...🥀LOVE IS BEAUTIFUL PAIN🥀...
Semua bermula dari percakapan kasual diantara mereka, yang mereka tahi adalah hubungan sebatas sahabat dekat yang mendadak menjadi lebih ketika Melody Senja dengan segala keberanian, mengungkapkan perasaannya kepada sahabatnya sendiri Kaal Vairav.
"Kaal kau tahu... Aku...." suara lirih bernada getir mengiris sunyi, dua pasang mata yang tidak saling tertambat menyaksikan gambar di layar kaca yang terus-menerus berganti.
"Aku sudah lama jatuh cinta padamu."
Bergeming, jemari Kaal memainkan puntung yang tergantung bebas di antara telunjuk dan jari tengah. Ia meresapkan sekali lagi nikotin ke dalam paru-paru, membiarkan hening mengendap lebih lama untuk menemani hela napas tertahan Melody.
Kemudian lelaki itu menjawab
"Tanpa kau beritahu pun aku sudah menyadarinya, bodoh jika aku tak menyadari perasaanmu, itu terlalu jelas Melody"
Balasan tersebut lepas dengan begitu datar, tanpa adanya setitik keterkejutan. Belum ada satupun dari mereka yang sekiranya sudi untuk menoleh.
Keduanya tahu permasalahan utama mengapa kisah cinta ini akan menjadi sesuatu yang rumit. Terlepas dari hubungan persahabatan mereka, titik berat yang lebih mengancam adalah sesuatu yang lain.
Kaal Vairav tidak pernah menetap pada satu hal, hatinya merupakan nomaden yang mengembara tanpa ingin singgah bahkan untuk sementara. Ia selalu berpindah tempat untuk meraup prespektif baru. Mengingkari jemu dengan dalih bahwa manusia bukan termasuk tempat tinggal.
Perasaan Melody—bagaimanapun, selalu nyata bagi Kaal.
Tatapan gadis itu seperti biasa tidak pernah luput berada di sana, tidak ada yang berubah di dua kornea yang menatapnya lembut entah seberapa larut dan mabuk ia kembali ke apartemen mereka, entah seberapa berkarut dan buruk keadaannya ketika menggelayut di bahu gadis itu.
Menghancurkan rokok yang telah mencapai pangkal, Kaal akhirnya berpaling. Kaal menatap sosok yang menyiratkan teduh bahkan dalam balutan pakaian tidur lusuh dan kedip remang cahaya televisi.
"Kau boleh berhenti Melody. Aku tidak akan pernah merubah status kita sebagai sahabat, jadi berhentilah dan bunuh perasaanmu itu karena percuma saja itu tidak berguna, lambat laun kau akan terluka dengan perasaan konyolmu itu"
Tawa pahit Melody mengudara sesaat setelah Kaal mengucapkan kalimat itu—untaian tawa terpaksa yang menyiratkan ironi serta simpati kepada diri sendiri sebab Kaal tentu tidak mengerti.
"Kaal sungguh bukan aku yang memiliki kuasa atas perasaanku ini."
Kaal Vairav tentu tidak akan mengerti bahwa jatuh cinta adalah ketidaksengajaan paling brengsek yang dibebankan ke manusia tanpa kemudi pengendali.
"Baiklah, pertahankan apa yang kau ingin pertahankan, perasaan dangkalmu hanya akan membuatmu menyesal Melody." Kaal membalas, berharap kalimatnya akan menciptakan sejumput ketakutan lalu merampas tenang yang menaungi aura Melody sekarang.
Namun gadis di sampingnya menengadah, tersenyum memancarkan damai seolah hari esok tidak akan pernah cukup kuat untuk meremukkannya.
"Menyesal karena jatuh padamu?" tanya Melody, mata berkaca-kaca—mungkin karena air mata, mungkin karena perasaan lega.
"Aku tahu."
Jeda panjang tanpa suara, Melody mengulang.
"Aku tahu Kaal."
"Bagus."
"Aku tau kau tak sebodoh itu untuk menangkap maksudku"
Kemudian, percakapan itu beranjak padam.
...***...
Kaal Vairav siapapun pasti tidak asing dengan nama itu, sebuah nama yang cukup unik yang bersanding dengan rumor gulir cerita dari mulut ke mulut yang terus bersambung tanpa kenal sasaran. Tidak semua yang mendengar mungkin mengenal langsung sosok Kaal Vairav, tetapi kisah mengenai figur menarik yang gemar mematahkan hati para wanita melekat erat pada nama tersebut.
Melody Senja mengetahui fakta itu, gadis cantik itu mengetahui bagaimana Kaal Vairav merayu lewat bisik lembut, menjaga lawan bicara untuk tidak mengalihkan perhatian dengan tawa palsu, serta sentuhan seduktif berseling seringai hanya demi mengirim incarannya masuk ke perangkap.
Dan karena Melody mengetahui hal tersebut, gadis itu juga seharusnya mengetahui bahwa jatuh cinta kepada Kaal adalah kesalahan yang fatal, namun apa yang bisa ia perbuat, itu diluar kehendaknya, hati memutuskan untuk jatuh hanya ketika ia merasa pantas untuk jatuh, mengesampingkan fakta bahwa terkadang dampak sakit yang diterima belum tentu berakhir sepadan.
Toh, Kaal tidak peduli dengan referensi tersebut.
Apa yang ia pedulikan adalah perasaan lega sebab Melody menjadikan pagi selanjutnya jauh lebih mudah daripada apa yang ia kira.
"Pagi Kaal...." Melody menyapanya dari balik gelas tinggi berisi susu putih dengan senyum simpul seolah pernyataan cinta kemarin bukan termasuk variabel yang dapat merubah hubungan mereka.
Menarik kursi meja makan keluar, Kaal duduk di hadapan Melody, menatap diam tepat pada bola mata indah gadis itu dalam sunyi. Tanpa perlu meminta, satu porsi sarapan disodorkan ke arahnya.
Ini adalah rutinitas yang telah berubah menjadi kesepakatan diantara keduanya, Melody menyiapkan dua porsi sarapan untuk mereka dan sebagai balasan dan Kaal memastikan seluruh bahan makanan dalam lemari pendingin selalu berganti dengan yang baru.
"Kau akan datang ke klub hari ini?" tanya Melody memulai percakapan.
Bodoh kalau ia sama sekali tak menyadarinya, itu terlihat jelas, Kaal menangkap sembab di sekitar kelopak mata Melody yang membuatnya menarik kesimpulan bahwa gadis itu tidak sebaik penampilannya.
"Mungkin." Jawab Kaal seraya menatap Melody yang terlihat menyembunyikan kekecewaan.
Walaupun begitu, Melody tidak mengatakan sepatah kata pun—ia memang seperti itu.
Melody Senja memang selalu seperti itu.
Belajar dari hubungan pertemanan mereka selama bertahun-tahun, Kaal tidak pernah mendengar Melody melayangkan kalimat ketidaksetujuan apapun yang keluar dari mulutnya
Gadis itu hanya menerima apa yang ia utarakan, atau menanggapi dengan sesuatu yang lebih menguntungkan Kaal daripada dirinya sendiri seperti
"Aku bisa menjemputmu nanti Kaal"
"Kau tidak perlu repot-repot melakukan itu."
"Tidak apa-apa Kaal, aku tidak keberatan" Melody menjawab yakin.
"Lihat siapa yang berbicara, cih kau keras kepala seperti biasa"
Kaal mendengus sarkastik sebab pada kenyataannya, menawarkan bantuan bukanlah suatu perkara yang perlu diributkan. Kecuali, jika bantuan yang dimaksud adalah menjemput seseorang pada sebuah klub malam dengan tubuh masih lemas serta masih tercium aroma sisa bercinta tepat setelah kau secara terang-terangan menyatakan cinta kepadanya.
Itu adalah salah satu tindakan penghancuran diri. Dan Melody dengan lapang dada menyerahkan diri untuk ia hancurkan
Akan tetapi, Kaal ingin bermain seri.
Bila memang Melody ingin semua berjalan seperti biasa—ada dan seadanya, maka ia tidak segan untuk mengikuti.
"Okay. Lakukan apapun yang kau mau" Balasnya menyetujui.
Melody tampak mengangguk pelan.
Gadis itu kembali berkutat dengan sarapannya, menenggelamkan kesunyian yang berhembus dalam denting peralatan makan serta kecanggungan yang kian asing.
...TBC...
Sebenarnya saya nulis apaan? 😏
Dengerin lagu Love is beautiful pain, tiba-tiba dapat dorongan nulis ini cerita🙂↔️
Dengerin lagi lagu ini dan kepikiran hubungan dengan pola toxic semacam even you hurt me but still I love you, that's the definition of love is beautiful pain🙂↔️🙂↔️
Sebagai maso nggak puas kalau belum bikin cerita yang pemain utamanya tak tersakiti. Saya nggak enak sama kalian yang baca😂🤣, maafkan dengan kemaso an saya kalian baca cerita angst saya, hampura~🙏🙂↔️
thanks for reading
Review please?
...****...
I know our relationship kinda toxic but you're the only one I choose, even though you break my heart
...****...
Ketika segala aspek dalam kehidupan telah terpenuhi, seseorang biasanya akan mencari kegemaran baru.
Sebagian memilih mengisi waktu luang dengan olahraga, sebagian lainnya memilih bermain investasi, dan sebagian sisanya mencari bentuk kenyamanan lain yang dapat dipertahankan. Namun Kaal Vairav memilih untuk berburu. Dan dengan berburu, apa yang menjadi mangsanya bukan binatang seperti pada umumnya. Melainkan wanita dengan pakaian minim yang terlihat tersesat dalam hingar bingar suara musik yang berdentum.
Kaal tipe yang pemilih, bukan hanya penampilan fisik seseorang yang menjadi prioritas utamanya, tapi kesempurnaan yang bisa membuat hasratnya terpuaskan. Ya itu tujuan akhir yang ingin Kaal capai adalah kepuasan—baik secara harfiah, maupun dalam bentuk rasa bangga setelah sukses menodai seseorang yang bahkan tidak mengerti apa itu bercinta di luar hubungan.
Permulaannya selalu sederhana.
Kaal akan mengobservasi menyeluruh, eliminasi beberapa target sebelum menentukan siapa yang paling berpotensi, kemudian dengan langkah percaya diri, senyuman yanh memikat, dan percakapan singkat yang berakhir dengan bisikan di telinga seperti...
"Aku yakin kau akan seratus persen lebih mempesona saat kau mendesahkan namaku nona"
Lalu seperti mantra ampuh tanpa cela, Kaal pasti mendapatkannya.
Gang belakang klub selalu menjadi tempat terbaik bagi Kaal untuk bercinta dengan partnernya. Ia terbiasa melampiaskan nafsu pada jalan sempit tanpa penerangan, menghimpit entah siapa yang menjadi korbannya pada dinding dan menyetubuhinya seperti pelacur.
Tidak perlu ruang tidur hotel, kamar apartemen, atau percakapan buang-buang waktu di perjalanan demi meraup kenikmatan bercinta
Dengan cara seperti itu, Kaal menilai semua berlangsung lebih kotor, cepat, dan tanpa drama berkepanjangan.
Malam ini seharusnya, bukan menjadi malam pengecualian. Akan tetapi, entah mengapa Kaal justru membuatnya demikian.
Ia meloloskan kadar minumannya melampaui kapasitas wajar, menghilangkan kebiasaan menghapus bekas lipstick milik entah siapa wajah tanpa nama di bagian-bagian tertentu tubuhnya, serta melakukan beberapa hal berbeda dalam aktivitas seksualnya tadi.
Kini—bergelayut dengan kaki yang nyaris tidak berfungsi di luar pintu klub, Kaal menyisir lalu lalang mobil yang mendekat.
Jemari tangannya yang masih memiliki sisa energi mengangkat puntung hingga bibir, pemantik menggantung pada genggaman tangan kanan sebab ia kesulitan memasukkan benda itu ke dalam sakunya.
Ia menghisap beberapa kali sebelum secara mendadak batang rokoknya disentak jatuh.
Kaal tersenyum tipis, sebab itu adalah pertanda bahwa seseorang yang ia tunggu telah datang.
Maka alih-alih hardik protes, bibir Kaal justru menarik senyum.
Hanya Melody Senja yang berani melakukan tindakan semacam itu.
Memalingkan wajah, dugaannya terbukti benar ketika ia menangkap sosok Melody di sampingnya.
Gadis itu menggamit lengan Kaal tanpa bicara, berusaha menuntun langkah berantakannya hingga ke bangku depan mobil.
Tubuh Kaal dilipat sedemikian rupa hingga seluruh kakinya masuk sebelum gadis yang membawanya akhirnya beranjak ke kursi kemudi—hanya untuk diam di sana sejenak, menyandarkan kepala pada bantalan klakson, lalu melirik ke arah tiap bukti wanita lain di tubuh Kaal.
Hela napas panjang terdengar berhembus, Kaal tersenyum puas.
Ia memang menginginkan ini.
Ia memang menginginkan reaksi semacam ini dari gadis itu.
Karena ia tahu bahwa—lambat laun, ketika suatu luka menyerang pada titik yang sama, bagian itu akan berubah kebas.
Begitu pula dengan hati.
"Dengan penampilanku seperti ini, Do you still love me Melody?"
Itu bukan dimaksudkan sebagai pertanyaan dalam makna yang sama, melainkan sesuatu yang lebih mendesak seperti apa kau masih bisa mencintaiku ketika mengetahui bahwa aku seburuk ini?
Lewat penglihatannya yang kian kabur, Kaal melihat perpindahan sirat mata Melody yang begitu kentara.
Gadis yang mengenakan pakaian casual itu kemudian mulai menjalankan kemudi—berpura-pura mengabaikan pertanyaan Kaal yang masih menunggu jawaban darinya
Beberapa lampu lalu lintas terlewati, tidak ada sepatah katapun tertukar. Hanya deru halus mobil serta sayup suara musik yang disetel dalam volume minim mengisi keheningan.
Jam digital pada dashboard kemudian berkedip, menampilkan pukul tiga tepat ketika Melody memutuskan untuk angkat bicara.
"I do, Aku masih mencintaimu Kaal" jawabnya.
Terdapat senyawa magis pada pukul tiga pagi yang mendorong keluar versi lain dalam tiap individu, sesuatu yang membuat mereka jauh lebih berani dan rentan dalam waktu yang simultan.
"Dan aku tidak tahu alasan kenapa aku masih mencintaimu?" Melody mendengus mengolok dirinya sendiri.
Itu terdengar parau, terlalu pelan, dan putus asa.
Kaal tidak menyukainya.
Tanpa sadar tangannya menggapai kepala Melody, memberikan beberapa usapan di rambut yang membuat gadis itu menoleh dengan cekat menyedihkan.
Namun berkebalikan dengan gesture lembut yang tengah ia berikan, kalimat yang lepas dari mulut Kaal justru tajam dan bernada tegas.
"Cepatlah patah Melody Senja"
"dan berhenti bersikap bodoh, aku membencinya"
...***...
Ini bukan kompetisi, Kaal tahu.
Akan tetapi ketika Melody membangunkannya dengan suara halus serta menawarkan segelas air putih yang dapat berarti banyak pada fase hangover-nya, Kaal merasa luar biasa kalah saat itu juga
Gadis kecilnya itu duduk diam di tepi ranjang, mengamatinya menghabiskan teguk demi teguk air dalam gelas dengan tatapan peduli.
"Kaal apa kau merasa lebih baik sekarang?"
Kaal mengangguk sembari menyerahkan kembali gelas yang digenggamnya. Ia melihat Melody berbalik badan untuk meletakkan benda itu di atas nakas.
Dari belakang, punggung gadis itu tampak tenggelam dalam baju berukuran lebih besar yang dikenakannya. Rambut bangun tidurnya yang terlihat lucu dan mencuat setiap kali ia bergerak. Wajah cantiknya yang masih menyimpan kantuk mengalahkan lembutnya embun pagi di luar jendela.
Melody terlihat begitu nyaman.
Kaal sangat ingin sekali memeluknya dari belakang. Ia bertaruh pada dirinya sendiri bahwa pelukan Melody Senjanya akan terasa seperti nostalgia.
Suatu familiaritas yang menguarkan aroma masa remaja mereka.
Mendengungkan tawa lepas Melody di hari-hari seusai pulang sekolah, kaki mereka yang saling berkejaran untuk mendahului, pekikan mengaduh berseling suara gaduh ketika Kaal berhasil menangkap gadis itu di lengannya.
Kemudian mereka mulai berguling, Melody berusaha melepaskan diri, Kaal mendekap gadis itu lebih erat sebelum kecupan-kecupan singkat melayang ke setiap bagian wajah Melody.
Gadis itu akan tertawa semakin keras, meneriakkan sesuatu seperti kau mesum, lalu Kaal akan menahan Melody ke tanah—menghindari serangan Melody yang juga menyerang balik dengan kecupan-kecupan singkat pada wajahnya
Dan setelahnya, Kaal akan menerima amarah dari Ibu sahabatnya itu. Wanita paruh baya itu selalu mengeluhkan noda tanah yang sulit hilang pada pakaian seragam Melody.
Tetapi Kaal tidak pernah jera, begitu pula dengan Melody. Maka mereka akan mengulangi hal serupa keesokan hari, keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi.
Lalu ketika siang berganti sore, mereka selalu siap dengan minuman ringan serta obrolan di atas tempat tidur, anggota tubuh yang saling lekat, tangan yang menjelajah untuk mengusap wajah, serta sentuhan lain yang tidak seharusnya bertahan lama.
Apa yang keduanya sebut persahabatan nyatanya mendekati hubungan resmi. Namun mereka tidak pernah ingin mengalamatkan diri sebagai pasangan.
Mereka hanya bertukar kontak fisik, bahkan tidak lebih dari sekedar kecupan tanpa mencantumkan perasaan, intimasi, apalagi komitmen.
Sementara bagaimana hubungan di antara keduanya kini berubah adalah apa yang selalu datang kepada semua orang; hidup.
Ketika kata dewasa menyapa, Kaal mulai menafsirkan hidup dalam translasi tanpa hiperbola. Pada saat itu, ia menyadari bahwa mementingkan diri sendiri akan jauh lebih berguna.
Kaal menyebut prinsipnya realistis, Melody menyebut ia hanya terjebak dalam tujuan hidup yang simpang siur.
Oleh karena itu pula, gadis itu bertahan.
Lamunan yang melayang kembali ke masa sekarang saat Melody menyadarkannya dengan
"Kaal apa kau butuh sesuatu yang lain?"
"Tidak," sahut Kaal tegas.
"Tidak ada."
"Kau boleh pergi"
......TBC......
...***...
"Kaal apa kau butuh sesuatu yang lain?"
"Tidak," sahut Kaal tegas.
"Tidak ada."
"Kau boleh pergi"
Melody memandangnya sekilas, gadis itu memaksakan senyum yang membuat suasana hatinya memburuk.
Kaal menarik lengan Melody yang hampir beranjak pergi, Ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk sekedar menoreh luka.
"Kau memakai bajuku Melo"
Kepala Melody menunduk memeriksa baju yang tengah ia kenakan. Gadis itu lalu tertawa pelan, menganggap ini merupakan suatu momen candaan.
"Ah, itu karena semua bajuku kotor, jadi aku meminjam bajumu, aku minta maaf aku akan mencu—"
"Lepas sekarang juga Melody" Kaal memotong.
"Aku akan mencuci bajuku sendiri"
Untuk beberapa saat, Melody bergeming. Berdiri mematung di kedua kaki seraya melesatkan tatapan kosong yang tidak dapat Kaal artikan.
Kaal sungguh rela melakukan apapun demi menghadirkan ekspresi terluka pada wajah Melody saat ini.
Tanpa memutus pandangan, Melody tiba-tiba melepas baju yang menjadi sumber permasalahan. Kulit putih dengan rona merah muda terekspos perlahan, membuat Kaal segera memalingkan wajah ke arah selimut yang membungkus tubuhnya.
Kaal mendengar langkah Melody mendekat—tapak demi tapak, lalu berhenti.
Membungkuk, gadis itu meletakkan baju yang sudah terlipat rapi di pangkuan Kaal, sebelum berujar—dengan nada yang tidak melibatkan rasa tersinggung
"Pastikan kau menggunakan disinfektan terbaik Kaal."
Punggung Melody yang tidak lagi terlihat tenggelam kemudian menjauh. Bersama debum halus pintu yang tertutup, Kaal kembali sendiri.
...****...
Jam pada arloji menunjukkan pukul tiga pagi lebih ketika Kaal secara mengejutkan, kembali ke apartemen dalam keadaan sepenuhnya sadar.
Meskipun gaya hidupnya jauh dari keteraturan, Kaal Vairav memiliki keteguhan terhadap bisnis keluarganya yang ia jalankan. Ia merupakan pekerja keras yang pantang pulang sebelum memastikan segala sesuatunya telah berjalan baik.
Dengan tubuh dipukul habis setelah berkutat dengan desain hampir semalam suntuk, ia melangkah gontai. Telinganya sayup-sayup mendengar suara iklan komersial yang datang dari ruang tengah apartemen.
Melongok, Kaal melihat Melody terbaring di atas sofa. Kaki kecil gadis itu melingkar hampir mencapai dada, kepala bersandar pada sisi sofa yang tidak berfungsi baik sebagai bantal penyangga.
Meraih remote televisi yang tergeletak di meja, Kaal segera mematikan benda itu. Ia kemudian berlutut di hadapan Melody yang ternyata sudah tertidur pulas, mengamati dari jarak yang cukup dekat bagaimana dada gadis itu naik turun dalam setiap hembusan napas.
Kaal tersenyum kecil, dan mungkin ini adalah pertama kali sejak beberapa bulan terakhir ia tersenyum tulus seperti ini. Tangannya terangkat mendekat ke gadis yang sedang tertidur, ingin mengenyahkan surai hitam panjang yang menutupi sebagian wajah mungil gadis itu.
Namun ia segera berhenti sebelum ujung jarinya sempat menyentuh, senyumnya pudar tanpa sisa, kepala menunduk ditempa rasa bersalah yang nyaring di pikirannya.
Hawa magis itu datang kembali—zat tidak kasat pukul tiga pagi yang mendorong versi lain dalam diri seseorang.
Mendekat ragu, Kaal mencondongkan wajahnya—bibir nyaris menempel ke daun telinga Melody Senja yang tengah terlelap damai dalam tidurnya.
"Jangan mencintaiku Melody" bisiknya sekali.
"Jangan mencintaiku kumohon," bisik Kaal untuk yang kedua kali.
Kemudian lagi, jangan mencintaiku untuk yang kesekian kali hingga kalimat tersebut berubah menjadi sugesti yang diharapkan akan menghuni hati Melody.
Dengan benak berhamburan, Kaal akhirnya berdiri. Ia melepaskan sekilas pandang terakhir ke Melody tidak juga melewatkan dengkuran halus yang gadis itu hasilkan sembari berucap lemah...
"Aku ingin kau segera patah, Melody Senja."
Tatapan sendu bertahan beberapa detik, Kaal mendesah kepada diri sendiri.
Karena jika tidak, maka aku yang akan terlebih dahulu patah.
...***...
Suara peraduan tubuh berdecak keras, diiringi jeritan wanita yang terus menerus di hujam dari arah belakang. Pinggang wanita itu dicengkeram erat, pergerakan brutal tidak juga surut dari lelaki yang kini—seolah masih belum puas dengan teriakan wanita itu, berbisik memerintah.
"Lebih keras"
Menurut tanpa bicara, wanita itu melenguh lantang. Kepalanya yang terkulai dekat dengan dinding kali ini menempel pasrah. Ia menerima hentakan kuat dari lelaki yang hanya menggeram tanpa menyebutkan nama sedari tadi.
Wanita itu tentu tidak mengerti bahwa lelaki yang membawanya ke apartemen adalah orang yang memiliki prinsip untuk tidak membawa partner manapun ke dalam ruang tidurnya.
Tetapi Kaal Vairav mengaku memiliki alasan.
Bukan. Tentu bukan karena wanita ini benar-benar menarik sehingga ia pantas mendapatkan perlakuan lebih. Melainkan karena ia ingin melihat jatuhnya ekspresi Melody, gadis kecilnya ketika ia membawa masuk wanita asing ke dalam apartemen mereka.
Kaal memang mendapatkannya—perubahan signifikan dari sambutan senyum yang berganti menjadi kernyitan di dahi dan tatapan terluka dari gadis dihadapanya
Namun itu hanya bertahan sementara, bahkan tidak lebih dari satu menit sebab Melody hanya merespon dengan menundukkan kepalanya sembari berpesan bahwa ia akan kembali ke ruang tidurnya.
Bagi Kaal Vairav, itu sama sekali belum cukup. Ia ingin respon yang lebih dari sekedar tatapan terluka, ia menginginkan Melody marah. Ia menginginkan Melody melemparkan tatapan menghakimi.
Kaal menginginkan senyum muak Melody yang hadiahkan padanya—senyum yang menyiratkan bahwa ia adalah serendah-rendahnya manusia.
Maka dari itu Kaal terus-menerus memancing. Membuat suara-suara kenikmatan, mendesah sekeras mungkin, suara menjijikan yang dibuat-buat karena ia sama sekali tidak menikmati ini.
Bercinta dalam keadaan marah adalah sesuatu yang buruk. Kaal sama sekali tidak meredakan amarahnya saat ini, sungguh ini benar-benar buruk
Tidak adah hasrat bermain di sana, hanya tumpukan emosi yang berusaha dilampiaskan lewat gerakan tajam demi mempercepat klimaks. Konsentrasinya terbagi antara menjaga ereksinya dan menunggu seseorang berwajah marah mendobrak pintu kamar dengan urai air mata.
Akan tetapi keinginan itu segera sirna begitu telinganya mendengar suara pintu utama apartemen tertutup kasar. Ya sepertinya Melody pergi, alih-alih memarahinya dan menyuruhnya berhenti gadis itu lebih memilih mengabaikannya dan pergi begitu saja...
Kaal harap gadis itu pergi untuk selamanya, atau ia akan lebih membenci dirinya sendiri.
Kaal menghela napas panjang. Menarik keluar miliknya dari wanita yang sontak menoleh kebingungan. Ia mungkin tidak sepenuhnya mendapatkan drama yang ia inginkan, namun paling tidak reaksi dari Melody menyiratkan bahwa sisi manusiawi gadis itu tidak rusak.
Menoleh pada wanita yang masih bergetar dan kehilangan kemampuan bicara, Kaal menyodorkan pakaian yang berserakan.
"Pergilah, aku sudah tidak membutuhkanmu" ujar Kaal singkat.
Alis wanita itu berkerut tidak percaya, sehingga Kaal memperjelas kembali apa yang ia katakan sebelumnya.
"Cepatlah. Aku sudah muak melihat wajahmu nona"
Terdapat jeda sejenak yang digunakan wanita itu untuk memproses ucapan Kaal sebelum akhirnya sebuah tamparan kuat mendarat di pipinya.
Isak tangis bercampur umpatan datang beruntun, suara melengking lalu menyumpah serapah.
Kaal tersenyum kecut. Sebegitu sulitkah untuk mendapatkan respon serupa dari Melody Senja? Kenapa gadis itu sangat patuh padanya.....
...TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!