NovelToon NovelToon

TABIB KELANA 2

Dobrak!

Hujan deras mengguyur kota malam itu. Petir menggelegar di langit seakan menghancurkan angkasa, membuat jantung setiap orang yang mendengarnya serasa mau copot.

Udara begitu dingin, mencengkeram setiap orang yang berada di luar.

Namun, di dalam salah satu kamar hotel VIP, Purnama tidak merasakan sedikit pun rasa dingin itu.

Dia mem*luk Mumu dengan erat, seolah takut kehangatan itu akan menghilang jika dia melepaskannya.

Pel*kan mereka sangat erat, tak terpisahkan, dan di dalam kamar, hanya ada keheningan yang penuh keintim*n.

"Mumu, kamu sangat hebat." Bisik Purnama di telinga Mumu, suaranya bergetar penuh emosi dan kekaguman.

"Aku masih tak percaya Kak Wulan malah memilih pergi dari sisi mu. Sungguh bod*h dia meninggalkan seseorang sepertimu."

Mumu hanya tersenyum, senyum yang hangat namun misterius.

Matanya memancarkan ketenangan yang aneh, tak tersentuh oleh kata-kata Purnama.

Meski dilanda badai di luar, suasana di kamar terasa seperti dunia yang berbeda, tempat di mana waktu berhenti dan hanya mereka berdua yang ada.

Purnama membenamkan wajahnya di bahu Mumu, mencoba mencari kenyamanan dari aroma lembut yang tercium darinya.

Mereka terus bermadu kasih dalam keheningan, hanya suara hujan dan gelegar petir dari luar yang sesekali menyela.

Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Ketenangan itu tiba-tiba pecah ketika terdengar suara gedoran keras di pintu.

"Tok tok...!"

"Tok tok...!"

Purnama tersentak, tubuhnya menegang dalam pelukan Mumu. Wajahnya berubah pucat saat suara keras itu terdengar lagi.

"Tok tok...!"

"Tok tok...!"

"Purnama! Keluar kamu!"

"Cepat buka pintunya!" Suara itu lantang dan penuh amarah, menghantam udara yang sebelumnya tenang.

Purnama langsung mengenali suara itu. Wajahnya memucat, dan tubuhnya bergetar.

"Itu... suara Kak Wulan..."

"Tapi...tapi...bagai mana bisa dia ada di sini?" Bisiknya, hampir tak bisa berkata-kata.

"Bukan kah dia sudah lama pergi? Sejak kapan dia kembali ke sini?"

Purnama tak habis pikir. Jantungnya berdegup kencang, hampir bersamaan dengan dentuman petir di luar.

Gedoran di pintu semakin keras, tak terhentikan.

Purnama bisa mendengar amarah yang terkandung di dalam setiap ketukan, seperti badai yang tak bisa dikendalikan.

"Ya, buka pintunya sekarang, atau kami dobrak!" Suara lain terdengar, kali ini lebih dingin, tapi tak kalah mengancam. Purnama langsung tahu siapa yang berbicara.

"Itu... suara Kak Mirna..." Purnama merasa dunia berputar di sekelilingnya. Bagaimana mungkin kedua orang itu bisa berada sini? Bagaimana mereka tahu?

Purnama memandang Mumu dengan panik, wajahnya pucat pasi.

"Mumu, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Purnama dengan suara yang hampir putus asa.

Namun, sekali lagi, Mumu hanya tersenyum lembut. Senyum yang sama, tak berubah.

Tak ada tanda-tanda kecemasan di wajahnya. Seakan semua ini adalah bagian dari rencana yang sudah ia ketahui sejak awal.

Mumu malah menarik Purnama ke dalam dekapannya.

Purnama merasa panik menguasai dirinya. Bagaimana bisa Mumu tetap tenang di saat seperti ini?

Bukankah seharusnya ia merasa takut, atau setidaknya cemas mendengar kedatangan kedua istrinya?

Namun, seakan tidak ada yang bisa menggoyahkan ketenangan Mumu. Sambil tetap tersenyum, Mumu akhirnya membuka suara.

"Tenang saja, Purnama. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."

Kata-kata itu terasa menenangkan namun sekaligus misterius.

Purnama mencoba meyakinkan dirinya, tetapi gedoran di pintu terus bertambah kuat. Jantungnya berdebar kian cepat.

"PURNAMA! Kakak hitung sampai tiga!" Teriakan Wulan terdengar lagi, kali ini lebih tajam. "Satu! Dua!"

"Tiga!" Suara Wulan menggema di seluruh kamar, diikuti oleh benturan keras di pintu.

Tiba-tiba Mumu membuat gerakan. Dengan posisi sebelah tangannya masih merangkul Purnama, memberikan kehangatan yang membuat Purnama merasa aman di tengah semua kekacauan itu. Dan sebelah tangannya yang lain, mengarah ke pintu.

Dalam sekejap, selarik cahaya berkilau keluar dari telapak tangannya, bergerak cepat seperti aliran listrik yang membungkus pintu kamar.

"Tenang saja, Purnama." Bisik Mumu pelan. "Mereka tidak akan bisa masuk."

Purnama terkejut melihat apa yang dilakukan Mumu, tetapi dia merasa aman di pelukannya.

Mumu seakan memiliki kekuatan yang jauh melampaui yang dia bayangkan, dan meski Purnama tak sepenuhnya mengerti, dia mempercayainya sepenuh hati.

Di luar, Wulan dan Mirna menjadi semakin uring-uringan.

Mereka mencoba mendobrak pintu, tapi tidak ada gunanya.

Setiap kali mereka menyentuh pintu itu, cahaya yang dipancarkan Mumu semakin kuat, memantulkan tangan mereka seolah ada kekuatan tak kasat mata yang melindungi kamar tersebut.

"Dor dor dor...!!!"

"Purnama! Apa yang kamu lakukan?!" Teriak Wulan dengan penuh amarah.

"Keluar, atau Kakak tidak akan pernah memaafkanmu!"

Mirna, yang biasanya tenang, mulai kehilangan kesabarannya.

"Apa yang kamu lakukan, Mumu?! Apa yang kamu sembunyikan?!" Teriaknya sambil menggedor pintu, tetapi tak ada jawaban dari dalam.

Tentu saja Mumu dan Purnama tak peduli. Dalam ketenangan yang aneh, mereka kembali ke dunia mereka sendiri, mengabaikan suara teriakan dari luar.

Mumu merangkul Purnama lebih erat, menatapnya dengan lembut, lalu menci*m dahinya dengan penuh kasih sayang.

"Kamu aman bersamaku." Kata Mumu lembut, seolah memastikan bahwa apa pun yang terjadi di luar tidak akan bisa menyentuh mereka.

Purnama, yang tadinya diliputi kecemasan, perlahan mulai tenang.

Dia mempercayai kata-kata Mumu. Semua hal di luar sana, teriakan, amarah, dan ancaman dari Wulan dan Mirna tidak lagi penting.

Yang ada hanya Mumu dan dirinya, dalam kehangatan yang menenangkan di tengah badai.

Di luar, Wulan dan Mirna akhirnya menyerah.

Mereka masih marah, masih berteriak, tapi pintu itu tetap terkunci rapat oleh kekuatan yang tak bisa mereka pahami.

Mereka melangkah mundur, bingung dan frustasi, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Sementara itu, di dalam kamar, Mumu dan Purnama tenggelam dalam keheningan yang manis.

Mereka kembali memadu kasih, mengabaikan semua kekacauan di luar sana.

Bagi mereka, dunia luar seakan berhenti, hanya menyisakan keintim*n yang mereka nikmati dalam balutan rasa aman yang diberikan Mumu.

Purnama tahu bahwa selama ada Mumu di sisinya, dia tak perlu takut.

Entah berapa lama waktu telah berlalu, Purnama seakan lupa diri.

Dia tenggelam dalam kehangatan dan keintim*n bersama Mumu, seolah dunia luar tak lagi ada.

Suara hujan deras dan gelegar petir yang terus-menerus menggelegar perlahan-lahan memudar dari pikirannya. Yang ada hanya Mumu dan rasa aman yang melingkupinya.

Namun tiba-tiba, suara gedoran keras di pintu kembali terdengar. Kali ini, lebih kuat dan nyata, seakan pintu itu akan jebol kapan saja.

Purnama tersentak, sejenak merasa seluruh dunianya terganggu.

Dada Purnama terasa sesak, tak nyaman. Kepalanya terasa sakit. Dia mencoba menoleh ke arah pintu dengan cemas.

"Mumu... kenapa suaranya terdengar lebih kuat kali ini?" Tanya Purnama dengan nada khawatir.

Terobsesi

"Dor dor dor!"

"Hei, Dara! Mau sampai kapan kamu berdiam di kamar? Sudah sebulan kamu tidak bayar uang sewa!"

"Pokoknya kalau kamu tidak bisa bayar juga, maka kamu harus keluar dari sini sekarang juga!" Teriakan keras dari luar disertai suara ketukan pintu yang menggema di seluruh kamar.

Purnama terlonjak dari tidurnya, terbangun dengan kaget. Tubuhnya berkeringat, jantungnya berdegup kencang.

Ternyata suara Ibuk Kost. Semenjak tiba di kota Selat Panjang lebih dari sebulan yang lalu, Purnama sengaja mencari kost yang murah.

Selama tinggal di sini Purnama memang menggunakan nama samaran 'Dara.'

Purnama menghela nafas dan menjambak rambutnya dengan kesal.

Ternyata, semua yang dia alami barusan hanyalah mimpi. Mimpi yang begitu nyata, penuh dengan keintim*n dan kedamaian, namun langsung lenyap begitu saja.

Purnama kembali menghela napas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang masih kusut setelah mimpi itu.

Dia menoleh ke arah pintu, di mana suara gedoran tadi terdengar. Kepalanya masih berat, tapi kesadaran mulai kembali.

"Ya, ya! Sebentar!" Serunya sambil bangkit dari tempat tidur, berusaha menyingkirkan perasaan kecewa yang kini menggantung di hatinya.

Purnama mendekati pintu, membuka sedikit dan melihat pemilik kost berdiri di luar, wajahnya penuh amarah.

"Sudah sebulan, Dara." Kata pemilik kost dengan nada penuh tekanan.

"Aku tidak bisa biarkan kamu tinggal di sini lebih lama lagi tanpa bayar uang sewa. Kalau kamu tidak punya uang, keluar sekarang juga!"

Purnama mengangguk pelan. "Maaf, Buk. Saya akan segera cari cara untuk bayar, tolong beri saya waktu sedikit lagi." Jawabnya dengan nada lemah.

Pemilik kost menatapnya tajam. "Aku beri kamu waktu sampai besok, kalau tidak bisa bayar juga maka barang-barangmu akan aku keluarkan."

"Jangan katakan bahwa aku tidak memberikan kesempatan kepada kamu."

Setelah mengatakan itu, Ibuk pemilik kost segera berlalu meninggalkan Purnama yang masih berdiri di pintu dengan perasaan berat.

Setelah pintu kembali tertutup, Purnama duduk di tempat tidurnya, matanya menatap kosong ke dinding.

Bukan teriakan pemilik kost atau masalah uang yang mengganggu pikirannya.

Apa yang paling mengusik hatinya adalah kenyataan bahwa semua yang dia alami barusan hanyalah mimpi.

Mimpi tentang Mumu, sosok yang selama ini mengisi pikirannya, siang dan malam.

Purnama merasa sangat kecewa. Bukan karena ditagih uang sewa, tapi karena semua keindahan yang baru saja dia rasakan hilang begitu saja.

Dalam mimpi itu, dia dan Mumu seolah berada di dunia yang hanya milik mereka berdua.

Tidak ada Kak Wulan, tidak ada almarhum Mirna, tidak ada kesulitan hidup yang menghantui Purnama setiap hari.

Namun, kini semuanya sirna, meninggalkannya dengan kenyataan pahit bahwa itu semua hanyalah khayalan.

"Kenapa harus mimpi?" Gumam Purnama sambil menatap langit-langit kamarnya.

"Kenapa tidak bisa jadi kenyataan?"

Sudah lama Purnama terobsesi dengan Mumu. Bisa dikatakan, dia sekarang tergila-gila pada pria itu.

Semuanya berawal ketika Mumu mampu menyembuhkan Purnama dari cedera saat dia berada di Padukuhan Wotawati waktu itu.

Setiap hari, Purnama memikirkan Mumu, berharap bisa mendapatkan perhatian darinya.

Tapi sayangnya, segala usaha yang dilakukan Purnama selama ini seolah sia-sia.

Mumu tak pernah menggubrisnya, tak pernah menunjukkan sedikit pun ketertarikan.

Purnama telah mencoba berbagai cara. Mulai dari mengirim pesan singkat, mengajaknya bertemu. Namun, Mumu selalu menjaga jarak. Dia selalu bersikap baik, tapi tak pernah memberi Purnama harapan lebih.

Seolah Purnama hanyalah salah satu dari banyak orang yang hanya sekadar dikenal.

Bahkan nomor kontaknya diblokir oleh Mumu!

Dan yang lebih menyakitkan, baru-baru ini Purnama mendengar kabar bahwa Mumu telah menikah. Dengan seorang wanita bernama Erna.

Berita itu menghancurkan Purnama. Hatinya terasa seperti diremukkan, mengapa Mumu lebih memilih orang lain, bukan dirinya.

Bukan kah dirinya merupakan adik kandung Kak Wulan. Seharusnya dia lebih layak menggantikan posisi Kak Wulan untuk menjadi pendamping hidup Mumu dibandingkan orang lain.

“Kenapa harus Erna? Apa kurangnya aku?” Bisik Purnama, menahan rasa sakit yang menyesak di dadanya.

Dia masih teringat betapa bahagianya Mumu saat foto pernikahannya tersebar di media sosial. Mumu tampak tersenyum, sementara Erna berdiri di sampingnya, terlihat sangat bahagia.

Sejak saat itu, Purnama merasa hidupnya berubah menjadi semakin gelap.

Dia terjebak dalam dunia khayalan, membayangkan bagaimana jika dia yang berada di sisi Mumu, bukan Erna.

Mimpi-mimpi seperti yang baru saja dialaminya menjadi pelarian satu-satunya dari kenyataan yang begitu menyakitkan.

Dalam mimpi, Purnama bisa memiliki Mumu, walau hanya sesaat.

Namun setiap kali terbangun, kenyataan menghantamnya kembali.

Mumu sudah bersama orang lain, dan Purnama hanyalah bayang-bayang yang tak akan pernah diperhatikan.

Dengan penuh putus asa, Purnama meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur.

Dia membuka galeri foto dan menatap gambar-gambar Mumu yang diambil diam-diam saat mereka bertemu dulu.

Foto-foto itu adalah satu-satunya cara Purnama bisa merasa dekat dengan Mumu.

Dia menatap wajah Mumu yang tersenyum di layar ponsel, dan hatinya semakin perih.

"Aku tidak bisa terus begini..." Bisiknya. Tapi meski mulutnya mengatakan itu, hatinya tetap terpaut pada Mumu.

Purnama mencoba mengalihkan pikirannya, tapi bayangan Mumu terus menghantui.

Semua yang dia lakukan seakan selalu berujung pada satu nama : Mumu.

Setiap kali dia mencoba melupakan, mimpi seperti tadi muncul lagi, menariknya kembali ke dalam lingkaran yang sama.

"Apa aku gila?" Tanya Purnama pada dirinya sendiri.

"Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya? Kenapa aku tidak bisa menerima kenyataan?"

Kekecewaan itu semakin lama semakin menumpuk, membentuk gunungan rasa frustrasi yang tak bisa diredakan.

Purnama tahu bahwa Mumu telah memilih jalan hidupnya sendiri. Bahwa Mumu kini bahagia bersama Erna.

Tapi, menerima kenyataan itu terasa seperti menerima kekalahan terbesar dalam hidupnya.

Purnama menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur.

Dia berjalan menuju jendela kamar, membuka tirai dan menatap ke luar. Hujan turun perlahan, seperti menambah suasana hati yang muram.

"Mungkin… aku harus melepaskan Mumu..." Gumamnya pelan, meski di dalam hatinya dia masih meragukan kata-katanya sendiri.

Pikiran Purnama terus berputar. Wajah Mumu kembali terlintas di benaknya, membuatnya merasa semakin tenggelam dalam rasa sakit yang tak kunjung reda.

"Kenapa harus Erna? Kenapa bukan aku?" Bisik Purnama dengan suara serak.

Matanya memerah, menahan perasaan yang kian menyesakkan dada.

Purnama merasa hidup ini tidak adil.

Obsesi yang dimulai dari rasa suka perlahan berubah menjadi rasa sakit yang mendalam.

Dan kini, Purnama tak bisa lagi membedakan antara cinta dan kehancuran yang menguasainya.

Saat pandangannya tertuju pada sebuah foto Mumu yang terpajang di meja, Purnama tersenyum tipis, senyum yang tidak mengandung kebahagiaan, melainkan keputusasaan.

Di foto itu, Mumu tersenyum ceria, tanpa sedikit pun tahu bahwa seseorang begitu terobsesi padanya hingga rela melakukan apa pun untuk memilikinya.

"Kalau aku tidak bisa mendapatkan Mumu..." Purnama berbicara pelan pada dirinya sendiri,

"Maka orang lain juga tidak pantas mendapatkannya." Kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan dingin, seolah-olah itu adalah sebuah keputusan yang telah lama tertanam dalam pikirannya.

Dia bangkit dari tempat tidur, matanya kini penuh dengan tekad yang dingin.

Purnama tahu bahwa Mumu tidak akan pernah mencintainya. Namun, lebih dari itu, Purnama juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa Mumu mencintai orang lain.

Di dalam benaknya yang kacau, Mumu adalah miliknya—dan jika tidak bisa bersama Mumu, maka tak seorang pun boleh.

Mengobati Pak Abdillah

Di sebuah Rumah Sakit Jogja yang terkenal akan pengobatan tradisional dan modern, seorang pria tua sedang didorong menuju Poli Akupuntur oleh anak gadisnya.

Kursi rodanya bergerak pelan melewati koridor panjang yang dipenuhi pasien dan perawat.

Pria tua itu, yang kini hanya bisa terdiam dan mengandalkan putrinya, pernah menjadi seorang yang kuat, seorang dosen dan dokter terkenal, namun nasib membawanya ke titik ini setelah mengalami stroke berat.

Dia tidak lagi bisa bicara atau menggerakkan sebagian besar tubuhnya, hanya kesadarannya yang masih tersisa untuk merasakan dan mendengarkan sekeliling.

Umurnya belum lah dikatakan terlalu renta, tapi akibat penyakit yang menggerogotinya membuat dia bertambah uzur dari hari ke hari.

Gadis yang mendorong kursi roda itu, bernama Dita, menatap ayahnya dengan cemas.

Setiap langkah yang diambil menuju ruang akupuntur adalah harapan kecil bahwa terapi ini akan membawa perubahan, sekecil apa pun itu.

Dita baru saja mendapat kabar jika Dokter yang di Poli Akupuntur lumayan handal sehingga dia ingin mencoba mengadu peruntungannya mana tahu bisa mengurangi sedikit penderitaan ayahnya.

Ketika mereka sampai di pintu Poli Akupuntur, seorang dokter muda yang baru saja selesai mengobati pasien lain menoleh dan tiba-tiba berdiri.

Wajahnya berubah serius dan tanpa menunggu lebih lama, dia berjalan cepat menuju Dita dan ayahnya.

Hal ini tentu saja mengejutkan Dita dan juga dua orang perawat yang mendampingi Dokter muda itu.

Bagaimana mungkin seorang dokter spesialis terkenal seperti Mumu, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, tampak tergopoh-gopoh menuju mereka?

“Pak Prof. Dr. Abdillah!” Seru Mumu dengan nada penuh kekhawatiran.

"Ini memang anda kan, Pak? Apa yang terjadi dengan Bapak? Mari, ayo ke sini! Tolong didorong ke sini kursi rodanya, Buk.”

Dita menurut. Dia mendorong kursi roda ayahnya ke tempat yang ditunjuk oleh Mumu.

Pria tua yang dipanggil itu, Prof. Abdillah, memandang Mumu dengan tatapan bingung. Wajahnya mengerut dalam ketidakpahaman.

Sebagai pertanda bahwa dia tidak mengenali sosok dokter yang kini berdiri di hadapannya.

Mulutnya bergerak seolah ingin mengucapkan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar.

Stroke telah merampas kemampuan bicaranya. Namun, pendengarannya masih cukup baik, dan dia bisa merasakan ada sesuatu yang penting dari cara Mumu berbicara.

Melihat kebingungan itu, Mumu menunduk mendekat, suaranya menjadi lebih lembut.

“Bapak tidak kenal saya lagi? Saya Mumu, Pak. Ingat waktu seleksi wawancara beasiswa beberapa tahun yang lalu? Bapak yang mewawancarai saya.”

Ada jeda sejenak. Mata Prof. Dr. Abdillah masih tetap diam, hingga perlahan, sebuah kilatan ingatan muncul di dalamnya.

Mata itu berbinar samar, mulutnya kembali berusaha bergerak seolah ingin mengucapkan sesuatu.

Walaupun tak ada suara yang keluar, ekspresinya menunjukkan bahwa dia mulai ingat.

Dulu, dia memang pernah bertemu banyak mahasiswa yang dia wawancarai untuk mendapatkan beasiswa, salah satunya mungkin Mumu.

Mumu adalah calon mahasiswa yang paling cerdas yang pernah dia wawancarai.

Pria tua itu ingat, dia sampai lupa waktu saat mewawancarai Mumu, hingga koleganya makan siang duluan karena tak sabar menunggu dia mewawancarai Mumu hingga jauh melebihi batas waktu yang ditentukan.

Mumu tersenyum lembut. “Ah, Bapak masih ingat saya. Syukur lah kalau begitu, Pak."

"Bawa tenang ya, Pak. Saya akan segera mengobati bapak. Jangan khawatir. Mudah-mudahan nanti ada perubahan ke arah yang lebih baik."

Di sisi lain, Dita yang sejak tadi diam tak kuasa menahan rasa penasaran.

“Maaf, Dokter. Apakah Anda kenal dengan Ayah saya?” Tanya dia dengan nada ragu. Dia tidak pernah mendengar cerita dari ayahnya tentang Dokter muda ini.

Mumu mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, saya kenal beliau. Beliau salah satu orang yang berjasa besar dalam hidup saya.”

“Benarkah? Tapi...” Dita tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia terlalu terkejut dan bingung, tidak menyangka bahwa ayahnya memiliki hubungan dengan Dokter spesialis terkenal ini.

“Nanti saja ngobrolnya, ya, Buk.” Kata Mumu dengan tenang.

“Biar saya fokus mengobati beliau dulu.”

Dita mengangguk, meskipun rasa ingin tahunya semakin besar. Dia pun membantu Mumu memindahkan tubuh ayahnya dengan hati-hati ke atas tempat tidur perawatan.

Setelah Prof. Dr. Abdillah berbaring dengan nyaman, Mumu mengeluarkan perlengkapannya, yaitu jarum-jarum akupunktur yang akan digunakan.

Mumu memulai proses akupunktur dengan ketelitian dan ketenangan. Jarum-jarum kecil mulai ditancapkan di berbagai titik di tubuh Prof. Abdillah, khususnya di area yang berhubungan dengan peredaran darah dan syaraf yang terkena dampak stroke.

Setiap jarum ditancapkan dengan presisi dan teknik yang dipelajari bertahun-tahun.

Jarum akupuntur di tangan Mumu bagai kan anggota tubuhnya sendiri sehingga dia bisa menggunakan dengan bebas.

Namun tentu saja Mumu tidak hanya mengandalkan ilmu medisnya.

Ia juga mengedarkan kekuatan spiritualnya bersamaan dengan tenaga dalamnya melalui titik-titik akupunktur itu.

Pancaran energi halus terasa meresap, berusaha menyeimbangkan aliran energi dalam tubuh pria tua itu.

Kekuatan spiritual dan tenaga dalamnya mulai memperbaiki urat dan saraf melalui jarum akupuntur tersebut.

Dita yang menyaksikan proses itu hanya bisa berdiri di samping, tak tahu harus berkata apa.

Sesekali dia melirik wajah ayahnya, berharap ada tanda-tanda perbaikan.

Saat jarum-jarum akupuntur ditancapkan ke tubuhnya, Prof. Dr. Abdillah mulai merasakan sensasi hangat yang perlahan menyebar dari setiap titik.

Rasa hangat itu berbeda dari sekadar kehangatan biasa, seperti ada aliran energi yang masuk ke dalam tubuhnya, memperbaiki bagian-bagian yang rusak.

Dia dapat merasakan energi itu bekerja, mengalir lembut namun kuat, seolah-olah sedang menyentuh syaraf-syarafnya yang rusak, mengembalikannya ke tempat yang seharusnya.

Apa kah memang seperti ini efek akupuntur? Pikir Prof. Dr. Abdillah.

Mumu terus mengobati Pak Abdillah, berdiri dengan fokus penuh, menyalurkan tenaga dalamnya melalui jarum-jarum itu. Dia tahu bahwa kondisi Prof. Abdillah sudah cukup parah, tapi dia yakin pengobatan ini bisa membantu memperbaiki keseimbangan tubuh sang profesor.

Setelah beberapa menit, perubahan mulai terlihat. Wajah Prof.dr. Abdillah, yang sebelumnya pucat, perlahan mulai kembali berwarna. Aliran darah yang sebelumnya terhambat mulai lancar kembali, mengalirkan kehidupan ke wajahnya yang dulu dikenal penuh wibawa.

Anak gadisnya, Dita, yang sejak tadi cemas, menyadari perubahan itu.

“Dokter...” Bisik Dita dengan suara penuh harap,

“wajah Ayah saya... tidak pucat lagi.”

Mumu tentu saja tidak menjawab karena dia masih fokus menyalurkan tenaga dalam dan mengatur kekuatan spiritualnya ke dalam tubuh Pak Abdillah.

Sementara itu, di tubuh Prof. Dr. Abdillah, energi yang bekerja terus bergerak. Syaraf-syaraf yang sebelumnya tak berfungsi kini mulai merespons.

Dengan perlahan, dia mencoba menggerakkan bibirnya, sesuatu yang sudah lama tak bisa dia lakukan sejak stroke menyerangnya.

“Ah...,” suara lemah keluar dari mulutnya. Itu adalah pertama kalinya Prof. Dr. Abdillah bisa mengeluarkan suara sejak lama.

Dita langsung mendekat dengan mata berbinar-binar. “Ayah! Ayah bicara! Ini luar biasa, dokter!”

Mumu tetap tenang, tapi ada kepuasan tersirat di wajahnya. Dia mendekat ke Prof. Dr. Abdillah dan berbicara dengan suara lembut.

“Bapak, bagaimana rasanya? Apakah bapak merasa lebih baik?”

Prof. Dr. Abdillah mencoba merespons, meskipun bicaranya masih sangat pelan.

“Luar... biasa...” Gumamnya dengan suara yang serak, tapi terdengar jelas.

Dita tidak bisa menahan air matanya. Melihat ayahnya bisa berbicara lagi, meskipun hanya sedikit, adalah harapan yang selama ini ia tunggu-tunggu.

“Ayah, ini sungguh keajaiban. Terima kasih, dokter.”

Mumu menggelengkan kepalanya dengan rendah hati.

“Tidak perlu berterima kasih. Ini adalah hasil dari pengobatan dan juga kekuatan tubuh Bapak yang berusaha sembuh. Tapi ingat, ini baru permulaan. Masih ada jalan panjang yang harus kita lalui.”

Prof. Dr. Abdillah menatap Mumu dengan penuh rasa syukur. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dia merasakan ada harapan.

Energi yang masuk melalui akupuntur tadi tidak hanya memperbaiki fisiknya, tapi juga memberikan keyakinan baru bahwa dia bisa sembuh.

Dengan suara yang masih terbata-bata, dia berkata, “Terima kasih, Mumu. Kamu... sangat berbakat.”

Mumu hanya tersenyum hangat. “Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan, Pak Abdillah. Mari kita lanjutkan pengobatannya di masa mendatang."

Mumu menoleh ke arah Dita.

"Kak, tinggalkan alamatnya, jadi pengobatan yang akan datang tak perlu datang ke sini. Biar saya saja yang mengunjungi Bapak di rumah."

"Mana bisa begitu, Dok?"

"Tidak apa-apa..."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!