...Prolog...
...Letnan Hiroshi Takeda...
...----------------...
Ruangan taktis dipenuhi oleh peta besar yang terbentang di atas meja, dengan bendera kecil dan penanda posisi pasukan yang tersusun rapi.
Letnan Hiroshi Takeda duduk di ujung meja, matanya meneliti peta dengan teliti, memikirkan setiap kemungkinan yang akan mereka hadapi. Di hadapannya, para perwira dari berbagai divisi militer menunggu perintahnya. Udara dipenuhi dengan ketegangan; invasi besar-besaran akan segera dimulai.
“Letnan Takeda, waktu sudah semakin mendesak. Apakah kita akan memulai sesuai rencana yang telah ditetapkan?” tanya Mayor Nakamura, perwira tertinggi yang bertanggung jawab atas artileri.
Hiroshi mengangguk pelan, wajahnya serius. “Kami telah menyiapkan rencana matang, tapi kita tidak bisa mengabaikan pergerakan musuh di sisi timur. Mereka semakin memperkuat pertahanan di sana.”
Dia mengambil sebatang pensil, mencoret peta pada area yang menunjukkan benteng musuh.
“Pertama, kita akan mengirim Divisi Infanteri ke garis depan. Mereka akan menembus pertahanan luar dan memancing pasukan utama musuh keluar. Setelah itu, kita akan menyerang sisi timur dengan serangan kilat. Artileri akan ditempatkan di titik ini...” Hiroshi menunjuk sebuah bukit strategis di peta. “Ini akan memberikan kita keunggulan untuk melancarkan serangan jarak jauh.”
Kolonel Sato, seorang perwira berpengalaman, mengernyitkan dahinya. “Kau benar, Letnan, tapi serangan kilat di timur bisa jadi berisiko tinggi. Bagaimana jika musuh mempersiapkan jebakan?”
Hiroshi menatap Kolonel Sato dengan mata yang tajam. “Itu sebabnya kita akan mengirim pasukan elit dengan persenjataan terbaik ke sana. Aku tidak akan mengambil risiko jika mereka tidak siap. Dan jika jebakan memang ada, kita akan siap menghadapi situasi terburuk.”
Dialog ini membuat suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada Hiroshi, menanti arah berikutnya. Setelah beberapa saat hening, Hiroshi berdiri, menyusuri meja sambil menunjuk beberapa penanda pasukan di peta.
“Divisi ke-3 akan bergerak dari utara untuk mengalihkan perhatian. Divisi ke-5 akan menunggu di hutan ini, siap untuk menyerang dari belakang ketika musuh terpancing. Kita harus membagi pasukan dengan cermat, tidak ada ruang untuk kesalahan.”
Seorang perwira muda angkat bicara, suaranya agak gemetar. “Letnan, bagaimana dengan cadangan pasukan? Jika musuh melakukan serangan balasan...”
“Pasukan cadangan akan ditempatkan di sepanjang lembah ini,” jawab Hiroshi dengan tegas. “Mereka akan siap menghadapi serangan balik atau pengepungan. Ini bukan hanya tentang menyerang. Ini tentang bertahan hingga kita bisa mematahkan semangat musuh.”
Setelah memberikan penjelasan panjang, Hiroshi menatap setiap anggota stafnya dengan tegas. “Ingat, ini bukan hanya pertempuran biasa. Ini adalah langkah kita untuk menghancurkan pusat kekuatan mereka. Jika kita berhasil, kita akan mematahkan pertahanan musuh dan merebut seluruh wilayah tanpa perlawanan berarti.”
Pertemuan itu berlangsung selama berjam-jam, dengan Hiroshi menjelaskan detail demi detail strategi mereka. Setiap divisi mendapatkan instruksi khusus, dan perwira-perwira yang bertanggung jawab diberi penugasan yang ketat.
Saat malam tiba, pasukan sudah siap berbaris di luar, bersiap untuk invasi besar. Hiroshi memimpin di depan, memeriksa setiap prajurit dengan pandangan tajam. Setiap langkah, setiap perintah, telah dirancang dengan cermat untuk memastikan kemenangan. Namun, dalam hatinya, Hiroshi tahu bahwa medan perang adalah tempat yang tidak bisa diprediksi.
“Kita maju malam ini,” katanya dengan tegas kepada para perwira yang berdiri di sisinya. “Tidak ada tempat bagi kegagalan. Ini adalah momen kita untuk menghancurkan musuh dan memenangkan perang ini.”
Mereka semua mengangguk, penuh dengan tekad. Satu per satu, pasukan mulai bergerak sesuai strategi yang telah disusun. Hiroshi menatap langit malam yang gelap, diiringi suara dentuman langkah kaki ribuan prajurit yang bersiap memasuki perang yang menentukan hidup dan mati.
Hiroshi berdiri di depan barisan tentaranya, perasaan campur aduk di dalam hati. Pasukan yang akan dia pimpin adalah salah satu yang terbesar dalam sejarah perangnya, dan itu bukan tanggung jawab kecil. Namun, sejak muda, Hiroshi sudah terbiasa memikul beban yang berat.
Dia adalah letnan termuda di seluruh pasukan. Pencapaiannya bukan sekadar hasil dari latihan fisik yang keras, tetapi dari strategi, ketenangan, dan kecerdasannya yang melampaui usianya.
Di akademi militer, dia selalu menjadi yang terbaik, tidak pernah membiarkan siapa pun menghalanginya. Setiap taktik yang dia rancang diuji dengan disiplin ketat, dan dia selalu siap untuk mengambil keputusan penting di medan perang.
“Tak ada ruang untuk kesalahan,” pikir Hiroshi, matanya tajam menatap peta yang sudah dia hafal luar kepala.
Letnan Nakamura menghampirinya, nada suaranya sedikit ragu.
“Letnan, kau masih yakin dengan strategi ini? Kita akan menyerang di bawah cahaya bulan. Jika musuh punya penjaga atau menara pengawas…”
Hiroshi menggelengkan kepala, memotong kalimat Nakamura.
“Kita harus bertindak di saat yang tak terduga. Mereka mungkin akan berjaga di malam hari, tapi kita sudah mempersiapkan untuk skenario terburuk. Penyerangan malam lebih banyak keuntungannya daripada menunggu fajar, Nakamura.”
Dia kembali melihat barisan prajurit yang sudah bersiap di bawah komandonya. Senapan-senapan sudah terisi, seragam sudah disesuaikan, dan raut wajah mereka menunjukkan tekad yang sama kerasnya dengan dirinya.
Hiroshi bukan hanya seorang taktis, dia juga seorang pemimpin yang menginspirasi. Banyak tentara yang lebih tua dan berpengalaman melihatnya dengan penuh hormat.
Bagaimana bisa anak muda ini menjadi seorang letnan begitu cepat? Itu selalu menjadi bisikan di antara mereka. Tapi Hiroshi tahu, penghargaan datang bukan dari usia, tapi dari kemampuan untuk memimpin dengan kecerdasan dan hati.
Dia melangkah mendekati kelompok kecil prajurit elit di dekat tenda komando. Mereka adalah orang-orang yang dipilihnya sendiri, tentara terbaik di divisinya.
“Kita akan bergerak dalam dua jam. Pastikan semua orang siap. Jangan ada kesalahan dalam formasi.”
Kapten Yamato, seorang prajurit besar dengan pengalaman puluhan pertempuran, menatap Hiroshi dengan anggukan serius.
“Kami akan melakukan apa yang kau minta, Letnan. Tidak akan ada yang gagal di bawah komandomu.”
Hiroshi menepuk pundak Yamato.
“Bagus. Kita akan memberikan mereka pelajaran tentang arti disiplin dan strategi yang baik.”
Dia mundur beberapa langkah, menatap langit malam yang mulai gelap. Di balik sikap tegasnya, ada kegelisahan yang tak bisa dia ungkapkan.
Ini bukan hanya tentang memenangkan pertempuran. Ini tentang membuktikan pada dirinya sendiri dan dunia bahwa dia layak mendapatkan posisi ini, bahwa dia lebih dari sekadar letnan termuda. Dia harus menang.
Hiroshi kemudian mengumpulkan semua perwira di bawah tenda rapat, mereka menatapnya dengan penuh perhatian. Dia menarik napas dalam, tahu bahwa setiap kata yang dia ucapkan akan menjadi penentu di pikiran mereka.
“Kita tak bisa kalah. Ini adalah titik kunci dalam kampanye ini. Jika kita bisa mematahkan pertahanan mereka malam ini, jalan menuju ibukota musuh akan terbuka lebar.” Dia berjalan di depan peta besar di tengah tenda, menunjuk dengan jarinya pada beberapa titik penting.
“Kita sudah mengetahui posisi mereka. Sementara pasukan utama kita menyerang langsung dari utara, divisi elit akan menyusup melalui lembah ini dan menghancurkan garis suplai mereka. Itu akan memecah fokus musuh, membuat mereka rentan terhadap serangan kilat dari sisi lain.”
Salah satu perwira, Letnan Muda Ishikawa, angkat bicara.
“Tapi, Letnan, bagaimana jika musuh sudah menyadari kelemahan ini? Mereka mungkin menyiapkan jebakan di lembah.”
Hiroshi tersenyum tipis, seolah sudah memprediksi pertanyaan itu.
“Mereka mungkin memperkirakan serangan kita, tapi tidak dengan cara yang kita rencanakan. Tim penyusup sudah dilatih untuk bergerak tanpa suara, dengan persenjataan yang memungkinkan serangan cepat dan senyap. Bahkan jika ada jebakan, kita akan menghadapi mereka dengan strategi yang lebih cerdas. Keberhasilan kita bukan soal kekuatan brute force, tapi taktik yang tepat.”
Kepala-kepala di tenda itu mengangguk pelan. Mereka mulai mengerti. Hiroshi bukan hanya pintar, dia punya cara berpikir yang membuat pertempuran tampak seperti permainan catur besar—dan dia selalu tiga langkah di depan lawannya.
Hiroshi melanjutkan,
“Kita juga sudah menempatkan pengintai di sepanjang jalan utama. Begitu kita memastikan kelemahan mereka, kita serang tanpa ampun.”
Semua perwira di sana tahu, malam ini akan menjadi pertempuran yang menentukan. Hiroshi Takeda, letnan termuda dan paling berbakat di seluruh angkatan, sedang merencanakan serangan yang bisa mengubah sejarah perang ini.
“Kalian semua tahu posisi kalian. Persiapkan pasukan, kita bergerak tepat saat bulan berada di puncaknya,” Hiroshi memberi perintah terakhir sebelum membubarkan rapat.
Dia menatap barisan prajurit yang mulai sibuk mempersiapkan diri. Dalam hati, dia sudah memvisualisasikan kemenangan mereka. Dan malam itu, bulan purnama menjadi saksi akan kepemimpinan seorang letnan muda yang akan menorehkan sejarah.
...(PRAJURIT PERANG DI DUNIA SIHIR)...
...Author : Sapoi Arts...
Udara malam terasa dingin, tapi itu tak menghentikan derap langkah ratusan prajurit yang dipimpin Hiroshi. Langit gelap menyembunyikan pergerakan mereka, dan suara malam hutan di pinggiran lembah menjadi satu-satunya pengiring pergerakan mereka.
Hiroshi berdiri di depan, mengawasi semua pasukan yang perlahan menyebar ke posisi masing-masing. Serangan kilat sudah direncanakan matang, dan sekarang waktunya untuk eksekusi. Dia memutar kenop jam tangannya—pertanda waktu semakin dekat.
“Ini saatnya,” Hiroshi berkata pada dirinya sendiri, menggenggam pistol di pinggangnya. Dia menatap langit yang disinari bulan, pikirannya sibuk menyusun langkah-langkah berikutnya.
Kapten Yamato mendekat, tatapan matanya serius. “Pasukan utama siap, Letnan. Kami akan mulai bergerak begitu Anda berikan sinyal.”
Hiroshi mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke arah lembah tempat garis depan musuh berada.
“Berikan sinyal pada pasukan elit di sisi timur. Mereka harus menunggu hingga Divisi Infanteri menyerang lebih dulu.”
Yamato memberi hormat cepat, lalu bergegas ke arah pos komando kecil di belakang mereka.
Kini, semua beban pertempuran ini berada di pundak Hiroshi. Tangan kanannya sedikit bergetar, bukan karena gugup, tapi karena adrenalin yang mulai memuncak.
Semua rencana, semua strategi yang dia susun selama ini, akan diuji malam ini. Dia menatap pemandangan lembah gelap di bawah, di mana musuh menunggu tanpa tahu apa yang akan segera menghantam mereka.
“Sekarang atau tidak sama sekali,” gumamnya pelan.
Hiroshi menarik napas dalam-dalam dan mengangkat tangan, memberi isyarat kepada pasukan utama. Serangan dimulai. Suara perintah bersahut-sahutan, dan ratusan prajurit mulai bergerak maju.
Cahaya kilat api tiba-tiba muncul dari kejauhan, meledakkan salah satu pos penjagaan musuh di tepi lembah. Ledakan itu mengguncang tanah, menghancurkan pos tersebut dalam satu pukulan. Pasukan Hiroshi dengan cepat merangsek masuk, mengikuti jalur yang sudah mereka rencanakan.
Teriakan-teriakan musuh mulai terdengar di kejauhan, tanda bahwa mereka terkejut dengan serangan mendadak ini. Hiroshi, dengan tenang, menyusup bersama tim kecilnya melalui jalur samping.
Mereka mengendap-endap, senapan terkokang, siap untuk menghancurkan garis suplai musuh yang terletak di dalam lembah.
“Terus bergerak,” Hiroshi berbisik pada timnya, “jangan buat suara berlebihan. Kita harus sampai di markas mereka tanpa terdeteksi.”
Tim elitnya, yang sudah terbiasa dengan operasi senyap, mengikuti tanpa suara. Mereka menyelinap di antara pepohonan dan bebatuan, menggunakan kegelapan malam sebagai penyamaran. Di depan mereka, garis pertahanan musuh mulai tampak—dan mereka tidak tahu apa yang akan segera menghantam.
Hiroshi melambaikan tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. Mereka sudah mendekati titik strategis:
gudang senjata musuh yang tersembunyi di balik bukit kecil. Jika mereka bisa menghancurkan tempat itu, pasukan musuh akan kehilangan persenjataan utama mereka.
“Aku akan masuk dulu,” bisik Hiroshi. “Tunggu sinyalku sebelum menyerang.”
Dia bergerak dengan tenang, mengambil jalan memutar untuk mencapai gudang tanpa terlihat. Telinganya tajam mendengarkan setiap suara, langkahnya hati-hati menapaki setiap batu dan ranting. Sesaat kemudian, dia berhasil mencapai sisi belakang gudang.
Dengan cekatan, dia memasang bahan peledak kecil di pintu belakang gudang. Ketika dia selesai, dia kembali ke posisinya semula, lalu mengangkat tangannya untuk memberi isyarat pada timnya.
“Sekarang!” Hiroshi berteriak. Sebuah ledakan kuat mengguncang udara malam, menghancurkan pintu gudang dan melemparkan pecahan-pecahan kayu ke segala arah.
Gudang itu meledak, disusul suara jeritan pasukan musuh yang terkejut. Asap tebal membumbung tinggi, dan pasukan elit Hiroshi mulai menyerbu dari segala arah, menembaki musuh yang masih kebingungan.
“Jangan beri mereka kesempatan bertahan!” teriak Hiroshi, suaranya tajam di tengah keributan. Dia mengokang pistolnya dan menembak musuh yang berlari ke arahnya. Setiap gerakan cepat dan terukur, memastikan bahwa tidak ada kesalahan.
Di sisi lain, Divisi Infanteri sudah berhasil memaksa pasukan musuh keluar dari markas mereka. Pertempuran semakin brutal, tetapi rencana Hiroshi berjalan sesuai rencana. Pasukan musuh kewalahan, tidak siap menghadapi serangan yang begitu terstruktur.
Kapten Yamato muncul di samping Hiroshi, napasnya berat. “Letnan! Kami sudah berhasil menghancurkan garis suplai musuh. Mereka kehilangan banyak persenjataan.”
Hiroshi mengangguk, masih fokus pada pertempuran di sekitarnya. “Bagus. Terus tekan mereka. Kita hampir memenangkan ini.”
Suara ledakan dan tembakan memenuhi udara, tapi Hiroshi tetap tenang, memimpin dengan kepastian yang membuat pasukannya percaya. Mereka terus maju, menekan musuh hingga akhirnya mereka runtuh.
Pertempuran berlangsung beberapa jam, tetapi pada akhirnya, pasukan Hiroshi berhasil. Musuh tak lagi mampu bertahan. Kemenangan di pihak mereka.
Namun, saat Hiroshi menatap reruntuhan markas musuh yang kini dikuasai pasukannya, ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa... hampa. Ini bukan kemenangan yang dia harapkan. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum dia ketahui.
“Ini baru permulaan,” bisik Hiroshi pada dirinya sendiri, merasakan ketidakpastian di dadanya. Tapi, apa pun yang akan datang, dia siap. Sebagai letnan termuda dan paling berbakat, Hiroshi tahu bahwa tak ada yang bisa menghentikannya.
Kemenangan yang sempat terasa di tangan Hiroshi perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Di tengah hiruk-pikuk pertempuran yang mulai mereda, suara menderu tajam terdengar dari atas. Seperti petir yang menyambar bumi, jet-jet tempur musuh muncul dari balik awan malam.
Satu demi satu, tembakan roket diluncurkan ke arah pasukan Hiroshi. Ledakan besar menghancurkan garis depan, membakar kendaraan dan menghancurkan barisan infanteri mereka.
Hiroshi segera menyadari situasinya—ini bukan sekadar pertarungan biasa. Mereka telah dijebak.
“Letnan, apa yang terjadi?!” Kapten Yamato berteriak di tengah kehancuran. “Dari mana mereka datang?!”
Hiroshi terdiam sesaat, melihat kehancuran di sekitarnya, merasakan perihnya pengkhianatan meresap dalam pikirannya.
“Ini... jebakan,” katanya, suaranya rendah dan penuh penyesalan. “Kita telah dikhianati.”
Jet-jet musuh terus menembakkan pelurunya tanpa ampun. Beberapa prajurit Hiroshi tertembak, roboh satu per satu ke tanah dengan darah mengalir.
Jeritan-jeritan memekakkan telinga memenuhi udara, sementara asap tebal mulai membumbung tinggi. Dia tahu, tak ada waktu lagi untuk menyelamatkan semuanya. Pasukannya terpojok.
“Kita harus mundur!” teriak salah satu prajurit dari belakang, panik.
“Mundur ke mana?! Tak ada tempat aman lagi!” Yamato balas berteriak. Wajahnya penuh ketegangan, darah menetes dari lengannya yang terluka akibat serpihan ledakan.
Sebelum Hiroshi sempat memberi perintah lain, suara keras bergemuruh di udara. Dari langit, pesawat jet musuh menurunkan pasukan elit mereka.
Para prajurit musuh turun dengan parasut, mendarat di sekitaran pasukan Hiroshi yang sudah mulai tercerai-berai. Mereka bergerak cepat, membantai tanpa ampun.
“Ini bukan pertempuran... ini penyembelihan,” Hiroshi berbisik, tak percaya.
Pasukannya, yang tadinya penuh semangat dan keberanian, kini mulai kehilangan harapan. Satu per satu, mereka jatuh ke tanah. Darah mengalir di setiap sudut. Teriakan rasa sakit dan putus asa terdengar di mana-mana.
Seorang prajurit muda berlari mendekati Hiroshi, wajahnya penuh kengerian. “Letnan! Kita harus kabur! Kita akan mati di sini!”
Namun, sebelum Hiroshi sempat menjawab, peluru musuh menghantam kepala prajurit itu, menjatuhkannya tepat di depan kaki Hiroshi. Darah menyembur, mengotori sepatu boot Hiroshi, membuatnya tersentak.
“Tidak... ini tak mungkin terjadi...” pikir Hiroshi. “Siapa yang... berani menjebak kita?”
Dia mencoba memproses semuanya. Rencana serangan mereka, strategi yang dia pikir sempurna—semua hancur dalam sekejap. Seseorang telah mengkhianati mereka. Dan sekarang, pasukan yang dia pimpin menghadapi kehancuran total.
Mata Hiroshi berkilat. Ini bukan saatnya untuk ragu. Meski situasi kacau, ada satu hal yang selalu diajarkan padanya: jika tak bisa menang, setidaknya mati dengan kehormatan.
“Kapten Yamato!” teriak Hiroshi, suaranya tegas di tengah kekacauan.
“Siap, Letnan!” Yamato yang terluka berlari mendekat, wajahnya penuh darah dan keringat.
“Kumpulkan sisa pasukan kita. Siapkan bom. Kita tidak akan mundur.”
Mata Yamato melebar, menyadari niat Hiroshi.
“Tapi, Letnan... ini...”
“Kita tidak punya pilihan lain,” potong Hiroshi tegas. “Jika ini memang akhir kita, maka kita akan membawa sebanyak mungkin musuh bersama kita.”
Yamato mengangguk pelan, matanya dipenuhi rasa hormat dan ketegangan. “Dimengerti, Letnan.”
Dia berbalik dan mulai memerintahkan pasukan yang tersisa. Dengan cepat, para prajurit yang masih hidup mulai menyiapkan bom bunuh diri di tubuh mereka.
Setiap langkah terasa berat, namun tak ada jalan lain. Mereka memilih mati dengan kehormatan, seperti yang selalu diajarkan pada mereka.
Hiroshi menarik napas dalam-dalam. Tangan kirinya sudah terluka, dan tubuhnya penuh dengan debu serta darah. Namun, tatapannya tetap tajam.
“BANZAI!!!”
teriak salah satu prajuritnya sambil mengangkat pedang di udara, siap menyerbu musuh dengan bom terpasang di tubuhnya.
“BANZAI!!!!!” suara lainnya bergemuruh, meski penuh kepedihan.
Suara-suara itu menggema di udara, berbaur dengan ledakan-ledakan dan jeritan pertempuran. Prajurit demi prajurit berlari ke arah musuh, memicu bom bunuh diri mereka, menghancurkan apa pun di sekitarnya. Teriakan ‘Banzai’ terus menggema di seluruh medan pertempuran, menggetarkan hati Hiroshi.
Namun, dalam kekacauan itu, Hiroshi tahu—ini akhir bagi mereka. Pasukan mereka habis, hancur oleh jebakan yang begitu kejam.
Tiba-tiba, sebuah suara menghentak di belakangnya. Hiroshi berbalik dan melihat Jenderal mereka—sang pemimpin yang dia hormati, kini tergeletak di tanah dengan darah yang mengalir deras dari dadanya. Dia telah ditembak oleh musuh, dan tubuhnya tergeletak tak bergerak.
“Jenderal...” Hiroshi berbisik, dadanya terasa sesak.
Saat itu, entah dari mana, kilatan cahaya terang melintas di mata Hiroshi. Tanah di bawahnya seolah bergetar, dan suara-suara di sekitarnya mulai memudar. Tubuhnya mulai terasa ringan, seolah gravitasi tak lagi menahannya.
“Ini... apa...?”
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, Hiroshi merasakan tubuhnya tertarik oleh kekuatan misterius. Cahaya yang menyilaukan memenuhi pandangannya, dan segalanya menjadi gelap.
Segalanya menjadi gelap. Kegelapan yang total menyelimuti Hiroshi, seperti saat ia menutup mata dan merasakan tiadanya cahaya. Namun, kegelapan ini berbeda—lebih dalam dan lebih menakutkan.
Lama-kelamaan, titik-titik kecil cahaya mulai muncul di sekelilingnya, semakin lama semakin banyak. Dia melihat galaksi yang berputar, bintang-bintang yang bersinar dalam keabadian, dan akhirnya, seluruh alam semesta dalam pemandangan yang menakjubkan namun mencekam.
Di tengah semua ini, sebuah black hole—lubang hitam yang menakutkan—terlihat, seperti menghisap semua cahaya dan benda di sekitarnya dengan kekuatan yang tidak tertandingi.
Suara yang mengerikan, seperti raungan kehampaan, menggema dalam kegelapan, membuat jantung Hiroshi berdegup kencang.
Dia merasa seolah melayang ke arah black hole, tanpa bisa menghindar. Gerakan gravitasi yang sangat kuat menariknya semakin dekat, seolah seluruh tubuhnya tertarik ke dalam kegelapan yang pekat.
“Apa yang terjadi?” pikir Hiroshi, mencoba memahami situasinya. Namun, dalam kegelapan yang absolut ini, tidak ada yang bisa dia lihat kecuali black hole yang menelan segalanya.
Akhirnya, dia merasakan dirinya memasuki black hole itu. Kegelapan menjadi lebih pekat, dan suara-suara menakutkan semakin memekakkan telinga.
Namun, tiba-tiba, dia merasakan seperti ditarik melalui terowongan yang sangat sempit. Sensasi itu membuatnya merasa terombang-ambing dalam dimensi yang tidak dikenal.
Ketika akhirnya dia merasa bahwa semua kegelapan telah menyusut, Hiroshi tiba di sebuah tempat yang aneh dan misterius. Di sana, dalam dunia yang serba hitam dan putih, dia melihat sosok manusia yang aneh.
Sosok itu berdiri dengan tubuh setengah hitam dan setengah putih, menggabungkan dua warna yang kontras.
Sosok itu melihat Hiroshi dengan tatapan yang penuh arti, seolah menilai setiap inci dari keberadaannya. Suara lembut dan penuh kuasa datang dari sosok itu,
“Selamat datang, Hiroshi Takeda.”
Hiroshi terkejut dan langsung mengangkat senjatanya, laras panjang yang selalu setia di tangannya.
“Siapa kamu? Di mana aku? Dan apa yang kamu inginkan dariku?”
Sosok itu tetap tenang dan tidak terganggu dengan ancaman senjata Hiroshi.
“Aku adalah penjaga gerbang antara dunia. Kamu berada di ambang batas antara dimensi. Dunia yang kamu tinggalkan dan dunia yang akan kamu masuki.”
“Kamu tidak bisa mengendalikan nasibku!” teriak Hiroshi dengan marah. “Aku harus kembali ke medan perang! Prajuritku membutuhkanku!”
Sosok itu hanya tersenyum samar. “Kamu tidak bisa kembali. Dunia yang kamu tinggalkan telah hancur, dan kini kamu memiliki takdir baru di Dunia Arcanis.”
Hiroshi tidak mau mendengarkan penjelasan lebih lanjut. Dengan cepat, dia mengarahkan laras panjangnya ke sosok tersebut dan menembakkan beberapa tembakan berturut-turut.
Namun, setiap peluru yang ditembakkan seolah menghilang di udara, tak menyentuh sosok itu sama sekali.
“Keparat! Jika kamu tidak mau bergerak, aku akan memaksamu!” teriak Hiroshi sambil menembak lagi dengan penuh kemarahan.
Sosok itu melangkah maju, mengabaikan peluru yang berusaha melukainya. “Kamu tidak bisa melawan takdir. Kekuatanmu tidak ada artinya di sini.”
Hiroshi merasa kemarahan dan frustrasinya meningkat. Dia terus menembak, tetapi tidak ada hasil.
Dalam sekejap, sosok itu mengangkat tangan, dan sebuah kekuatan tak terlihat meluncur ke arah Hiroshi.
Hiroshi merasa tubuhnya terdorong dengan kekuatan yang sangat kuat, seolah dia sedang dibanting oleh angin yang sangat kencang. Tubuhnya terpelanting ke belakang, dan rasa sakit mendera saat dia terhempas ke dinding kegelapan di sekelilingnya.
“Tidak! Aku harus kembali!” teriaknya dengan penuh keputusasaan.
Namun, usaha Hiroshi sia-sia. Sosok itu mengangkat tangannya sekali lagi, dan dalam sekejap, Hiroshi merasa seperti ditarik melalui kekuatan yang sangat besar. Tubuhnya diangkat dan mulai bergerak ke arah portal bercahaya yang muncul di belakang sosok itu. Tidak ada lagi pilihan.
“Ini adalah akhir dari perjuanganmu di sini, Hiroshi Takeda,” kata sosok itu, suaranya penuh dengan kekuasaan. “Selamat datang di Dunia Arcanis.”
Hiroshi merasakan tubuhnya ditarik lebih dekat ke portal, dan rasa sakit serta ketidakberdayaan membanjiri dirinya. Dengan satu dorongan terakhir, tubuhnya melewati gerbang bercahaya dan menghilang dari pandangan.
Ketika semuanya menjadi terang kembali, Hiroshi terbaring di tanah yang lembut dan aneh.
Hiroshi membuka matanya perlahan, merasakan kelembutan tanah di bawahnya. Kegelapan menyelimuti gua kecil tempat dia terbaring.
Dengan rasa sakit yang masih terasa di seluruh tubuhnya, dia berusaha bangkit, hanya untuk mendapati dirinya berada di dalam gua yang sempit dan dingin.
“Di mana aku?” gumamnya, menatap sekeliling dengan kebingungan. Dia memanggil, “Kaito! Tanaka! Di mana kalian?”
Suara serak dan putus asa mengisi gua, namun tidak ada jawaban.
Hiroshi mengusap wajahnya dan mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Kenangan tentang pertempuran yang kacau dan sosok misterius itu membanjiri pikirannya.
“Keparat!” teriaknya, kesal. “Orang itu… benar-benar melemparkanku ke sini?”
Hiroshi meraih tas ranselnya yang tergeletak di sampingnya dan mulai memeriksanya dengan frustrasi.
“Senjata, peluru, semua peralatan masih ada.” Dia menarik senjata laras panjangnya dan memeriksa kondisi senjata itu dengan cepat, memastikan tidak ada kerusakan. “Setidaknya ini masih utuh.”
Hiroshi menghela napas panjang. “Aku tidak bisa terus di sini. Aku harus menemukan seseorang untuk berbicara dengan.”
Dengan marah, dia berdiri dan memeriksa gua itu lebih dekat. Gua kecil ini tampaknya alami, dengan dinding yang lembap dan suasana dingin yang menyelimuti. Di sudut-sudut gua, dia bisa melihat beberapa kristal yang memancarkan cahaya redup.
“Tempat ini sangat aneh.”
Dia menemukan celah kecil di dinding yang tampaknya bisa dijadikan jalan keluar.
“Mungkin aku bisa lewat sini. Aku harus mencobanya.”
Dengan penuh kemarahan dan tekad, Hiroshi merayap ke celah tersebut, siap menghadapi apapun yang mungkin menghadangnya.
Dia melanjutkan perjalanannya, memikirkan sosok misterius yang telah membawanya ke tempat ini dan bertekad untuk menemukan jalan pulang.
“Apa pun yang terjadi, aku akan kembali ke medan perang.”
Hiroshi akhirnya keluar dari terowongan dan terpesona oleh pemandangan yang terbentang di depannya. Pegunungan tinggi menjulang di sekitar, dipenuhi dengan hutan hijau yang lebat dan hamparan padang yang luas.
Matahari yang cerah bersinar di langit biru yang jernih, berbeda jauh dari pemandangan kelam medan perang yang penuh dengan asap dan darah yang biasa dia lihat.
“Ini… di mana ini? Pemandangan seperti ini sangat berbeda dari medan perang.”
Dia berjalan perlahan menuju tepi jurang, menatap lembah yang dikelilingi pegunungan. Terdapat sebuah desa kecil di kejauhan, dikelilingi oleh sawah dan sungai yang mengalir tenang.
Aura damai dan keindahan alam di tempat ini sangat kontras dengan kengerian perang yang dia tinggalkan.
Hiroshi memutuskan untuk mendekati desa kecil di kejauhan. Setiap langkahnya penuh dengan kewaspadaan dan rasa ingin tahu.
“Aku harus mencari seseorang. Mungkin mereka bisa membantuku memahami situasi ini.”
Setelah beberapa saat berjalan, Hiroshi akhirnya mencapai pinggiran desa. Rumah-rumah kecil yang terbuat dari kayu dan batu terlihat sederhana namun kokoh. Beberapa penduduk desa terlihat bekerja di ladang dan berjalan di jalan setapak dengan senyum ramah.
Hiroshi berhenti sejenak, memperhatikan mereka dengan hati-hati. Dia kemudian mendekati seorang pria tua yang sedang berkebun di dekat pagar desa. Dengan penuh harapan, Hiroshi bertanya,
“Permisi, tuan. Di mana tempat ini? Bisakah Anda memberi tahu saya ke mana harus pergi?”
Pria tua itu menatap Hiroshi dengan rasa ingin tahu, namun jelas bahwa dia tidak mengerti bahasa Hiroshi.
Pria itu hanya menggelengkan kepala dan berkata dalam bahasa yang sama sekali tidak bisa dipahami Hiroshi.
“Maaf, saya tidak mengerti.”
Hiroshi mengerutkan dahi, merasa frustrasi. Dia mencoba lagi dengan lebih mendesak,
“Apakah Anda bisa berbicara bahasa lain?”
Pria tua itu menggeleng sekali lagi dan tampak bingung. Hiroshi menghela napas panjang.
“Apa yang harus aku lakukan…”
Merasa putus asa, Hiroshi mundur dari pria tua itu dan melanjutkan perjalanan menuju pusat desa. Dia mencari tanda-tanda yang mungkin bisa membantunya memahami situasi ini lebih baik.
Di pusat desa, sebuah bangunan besar berdiri dengan megah di tengah-tengah. Dari kejauhan, dia bisa melihat menara kecil dan sebuah kuil yang tampaknya menjadi pusat kegiatan di desa ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!