Tit...
.
Tit...
Suara alat pendeteksi detak jantung menjadi satu-satunya suara di bangsal putih dengan berbagai instrumen medis di dalamnya.
.
"Urgh..." wanita di atas kasur itu mengerutkan kening dengan tidak nyaman. Setelah beberapa saat, netra coklat wanita itu akhirnya terbuka perlahan. Ia pun mengerjap kerjapkan matanya beberapa saat untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke bola matanya.
.
Kriet...
Memasuki bangsal dan berdiri di samping ranjang.
"hai. Bagaimana kabarmu hari ini?" Ucap wanita dengan pakaian hitam ketat itu sambil membelai bekas luka di pipi wanita yang terbaring di atas ranjang.
"Ups... Sorry. Aku lupa bahwa kamu sudah tidak bisa berbicara hahaha..." wanita itu sangat bahagia melihat betapa menderitanya wanita di atas ranjang.
"Hera. Jangan membuatnya kesal. bagaimanapun profesor masih membutuhkannya." Leo melingkarkan tangannya di pinggang Hera.
"HEH, sebenarnya profesor atau kamu yang masih membutuhkan wanita sekarat ini." Hera menepis tangan Leo dari pinggangnya.
"Ayolah... Dia tidak bisa dibandingkan dengan dirimu, meskipun hanya seujung rambut."
Hera tersenyum sangat bahagia mendengar pernyataan Leo.
"Benarkah?. kalau begitu terima kasih sayang. Aku tahu kamu paling mencintaiku hehehe..." ucap Hera dengan manja dan memeluk pria itu.
"Ah. Benar juga, kami kesini ingin memberimu kabar bahagia. Ya kan, sayang?." Hera mendekati wajah Vivian.
"Kamu tahu, anakmu sudah tidak bisa bertahan menghadapi tangan para profesor gila itu. Hemm... bukankah itu sangat bagus?. jadi, kamu tidak ada penyesalan lagi hidup di dunia."
Vivian yang berada di ranjang rumah sakit menjadi sangat bersemangat setelah mendengar berita bahwa anaknya sudah pergi.
"Hera, bagaimana kamu bisa memberitahukan hal itu kepadanya. bagaimana jika terjadi sesuatu pada objek uji coba?." Leo tidak menyukai kenyataan bahwa Hera membocorkan berita tentang kematian anak Vivian.
"Memangnya apa yang bisa dia lakukan. berbicara saja dia sudah tidak bisa." Hera menjadi tidak senang karena ditegur oleh Leo.
"INI TIDAK BAGUS! HERA, AYO CEPAT KELUAR DARI TEMPAT INI." Leo panik ketika melihat kulit Vivian menjadi sangat merah dan mulai menggembung.
Para profesor tua itu juga datang pada saat ini.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA KELINCI PERCOBAAN??!." Bentak seorang profesor pada keduanya.
salah seorang profesor memberikan suntikan kepada Vivian. "ini tidak baik. dia akan meledakkan diri. SEMUANYA AYO CEPAT KELUAR."
.
DUAR...
Terlambat.
Ledakan itu teramat dahsyat sehingga meratakan lembaga penelitian tersebut dan tidak menyisakan seorangpun yang selamat. termasuk pula di dalamnya Hera dan Leo.
...~****~...
"Vivian, sudah aku katakan beberapa kali, bahwa jangan menghubungiku hanya untuk sesuatu yang tidak penting seperti ini."
Vivian mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia masih belum bisa mencerna situasi yang ada di depannya dengan jelas.
"Apa!. jangan berpura-pura lemah, hal seperti ini tidak akan mempan kepadaku."
"Le.. o?" Vivian merasa bingung melihat Leo yang tampak jauh lebih muda dari sebelumnya.
Leo menyilangkan tangan di depan dada. "Heh. sekarang bahkan berpura-pura tidak mengenaliku?. Vivian, apa maumu sebenarnya?. kamu yang membuat Hera terjatuh dari tangga, tapi kamu, justru berpura-pura menjadi orang yang dianiaya di sini." ucap Leo sambil menggebrak meja yang ada di depannya.
Vivian mengerutkan kening tidak suka mendengar omelan Leo.
"Jadi, apa maumu sekarang?." Vivian membalas perkataan Leo dengan sebuah pertanyaan.
"A... Apa?." Leo tidak percaya bahwa Vivian mulai menanyainya.
"bagus, sangat baik kamu Vivian. aku juga sudah lelah denganmu. sekarang kita putus."
"Oke. Sekarang kita putus." Vivian menjawab dengan santai.
Leo membelalakkan mata tak percaya. Ia tahu betul seberapa besar cinta Vivian terhadap dirinya . Bagaimana bisa mereka putus dengan begitu mudah?.
Sementara di sisi Vivian. Vivian pergi tanpa memperhatikan ekspresi Leo yang masih berdiri diam di sana. Untuk apa perduli, toh ia masih harus mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada saat ini.
.
.
Berbaring di atas kasur.
"bagaimana bisa aku kembali ke 8 tahun yang lalu, tepat sebulan sebelum terjadinya bencana kiamat?." Vivian memandang tanggal yang ada di ponselnya dengan linglung.
"sudahlah, lebih baik tidak usah dipikirkan. bagaimanapun juga, bagus mengetahui apa yang akan terjadi sebulan kemudian." Vivian lalu pergi ke kamar mandi.
di dalam kamar mandi, Vivian melihat pantulan dirinya di cermin. ia melihat sebuah tanda merah seperti bintik sebesar kuku di dada sebelah kanannya.
"apa ini?." Vivian heran mendapati tanda yang sebelumnya tidak ada. Ia lalu menyentuh tanda tersebut dan berusaha menggosoknya agar menghilang.
Seketika, pandangan Vivian menjadi kabur. ia merasakan tubuhnya terasa ringan dan ada daya hisap kuat yang menyedotnya.
beberapa saat kemudian, perasaan tersedot itu menghilang. Vivian pun membuka matanya dengan perlahan.
"ini... di mana?."
Vivian bingung mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang sangat aneh. di tempat itu terdapat bangunan dua lantai dengan gaya minimalis dan halaman seluas 100 meter persegi.
Di belakang bangunan tersebut terdapat sebuah kolam kosong dengan panjang 4 meter dan lebar 2 meter.
di sebelah kanannya terdapat pula sebuah pohon yang tidak diketahui apa jenisnya tumbuh setinggi dua setengah meter dengan daun yang sangat rimbun.
Lalu, di bawah pohon tersebut juga terdapat sebuah genangan air berwarna hijau yang keluar dari akar pohon yang mencuat keluar. anehnya, meskipun air yang mengalir dari akar pohon tersebut sangat deras, tapi, genangan air itu tidak bertambah besar.
Vivian lalu memasuki rumah yang memiliki dua lantai tersebut.
Di lantai pertama terdapat ruang tamu, ruang keluarga, satu kamar tamu, dapur dan kamar mandi.
Di lantai dua terdapat ruang belajar, satu kamar utama dan satu kamar biasa.
Vivian lalu memutuskan untuk memasuki ruang belajar.
Rak buku di letakkan antara ruang kerja dan sofa, rak tersebut membentuk huruf D yang indah penuh dengan buku.
"kenapa aku seperti pernah melihat tempat seperti ini?. Tapi... Dimana?.." Vivian menggaruk kepalanya berusaha mengingat.
"Ya. Aku ingat. Inikan rancangan penelitian para profesor tua itu. Tapi... Kenapa ini bisa sampai kesini? Bukankah penelitian tersebut belum sempurna?." Vivian bingung.
Vivian laku membuka salah satu buku di rak yang berisi tentang tata cara pengoperasian ruang.
Mengerutkan kening sambil membolak-balikkan buku yang sampulnya telah menguning. "Kenapa buku ini memiliki penjelasan yang berbeda dengan yang direncanakan oleh para peneliti tua itu?."
"Aneh. Meskipun kiamat merupakan hal yang luar biasa. Tapi,,, mengapa penjelasan tentang ruang ini terasa sangat... Fantasi?... Bagaimana menggambarkannya ya?." ucap Vivian sambil menggaruk kepalannya.
Ketika Vivian membuka halaman terakhir dari buku tersebut, Vivian dikejutkan oleh penjelasan bahwa gelang giok yang selama ini ia pakai dan telah diminta oleh kakaknya Hera, merupakan harta ruang angkasa.
"Jadi, selama ini, kak Hera bukan memiliki kemampuan ruang angkasa?. Dan... Dan... Kemampuan ruangnya itu, ia dapatkan dari gelang?." Vivian syok mendapati kenyataan bahwa ia telah di bohongi selama ini.
mengerutkan kening. "Tapi... mengapa ruangan yang dimiliki kak Hera hanya seluas 50 meter persegi?. Selain itu, ruangan kak Hera juga tidak dapat untuk menanam sayuran. Sedangkan, ruangan kali ini, masih bisa menanam tumbuhan dan juga memelihara binatang."
"Yah... apapun itu, mungkin ini adalah bonus karena telah dilahirkan kembali. Sekarang, bagaimana caranya aku keluar?."
Setelah berpikir untuk keluar, Vivian tiba-tiba saja kembali ke kamar mandi.
"Wow. Ini sangat luar biasa." Vivian merasa takjub.
Vivian lalu mengulangi beberapa kali keluar masuk ruang.
Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, Vivian mencoba berbagai hal untuk menguji ruang yang baru didapatkannya. Mulai dari meletakkan makanan hangat dan dingin ke dalam ruang, hingga mencoba meletakkan kucing kesayangannya ke dalam ruang.
Setelah melakukan hal tersebut selama beberapa waktu, Vivian akhirnya kelelahan, ia pun duduk di bawah pohon untuk melepas penat.
Karena merasa penasaran dengan air yang dikeluarkan oleh akar pohon, Vivian pun mencelupkan tangannya ke genangan air yang berwarna hijau tersebut.
"Kenapa air ini warnanya hijau?. Seperti air berlumut." Vivian merasa agak jijik dengan warna airnya.
Ketika Vivian mengangkat tangannya dari genangan air, ia merasa telapak tangannya menjadi lebih halus.
"Aneh, kemana perginya kapalan yang ada di jariku?." Vivian membolak-balikkan telapak tangannya karena heran.
Vivian pun memikirkan sesuatu hal yang mungkin terdengar mustahil.
"Yah... Bagaimanapun, akhir dunia juga sudah terjadi. jadi, kenapa kita tidak berjudi. Siapa tahu aku dapat memenangkan lotre." Ucap Vivian dengan mentalitas mencoba.
Vivian pun membuat sebuah luka di jari telunjuknya hingga mengeluarkan darah. Ia lalu mencelupkan luka tersebut ke dalam genangan air. Dan, benar saja, seperti yang Vivian duga. Luka tersebut dapat sembuh dengan kecepatan yang dapat dilihat dengan mata telanjang.
"Luar biasa!. Dengan adanya air berwarna hijau ini, paling tidak, aku sudah memiliki satu kartu penyelamat nyawa yang lebih baik daripada obat-obatan farmasi." Vivian berkata dengan sangat gembira.
.
.
Pada malam hari, di saat Vivian tengah berbaring di atas kasurnya yang empuk. Ia tiba-tiba teringat akan anaknya yang lahir pada saat terjadinya akhir dunia.
"Semoga mama bisa bertemu denganmu lagi ya sayang." Ucap Vivian sambil menatap langit-langit kamar dan memegangi perutnya yang masih rata.
"kali ini, Mama akan memastikan dengan benar, siapa sebenarnya ayah kandung mu. Mama tidak ingin tertipu untuk kedua kalinya dan kemudian mencelakai dirimu."
Tes...
Tanpa sadar, Vivian menangis tatkala mengingat betapa lucu anaknya yang hanya sempat ia temui beberapa kali sejak anak tersebut lahir. Tapi sayang, karena terlahir pada waktu yang kurang tepat dan keputusannya yang salah.Mereka berdua, ibu dan anak harus menjadi korban kekejaman para peneliti gila di laboratorium.
Vivian juga teringat pada waktu itu, karena ia adalah salah satu wanita yang dapat mengandung pada akhir zaman, kakaknya Hera menyarankan bahwa dia harus menyerahkan diri untuk berkontribusi bagi perkembangan umat manusia yang semakin menurun.
Vivian yang kala itu masih sangat mempercayai perkataan kakak dan keluarganya. Akhirnya setuju untuk memasuki laboratorium. Karena pada masa itu, memang, perkembangan umat manusia sangatlah lambat. Sedangkan, ratusan bahkan ribuan manusia mati setiap hari di mulut zombie.
Vivian tidak tahu bahwa setelah dia melahirkan, para peneliti itu tidak hanya tidak melepaskannya.
Mereka justru membuat Vivian tetap sebagai kelinci percobaan untuk mengetahui struktur tubuh dan mutasi gen dari seorang manusia super guna meningkatkan kemampuan tempur mereka.
Percobaan demi percobaan dilakukan pada tubuh Vivian.Hingga membuatnya mati rasa. Apalagi, di saat yang paling putus asa. Tidak ada satu orang pun dari keluarganya yang memberikan semangat.Bahkan Hera pun tidak.
Kakak yang selalu baik terhadapnya itu, justru tega merusak wajah Vivian karena Vivian lebih banyak di sukai oleh anggota team dan petinggi pangkalan dari pada dirinya sendiri.
Pada saat itu satu-satunya hal yang masih menjadi alasan bagi Vivian untuk tetap bertahan hidup adalah bayinya.
Tidak!!
Mereka bukan lagi keluarga Vivian. Sejak mereka mengirimkan bayinya ke para peneliti tua itu, Vivian sudah tidak menganggap mereka sebagai keluarga lagi.
Apalagi.
Mereka ternyata memang tidak memiliki hubungan darah.
Kenyataan inilah yang membuat Vivian bertekad untuk segera memutuskan hubungan kekeluargaan di antara mereka. Dan jika Vivian memiliki kesempatan, jauh di lubuk hatinya. Ia ingin bertemu dengan keluarga kandungnya sekali lagi dan memperbaiki kesalahan yang telah ia perbuat kepada mereka.
.
.
mata Vivian berkilat penuh kebencian, tangannya menggenggam erat selimut di kedua sisi badannya menahan perasaan marah.
"Hera. Leo. Tunggu saja kalian. Aku, pasti akan membalaskan dendam ini tanpa berkurang satu poin pun."
Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan masa lalu. Vivian pun membulatkan tekadnya.
Vivian menyentuh perutnya.
"Mama berjanji. Dalam kehidupan kali ini, Mama akan melindungi mu. Mama tidak akan pernah membiarkan, orang-orang jahat itu melukaimu lagi dalam kehidupan kali ini."
.
.
Keesokan harinya, Vivian mulai menuliskan rencana untuk menghadapi terjadinya akhir dunia di dalam sebuah catatan agar ia bisa mengingat kejadian-kejadian penting yang akan terjadi pada akhir dunia.
"Baiklah. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menjual asetku saat ini. Karena, aku tidak memiliki banyak uang tabungan." ucap Vivian sambil melipat catatan yang baru saja diselesaikannya dari atas meja.
Meskipun orang tua angkat Vivian tidak terlalu menyukai dirinya, namun apa yang diberikan tetap tidak terlalu lusuh.
Mereka takut, jika terlalu dibeda-bedakan dengan Hera, Vivian akan merasa curiga.
Kebetulan.
Karena pada saat ini, sepupu Leo sangat ingin menyusahkan Vivian dengan selalu berusaha untuk mendapatkan apartemen yang diberikan oleh ayah Vivian.
Ia berharap Vivian tidak memiliki tempat tinggal lagi. karena dia tahu bahwa Vivian tidak terlalu dekat dengan orang tuanya dan juga Hera. Sehingga jika Vivian kehilangan tempat tinggal, Dia sangat yakin bahwa Vivian tidak akan pernah pulang ke rumah nya.
"kalau begitu,,, mengapa tidak kita manfaatkan saja sepupu Leo?." Vivian membuat perhitungan kecil untuk sepupu Leo.
Lagipula jika akhir dunia datang, uang adalah salah satu hal yang sangat tidak penting. Karena uang hanya akan menjadi barang bekas yang bahkan nilainya lebih rendah daripada tisu toilet.
.
.
Vivian mulai merancang sebuah sandiwara bahwa ia ingin berinvestasi dalam sebuah produksi film tertentu sehingga ia sangat membutuhkan uang dalam jumlah yang lumayan besar.
Semua teman-teman di sekitarnya mulai percaya bahwa Vivian sendang ingin berinvestasi pada sebuah produksi film tertentu. Karena Vivian memang terkadang akan melakukan sebuah investasi kecil-kecilan.
Saat ini Vivian sudah berhasil mengantongi uang sebesar 25 juta dari hasil menjual tas dan perhiasan yang ia miliki.
Tidak akan terlalu lama sebelum akhirnya ikan pun memakan umpan.
Kring~
telepon Vivian berdering
"hello, sellen, ada apa kamu meneleponku?" Vivian tersenyum dan berpura-pura tidak tahu.
Semua sesuai prediksi, tapi ternyata, sellen menghubunginya lebih cepat. Tidak lebih dari satu hari ikan itu akhirnya mengambil umpan.
"Vivian, aku mendengar dari orang lain bahwa kamu ingin menjual apartment mu?."
"He Hem.. Aku memang sedang ingin menjualnya."
"Bagaimana jika kamu menjualnya kepadaku. 1,5 milyar. Bagaimana?"
"kamu bercanda?." Vivian cemberut mendengar tawaran tidak masuk akal dari sellen. "Ayah membelinya seharga 2 milyar, belum lagi perabotan di dalam yang setidaknya menghabiskan ratusan juta."
"Dimana kamu bisa menjual apartemen mu dengan cepat dan harga yang mahal?." Sellen masih tidak mau menyerah dengan tawarannya.
"Tidak. Aku masih bisa menunggunya selama satu bulan lagi. Tidak mungkin untuk rugi terlalu banyak." Vivian menolak dengan tegas.
"Ayolah... Itu hanya rumah tua ok."
"sekali tidak. Ya tetap tidak. Jika kamu tidak mau menaikkan harga juga tidak apa-apa. Kris masih mau membelinya dengan harga 2,1 milyar. Jika dalam satu Minggu masih tidak ada penawar dengan harga yang lebih tinggi, maka tempat ini, aku akan menjualnya pada Kris."
"Ayolah... Kamu kan kekasih kakak sepupuku. Masak kamu tega memberikan harga yang begitu tinggi?."
sellen berusaha membujuk Vivian agar menurunkan harga jual apartemen dengan menggunakan nama sepupunya. Yang tidak pernah ia duga adalah, Vivian sudah putus dari Leo pada pagi hari.
"Kami bukan lagi kekasih. Terimakasih." Vivian tidak terlalu suka sellen membawa-bawa nama Leo.
Mendengar berita putusnya hubungan antara Leo dan Vivian, sellen justru tidak terlalu bahagia. Bagaimanapun, Vivian yang di mata sellen adalah wanita dengan rasa cinta yang besar untuk sepupunya itu, akan sangat mudah di bodohi dan di manfaatkan.
Contohnya, jika di hari normal, saat sellen membawa-bawa nama sepupunya, Leo. Pasti Vivian akan mempertimbangkan harga yang ia berikan.
Meskipun, ada penawar yang menawarkan harga yang jauh lebih tinggi darinya. Atau ketika dia mengeluh bahwa ia sangat menginginkan suatu barang baru yang telah dimiliki Vivian, wanita itu akan dengan bodohnya memberikan barang tersebut secara gratis.
"BAGAIMAN KALIAN BISA PUTUS?." Sellen tanpa sadar menaikkan volume suaranya.
"putus ya putus. Memangnya ada apa lagi yang harus di bicarakan."
"O, oke... Tapi... Bisakah harganya tidak terlalu mahal?... Kamu tahu, orang tuaku tidak begitu baik hati untuk memberikan uang yang cukup besar untuk membeli apartemen." sellen berbicara dengan nada seolah dunia berhutang puluhan juta kepadanya.
"Jika memang tidak mau, ya tidak apa-apa. Toh masih banyak orang yang suka apartemen di daerah sini."
Vivian juga tidak terlalu peduli sebenarnya tentang siapa yang akan membeli apartemen miliknya tersebut. Selama harganya wajar, tidak menjadi masalah di tangan siapa pada akhirnya apartemen itu akan berakhir. Namun, sangat disayangkan jika umpan yang sengaja ia pasang tidak dimakan dengan baik.
"Beri aku waktu selama 3 hari. Aku akan membayar 2,2 milyar untuk apartemen mu." sellen akhirnya membuat keputusan untuk menaikkan harga tawarannya.
"2,5 bagaimana?. Jangan terlalu murah, aku sangat membutuhkan dana yang cukup besar dalam investasi kali ini. Jika harganya terlalu murah, aku tidak akan melepaskannya." Vivian mengucapkan kebohongan tanpa mengubah ekspresi wajah.
sellen sangat kesal dengan Vivian yang tidak bisa di ajak bekerjasama. Ia pun menggerakkan gigi dengan geram. "Bagaimana perempuan ini menjadi sangat sulit untuk dihadapi?." ucap sellen dalam hati.
"2,3 milyar, itu tawaran ku yang paling terakhir. Bukankah harga itu lebih tinggi dari pada harga yang ditawarkan oleh Kris?."
sellen akhirnya membuat keputusan untuk menaikkan harga tawarannya. Tapi ini jelas harga terakhir yang mampu ia bayarkan. Sellen berharap Vivian akan menerima penawarannya kali ini, jelas, ia tidak ingin kris, pria yang ia sukai membantu Vivian.
Sellen tahu, bahwa Kris sendiri memiliki cinta bertepuk sebelah tangan untuk Vivian. Karena Vivian selalu menganggap Kris sebagai adik. Hal ini pulalah yang membuat sellen membenci Vivian. Apalagi, ketika sellen mengetahui bahwa Leo dan Vivian putus. Ia menjadi lebih khawatir.
"emm... Itu..." Vivian bertindak seolah dia ragu untuk melepaskan apartemennya dengan harga segitu.
"Baiklah. Aku akan memberikan apartemennya kepadamu." ucap Vivian dengan nada yang dibuat seolah-olah dia menderita kerugian besar.
"Benarkah?," bahagia "Bagaimana kalau kita menyelesaikan prosedurnya hari ini?."
sellen sudah membayangkan bahwa dia akan mengusir Vivian dari apartemen barunya tersebut.
Tanpa sellen sadari, Vivian di ujung telepon juga menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
Sejak merencanakan untuk menjual apartemen miliknya, Vivian juga sudah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tersebut.
Jika ingatannya benar.
Pada permulaan bencana banjir di akhir zaman, gedung apartemen ini akan di kuasai oleh tim penyelamat dari pemerintah karena merupakan salah satu gedung yang masih kokoh berdiri setelah terjadinya gempa bumi.
Setelah dikuasai oleh pemerintah, mereka memasukkan para korban bencana kedalamnya, apartemen yang dulunya merupakan kawasan elit dengan penjagaan 24 jam sehari, sudah tidak bisa menjadi tempat yang disebut aman lagi. Karena di apartemen, akan sering terjadi perkelahian kecil setiap hari, dan perkelahian besar setiap tiga hari.
Hal seperti itu biasa di alami Vivian pada kehidupan sebelumnya. Ia bahkan harus merelakan gedung apartemen miliknya sebagai kantor pusat tim penyelamat karena berada di lantai tertinggi.
.
.
Sellen dan Vivian akhirnya selesai melakukan transaksi jual beli.
Setelah mengumpulkan uang hasil penjualan apartemen. Vivian bergegas untuk menyewa sebuah gudang di pinggiran kota. Ia telah menghubungi pemilik gudang tersebut pada pagi hari, dan berencana untuk menyewa gudang selama satu bulan.
"Sepertinya aku akan menggunakan gudang ini untuk beristirahat selama satu bulan." pikir Vivian yang tidak ingin mengeluarkan uang untuk menyewa sebuah rumah baru.
"Siapa yang ingin menyewa rumah jika sudah ada yang siap pakai."
Setelah mengunci gudang, Vivian lalu duduk di sebuah ruangan yang dulunya merupakan kantor di gudang tersebut. Ia juga mengeluarkan makanan yang ia masak sebelumnya dari dalam ruang.
Setelah menghabiskan makanannya, Vivian kemudian memasuki ruang untuk membersihkan diri dan beristirahat.
.
.
Vivian bangun agak terlambat pagi ini. Ia merasa sangat segar karena ini adalah kali pertama dirinya tidur tanpa mencemaskan apapun. Jika itu adalah akhir dunia, maka mereka yang masih hidup akan selalu dihantui oleh perasaan cemas.
"Baru kali ini aku bisa tertidur tanpa harus memikirkan tentang makanan dan penghianat."
Vivian lalu turun dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
.
"Baiklah, hal pertama yang akan kita lakukan hari ini adalah membeli makanan." Vivian kemudian melipat kertas catatannya setelah melihat list kegiatan apa saja yang akan dilakukan untuk mempersiapkan akhir dunia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!