"Gue paham tapi kalau orang melihat Rani itu beda. Meskipun Rani memakai baju tidak layak pakai masih kelihatan kalau Rani itu seperti ratu"
"Ya...karena kita memilih untuk tidak menunjukkan karena gue sendiri berpikir. Kenapa orang cuma melihat fisik saja?"
"Ya. Kalau lihat level gue memang beda jauh dari Rani bahkan kalian. Gue bisa masuk karena beasiswa, sih. Gue juga harus mempertahankan beasiswa gue" kata Silvia pelan.
"Gue gak bermaksud menyinggung lo. Tadi gue cuma membandingkan diri gue dengan Rani" kata Winda dengan merasa tidak enak.
"Gue paham. Lo jangan khawatir" kata Silvia dengan tersenyum.
Silvia berpikir.
"Gue masih penasaran alasan mereka putus. Gimana bisa? Bukankah mereka pasangan favorit?"
"Bukankah seharusnya lo senang Miko putus dengan Rani?" kata Winda menyindir.
"Ya..."
"Sil, gimana kalau lo tanya sendiri dengan Rani?" kata Novita.
"Ha? Tanya sendiri? Lo gak salah, Nov?"
"Kenapa gak?"
"Sembarangan lo. Kalau gue tanya Rani akan tahu kalau selama ini gue ada sesuatu dengan Miko apalagi gue gak begitu dekat dengan Rani"
"...tapi Rani gak sesombong yang dipikirkan kalian. Gue pernah ingin buang air kecil. Gue benar gak tahan dan menunggu antrian lalu akhirnya siswi yang masuk sudah keluar. Giliran Rani yang seharusnya masuk tapi justru dia menawarkan gue masuk dulu. Ketika itu memang gue gak bisa menahan sehingga menimbulkan gerakan aneh. Menurut gue Rani paham kalau gue sangat ingin buang air kecil"
Silvia berpikir.
"Siapa tahu karena lo selevel dengan dia" kata Winda.
"Jangan berpikir negatif dulu dengan Rani"
"...tapi kalau untuk tanya pribadi memang tidak bisa, Nov. Gue gak sedekat itu dengan Rani" kata Silvia pelan.
"Benar juga. Apa gue bantu tanya kepada Rani?" kata Novita.
Silvia berhenti berpikir dan menggeleng dengan tersenyum.
"Gak perlu. Terima kasih"
"Lo yakin gak mau gue bantu?"
Silvia mengangguk.
"Biarkan hal itu jadi masa lalu mereka" lanjut Silvia.
Miko mengambil handphonenya dan melihat tidak ada balasan sekalipun dari Rani. Miko kembali membaca isi chatnya kepada Rani.
Miko : Rani, ayo bertemu lagi. Aku mau bicara sesuatu
***
Miko : Rani, tolong dengar aku sekali saja
***
Miko : Rani, aku ke rumah kamu ya?
Miko menghela napas.
"Apa gue langsung datang saja ke rumahnya?" pikir Miko pelan.
Miki melihat Miko terus memandang handphone lalu berpikir sebentar dan berdiri di dekat pintu kamar Miko.
"Kak Miko"
Miko segera meletakkan handphone lalu menoleh dan melihat Miki. Miki berjalan masuk dan menghampiri Miko.
"Kak Miko, gue mau tanya satu hal?"
Miko merasa heran Miki tidak segera tanya. Miki duduk.
"Di sana ada seorang siswi yang bernama Novita?"
"Di sana?"
"Di sekolah Kak Miko"
"Gue gak tahu"
Miki merasa heran.
"Di sana gue cuma belajar jadi gak pernah menghiraukan sekitar"
"Sedikitpun?"
"Ya"
Miki melihat sepertinya Miko belum bisa diganggu. Miko terlihat masih murung.
"OK" kata Miki dengan berdiri.
"Kenapa? Lo tanya pasti ada maksud"
"Gak ada apapun"
"Kenapa?" tanya Miko dengan merasa ingin tahu.
Miko berpikir sebentar.
"Gimana lo bisa menebak kalau siswi yang bernama Novita satu sekolah dengan gue?"
"Gue cuma usil tanya" kata Miki dengan berjalan pergi.
Akhirnya Miko memikirkan kembali Rani dan melihat kembali chatnya kepada Rani.
"Kamu gak merespon chat aku" pikir Miko sedih.
Keesokan harinya. Pukul 08.30. Miko datang ke rumah Rani dan Rani yang keluar tidak sengaja melihat Miko. Rani menghela napas dan berjalan menuju pintu gerbang lalu melihat Miko bicara kepada satpam dan Rani keluar. Miko melihat Rani dengan merasa senang.
"Pak, tinggal sebentar ya?"
"Baik, Non" kata satpam itu.
Dia berjalan pergi dan Rani melihat Miko.
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Rani dengan mengerutkan dahi.
"Kamu gak mau menyuruh aku masuk?"
"Gak perlu basa basi. Kenapa kamu ke sini?"
"Kamu gak menganggap chat aku" kata Miko tidak semangat.
"Kamu ada chat?" tanya Rani pura-pura tidak tahu.
MIko memegang tangan Rani.
"Rani, tolong kembali bersama aku ya? Aku masih sangat menyayangi kamu" kata Miko memohon.
Rani melepaskan tangan Miko dengan merasa tidak senang.
"Apa kamu lupa alasan aku minta berakhir dengan kamu?"
"Aku janji akan berubah"
"Kamu mau berubah? Yakin?"
"Ya. Aku janji" kata Miko meyakinkan Rani.
"Apa kamu lupa yang aku lakukan sebelumnya dengan kamu? Aku sudah berulang kali memberi kesempatan kamu. Kamu janji dan kita kembali lalu putus lagi dan janji. Putus, janji, putus, janji. Kita sudah terlalu sering putus karena alasan yang sama. Apa belum cukup kesabaran aku untuk memberikan kesempatan kamu?"
Miko merasa sedih.
"Aku lelah. Ternyata kamu memang tidak berubah, Miko" kata Rani putus asa.
"Sekarang ini aku janji"
Rani berdekatan dengan Miko dan menatap ke dalam matanya.
"Apa kamu benar masih menyayangi aku?" tanya Rani pelan.
"Ya. Tentu saja. Perasaan itu gak pernah berubah" kata Miko meyakinkan Rani.
"Kenapa tapi kamu susah berubah? Tidak maupun bersama aku kamu tetap saja"
Rani menggeleng pelan.
"Tidak bisa berubah" lanjut Rani pelan.
Miko semakin sedih dan Rani melihat sebentar ke arah lain dengan berusaha tidak sedih.
"Miko, gak ada yang bisa dibanggakan dari orang yang sombong. Aku juga harus banyak menahan malu ketika beberapa teman aku membicarakan kamu. Aku juga gak nyaman. Menurut aku mau kamu sempurna layaknya raja tapi disertai dengan kesombongan..."
Rani menggeleng.
"...maaf...aku tidak senang. Kenapa kamu harus sombong? Semua manusia itu sama" lanjut Rani pelan.
Miko mau bicara.
"Aku juga masih menyayangi kamu"
Miko tidak jadi bicara dan mereka saling melihat.
"...tapi aku gak mau kembali lagi selama kamu masih mempertahankan sifat sombongmu itu jadi..."
Rani memegang tangan kanan Miko dengan pelan dan Miko melihat sebentar tangannya yang dipegang.
"...kalau kamu mau kita kembali bersama berubahlah dulu" lanjut Rani pelan.
Mereka saling melihat cukup lama dan Rani melepaskan tangan Miko.
"Aku masuk dulu" kata Rani dengan berjalan masuk.
Miko melihat kepergian Rani dan mau berjalan mengejar tapi pintu gerbang sudah ditutup. Miko merasa sedih. Pukul 15.00. Mike berjalan ke arah taman dan melihat Sasha yang sudah duduk lalu berjalan menghampiri dan duduk di sebelahnya.
"Mike" panggil Sasha dengan wajah yang sumringah.
Sasha segera memeluk dengan tersenyum senang dan Mike berusaha tersenyum.
"Kita mau merayakan gimana? Kita berhasil naik kelas" kata Sasha dengan nada manja.
Mike melepaskan pelukan Sasha dengan berusaha tersenyum.
"Aku gak mau merayakan"
"Hmm? Lalu?" tanya Sasha manja.
"Justru gue mau hubungan kita selesai"
Sasha terkejut.
"Mak...maksud kamu?" tanya Sasha dengan merasa tidak percaya.
"Perkataan gue gak cukup jelas ya?" kata Mike santai.
Mike mendekatkan wajahnya ke wajah Sasha.
"Hubungan-kita-berakhir" kata Mike mengeja setiap kata.
Seketika Sasha mengeluarkan air mata.
"Kenapa? Bukankah sebelumnya hubungan kita baik-baik saja? Kenapa seketika..."
Mike berdiri.
"Siapa yang bicara hubungan kita sedang baik saja? Kamu yakin?" potong Mike.
Mike menoleh dan melihat Sasha yang berdiri dengan pelan.
"Maksud kamu apa? Jadi selama ini aku salah? Kenapa kamu gak pernah beritahu aku kalau ada yang salah? Bukankah hubungan...?"
"Ya itu maksud aku" potong Mike santai.
Sasha melihat Mike dengan merasa tidak mengerti dan berhenti mengeluarkan air mata.
"Hubungan" lanjut Mike.
"Hubungan?" tanya Sasha dengan merasa tidak mengerti.
"Kamu gak mau aku ajak berhubungan" kata Mike santai.
Sasha berpikir keras dengan mimik wajah bertanya-tanya.
"Masih gak paham? Ok. Aku langsung bicara"
Mike memiringkan sudut bibirnya ke atas.
"Aku berulang kali mengajak ke hotel tapi kamu selalu menolak. Kalau kamu memang menyukai aku seharusnya mau aku ajak" lanjut Mike santai.
"Ketika itu aku sudah menjelaskan kalau hal itu tunggu..."
"Menurut aku hal itu sebuah tanda kalau memang kamu menyukai aku dan kita gak akan terpisah tapi...ya...kamu selalu menolak. Aku gak bisa melanjutkan" potong Mike.
Mike tersenyum nakal.
"Jadi kita putus saja. Bye, Sasha" kata Mike dengan berjalan pergi.
"Mike! Mike!" panggil Sasha dengan berseru.
Sasha mulai marah dengan melihat kepergian Mike.
"Kamu kurang ajar" lanjut Sasha teriak dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Akhirnya gue bebas" pikir Mike dengan merasa bahagia.
Mike sudah masuk ke dalam mobilnya dan menghela napas.
"Kenapa gak ada yang mau gue ajak? Kenapa semua anak cewek jual mahal? Sebenarnya gue ada target lagi tapi cara gue bertemu lagi dengan dia gimana? Dia cuma sekali datang ke bengkel papa. Itupun sudah agak lama. Semoga saja dia termasuk anak yang gak jual mahal. Ckckck...semuanya munafik" pikir Mike dengan menggelengkan kepalanya.
Mike menyalakan mesin mobil dan mulai menyetir. Di dalam kamar Miko masih memikirkan perkataan Rani. Selama ini Miko masih belum bisa tidur dengan nyenyak.
"Rani, kenapa kamu tega memutuskan aku begitu saja?" pikir Miko semakin sedih.
Miko mengingat setiap kepingan kenangan bersama Rani. Di luar sekolah mereka sering jalan, belajar, makan bersama bahkan tertawa bersama karena hal yang lucu atau saling becanda sehingga membuat Miko jarang ada di rumah. Sekarang hidupnya begitu sepi dan hatinya sakit mengingat Rani sudah tidak menginginkan dirinya.
"Aku rindu kamu" pikir Miko pelan.
Di dalam galeri handphone Rani melihat terus foto dirinya dan Miko.
"Aku minta maaf. Sebenarnya aku gak mau kita putus. Aku juga masih sangat menyayangi kamu tapi aku tidak tahan lagi ketika kamu begitu sombongnya membanggakan kelebihan kamu. Aku cuma ingin kamu sungguh berubah" pikir Rani sedih.
Winda melihat seorang lelaki datang ke rumah dan berjalan menuju pintu gerbang lalu melihat satpam membukakan pintu dan mempersilahkan dia untuk masuk.
"Kak Fandi" panggil Winda dengan tersenyum senang.
Fandi melihat Winda dan berhenti berjalan dengan tersenyum.
"Pagi, Winda"
"Pagi, Kak Fandi. Ayo masuk" kata Winda mengajak.
Mereka berjalan dengan saling bicara hingga di ruang tamu.
"Kak Fandi mau minum apa?"
"Gak perlulah" kata Fandi dengan duduk.
Winda duduk dengan tersenyum senang.
"Yakin gak mau minum, Kak?"
"Gak perlu"
"Hari ini libur, Kak?"
"Ya. Aku dengar kamu mulai libur sekolah dan naik kelas. Selamat ya?"
Winda tersenyum malu.
"Terima kasih. Kak Fandi gak mau beri aku hadiah?" tanya Winda mulai memancing.
"Kamu mau hadiah dari aku? Baiklah aku akan memberikan. Kamu minta apa?"
"Minta liburan dengan Kak Fandi" kata Winda semangat.
Fandi berpikir.
"Winda, kenapa kamu senang meminta? Kak Fandi sibuk"
Fandi dan Winda menoleh ke asal suara lalu melihat Devie dan Fandi tersenyum.
"Hai"
"Hai" kata Devie dengan berdiri di dekat mereka.
"Tidak masalah kalau Winda minta berlibur. Nanti juga bersama kamu ya?" kata Fandi dengan tersenyum.
Winda mengerutkan dahi.
"Aku maunya berdua dengan Kak Fandi" kata Winda dengan melihat Fandi.
"Gak boleh. Nanti orang mengira aku menculik kamu" kata Fandi dengan berusaha tersenyum.
Devie cuma terdiam tampak beban dengan jawaban Fandi.
"Gak masalah. Aku pasti membela Kak Fandi kalau rela diculik" kata Winda cemberut.
"Dasar kamu ya? Ckckck" kata Fandi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Fandi melihat Devie.
"Lo sudah siap?"
Devie merasa heran.
"Siap?"
"Siap untuk pergi. Bukankah kita mau kerja kelompok?"
"Ha?"
Fandi mengedipkan salah satu matanya tanpa sepengetahuan Winda dan Devie bingung dengan bicara tanpa suara.
"Ah...ya. Gue lupa" kata Devie pelan.
"Gimana bisa lupa? Tugas itu penting untuk nilai kelompok kita"
"Kalau begitu gue siap dulu. Cuma sebentar"
"Kenapa Kak Fandi pergi cuma berdua dengan Kak Devie?" tanya Winda cemberut.
"Seperti yang tadi kamu dengar. Kita tidak pergi berdua tapi kelompok untuk tugas. Kami akan pergi ke rumah teman"
"Aku ikut. Bukankah tidak masalah?"
Devie jadi merasa tidak enak.
"Winda, kamu tidak bisa ikut karena kami bukan untuk bersenang-senang tapi kerja tugas bersama teman yang lain" kata Fandi berusaha menjelaskan.
"Baiklah" kata Winda pelan dengan berdiri dan berjalan pergi.
Devie terkejut.
"Winda" panggil Devie mau menyusul Winda.
Fandi berdiri.
"Lo gak perlu menyusul Winda"
Devie merasa tidak mengerti dan melihat Fandi.
"Sebenarnya lo mau ajak gue ke mana? Kenapa Winda gak boleh ikut?"
"Sssttt...lo jangan bicara keras nanti Winda dengar" kata Fandi dengan nada suara rendah.
Devie merasa tidak mengerti.
"Gue ingin jalan dengan lo"
"Kenapa gak bersama Winda?"
"Aku cuma mau berdua. Selama ini kita selalu bertiga. Ayo sesekali cuma berdua"
Devie merasa tidak mengerti.
"Temani aku" lanjut Fandi.
"Gue sungguh gak mengerti maksud lo tapi baiklah. Selama ini lo selalu ada kalau gue butuh sesuatu jadi anggap balasan dari gue" kata Devie dengan mengangkat bahu.
Fandi melihat terus Devie dan akhirnya mengangguk.
"Segera"
"Iya. Iya" kata Devie dengan berjalan pergi.
Pukul 17.30. Mike berhenti menyetir dan keluar dari mobil lalu melihat Miko dan berjalan menghampiri.
"Lo ada di sini?"
Miko cuma melihat Mike datang.
"Gak seperti biasanya. Gue tahu. Lo pasti kesepian setelah putus" kata Mike dengan tertawa pelan.
"Lo sendiri gimana? Wajah lo terlihat bahagia"
"Tentu saja"
Mike berdiri di hadapan Miko.
"Gue sudah putus dengan Sasha" kata Mike dengan berhenti tertawa dan merasa puas.
"Terus saja lo gonta ganti pacar. Lo senang mempermainkan perempuan. Semoga dapat karma"
"Lo gak boleh begitu dengan saudara sendiri"
Miko mengangkat bahu. Fandi dan Devie ada di restoran. Devie melihat sebentar sekelilingnya. Suasananya begitu syahdu dan entah kenapa Devie merasa Fandi sedikit beda.
"Seharusnya lo gak perlu mengajak gue sampai di sini. Gue ikhlas menemani lo"
Fandi tersenyum.
"Gue gak bicara lo gak ikhlas. Seorang Devie pasti ikhlas kalau membantu seseorang"
"Perkataan lo terlalu berlebihan" kata Devie dengan tersipu malu.
"Itulah sosok lo jadi sesekali kita makan berdua di tempat seperti ini apalagi tanpa Winda" kata Fandi dengan tersenyum senang.
Devie tertawa pelan hanya sebentar.
"Kenapa hari ini sepertinya lo anti bersama Winda?"
"Lo sungguh mau tahu alasannya?"
"Tentu saja karena biasanya lo gak keberatan"
"Memang ada hal penting yang mau gue katakan"
Devie melihat Fandi yang seketika bicara serius.
"Apa?" tanya Devie pelan.
"Gue cinta lo"
Devie mengerjapkan kedua matanya tidak percaya.
"Aku membuat kamu kaget ya?" kata Fandi tersenyum kikuk.
Devie berhenti melihat Fandi.
"...tapi aku serius" lanjut Fandi pelan.
"Kenapa?" tanya Devie dengan melihat Fandi secara perlahan.
"Gak ada alasan untuk mencintai seseorang"
"Gak mungkin. Apa karena sering bersama? Lo pasti ada alasan bisa punya perasaan untuk gue"
"Kenapa kamu bisa bicara begitu?" tanya Fandi dengan merasa heran.
Devie terdiam dengan sedikit menunduk.
"Kenapa?" tanya Fandi pelan.
Devie melihat Fandi dan ragu.
"Pasti kamu juga ada alasan bisa bicara begitu" kata Fandi pelan.
Fandi berpikir.
"Sebenarnya sejak dulu aku mau mengatakan tapi kita sering bersama Winda. Sekalinya kita berdua susah dapat waktu yang tepat" kata Fandi pelan.
"Winda sangat menyukai lo"
"Kalau kamu?"
Fandi bersandar dan berpikir sebentar.
"Suka beda dengan cinta, Devie"
"Ya...maksud gue. Winda gak cuma sekedar menyukai lo. Selama ini dia selalu memimpikan jadi pacar lo"
"Pertanyaan aku masih sama. Gimana dengan kamu?"
Devie terdiam.
"Apa kamu juga cinta aku?" tanya Fandi berharap.
Devie melihat ke arah lain dan berpikir keras. Akhirnya mereka saling diam.
"Hey...ayo jawab aku" kata Fandi pelan.
"Menurut lo?" tanya Devie pelan.
"Apa? Mana aku tahu kalau kamu cuma diam. Selama ini kamu juga gak pernah ada sikap atau perlakuan yang membuat aku tahu kalau kamu juga punya perasaan yang sama. Aku cuma berpikir suatu hari aku memang harus memberitahu kamu tentang perasaanku" kata Fandi bingung.
Fandi menegakkan tubuhnya.
"Please. Jawab aku" lanjut Fandi memohon.
Devie menoleh dan melihat Fandi dengan pelan.
"...dan jawab jujur. Aku gak mau ada kebohongan di antara kita" lanjut Fandi lembut.
Entah kenapa Fandi berubah jadi lembut. Hal itu membuat Devie berhenti memikirkan Winda.
"Ya. Aku sama. Aku merasa kalau bersama kamu seperti cetak diri aku. Meskipun punya segalanya kamu gak pernah memamerkannya karena hal itu gak penting. Yang penting adalah hati yang tulus" kata Devie pelan.
Fandi merasa senang.
"Kalau begini aku jadi salah tingkah. Seharusnya aku yang bicara manis tapi justru aku yang mendapatkan" kata Fandi dengan tersipu malu dan merasa senang.
"...tapi aku gak mau egois" kata Devie gelisah.
"Tentang Winda?"
Devie mengangguk pelan dan sangat kepikiran.
"Sejak dulu aku sudah tahu kalau Winda ada perasaan untuk aku tapi perempuan yang aku cinta itu kamu. Kalian memang saudara tapi tolong jangan menyuruh aku untuk bersama Winda. Sejak dulu aku cinta kamu dan berharap akan datang waktu sekarang. Di mana aku bisa mengatakan dan jika perasaan kamu sama kita bisa bersama" kata Fandi berharap.
Devie merasa bingung dan Fandi memegang kedua tangan Devie lalu berpikir sebentar dan Devie melihat tangannya yang dipegang dengan sedikit terkejut.
"Aku akan menerima kalau kamu menyuruh aku bersama Winda karena kamu gak punya perasaan yang sama tapi kenyataannya?"
"Aku gak mau membuat Winda kecewa"
"Kamu gak mau berjuang?"
Devie semakin bingung.
"Jadi kamu bisa rela kalau aku bersama Winda? Ayo jawab jujur" kata Fandi pelan.
Devie berpikir keras.
"Ya? Jadi benar begitu?" tanya Fandi dengan merasa tidak percaya.
Devie semakin bingung. Jujur dalam hati kecilnya berat melepaskan lelaki yang dicintai.
"...tapi aku..."
"Jadilah pacar aku. Kita bersama tanpa sepengetahuan Winda. Gimana?"
Devie merasa heran.
"Gimana...bisa begitu?" kata Devie ragu.
"Lalu mau gimana? Kamu mau bicara kalau gak mau pacaran dengan aku? Tentang Winda kita bisa memberitahu secara perlahan dan di waktu yang tepat. Tidak ada yang salah dengan hal itu karena kita saling mencintai. Winda harus mengerti"
Devie masih ragu.
"Kamu memang kakaknya tapi bukan berarti selalu mengalah apalagi untuk urusan cinta" lanjut Fandi pelan.
"Apa kamu yakin?" tanya Devie pelan.
Fandi merasa ingin tahu.
"Kalau kita pacaran tetap gak akan bebas karena kita pergi ke manapun Winda akan ikut. Orang tua aku akan menyuruh begitu ketika Winda merengek"
"Gak apa-apa tapi sesekali kamu harus membantu aku agar kita bisa berdua. Devie, kamu harus ingat ini. Semakin lama kita menyimpan dari Winda tanpa sadar justru itu akan menyakitinya. Pertama kita bohong. Kedua Winda gak pernah tahu kalau ternyata kita saling mencintai"
Fandi menggenggam kedua tangan Devie.
"Lebih baik kita menyakitinya dengan kejujuran daripada di depannya kita bertindak seolah tidak ada apapun" lanjut Fandi pelan.
"Benar juga" pikir Devie.
"Baiklah tapi aku minta kamu gak tergesa-gesa untuk memberitahu Winda tentang kita" kata Devie memohon.
"Ya" kata Fandi dengan mengangguk.
Devie mulai tersenyum.
"Jadi?"
"Jadi? Maksud kamu?" tanya Devie dengan merasa tidak mengerti.
"Kita apa?"
"Apa?"
"Kamu tanya kembali" kata Fandi pelan.
Devie tersenyum lucu.
"Memangnya sejak tadi kita membicarakan tentang apa? Kenapa kamu masih tanya?"
"Tentang perasaan kita"
"Lalu kamu mengajak aku apa?" tanya Devie dengan merasa geli.
"Pacaran"
"Masih tanya lagi?"
"Jadi mulai hari ini kita pacaran?" tanya Fandi mulai merasa senang.
Devie tersenyum dan mengangguk lalu Fandi merasa senang dan mengelus pelan kedua tangan Devie yang sejak tadi digenggamnya.
"Kamu gak mau makan?"
"Maaf. Maaf. Kamu pasti lapar. Sejak tadi kita jalan. Ayo kita makan" kata Fandi dengan melepaskan tangan Devie.
Devie menggeleng dengan tersenyum.
"Setelah ini kita mau ke mana?" tanya Devie.
"Kamu mau pulang? Sungguh? Jangan dululah. Kita menikmati waktu berdua dulu ya?" kata Fandi semangat.
Devie tertawa pelan.
"Bukankah aku tanya bukan mengajak pulang?"
Fandi tertawa pelan hanya sebentar lalu Devie berhenti tertawa dan mereka makan. Winda masih kesal memikirkan Fandi dan Devie jalan cuma berdua. Akhirnya Winda chat dengan Novita dan Silvia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!