NovelToon NovelToon

Jerat Cinta Pria Beristri

BAB 01 - Awal

Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.

Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.

Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.

****

"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"What? Pembantu?"

Mata indah wanita cantik itu membulat sempurna tatkala membaca naskah yang baru dia terima. Sekali lagi, dengan penuh ketelitian dia membaca ulang barangkali ada kesalahan.

"Sebentar, ini serius aku jadi pembantu, Dit?"

"Iya, Pak Vano sudah konfirmasi masalah pergantian pemain ... kamu belum baca pemberitahuan beliau di grup tadi malam?"

"Hah? Group? Group apa?"

"Group chat, Ra, seluruh pemain dan crew ada di sana."

Tak ubahnya orang bodoh yang tersesat di keramaian, Haura terus dibuat bingung tatkala mendengar penuturan Andita - sahabat sekaligus rekan kerjanya.

Nyatanya benar, popularitas seseorang tidak menjamin dia dihargai. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kekuasaan cenderung berbuat seenak hati tanpa memikirkan perasaan orang.

Ya, begitulah kesimpulan yang diambil oleh Haura Qotrunnada - aktris cantik dengan sejuta pesona yang tengah naik dan terkenal di berbagai kalangan masyarakat.

Belum lama terjun di industri perfilman, Haura sudah mendapat pengalaman tak mengenakan yang membuatnya merasa direndahkan.

Bagaimana tidak? Di project terbaru yang begitu dia impikan ini, Haura justru dipertemukan dengan sutradara tak berperasaan yang mengganti perannya sesuka hati, Ervano Lakeswara.

Mendengar namanya saja sudah mual, ditambah lagi jika membayangkan wajah datar Ervano yang bicara tanpa ekspresi itu. Haura yang tadinya hanya kesal perkara perannya sebagai nona diubah menjadi pembantu tanpa persetujuan seketika merambah ke personal saking kesalnya.

"Dit, kalau boleh tahu apa alasan kenapa peranku sampai diganti?" tanya Haura mencoba bersikap tenang walau jiwanya sudah terbakar sejak awal.

Mendengar pertanyaan Haura, Andita hanya mengedikan bahu sembari menggeleng pelan. "Kurang tahu, beliau tidak menyertakan alasannya kebetulan."

Sungguh Haura bingung apa yang menjadi alasan Ervano mengganti perannya sesuka hati. Jika memang karena jam terbang yang belum seberapa dibandingkan aktris lain, seharusnya dari awal dia tidak ditunjuk sebagai pemeran utama.

Anehnya, setelah semua dipersiapkan dengan begitu matang dan proses syuting hampir berlangsung Haura justru mendapati perubahan besar.

Dia yang awalnya menjadi pemeran utama, seketika diganti menjadi figuran biasa. Bukan sebagai sahabat atau teman dekat pemeran utama, melainkan pembantu bisu yang muncul hanya sesekali.

"Jadi pembantu bisu yang benar saja? Dia sedang menyepelekanku atau bagaimana?" tanya Haura seolah butuh jawaban dari Andita, sahabatnya.

"Ehm, tentang ini kenapa tidak kamu tanyakan sendiri saja, Ra? Barangkali dapat jawaban, iya, 'kan?"

"Temui dia?"

"Iya, kebetulan tadi ada di sekitar sini. Itu satu-satunya jalan ... karena seperti yang kita tahu, peran Pak Ervano memang sebesar itu."

Saran dari Andita tidak hanya lewat di telinga Haura. Dia mempertimbangkannya dan bergegas untuk menemui pria itu.

Ervano Lakeswara, sutradara yang memang terkenal di industri perfilman. Tidak hanya dikenal dengan ketampanan bak dewa dan karya yang luar biasa, tetapi juga sepak terjangnya sebagai sutradara kelas atas dan ditakuti banyak orang.

Usianya belum begitu tua, malah termasuk muda untuk kategori sutradara dengan pengalaman sehebat itu, 31 tahun.

Namun, hari ini Haura justru merasa tengah berhadapan dengan pria kolot nan menyebalkan dan tidak bisa diajak bekerja sama.

Langkahnya semakin cepat, Andita bilang pria itu ada di sini dan Haura tidak memiliki keinginan untuk mengejarnya lebih jauh.

Beberapa menit sejak memutuskan untuk menemui Ervano, Haura kini melihatnya tengah menuju area parkir. Sontak dia berlari secepat kilat tanpa peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.

.

.

"Pak Vano tunggu!!"

Hampir terlambat, satu detik lagi saja kemungkinan besar Haura gagal karena saat ini pria itu hampir saja menutup pintu mobilnya.

"Iya, ada apa?" tanyanya segera turun sembari menatap datar Haura.

Sama sekali tidak ada keramahan di sana. Salah-satu ciri khas Ervano dan sudah ramai diperbincangkan, untuk yang satu ini Haura tidak kaget lagi.

"Boleh minta waktunya seben_"

"Langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?"

Haura mengerjap pelan, seumur hidup baru kali ini dia dihadapkan dengan laki-laki asing yang sama sekali tidak menghargainya. Bahkan, bicaranya belum selesai saja sudah dipotong.

"Jadi begini, soal peran saya yang diganti sebagai pembantu bisu ... apa Bapak tidak berniat menjelaskan alasannya apa?" tanya Haura langsung pada intinya sebagaimana yang Ervano minta.

Tak segera menjawab, Ervano lagi-lagi melayangkan tatapan tak terbaca khasnya. "Kamu masih bertanya tentang hal itu?"

"Tentu, saya juga butuh penjelasan atas keputusan yang Bapak ambil secara sepihak."

"Ah, rupanya kamu tidak bisa menggunakan otakmu untuk berpikir ya?"

"Maksudnya?" Haura bertanya sembari memicingkan mata karena memang bingung sebenarnya.

"Ck ... kelakuan aktris zaman sekarang," gumam Ervano begitu pelan, tapi masih bisa didengar Haura. "Jadi begini, saya tidak akan mengambil tindakan jika tidak ada alasan."

"Iya, dan sekarang saya ingin tahu apa alasannya?"

Pria itu sontak tersenyum, bukan senyum teduh, melainkan meremehkan Haura. "Singkat saja, kamu tidak pantas untuk berperan sebagai Nabila di series ini, titik."

Deg

Hati Haura memanas dan perih dalam satu waktu, tak ubahnya bak disayat sembilu perihnya begitu amat nyata, sungguh.

Sebenarnya Haura sadar betul, dia belum begitu berpengalaman dan masih banyak aktris lain yang lebih pantas. Namun, cara Ervano ini teramat menyakitkan baginya.

"Masih belum paham juga?"

"Paham, tapi ... kenapa harus diganti pembantu yang bisu?"

"Ah itu? Bukankah akan lebih mudah bagimu? Kebetulan saya paling malas dengan aktris rada pikun yang hampir setiap waktu lupa dialog," pungkas Ervano sebelum kemudian menutup pintu mobil sekuat tenaga dan berlalu.

Meninggalkan Haura yang kini mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengeraskan rahangnya. Dengan dada naik turun, Haura berusaha mengatur napas agar emosinya tidak meledak-ledak di sini.

Dalam keadaan emosi, Andita menghampiri dan mencoba menenangkan hati Haura.

"Gimana? Sudah selesai bicaranya?"

"Sudah," jawab Haura tanpa menatap Andita yang ada di sampingnya.

"Terus gimana?"

"Zonk!!" kesal Haura tak terbendung pada akhirnya. Tidak lagi dia mampu bersikap anggun, kali ini kepala Haura seolah akan pecah jika tidak meluapkan emosinya.

"Kamu tahu? Dia bukan hanya merendahkanku, tapi juga berusaha membuat mentalku hancur dengan kata-kata kasarnya, Andita!!"

"Kasar? Kasar gimana?"

"Aku malas menjelaskan, sekarang katakan dengan cara apa agar aku bisa membalaskan dendamku padanya," ucap Haura meluap-luap dan masih dengan dada yang kembang kempis lantaran murka dibuatnya.

Andita mulai berpikir, sementara Haura cukup sabar menunggu saran sahabat dekatnya itu. "Ehm gini, kalau balas dendam yang gimana-gimana sepertinya tidak akan bisa ... kalau sekadar memberikan pelajaran agar Pak Vano tersiksa, aku ada ide, Ra."

"Hem, apa itu?"

"Nanti malam kan kita ada agenda makan malam bersama seluruh crew dan juga Pak Vano ikut."

"Hem, lalu?"

Tidak hanya sekadar bicara, Andita juga mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang merupakan solusi atas permasalahan Haura. "Ini."

"Apa? Racun?" tanya Haura mendadak ngeri-ngeri sedap tatkala menerka botol kecil tanpa merk yang terlihat mencurigakan itu.

"Bukan, ini obat pencahar."

"Kok polosan gini?"

"Ini adalah produk yang sebenarnya ilegal, Ra, tapi manjur banget!! Cukup tetesin dikit ke minumannya, dijamin Pak Ervano tersiksa semalaman."

"Wah, keren ... kalau banyak berarti makin manjur?"

"Jangan kebanyakan juga, secukupnya saja dan kamu lihat sendiri hasilnya gimana," ucap Andita meyakinkan Haura yang kini berbinar seketika.

Rasanya tidak sabar menunggu malam berganti, malam ini dia akan melihat bagaimana Ervano tersiksa karena mulut kurang ajarnya.

"Baiklah, rasakan pembalasanku nanti malam, Ervano Lakeswara."

.

.

- To Be Continued -

BAB 02 - Tolong Aku

"Perfect, tidak ada yang melihatku, 'kan?"

Tekad Haura untuk membalas dendam sudah begitu bulat. Hanya demi melancarkan misinya, Haura rela datang lebih awal dan mengambil alih tanggung jawab untuk memesan makanan.

Padahal, seharusnya dia tinggal duduk manis dan menikmati makan malam. Akan tetapi, malam ini dia benar-benar nekat dan menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.

Bahkan, malam ini harusnya tetap berada di rumah. Kedua orangtua Haura sempat berpesan untuk tidak pergi di malam hari sementara mereka berada di luar kota.

Namun, karena sakitnya direndahkan Ervano benar-benar tidak tertakar, Haura sampai mengarang cerita agar diizinkan keluar dengan alasan menginap di rumah teman dekatnya.

Tak berselang lama pasca dirinya selesai meneteskan sesuatu ke dalam minuman yang disiapkan untuk Ervano, beberapa rekan lainnya mulai berdatangan.

Seiring berjalannya waktu, mata Haura terus memantau siapapun yang datang. Untuk pertama kalinya, jantung Haura sampai berdegup kencang hanya karena menunggu kedatangan Ervano.

Satu demi satu yang datang belum juga, Haura mulai pesimis dan mengira bahwa Ervano tidak akan datang karena memang pria itu menjalani segala sesuatu sesuai kehendak hatinya.

"Dit, kenapa dia belum datang? Jangan-jangan_"

"Shuut, sudah tenang aja ... mungkin lagi di jalan, kamu tahu sendiri Pak Vano gimana orangnya, Ra, dunia ini seolah punya dia jadi seenaknya," bisik Andita pelan-pelan yang kemudian ditanggapi Haura dengan senyuman.

Keduanya seolah tengah bergunjing di tengah keramaian dan was-was terbongkar di hadapan para pengagum Ervano.

Tak begitu banyak yang mereka bahas karena memang tidak bebas. Ditengah pembicaraan mereka, yang ditunggu-tunggu datang dan disambut begitu antusias oleh para pen-jilat dan pengangum Ervano.

"Selamat datang, Pak Vano ... akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," ucap salah seorang yang paling ahli dalam perihal merebut hati atasan, Velia.

Aktris lama yang menggantikan peran Haura di serial terbaru mereka. Melihat interaksi Velia yang sampai semanis itu tatkala menyambut Ervano membuatnya semakin curiga.

Entah ada apa di balik interaksi mereka, tapi yang pasti Haura yakin betul keduanya bermain api dan dia adalah imbas dari pemainan Velia atas dukungan Ervano di belakangnya.

"Hem, terima kasih."

"Mau duduk di sini, atau samping saya? Kebetulan kosong ... Anwar belum datang," ajak Velia seketika membuat mata Haura membulat sempurna.

Jika sampai Ervano benar-benar tertarik untuk pindah tempat dan duduk di sisi pemeran utama, maka hancur sudah rencananya.

Besar kemungkinan yang paling terakhir datang akan menjadi korban dari tindakan Haura. Dalam diamnya, Haura komat-kamit dan berharap Ervano tetap duduk di kursi yang memang sudah disediakan untuknya.

"Di sini saja, lebih nyaman dan kalian bisa saya lihat semua," balas Ervano masih setia dengan wajah datar dan duduk di tempatnya.

Sontak Haura menghela napas lega, hampir saja dia membuat kekacauan dan menyiksa orang yang tidak bersalah.

Sepanjang acara, mata Haura terus menatap ke arah Ervano di sela-sela kegiatannya. Sengaja makan sembari memantau reaksi obat yang tadi Andita berikan.

Jujur dia penasaran seganas apa reaksinya. Jarak antara Haura dan Ervano tidak begitu jauh, hanya dipisahkan beberapa orang saja.

Sedikit banyak dia bisa menangkap bahwa memang ada perubahan. Ervano sesekali mengusap wajah dan keningnya, kemungkinan berkeringat dan Haura mulai menerka bahwa itu adalah akibat dari Ervano menahan sakitnya.

"Itu belum seberapa, Andita bilang Bapak akan tersiksa selama semalaman ... jadi nikmati saja," batin Haura mulai senyum-senyum dan menari di atas keberhasilannya.

Semakin lama dia lihat, Ervano yang kian gusar dan tak ubahnya bak cacing kepanasan hingga Haura berbinar dibuatnya.

Beberapa kali Ervano pamit ke toilet, Haura dan Andita bertos di bawah meja sebagai perayaan atas kemenangan mereka.

"Manjur banget, padahal aku kasihnya dikit."

"Oh iya? Berapa tetes?" tanya Andita penasaran, sudah tentu masih dengan bisik-bisik ria di sela keributan.

"Ada empat atau lim_"

"Hah? Lima?" Mata Andita membulat sempurna saking kagetnya.

Haura yang ditanya iya-iya saja, toh memang benar begitu adanya. "Iya, kenapa sih? Kok panik gitu?"

"Ra ya ampun, serius lima?"

Sekali lagi Haura mengangguk pelan. "Iya, tapi dikit ... soalnya yang pertama juga rada ragu."

Apapun jawaban Haura, Andita masih tetap panik seolah dia yang akan tertimpa petaka. Sementara di sisi lain, Haura biasa saja, super santai dan menikmati hidangan penutup yang tersedia.

Cukup lama Ervano menghilang, dan mereka seakan tidak ada yang sadar karena asyik sendiri dengan urusan masing-masing. Sampai akhirnya, salah-satu di antara mereka memberikan pemberitahuan bahwa Ervano pamit pulang.

"Serius Pak Ervano pulang?" tanya Haura antusias dan seakan memang menunggu momen ini.

"Iya, kenapa, Ra?"

"Tanya saja, kalau beliau sudah pulang berarti makan malam kita selesai dan aku sudah boleh pulang, 'kan?" tanya Haura dengan begitu santainya.

Jujur dia katakan sebenarnya malas berada di antara orang-orang ini. Hanya saja, dia memang mengimpikan untuk ikut andil dalam series yang diadaptasi dari novel karya penulis favoritnya.

Begitu Haura pamit, yang di sana juga mempersilakan dia pergi tanpa banyak tanya, termasuk Andita.

.

.

"Good job, Haura, sekarang tinggal nunggu kabar dia masuk rumah sakit."

Sembari berlalu menuju area parkir, Haura bergumam pelan dan tak sabar menunggu kabar buruk tentang Ervano, jika perlu kabar duka sekalian.

Namun, baru saja hendak membuka pintu mobilnya, telinga Haura dikejutkan dengan suara erangan tak asing yang berada di dekatnya.

"Heum? Suara apa itu?" Haura celingukan dan mencari ke kiri dan kanan.

Tidak butuh banyak usaha untuk mencarinya, mata Haura kini menangkap Ervano tengah kesulitan seperti menahan sakit.

Haura yang telanjur melihat mendadak bingung hendak ditolong atau biarkan saja sengsara di sana.

Namun, hati kecilnya tetap tidak tega sebagai manusia dan mendekati Ervano walau dia lah penyebabnya.

"Pak ...."

"To_tolong ... aku tidak mampu menahannya lebih lama."

"Mau saya antar ke toilet?" Haura menawarkan bantuan karena jika tidak segera dikeluarkan, kasian juga pikirnya.

Dengan tubuh lemas dan wajah pucat, Ervano menggeleng dan meraih ujung gaun Haura sebagai pertanda jika dia memang tidak baik-baik saja.

"Aku ingin pulang, antar aku ke apartemen ... apa bisa?" tanya Ervano dengan napas yang sudah tidak biasa, persis ikan kekeringan.

Sebenarnya malas sekali, tapi Haura mulai khawatir Ervano akan pingsan dan menimbulkan kecurigaan jika orang lain yang membantu.

Karena itu, dia menganggukkan kepala dan menuntun Ervano untuk masuk ke mobilnya. Sedikit menyulitkan, tapi anggap saja ini tanggung jawab karena telah membuatnya tersiksa.

"Eeeuuggh ... bisa tolong cepat dan tidak?" desak Ervano dengan wajah yang kian memerah dan rambut acak-acakan hingga Haura sebal dibuatnya.

"Sabar, Pak, salah sendiri kenapa harus di Apartemen padahal di sini toilet ada," sentaknya sebelum kemudian mulai mengemudi dengan kecepatan tinggi sembari menggerutu. "Rasain, nyahok kan?"

.

.

- To Be Continued -

BAB 03 - Menyiksa/Tersiksa

Tanpa sedikit pun merasa curiga dan benar mengira bahwa Ervano tengah tersiksa akibat obat pencahar yang dia berikan, Haura terus fokus melaju dengan kecepatan tinggi.

Sebagai seseorang yang begitu menghargai pemberian orang lain, jelas saja Haura takut andai mobil pemberian kakaknya sampai kotor lantaran ulah sutradara menyebalkan itu.

Tak butuh waktu lama, Haura tiba di apartemen Ervano yang memang telah dia ketahui karena ini bukan kali pertama dia datang. Sebelumnya sudah pernah, tapi tidak sendiri melainkan bersama Andita sewaktu memberikan oleh-oleh pasca liburan ke Manado.

"Sudah sampai, silakan turun," ucap Haura sama sekali tidak memiliki keinginan untuk membantu lebih.

Namun, keadaan Ervano terlihat begitu memprihatinkan dan sejak tadi tidak berhenti menggigit bibir sembari memejamkan mata hingga Haura mulai mengira yang tidak-tidak.

"Pak, masih dengar_"

"Tolong bantu aku."

"Bantu apa? Ini sudah diantar sampai tujuan."

"Naik ke atas, sepertinya tenagaku habis," rintihnya tak berhenti menggigit bibir hingga Haura semakin kebingungan dibuatnya.

Dia yang memang khawatir andai orang lain tahu dan hal ini menjadi malapetaka lagi-lagi kembali membantu Ervano untuk naik ke atas.

Sebenarnya Haura bingung kenapa Ervano memilih apartemen. Padahal, menurut sepengetahuannya Ervano sudah menikah, bukankah akan lebih baik pulang ke rumah agar bisa dirawat istri?

Ingin sekali Haura tanyakan, tapi dia merasa bukan haknya hingga memilih untuk diam. Saat ini, mau tidak mau dia harus bersedia menuntun tubuh gagah Ervano agar cepat tiba.

Awalnya Haura merasa tidak ada yang aneh. Namun, tepat di depan pintu, Ervano mulai memperlihatkan sesuatu yang tak wajar. Napasnya mulai tak terkendali dan secara tak terduga pria itu seakan berusaha mencium lehernya.

"Heih, Bapak mau apa?"

"Heum?" Mata sayu Ervano perlahan terbuka.

Tatapan yang kali ini Ervano berikan terlihat sangat berbeda dan membuat Haura merinding seketika. Terlebih lagi, sewaktu pria itu melingkarkan tangan di pinggangnya.

Tatapan mematikan Ervano seolah membius Haura, tanpa sadar pintunya kini telah terbuka. Segera Haura berusaha menepis tangan Ervano dan bermaksud menjauh segera.

"Mau kemana?" tanya Ervano dengan suara berat dan Haura mulai berpikir lain tentang yang dialami pria itu.

Agaknya bukan sakit perut akibat obat pencahar, tapi sakit yang lain. Sungguh bodoh dia terlambat menyadari, kenapa tidak dari tadi.

Perlahan dia mundur dan menatap was-was ke arah Ervano. Namun, belum sempat melarikan diri Ervano sudah berhasil mencengkram pergelangan tangannya dan menarik Haura masuk ke dalam.

Secepat kilat, Ervano juga mengunci pintu tanpa peduli dengan teriakan Haura yang mencoba berontak.

Sayangnya, sesuatu dalam diri Ervano juga berontak dan menuntut pertanggungjawaban hingga sama sekali tidak memiliki belas kasihan.

Haura yang mulai ketakutan dan bisa membaca situasi segera meraih ponsel dan bermaksud menghubungi siapapun di sana.

"Kamu mau apa? Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi, Haura." Sembari merampas ponsel Haura dan melemparnya sembarang arah, Ervano mengungkapkan keinginannya dan berakhir mendapat hadiah dari Haura.

Plak

"Lepas!! Bapak yang mau apa? Hah?!" bentak Haura tak mau kalah pasca mendaratkan tamparan tepat di wajah tampan Ervano.

Alih-alih balik marah atau membalas tamparan Haura, Ervano justru mendekat dan menghimpit Haura tepat di tembok dengan tangan di atas kepala.

Haura kembali mencoba berontak dan meminta Ervano melepaskannya. Namun, untuk bersuara ternyata sesulit itu lantaran Ervano begitu lihai dalam membungkam mulutnya dengan ciuman.

Bukan ciuman pelan dan manis, tapi kasar dan memburu. Haura mulai menangis dengan tenaganya perlahan terkikis.

Lemas tak berdaya, semakin menggila Ervano semakin tubuh Haura seakan membeku hingga Ervano dengan begitu mudah membawanya ke kamar utama.

Bahkan, Haura seolah tidak punya kuasa untuk bangkit sewaktu Ervano mendorongnya ke atas tempat tidur.

Tidak ada kata yang lolos dari bibirnya selain "Jangan, jangan dekati aku!!" dan dia ucapkan berulang.

"Jangan, Pak ... saya mohon jangan lakukan apapun!!"

.

.

Ervano menatapnya lekat-lekat, seolah tak mengindahkan permohonan Haura, pria perlahan naik dan mengungkung tubuh Haura di bawahnya.

Sejenak Ervano terlihat tenang, dengan wajah masih merah dan mata yang menatap Haura penuh damba, dia kembali berucap dengan suara beratnya. "Kamu yang telah menyalakan api, maka kamu juga yang harus bertanggungjawab memadamkannya, Haura."

Gleg

Mata Haura kembali membulat sempurna dengan darah yang berdesir di sekujur tubuhnya. Isakan tangis kembali tak tertahankan dan Haura menyimpulkan bahwa ini adalah akhir dari hidupnya, terlebih lagi sewaktu Ervano meluncuti pakaiannya dengan begitu cepat.

Secepat itu tangannya bergerak sampai Haura sendiri tidak sadar ketika Ervano sudah siap menerobos pertahanannya.

Niat hati menyiksa, Haura justru berakhir disiksa di atas ranjang Ervano. Sedikit pun dia tidak mengira bahwa nasib sial akan menimpanya malam ini. Obat pencahar yang Andita berikan ternyata salah.

Agaknya Haura juga salah langkah. Menjerat Ervano dengan sesuatu yang dia kira sebagai obat pencahar ternyata salah besar. Salahnya Haura tidak mencari tahu dulu tentang obat itu.

Dan, salahnya lagi dia tidak mencari tahu lebih dulu siapa sesungguhnya pria ini. Ervano Lakeswara, pria beristri yang haus belaian dan tak ubahnya bak bujangan.

Dihadapkan dengan situasi semacam ini jelas dia menggila. Susah payah dia membendung has-rat untuk bercinta lantaran sang istri belum bersedia disentuh hingga satu tahun usia pernikahan mereka, kini dipertemukan dengan Haura yang secara sengaja menyalakan api dalam diri Ervano.

Sebagai pria normal tentu saja Ervano tergoda. Tanpa obat saja mungkin dia tidak kuasa menahan diri, apalagi jika sudah dipancing begini.

Tidak dalam keadaan mabuk, Ervano sadar seratus persen hingga dia bisa merasakan kenikmatan yang tiada tara tanpa bingung membedakan ini mimpi atau nyata.

Walau sebenarnya terasa seperti mimpi, kenikmatan seperti ini sudah begitu dia rindui. Juga, meski yang mende-sah hanya dia seorang diri sementara pasangannya bercinta hanya diam sembari meratap bahkan mungkin ingin mati, Ervano tidak peduli.

Ervano hanya ingin merasakannya lagi dan lagi, tubuh Haura seperti candu yang selama ini dia cari. Erangan dan desa-han tak berbalasnya memang heboh sendiri, dan Ervano terus terbuai dalam kenikmatan sebelum kemudian berakhir ambruk di sisi Haura yang seakan-akan dia anggap sebagai istri.

Terbukti hingga pagi menjelang, pelukan itu masih sama eratnya dan tak berniat Ervano lepaskan sampai tangan itu dihempas dengan begitu kasar oleh pemilik tubuh indah yang semalam dia nikmati luar dalam.

Tanpa menyapa, Ervano hanya menatap Haura yang masih membeku dan menatap nanar tanpa arah.

Hendak bicara apa juga bingung, begitu melihat Haura dalam keadaan sadar begini seketika merasa bersalah. Terlebih lagi, sewaktu air mata wanita itu kembali menetes dan membasahi wajah cantiknya.

Tanpa basa-basi, Ervano bergegas ke kamar mandi dan meninggalkan Haura tanpa kata. Tak berselang lama, pria itu kembali dengan membawa bathrobe yang kemudian dia serahkan pada Haura.

"Bersihkan tubuhmu, setelah itu sarapan dan saya antar pulang."

"Tidak perlu!! Jangan sok baik setelah merenggut kehormatanku!!" ketus Haura seketika memalingkan muka.

.

.

- To Be Continued -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!