“… kabarnya kecelakaan tersebut terjadi berawal dari turbulence yang di alami oleh pesawat. Informasi terkini, pesawat Sear Air dengan nomor penerbangan JT 089 jurusan Kanada-Swiss yang memiliki 10 kru dan 113 penumpang.”
“… dan berikut adalah daftar nama yang diketahui menjadi penumpang Sear Air JT 089. Sampai saat ini pihak tim pencarian masih mengevakuasi tempat kecelakaan terjadi. Kami akan…”
Tubuh seseorang tampak lemas dan terlihat tak bisa lagi menahan keseimbangan saat melihat daftar nama penumpang yang berada dalam pesawat tersebut. Dengan cepat dia langsung menghubungi asistennya.
“Pesankan tiket untuk ke Lisboa sekarang juga.” Titahnya dengan gelisah, kemudian dia bergegas keluar dari ruangannya dan meminta supirnya untuk mengantar dirinya ke bandara saat itu juga.
Sedikit sulit mendapatkan tiket penerbangan ketika cuaca sedang tidak baik, namun permintaan orang itu sangatlah mutlak dan asistennya sudah mengetahui hal tersebut, sehingga dia harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi keinginannya.
“Tuan Wilbur, sebaiknya Anda masuk sekarang. Saya menukar tiket Anda dengan salah satu penumpang yang seharusnya berangkat saat ini.” Tanpa berbasa-basi, pria itu bergegas untuk check-in agar dapat segera terbang ke Lisboa saat itu juga.
Pria tersebut pergi bersama dengan asisten pribadinya. Asistennya sudah bekerja selama hampir 5 tahun bersamanya, dan pria itu sangat mempercayai asistennya saat ini.
Butuh penerbangan selama hampir tiga jam dari Swiss menuju Lisboa. Setibanya disana, ia langsung menyewa mobil disana untuk dirinya pergi ke tempat yang ingin dituju. Dibalik wajahnya yang dingin tersimpan kegelisahan yang teramat dalam pada hatinya.
“Kau harus tetap hidup, Rachel.” Gumam pria itu dengan sedikit lirih.
Sungai Tajo, Lisboa. Tiba di tempat jatuhnya pesawat, pria yang baru tiba itu pun langsung berlari dan meminta tim evakuasi untuk membawanya bersama mereka. Membujuknya dengan susah payah, akhirnya pria itu diizinkan untuk ikut bersama mereka.
“Tuan Wilbur, kau… tidak, Rafael bisakah kau tetap diam disini dan menunggu kabar dari tim evakuasi?” Pungkas asistennya dengan sedikit gelisah melihat atasannya harus pergi dalam keadaan yang tidak tenang.
“Kau tunggu disini, Daren.” Timpalnya dan langsung naik ke atas boat bersama dengan tim evakuasi lainnya.
Sedangkan ditempat lain, seorang gadis baru saja tiba di kota dimana dia menemukan cinta pertamanya—Bern. Menghirup udara segar disana membuatnya merasa sangat bahagia, keluar dari bandara ia tampak mencari keberadaan seseorang yang telah berjanji menjemputnya.
“Nona Adeline Genevra?” Tanya seorang pria dengan pakaian yang sangat amat rapi, dan dengan spontan sang pemilik nama hanya mengangguk perlahan. “Tuan Wilbur meminta maaf pada Anda karena tidak bisa menjemput Anda, nona. Sehingga beliau mengutus saya untuk menggantikannya,”
“Kemana perginya kak Rafa?”
“Tuan Wilbur ada urusan mendesak, nona. Saya akan mengantar Anda ke rumah tuan besar sesuai permintaan tuan Wilbur.”
Gadis itu mengambil ponselnya, dia mencoba menghubungi Rafael, namun sayangnya ponsel pria itu tidak bisa dihubungi dan ia hanya mendesah kecil. “Kau mengingkari janjimu untuk pertama kalinya,” gumamnya seraya menatapi foto dirinya bersama dengan Rafael.
Telah tiba di halaman rumah, Adeline turun dari dalam mobil dan menatap rumah megah yang berada dihadapannya. Ini kali pertamanya gadis itu mendatangi rumah yang bak istana tersebut. Belum ia masuk, beberapa pelayan disana sudah menyambutnya dan mereka membantu dirinya untuk membawa barang-barang yang ia bawa saat ini.
“Selamat datang di Bern, cucuku.” Seorang pria paruh baya menyambutnya dengan sangat bahagia. Meski bukan pertama kalinya ia bertemu dengan pria itu, tetap saja masih begitu canggung. “Maaf karena setelah pemakaman orang tuamu, aku belum menjengukmu lagi, nak.”
“Tidak apa-apa, kek. Tapi, kemana perginya kak Rafa? Aku bahkan tidak bisa menghubunginya,”
“Rafa sedang pergi ke Lisboa. Sebaiknya sekarang kamu istirahat dan anggap rumah ini sebagai rumahmu sendiri.”
“Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, hm.”
“Calon istrinya mengalami kecelakaan pesawat, dan saat ini dia pergi kesana untuk mencari keberadaannya.”
Mendengar kalimat ‘calon istri’ membuat Adeline sedikit tercengang. Bagaimana tidak? Dia bahkan tidak pernah mendengar Rafael membicarakan seorang wanita dengan dirinya, karena ketika Rafael menjenguknya, Rafael hanya bersikap layaknya seorang kakak untuknya.
“Ja—jadi, dia akan menikah?”
“Seharusnya dua bulan lagi mereka akan mengadakan pesta pernikahan.”
Kabar tersebut sungguh membuat Adeline diam tak bergeming, seketika hatinya merasa runtuh saat itu juga, namun dia menyembunyikan hal tersebut agar pria paruh baya yang berada dihadapannya tidak menyadari hal tersebut.
Rumah duka. Seorang gadis menatap pria yang tengah menangis dihadapan peti mendiang ibunya. Melihat pria itu menangis membuat hati gadis itu tergerak untuk menghampirinya.
Gadis itu memberanikan dirinya untuk meraih bahu pria tersebut dan merasakan sentuhannya membuat sang pria menoleh. “Adeline? Kau Adeline, kan? Putri dari paman Dean Genevra?” Gadis tersebut mengangguk pelan.
“K-kak Rafael. Bibi sangat baik, dia pasti sudah tenang disana dan tidak merasakan sakit lagi. Melihat bibi, aku memiliki tekad bahwa aku ingin menjadi seorang perawat agar kelak aku bisa menjaga orang-orang seperti bibi,”
“Kenapa tidak jadi dokter saja?”
“Perawat juga bisa melakukan seperti yang dokter lakukan kak.” Rafael terkekeh pelan mendengar penuturan gadis disisinya.
“Kau pasti bisa mewujudkannya, karena kau gadis cerdas.” Balas Rafael seraya mengusap pincak kepala gadis tersebut.
Meski dalam keadaan berduka pria itu tampak tenang ketika bicara dengan gadis disisinya saat ini. Dapat dikatakan bahwa itu merupakan pertemuan pertama kalinya antara Adeline dan Rafael, dan pertemuan itu membuat Adeline menganggumi Rafael, lebih tepatnya menyukai pria itu.
“Jika aku berhasil menjadi seorang perawat, apa aku bisa menikah denganmu?” Secara spontan ucapan itu terlontar dari bibir Adeline, memang tidak pantas mengatakan hal tersebut di masa-masa berkabung, namun itu sungguh diluar kesadarannya.
Mendengar pernyataan itu tidak membuat Rafael kesal atau apapun, pria itu justru tersenyum lembut. “Tentu saja. Sekarang kau harus menunjukkan padaku kalau kau mampu mewujudkannya,” begitulah balasan Rafael yang sekaligus mengusap puncak kepala Adeline untuk kedua kalinya.
Ingatan masa lalunya terkenang dalam benak Adeline. Kini, dia sudah menjadi seorang perawat, dan dia memutuskan untuk kembali ke Bern, karena dia ingin bekerja di rumah sakit yang berada disana sehingga dirinya bisa selalu mengunjungi pria yang ia idamkan sejak lama, namun sayangnya takdir belum berpihak padanya.
Sedangkan ditempat lain, Rafael masih berusaha mencari keberadaan wanita yang dicintainya—Rachel Feyrin. Dia berharap setidaknya ada secercah harapan untuk menemukannya. Beberapa puing ditemukan dan Rafael ikut pergi kemana puing tersebut berada.
Ketika sudah berada di TKP, dia melihat sesuatu yang sangat tidak asing bagi dirinya. Dengan cepat dia mengambil benda itu dan meraihnya. Syal, dia menemukan syal yang bertuliskan inisial nama dirinya dengan Rachel.
“Aku yakin kau pasti masih hidup, beritahu aku dimana kau berada, sayang. Aku datang menjemputmu, aku datang untukmu. Jadi, aku mohon beri sinyal padaku.” Air matanya mengalir, wajahnya semakin gelisah tak karuan kala dia menemukan syal kesayangan wanitanya.
Rafael Wilbur. Seorang pewaris tunggal dari perusahaan interior terbesar di Bern—Gent Art Interior. Dia mengelola perusahaan tersebut sejak ia lulus dari bangku kuliah hingga saat ini, hal itu dikarenakan ayah Rafael sudah tiada dan kakeknya tidak bisa lagi meneruskan pekerjaannya akibat usia.
Semenjak dikendalikan oleh Rafael, perusahaan tersebut semakin maju dengan pesat sehingga dia mampu mendirikan beberapa cabang di setiap kota, bahkan namanya dikenal oleh banyak orang.
Awalnya dia bertekad untuk tidak menikah cepat, karena dia masih ingin memajukan perusahaannya lebih baik lagi, namun siapa sangka bahwa pertemuannya dengan Rachel mampu mengubah pikirannya, dan dia sangat mencintai wanita tersebut.
Kini, satu minggu telah berlalu dan Rafael masih belum mampu menemukan keberadaan pujaan hatinya. Selama tiga hari, tim pencari baru bisa menemukan 13 korban tewas, dan sisanya masih dinyatakan hilang.
Masih memiliki tanggung jawab, Rafael memutuskan untuk kembali, dia harus mengurus perusahaannya. Namun, dia tak tinggal diam, dia menyuruh orang disana untuk selalu memberi kabar padanya mengenai setiap korban yang ditemukan.
Malam hari tiba, Rafael yang mengingat seseorang dibenaknya, memilih untuk pulang ke rumah kakeknya dan hendak meminta maaf pada salah satu orang yang berada disana.
Saat itu, James—kakek Rafael, dan Adeline tampak tengah menikmati makan malamnya. Beberapa pelayan yang menyadari kehadiran Rafael pun langsung membungkukkan tubuhnya dan menyiapkan piring serta gelas berisikan air untuknya.
“Cucu kakek sudah tiba, kenapa tidak memberi kabar kalau kau hendak pulang dan datang kemari?” James memeluk cucu satu-satunya dan Adeline yang baru menyadari adanya Rafael pun langsung tersedak.
“Hei, hati-hati. Aku tidak akan merebut makanan itu darimu.” Dengan cepat Rafael menyodorkan segelas air pada Adeline seraya mengusap puncak kepalanya.
“Aku sudah selesai makan, kek. Aku akan kembali ke kamar.” Tutur Adeline yang menghiraukan keberadaan pria di sisinya.
Gadis itu langsung menuju ke kamarnya, dan Rafael hanya menatapi punggung gadis tersebut yang semakin jauh. Namun, dia lebih memilih untuk duduk bersama kakeknya dan makan disana, karena kebetulan dia pun belum memakan apapun sejak pagi.
James tidak bicara sedikit pun ketika melihat cucunya makan, dia tahu apa yang sedang dipikirkan Rafael saat ini. Pikirannya sedang kacau, namun pria tersebut selalu berhasil menyembunyikan bahkan menyimpan semua lukanya sendiri. Rafael sangat handal melakukan hal tersebut.
Merasa berat, akhirnya dia pun meneteskan air matanya kala menyuapkan makanan ke mulutnya. Bagi James, ini adalah pertama kalinya dia melihat cucunya menangis sesak seperti sekarang. “Masih belum ada kabar apapun?” James mencoba buka suara dan Rafael hanya menggeleng.
Menyudahi makannya, Rafael langsung memeluk erat kakeknya. Dirinya masih tidak menduga bahwa hal seperti ini akan menimpa dirinya, terlebih mereka akan mengadakan acara pernikahan dalam kurun waktu dua bulan mendatang.
“Tenangkan dirimu, nak. Sementara ini tinggallah disini terlebih dulu, setidaknya sampai kamu pulih.”
“Bagaimana dengan Adel, kek?” Rafael mengusap air matanya dan mencoba mengatur napasnya kembali. “Apakah dia sudah mulai bekerja?” Timpalnya lagi.
“Dia bekerja di Escort Hospital dan dia mengatakan bahwa dia sangat senang menjadi perawat disana, dia sudah mendapatkan rekan hanya dalam dua hari bekerja. Begitulah yang dia ceritakan padaku.”
“Aku akan menemuinya untuk bicara. Aku bersalah padanya karena saat itu tidak bisa menepati janjiku untuk menjemputnya dibandara. Dia pasti sangat kecewa.”
Sesuai dengan ucapannya, Rafael bergegas menuju kamar Adeline. Dia mengetuk pintu tersebut sebelum masuk kedalamnya. Melihat Adeline yang tengah duduk di meja belajarnya membuat Rafael langsung menghampirinya.
Menyadari kehadiran Rafael, Adeline tetap pada tempatnya. Dia tetap fokus membaca tanpa menghiraukan keberadaan pria tersebut. “Kau benar-benar berhasil mewujudkan mimpimu, huh?” Pria itu duduk di ranjang dengan posisi Adeline membelakanginya.
“Aku pikir tidak sepenuhnya,” balasnya yang langsung menutup bukunya.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu disini? Aku dengar kau sudah mendapat teman baru?”
“Ya, dia seorang pria bernama Efran, dia sangat baik dan sangat ramah saat pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah sakit itu.”
“Kau marah padaku, huh? Sejak tadi kamu bicara tanpa memandangku, bahkan kau menghindariku saat diruang makan tadi. Aku sungguh minta maaf karena saat itu tidak bisa menjemputmu dan juga tak sempat membalas pesan darimu.”
“Lupakan saja soal itu. Aku mengerti, kakek sudah menceritakan semuanya.” Adeline membalikkan tubuhnya dan tersenyum pada pria dihadapannya. “Sudah malam, aku harus tidur sekarang.” Timpalnya lagi.
“Sebagai gantinya, aku akan mengantarmu bekerja besok, membawamu makan siang dan menjemputmu pulang bekerja sekaligus makan malam bersama diluar,”
“Sungguh?” Memang tampak mudah membujuk Adeline ketika tengah marah, dia seperti itu karena memang dia tidak bisa marah terlalu lama pada Rafael.
Pagi harinya setelah sarapan, Adeline terlihat begitu semangat, yah karena hari itu Rafael akan mengantarnya dan dia sungguh merindukan kebersamaannya dengan pria itu. Dalam perjalanan, Adeline hanya memandangi jalanan Bern yang sudah sangat lama tidak ia tinggali.
Menurutnya tempat itu sudah banyak mengalami perubahan selama tiga tahun dia meninggalkannya. Kota itu semakin indah menurutnya, dan dia mungkin akan menetap di kota tersebut tanpa ada rasa ingin pergi lagi.
Kini, keduanya telah tiba di Escort Hospital, Adeline yang baru turun itu pun langsung di ikuti oleh Rafael. “Bekerjalah dengan baik, jika terjadi sesuatu segera hubungi aku. Aku akan menjemputmu untuk makan siang nanti,” pungkasnya seraya mengusap puncak kepala Adeline.
Mendapati perlakuan seperti itu membuat wajah gadis itu bersemu merah, jantungnya berdetak tak karuan setiap kali menerima perlakuan khusus dari pria yang ia sukai. Entahlah, meski Rafael tengah berada di posisi sedih, dia selalu bisa menutupi semuanya seakan tidak terjadi apa-apa.
Rafael yang telah pergi, Adeline pun bergegas masuk dan langsung mengganti pakaiannya. Senyumnya terus mengembang tanpa luntur sedikit pun sehingga membuat rekan-rekan kerjanya merasa bingung dengan sikap gadis itu.
“Tadi itu bukankah tuan Wilbur? Kamu mengenalnya?” celetuk seorang pria yang tengah mengisi data pasien, dan Adeline hanya mengangguk menanggapi pertanyaan rekannya.
“Bagaimana bisa kamu mengenal tuan Wilbur?” Salah seorang perawat yang baru saja datang pun ikut menyeletuk.
“Mendiang orang tua kami bersahabat,” ungkap gadis itu dengan senyum sumringahnya kemudian berjalan meninggalkan mereka, dan pria disana pun langsung mengejar langkah gadis itu.
“Apa kamu menyukai pria itu?” Pertanyaan tersebut spontan membuat langkah Adeline terhenti, dan pria di sisinya mengerti akan sikap gadis tersebut.
“Efran, bagaimana jika kita pergi mengecek kondisi pasien yang baru saja di operasi kemarin? Bukankah kamu dokter jaga dari pasien tersebut?” Adeline menoleh seraya tersenyum lembut pada pria di sisinya, meski begitu Efran tau bahwa senyuman itu hanyalah sebuah senyum palsu.
Tiba dikantornya, Rafael segera mengecek ponselnya, pasalnya dia menerima kabar bahwa tim pencari disana menemukan dua korban wanita, menunggu hasil dari tes DNA membuat Rafael berdebar kencang.
Selagi menunggu hasil tes keluar, Rafael mengikuti meeting mingguan yang harus dilaksanakan hari ini. Dia memang tengah berduka, namun dia harus tetap bekerja secara professional demi kelanjutan perusahaan yang ia kendalikan.
“Jadi bagaimana? Dapatkah aku menerima laporan dari kalian?” Tukas Rafael dengan wajah tegas dan lugasnya. “Daren segera bacakan beberapa laporan yang masuk.” Para penanggung jawab cabang perusahaan yang dipercaya oleh Rafael pun bergegas untuk menyerahkan semua data mereka.
Rafael bukannya tidak mempercayai data yang telah dibuat oleh mereka, dia memiliki alasan tersendiri kenapa harus Daren yang mengecek dan membacakan semua laporan tersebut. Hal tersebut dilakukan karena Daren memiliki mata jeli dalam menganalisis sebuah tulisan, hanya dengan menggunakan matanya saja, pria itu tau bahwa data itu sudah dimanipulasi atau tidak.
“Campagne Resort memiliki kenaikan saham sebanyak 2%, selain itu kenaikan Campagne Resort pun masih memiliki citra yang cukup baik, bahkan masih menduduki peringkat pertama dalam hotel pencarian di kota ini.”
“Pencapaian yang bagus,” ulas Rafael.
Rafael, dirinya merupakan pengusaha muda yang terbilang cukup sukses di kotanya, bagaimana tidak, saat di usianya menginjak 25 tahun, dia berhasil mendirikan 3 hotel yang dikenal bahkan sering digunakan oleh orang-orang besar dinegaranya. Meski keluar jalur dari perusahaan yang telah dirintis oleh keluarganya, Rafael hanya ingin membuka gebrakan baru dengan semua hal yang telah dipelajari olehnya.
Yah, pria itu kini memiliki perusahaan dalam bidang jasa, dan sejauh ini, di usianya yang telah 30 tahun, Rafael sudah memiliki 8 hotel yang menyebar di kota lainnya dan semuanya meraih kesuksesan yang sama seperti hotel-hotel lainnya.
“Ravelt Hotels. Dua minggu lalu mendapat kritik bahwa pelayanan yang diberikan oleh beberapa karyawan kurang baik terhadap tamu, hal tersebut membuat saham turun sebanyak 0.3%, kemudian…”
“… ini sudah bukan yang pertama atau kedua kalinya Ravelt memiliki citra yang kurang baik. Evan, bisakah kamu lebih selektif lagi dalam memilih dan menentukan seorang karyawan? Jangan terlalu memanjakan karyawanmu sehingga mereka bertindak seenaknya pada tamu.”
“Maafkan saya tuan, saya akan melakukan teguran pada karyawan yang bersangkutan.”
Semua laporan telah dibacakan oleh Daren, dan mereka melakukan persiapan untuk tahun baru. Setiap tahun hotel-hotel dan anak perusahaan yang didirikan oleh Rafael selalu membuat acara dan seperti biasa jika acara tersebut akan diselenggarakan tepat di Gents Art Interior yang dimana tempat dirinya berada sekarang.
Rapat telah usai dan dengan cepat Rafael mengecek ponselnya, sejak tadi dia menunggu hasil tes DNA keluar. Jantungnya berdebar cepat kala melihat laporan dokumen yang diterima olehnya, dia menarik napasnya sebelum akhirnya membuka dokumen tersebut.
Air matanya mengalir seusai membaca isi dokumen tersebut, Daren yang melihat hal tersebut pun terkejut dan langsng berjalan mendekat ke arahnya. “Apa yang terjadi? Apa kamu mendapat kabar soal Rachel?” Tanya Daren penasaran.
“Ada kesempatan untuk Rachel masih hidup, dari data yang kuterima tidak ada DNA atas nama dirinya.” Rafael bergumam dengan nada seraknya.
“Tetapi aku pikir hal itu tetap mustahil, lagi pul…”
“… keajaiban Tuhan itu ada, dan selama kamu percaya, kamu pasti akan merasakannya.”
Daren menghela napas mendengar jawaban dari Rafael, ya dirinya memang salah karena mengatakan hal tersebut dihadapan orang yang tengah berduka sekaligus masih mengharapkannya kembali.
“Daren, bisakah kau terbang ke Lisboa dan memantau kondisi disana? Rasanya aku akan lebih percaya padamu.”
“Kau menyuruhku kesana, bukan karena kau kesal dengan pernyataanku, ‘kan?”
“Tidak sama sekali, aku juga mengerti maksudmu. Tetapi aku minta tolong padamu untuk terbang kesana selama sebulan, entah kenapa aku merasa yakin bahwa dalam waktu dekat, aku akan menerima kabar darinya.”
Mendengar permintaan tersebut membuat Daren menghela napasnya dan mau tak mau ia pun mengikuti keinginan dari bosnya tersebut. Saat jam makan siang, Daren diberikan waktu untuk pulang agar dapat menyiapkan barang keberangkatannya.
Daren yang telah kembali ke apartmentnya, dan Rafael yang memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Dia tak melupakan janjinya pada Adeline, dia pun bergegas kesana untuk membawanya makan siang bersama.
Di waktu yang bersamaan, Adeline pun sudah mengganti pakaiannya dan segera menuju lobby,dia tidak ingin membuat pria itu menunggunya lama. Efran yang melihat Adeline tengah terburu-buru langsung menahan langkahnya dengan berdiri dihadapannya.
“Kau mau kemana? Tidak pergi makan siang?”
“Aku akan makan siang diluar hari ini.” Tuturnya dengan nada yang terdengar begitu bahagia. “Aku janji akan kembali tepat waktu, sampai jumpa.” Adeline menambahkan dan berlalu meninggalkan Efran.
Pria itu memandang punggung Adeline yang semakin menjauh. Ia yang penasaran pun mengekori kepergian Adeline, dirinya ingin tahu dengan siapa gadis itu pergi, sehingga membuat gadis itu tampak bersemangat.
Adeline melambaikan tangannya ketika melihat seseorang yang dikenalnya keluar dari mobil. Efran menyipitkan kedua matanya dan ternyata Adeline pergi dengan seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah Rafael Wilbur.
Melihat raut wajah Adeline yang sangat bahagia saat bersama pria itu, hati merasakan sebuah kebimbangan. Bagaimana tidak? Pasalnya, Efran merasakan sesuatu yang tidak beres hanya dengan melihat Rafael. Efran tampak tidak mempercayai pria tersebut.
Efran melangkahkan kakinya menuju ruangannya, ia makan dengan makanan yang sudah ia pesan sebelumnya melalui OB rumah sakit saat mengetahui Adeline akan pergi makan diluar.
Sedangkan ditempat lain, Adeline baru saja tiba disalah restaurant yang letaknya tak jauh dari rumah sakit tempat dirinya bekerja, dia tidak tahu bahwa ternyata ada restaurant sebagus itu didekat rumah sakit.
Melihat menu-menu yang ditawarkan di restaurant membuat Adeline merasa tergiur, rasanya ingin sekali memesan semua makanan yang tertera di buku. Bagi Rafael, raut Adeline saat ini begitu menggemaskan sehingga sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya.
“Kenapa? Apa ada yang lucu?”
“Bagaimana tidak lucu? Air liurmu mungkin hampir menetes hanya karena melihat menu yang ada dibuku tersebut.” Sahut Rafael yang masih menyisakan tawanya.
“Itu karena semuanya terlihat begitu enak.”
“Pesan apapun yang kau suka. Kau boleh memakan apapun yang kau mau. Setelah dari sini, aku juga akan mengajakmu jalan-jalan.”
“EH? Tetapi aku harus kembali bekerja,”
“Tidak perlu risaukan itu, aku yang akan menghubungi pihak rumah sakit sehingga kau bisa keluar bersamaku.”
Adeline memang terlihat tampak gusar, karena bagaimana pun dirinya merupakan perawat baru disana, dan ia tidak bisa seenaknya hanya karena Rafael seorang pengusaha muda nan sukses juga sangat terkenal di wilayahnya.
Mencoba membujuk Rafael, namun tampaknya bujukannya itu tidak berpengaruh sedikit pun, karena ketika pria itu sudah memutuskan, akan sulit untuk merubah keputusannya tersebut.
Sangat mudah bagi Rafael untuk mendapatkan nomor pimpinan rumah sakit tempat Adeline bekerja, bahkan selain memintakan izin untuk gadis yang tengah bersamanya, sebagai permintaan maaf, Rafael menjanjikan akan menjadi salah satu donatur di rumah sakit tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!