mengangkatnya," ungkap wanita muda itu di seberang telepon.
"Kau ... wanita menyedihkan yang baru saja putus cinta?" tanya lelaki itu sedikit menggodanya.
"Just Freya, thank you," sahut Freya yang tahu dengan candaan Tama.
Setelah membicarakan tentang ponsel lelaki itu, mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe di pusat kota pada jam makan siang. Tama mengakhiri teleponnya dengan Freya dan mengembalikan ponsel kepada sang pemilik.
"Kenapa ponselmu bisa ada di tangan klien? Apa kalian bertemu di ..." Danu belum menyelesaikan ucapannya karena Tama melemparnya dengan bantal sofa untuk menghentikan pikiran liar sahabatnya.
"Dia bukan klienku, kami baru saja bertemu sore tadi," sahut Tama seraya menyulutkan sebatang rokok.
"Kenalan baru? Cantik?" tanya Danu antusias.
Tama hanya mendecakkan lidahnya dan menggeleng pelan karena tingkah laku sahabatnya. Lelaki itu mengeluarkan asap putih dari mulutnya, tidak lama setelah itu dia menyunggingkan senyum di wajahnya.
Dia menyetir sampai oleng? Tidak, itu tidak benar. Bahkan, Tama sudah melihat Freya yang berdebat dengan seorang lelaki sampai akhirnya wanita itu melangkah pergi.
***
Tama sedang memainkan ponselnya, sudah tiga puluh lima menit dia menunggu kedatangan Freya. Wanita muda itu tidak kunjung datang. Dia menyapu seluruh sudut kafe yang dia datangi, dan sepasang netranya menangkap sosok yang ingin dia temui siang itu.
Lelaki itu bangkit berdiri, dia menyambut dengan sopan teman barunya itu.
"Hai, maaf apa kau menunggu terlalu lama? Aku terjebak macet, mungkin karena jam makan siang." Freya datang dengan membawa sebuah tas kecil berwarna cokelat.
Dengan sigap, Tama menarik kursi kosong yang berhadapan dengan tempat duduknya. "Please," ucapnya.
"Thank you," sahut Freya dengan suaranya yang lembut.
Tama kembali duduk di bangkunya, mereka berdua saling bertatapan sampai akhirnya wanita berambut panjang itu menyerahkan tas yang berisikan barang Tama.
"Mau makan sekalian?" tanya Tama seraya memanggil salah satu pelayan kafe, padahal Freya belum menjawab apakah dia bersedia atau tidak.
Seorang pelayan memberikan dua buah buku menu kepada Tama dan Freya. Tanpa sepengetahuan wanita itu, Tama terus memperhatikan Freya yang sedang berpikir perihal memilih makanan. Menurut Tama, Freya wanita yang sangat cantik dan lucu.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Freya yang langsung menatap Tama.
Wanita itu sedikit terkejut karena lelaki di hadapannya menatap dalam kedua bola matanya. Ya, itu membuat Freya sedikit salah tingkah. Wanita mana yang tidak salah tingkah ketika di lihat oleh seorang lelaki seperti itu?
"Bagaimana dengan ... steak?" tanya lelaki itu yang tidak memalingkan tatapannya.
"Baiklah, dua steak dan dua vanilla milkshake," ucap Freya kepada pelayan yang masih menunggu pesanan mereka dengan sabar.
Pelayan itu mengangguk dan menyuruh kedua manusia dewasa yang duduk berhadapan untuk sabar menunggu.
"Bagaimana kau bisa memutuskan untuk minum vanilla milkshake?" tanya Tama yang masih menatap wanita di depannya.
Freya mengedikkan bahunya. "Kau yang memutuskan memilih makanan, jadi aku yang memilih minumannya. Adil, bukan?" jawabnya dengan tersenyum.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Jauh lebih baik, atau semakin terpuruk?" goda Tama yang berhasil membuat wajah Freya kesal.
"Enak aja, hidup terus berjalan dan aku masih menjalani aktivitasku seperti biasanya. Ya ... walaupun tidak mudah melupakan orang yang sudah menemaniku selama dua tahun belakangan ini," balas Freya yang mencoba menerima jalan takdir hidupnya.
"Kalau boleh tahu, apa pekerjaanmu?" tanya Tama mencoba mengenal lebih dalam tentang wanita muda itu.
"Aku ... penulis. Bagaimana denganmu?" Freya balik bertanya dengan antusias.
"Aku usaha sendiri, sepertinya jika aku menjelaskan kepadamu, kau tidak akan mengerti," ucap Tama.
"Apa aku sebodoh itu?" sahut Freya dengan wajah kesalnya.
Tama senang sekali melihat wajah kesal Freya, sangat lucu dan menggemaskan. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang, kedua manusia dewasa itu mulai menyantap hidangan yang ada di depan mereka masing-masing.
"So, apa kegiatan kamu sehari-hari?" tanya Freya sekali lagi karena Tama belum memberitahu apa-apa tentang dirinya.
"Aku biasa membuat website atau applikasi. Mau di buatin website?" sahut Tama.
Freya mendengus kesal, kenapa lelaki itu tadi mengatakan dia tidak akan mengerti tentang pekerjaannya. Padahal, kalau perihal membuat web dia pernah mendapatkan pelajaran tentang hal itu sewaktu duduk di sekolah menengah atas.
"Gratis? Aku mau kalau gratis," kata Freya seraya tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih.
Tama mendecakkan lidahnya dan menggelengkan kepalanya. "Dasar wanita, kalau gratisan langsung gerak cepat."
Karena jam istirahat makan siang hampir berakhir, Tama dan Freya berebutan hendak membayar makan siang mereka. Lelaki itu melarang Freya untuk membayar, begitu juga sebaliknya.
Lelaki yang mempunyai senyum manis itu berhasil membayar dan mentraktir Freya makan siang. Wanita berambut panjang itu mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Tama.
"Lain kali aku yang traktir," ucap Freya sebelum mereka berpisah.
"Semoga berhasil kalau begitu," sahut Tama menggoda Freya lagi. Dia tidak akan membiarkan wanita itu mengeluarkan uang selama pergi dengannya.
Mereka berpisah di parkiran, sebelum Freya masuk ke mobilnya, Tama menghampiri wanita itu.
"Aku belum punya kontakmu, bisakah kau memberikannya?" tanya Tama seraya menyerahkan ponsel miliknya.
Freya mengangguk, dia mengetikkan sebuah nomornya dan meneleponnya dari ponsel lelaki itu. "Terima kasih, kamu hati-hati, ya?"
Mereka benar-benar berpisah di tempat parkir, sebelum menginjak pedal gas mobilnya, Freya menyimpan kontak Tama.
"Vanillacoffee? Apa dia juga punya kafe?" gumamnya.
Freya menyimpan ponselnya dan mengemudikan mobilnya. Tidak jauh dari tempat kafe tempat dia makan siang bersama Tama, tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan cepat dan menghalangi jalannya.
Sontak Freya menginjak rem. Wanita berambut panjang itu mendongak dan menatap mobil di depannya. Matanya membelalak saat melihat seseorang turun dari mobil itu.
"Dasar bodoh!" maki Freya saat melihat Rey yang menghentikan mobilnya secara tiba-tiba.
Si pemilik rambut panjang itu turun dari mobilnya. Dia berhenti di saat Rey berdiri di depannya. Freya menatapnya dengan tajam karena hampir membuatnya celaka.
"Freya! Kenapa kamu tidak mengangkat teleponku?" tanya Rey menaikkan nada bicaranya.
"Untuk apa? Bukankah kita sudah putus? Bukankah Sheila kekasihmu sekarang?" cerca Freya kesal.
Banyak orang yang berlalu lalang menatap mereka dengan aneh. Bahkan, beberapa warga menghampiri mereka untuk melerai perselisihan antara Freya dengan Rey. Lelaki itu bersikeras untuk menggapai tangan wanita yang masih dia anggap sebagai kekasihnya.
"Sudah, Mbak. Tidak perlu di tanggapin."
Sejumlah orang menyuruh Freya untuk melanjutkan perjalanannya. Dia pergi tanpa melihat Rey yang terus menyerukan namanya. Baru saja dia bersenang-senang menghabiskan waktu bersama Tama, kenapa suasana hatinya langsung berubah drastis setelah melihat wajah mantan kekasihnya itu?
Freya pulang dengan selamat, dia meminum segelas air putih tanpa tersisa sebelum akhirnya dia menenggelamkan dirinya di atas peraduannya.
"Lebih baik aku melanjutkan ceritaku," ucapnya pada dirinya sendiri.
Wanita berambut panjang itu membuka laptopnya, dia mengambil ponselnya. Dahinya berkerut saat melihat ada pemberitahuan pesan masuk. Dia membuka pesan itu, ada nama vanillacoffee dan membuatnya tersenyum.
Ini cerita kamu, bukan? Bagus. Aku suka, alurnya keren.
"Bagaimana dia bisa tahu novelku? Padahal aku tidak memberitahunya?" gumam Freya seraya mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
Bagaimana kamu tahu? Aku bahkan tidak memberitahumu?
Rahasia.
"Laki-laki misterius," gumam Freya.
Wanita itu kembali fokus menatap layar laptop di depannya. Di saat yang bersamaan, ponselnya berdering. Freya meraih ponselnya tanpa memeriksa siapa yang menelepon dia. Wanita itu langsung menempelkan ponsel di telingannya.
"Iya, Tama?" tanya Freya yang mengira panggilan itu dari teman barunya.
"Tama? Siapa Tama? Oh selingkuhan kamu namanya Tama?" cerca suara di seberang sana.
Wanita berambut panjang itu langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Kedua matanya langsung melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Rey, mantan kekasihnya yang sedang meneleponnya.
"Freya? Freya! Jawab aku, siapa Tama!"'
Wanita itu memukul dahinya pelan karena kebodohan yang baru saja dia lakukan. Kenapa dia sangat ceroboh mengangkat telepon tanpa memeriksa?
"Rey, tolong jangan ganggu aku. Kita sudah putus!" Freya mengakhiri panggilan telepon.
Dengan cepat jemarinya langsung memblokir nomor mantan kekasihnya itu. Freya mengembuskan napas panjang. Perlahan dia mengikat rambutnya menjadi satu dan kembali fokus pada pekerjaannya.
***
"Lagi bahagia nih, ada apa?" tanya Danu yang sudah menghampiri Tama di kantornya. Tanpa sengaja dia melihat Tama yang senyum-senyum sendiri melihat ponselnya.
"Klien kita kemarin sudah memutuskan nama domainnya?" tanya Tama tidak ingin membahas masalah pribadinya dengan Danu.
"Nah itu dia, dia minta nama domain seperti ini," ucap Danu seraya memberikan ponsel bukti percakapannya dengan klien melalui pesan singkat.
Tama hanya mengangguk lalu mengiyakan permintaan kliennya. Lelaki itu mempunyai usaha sendiri dengan di bantu tiga temannya. Dia sudah memulai usahanya ini sejak satu tahun yang lalu.
Di saat Tama dan Danu sudah mulai mengerjakan pekerjaannya, teman mereka yang bernama Jeffry baru saja datang.
"Tama, ada titipan salam untukmu. Dari Ayu, kamu tahu dia, kan?" ucap Jeffry seraya melepas jaket yang dia pakai.
Lelaki itu mencoba mengingat siapa Ayu yang di maksud. Tapi, nihil. Dia tidak menemukan apapun tentang wanita itu di dalam pikirannya.
"Ayu? Siapa dia?" tanya Tama penasaran.
"Kau lupa? Dia anak klien kita yang dari daerah itu," timpal Danu.
Lelaki tinggi menjulang itu benar-benar lupa dengan wanita yang bernama Ayu itu. Dia tidak ambil pusing saat itu, dia kembali fokus dengan pekerjaannya agar bisa cepat selesai.
"Jeff, kenapa kamu bisa bertemu dengan Ayu?" tanya Danu yang lebih penasaran daripada Tama.
"Dia sudah membuka tokonya di ujung jalan ini," sahut Jeffry menginformasikan kepada kedua temannya itu.
Mendengar nama toko bunga membuat Tama ingat wanita muda yang bernama Ayu itu. Hanya saja dia tidak ingin berkomentar, bisa-bisa dia kan kedua temannya malah menggosip dan tidak bekerja.
Di sela konsentrasi Tama, dia terbesit wajah Freya saat tersenyum tadi siang. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, karena wanita itu menganggu konsentrasinya.
Tama mengambil ponsel di atas mejanya. Dia sedikit ragu untuk mengajak Freya bertemu untuk bertemu, pasalnya tadi siang mereka sudah bertemu. Apakah akan terasa aneh jika dia mengajak untuk makan malam?
Yang lelaki itu inginkan sekarang adalah berada di dekat Freya. Berada di sisi wanita itu membuat lelaki itu merasa nyaman.
"Kenapa kau memutar ponselmu begitu?" tanya Jeffry yang menyadari tingkah laku sahabatnya.
Mendengar ucapan sahabatnya, membuat Danu menoleh dan menatap apa yang sedang Tama lakukan. Laki-laki itu menyadari ponsel sahabatnya telah kembali.
"Eh, sudah dapat kembali ponselnya?" tanya Danu.
Lelaki yang mempunyai badan gemuk itu menceritakan kepada Jeffry tentang ponsel Tama yang terbawa oleh seorang wanita. Kini kedua sahabat Tama itu sangat penasaran dengan sosok wanita yang sudah menganggu pikiran Tama yang terkenal cuek dengan masalah hubungan dengan lawan jenis.
"Apakah aku harus meneleponnya untuk mengajaknya makan malam?" tanya Tama kepada kedua sahabatnya.
"Ajak saja, nonton bioskop," jawab Danu singkat.
"Tapi masalahnya aku sudah mengajaknya makan siang tadi," sahut Tama bingung.
"Kalau begitu besok saja, atau kamu lihat apakah dia meneleponmu atau tidak," kata Jeffry.
Baru saja Jeffry menutup mulutnya, tiba-tiba tanpa Tama sangka ponselnya berdering. Sepasang netranya membulat sempurna saat nama Freya muncul di layar ponsel.
"Ha—" Tama belum menyelesaikan sapaannya tapi terpaksa harus berhenti karena Freya seperti sedang dalam masalah.
"Tama! Tolong aku! Tolong! Aku mohon tolong aku," teriak Freya.
Teriakan wanita itu sontak membuat Tama bangkit berdiri dari bangku kebesarannya.
"Freya? Apa yang terjadi? Kirimkan alamatmu sekarang!" ucap Tama tak kalah menaikkan nada bicaranya.
Danu dan Jeffry terlihat bingung, mereka menatap satu sama lain untuk memuaskan rasa penasaran kedua orang masing-masing itu.
Tama masuk ke mobilnya, lelaki itu langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Lelaki itu kembali ingin menghubungi Freya, tapi wanita itu tidak mengangkat panggilan teleponnya.
Jarak dari kantor Tama menuju rumah Freya lumayan jauh, apalagi jalanan yang macet menghalangi Tama untuk segera sampai di tempat Freya tinggal.
Sesampainya di rumah Freya, dengan kasar lelaki itu mendobrak pintu rumah. Betapa terkejutnya saat dia melihat kondisi rumah Freya yang berantakan.
"Freya! Kamu dimana? Freya!" panggil Tama dengan nada tingginya. Kedua matanya terus memperhatikan keadaan rumah itu.
"Tama?" rintih Freya yang berdiri di belakang Tama.
Lelaki itu memutar tubuhnya. Dia melihat keadaan Freya yang seperti terguncang. Tama memeriksa seluruh badan Freya apalah terluka atau tidak .
"Apa yang terjadi?" tanya Tama.
next part? don't forget like, comment, subscribe and vote❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!