Suara bel sekolah memecah keheningan pagi itu. Aku, Andi Pratama, siswa kelas 11 SMA Citra Bangsa, berjalan gontai memasuki gerbang sekolah. Entah mengapa, perasaanku tidak enak hari ini. Mungkin karena semalam aku begadang mengerjakan tugas matematika yang menumpuk.
"Hei, Andi! Tunggu!"
Suara familiar itu membuatku menoleh. Ternyata Dimas, sahabatku sejak SMP, berlari-lari kecil mengejarku.
"Pagi, Dim. Tumben kamu datang pagi?" tanyaku heran.
Dimas nyengir lebar, "Iya nih, bangun kepagian. Eh, kamu udah denger gosip terbaru belum?"
Aku menggeleng. Dimas memang langganan gosip terhangat sekolah. Entah dari mana dia selalu dapat info tercepat.
"Katanya bakal ada murid pindahan baru lho! Cewek cantik dari Jakarta!" ujar Dimas bersemangat.
Aku hanya menanggapi dengan "oh" pelan. Sejujurnya, aku tidak terlalu tertarik dengan gosip semacam itu. Tapi Dimas sepertinya sangat antusias.
"Ayo cepat masuk kelas! Siapa tau dia sekelas sama kita!" Dimas menarik tanganku, memaksaku berjalan lebih cepat.
Sesampainya di kelas, suasana sudah ramai. Anak-anak perempuan berkerumun di satu meja, sepertinya sedang membicarakan sesuatu dengan seru. Sementara anak laki-laki juga tak kalah heboh, berdiskusi di pojok kelas.
"Wah, sepertinya gosipmu benar, Dim," gumamku.
Tak lama kemudian, Pak Hendra, wali kelas kami, masuk diiringi seorang gadis cantik berambut panjang. Seisi kelas langsung hening.
"Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta. Silakan perkenalkan dirimu," ujar Pak Hendra.
Gadis itu tersenyum manis, membuat beberapa anak laki-laki di kelas terpesona. "Selamat pagi semuanya. Perkenalkan, nama saya Putri Andini. Saya pindahan dari SMA Pelita Bangsa Jakarta. Mohon bantuannya ya."
Suara riuh rendah terdengar di kelas. Putri dipersilakan duduk di bangku kosong di sebelahku. Jantungku berdegup kencang saat dia mendekat.
"Hai, boleh aku duduk di sini?" tanyanya ramah.
Aku hanya mengangguk kaku. Dimas yang duduk di belakangku menyikut punggungku, memberi isyarat agar aku bicara.
"Oh, i-iya silakan. Aku Andi," ujarku terbata.
Putri tersenyum lagi, "Senang berkenalan denganmu, Andi."
Pelajaran pun dimulai. Sepanjang hari itu, aku tidak bisa berkonsentrasi. Sesekali aku melirik ke arah Putri yang tampak serius memperhatikan penjelasan guru. Entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda dari gadis ini.
Saat istirahat tiba, Putri langsung dikerubungi oleh anak-anak perempuan yang penasaran. Mereka menanyakan berbagai hal, mulai dari alasan pindah sekolah hingga hobi dan kesukaan Putri. Aku hanya bisa memperhatikan dari jauh, tidak berani mendekat.
"Andi, ayo ke kantin!" ajak Dimas, menarikku keluar kelas.
Di kantin, kami bertemu dengan Reza, teman sekelas kami yang terkenal sebagai playboy sekolah. Dia tampak bersemangat membicarakan Putri.
"Guys, murid baru itu cantik banget ya! Aku harus bisa dapetin dia," ujar Reza penuh percaya diri.
Entah mengapa, ada rasa tidak suka yang muncul di hatiku mendengar ucapan Reza. Tapi aku memilih diam.
"Eh, tapi katanya Putri itu anak orang kaya lho. Pasti standarnya tinggi," sahut Dimas.
Reza tertawa, "Tenang aja, aku pasti bisa taklukkan dia."
Aku hanya mendengarkan percakapan mereka sambil menyantap makananku. Dalam hati, aku berharap Putri tidak terjebak dengan rayuan Reza.
Sepulang sekolah, aku terkejut melihat Putri masih berada di kelas sendirian. Dia tampak kebingungan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Putri? Kamu belum pulang?" tanyaku memberanikan diri.
Putri menoleh dan tersenyum, "Oh, Andi. Iya nih, aku masih bingung mau pulang naik apa. Tadi pagi diantar supir, tapi sekarang dia ada urusan."
Tanpa pikir panjang, aku menawarkan bantuan, "Mau kuantar pulang? Aku bawa motor."
Mata Putri berbinar, "Benarkah? Tidak merepotkan?"
Aku menggeleng, "Sama sekali tidak. Ayo."
Sepanjang perjalanan, kami mengobrol ringan. Ternyata Putri orang yang sangat menyenangkan dan mudah diajak bicara. Dia menceritakan alasannya pindah ke kota ini karena mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan.
"Makasih ya Andi, sudah mau mengantarku," ujar Putri saat kami tiba di depan rumahnya yang besar.
"Sama-sama. Besok mau berangkat bareng?" tawarku spontan.
Putri tampak ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk, "Boleh. Tapi jangan repot-repot ya."
Keesokan harinya, aku menjemput Putri di rumahnya. Sepanjang perjalanan ke sekolah, kami mengobrol dan tertawa bersama. Entah mengapa, aku merasa sangat nyaman bersamanya.
Setibanya di sekolah, kami disambut tatapan heran teman-teman. Beberapa anak perempuan berbisik-bisik, sementara anak laki-laki menatapku iri. Reza tampak kesal melihatku bersama Putri.
"Wah, Andi. Kamu cepat juga ya geraknya," goda Dimas saat kami di kelas.
Aku hanya tersenyum malu, "Bukan begitu, aku cuma menolongnya saja."
Hari-hari berikutnya, aku dan Putri semakin dekat. Kami sering menghabiskan wak
Hari-hari berikutnya, aku dan Putri semakin dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kehadiran Putri membuat hariku lebih berwarna. Namun, tanpa kusadari, kedekatan kami mulai menimbulkan berbagai reaksi dari teman-teman sekelas.
Suatu hari, saat aku sedang berjalan menuju kantin, Reza menghadangku.
"Hei Andi, kamu nggak apa-apa tuh deket sama Putri?" tanyanya dengan nada sinis.
Aku mengernyitkan dahi, "Maksudmu?"
Reza tersenyum mengejek, "Jangan ge-er dulu. Putri itu cuma numpang nebeng sama kamu doang. Mana mungkin cewek secantik dan sekaya dia mau sama cowok biasa kayak kamu."
Ucapan Reza membuatku terdiam. Meski tidak ingin mengakuinya, ada sebagian diriku yang merasa ragu. Apakah benar Putri hanya memanfaatkanku?
Keraguan itu semakin bertambah ketika aku melihat Putri sedang berbicara akrab dengan Fariz, ketua OSIS sekolah kami yang terkenal pintar dan tampan. Mereka tampak asyik berdiskusi di perpustakaan. Entah mengapa, ada rasa cemburu yang muncul di hatiku.
"Andi, kamu kenapa? Kok murung?" tanya Dimas saat kami sedang makan siang bersama.
Aku menghela nafas, "Nggak apa-apa kok."
Dimas menatapku curiga, "Pasti ada hubungannya sama Putri ya? Aku lihat tadi dia ngobrol sama Fariz."
Aku hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Udah, jangan diambil hati. Putri kan memang populer, wajar kalau banyak yang mendekatinya," ujar Dimas mencoba menghibur.
Meski begitu, aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah di hatiku. Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk bicara langsung dengan Putri.
"Putri, bisa bicara sebentar?" tanyaku saat melihatnya hendak pulang.
Putri mengangguk, "Tentu. Ada apa, Andi?"
Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara, "Aku... aku cuma mau tanya. Apa benar kamu cuma numpang nebeng sama aku? Maksudku, apa kamu nggak risih deket sama aku yang biasa-biasa aja ini?"
Putri tampak terkejut mendengar pertanyaanku. Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum lembut.
"Andi, kenapa kamu berpikir seperti itu? Aku tulus kok berteman denganmu. Kamu orang yang baik dan menyenangkan. Aku nyaman bersamamu," jawab Putri dengan tulus.
Mendengar jawabannya, ada perasaan lega yang muncul di hatiku. Namun, aku masih penasaran dengan satu hal.
"Lalu... bagaimana dengan Fariz? Kulihat kalian akrab sekali tadi," tanyaku ragu-ragu.
Putri tertawa kecil, "Oh, itu. Kami cuma membicarakan rencana festival sekolah kok. Fariz memintaku bergabung dengan panitia acara."
Aku merasa malu karena telah berprasangka buruk. "Maaf, Putri. Aku... aku cuma..."
Putri menyentuh lenganku lembut, "Tidak apa-apa, Andi. Aku mengerti. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Bagiku, kamu adalah teman spesial."
Kata-kata Putri membuatku tersenyum lega. Kami pun berjalan pulang bersama seperti biasa, dengan perasaan yang lebih ringan.
Namun, ternyata masalah tidak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, aku mendengar bisik-bisik dari beberapa teman sekelas.
"Eh, lihat tuh si Andi. Sok banget ya deket-deket sama Putri," ujar salah seorang dari mereka.
"Iya, pasti dia cuma numpang tenar doang," timpal yang lain.
Aku berusaha tidak menghiraukan ucapan mereka, tapi tetap saja ada rasa sakit yang menyelinap di hatiku. Apakah benar aku hanya memanfaatkan Putri untuk terkenal?
Saat istirahat, Putri menghampiriku dengan wajah cemas. "Andi, kamu baik-baik saja? Aku dengar ada yang membicarakanmu."
Aku tersenyum paksa, "Tidak apa-apa, Putri. Biarkan saja mereka."
Putri menggeleng, "Tidak bisa begitu, Andi. Kita harus meluruskan kesalahpahaman ini."
Tanpa kuduga, Putri tiba-tiba berdiri dan berkata dengan suara lantang di depan kelas, "Teman-teman, aku ingin kalian tahu bahwa Andi adalah sahabat terbaikku. Dia orang yang baik dan tulus. Tolong jangan menyebarkan gosip yang tidak benar tentangnya."
Semua orang di kelas terdiam, termasuk aku yang terkejut dengan tindakan Putri. Beberapa anak mulai berbisik-bisik, tapi kali ini dengan nada yang berbeda.
"Wah, ternyata Putri benar-benar peduli sama Andi ya," ujar salah seorang dari mereka.
Setelah kejadian itu, gosip tentang kami mulai mereda. Bahkan beberapa teman mulai bersikap lebih ramah padaku. Aku merasa sangat berterima kasih pada Putri.
"Terima kasih ya, Putri. Kamu tidak perlu melakukan itu," ujarku saat kami sedang berjalan pulang.
Putri tersenyum, "Itu sudah kewajibanku sebagai teman. Lagipula, aku tidak suka melihatmu diperlakukan tidak adil."
Hari-hari berikutnya berlalu dengan lebih tenang. Aku dan Putri semakin dekat, dan teman-teman sekelas pun mulai menerima persahabatan kami. Bahkan Reza, yang awalnya sinis, mulai bersikap lebih baik.
Suatu hari, saat festival sekolah tiba, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku pada Putri. Aku mengajaknya ke taman belakang sekolah yang sepi.
"Putri, ada yang ingin kukatakan padamu," ujarku dengan jantung berdebar.
Putri menatapku penuh tanya, "Ada apa, Andi?"
Aku menarik nafas dalam-dalam, "Putri, aku... aku menyukaimu. Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari
Aku menarik nafas dalam-dalam, "Putri, aku... aku menyukaimu. Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu. Aku ingin kita bisa bersama, sebagai pasangan."
Putri terdiam sejenak, matanya melebar karena terkejut. Jantungku berdegup kencang menunggu jawabannya.
"Andi..." Putri akhirnya bersuara, "Aku... aku juga menyukaimu. Tapi..."
Hatiku mencelos mendengar kata 'tapi' itu.
"Tapi aku tidak yakin ini saat yang tepat untuk kita memulai hubungan," lanjut Putri dengan suara lembut. "Kita masih punya banyak hal yang harus kita fokuskan, seperti sekolah dan cita-cita kita."
Aku menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaanku. "Aku mengerti, Putri. Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman."
Putri menggeleng cepat, "Tidak, Andi. Kamu tidak membuatku tidak nyaman. Aku sangat menghargai perasaanmu dan keberanianmu untuk mengungkapkannya. Hanya saja... bisakah kita tetap berteman seperti ini dulu? Aku sangat menyayangimu sebagai sahabat."
Meskipun ada rasa kecewa, aku bisa memahami alasan Putri. Aku mengangguk dan tersenyum, "Tentu, Putri. Persahabatan kita yang terpenting."
Kami berpelukan sebentar, lalu kembali ke keramaian festival. Meskipun tidak berjalan sesuai harapanku, setidaknya aku lega telah mengungkapkan perasaanku.
Hari-hari berikutnya, aku dan Putri tetap dekat sebagai sahabat. Kadang memang ada rasa canggung, tapi kami berusaha untuk tetap natural. Teman-teman sekelas mulai menyadari perubahan ini.
"Eh, Andi. Kok kayaknya kamu sama Putri agak beda ya?" tanya Doni, teman sebangkuku.
Aku hanya tersenyum tipis, "Nggak ada apa-apa kok. Kami tetap berteman seperti biasa."
Doni mengangguk, tapi aku tahu dia tidak sepenuhnya percaya.
Sementara itu, ujian akhir semester semakin dekat. Aku dan Putri sering belajar bersama di perpustakaan. Meskipun kadang ada rasa canggung, kami tetap bisa fokus pada pelajaran.
"Andi, kamu sudah mengerti soal ini?" tanya Putri sambil menunjuk sebuah soal matematika.
Aku menggeleng, "Belum. Ini agak rumit."
"Ayo kita pecahkan sama-sama," ajak Putri.
Kami pun larut dalam diskusi, melupakan sejenak perasaan canggung di antara kami. Saat-saat seperti inilah yang membuatku bersyukur masih bisa dekat dengan Putri.
Hari ujian pun tiba. Aku merasa cukup percaya diri berkat persiapan yang telah kulakukan bersama Putri. Selesai ujian, kami berkumpul di kantin untuk membahas soal-soal yang keluar.
"Bagaimana menurutmu, Andi?" tanya Putri.
"Lumayan. Ada beberapa soal yang sulit, tapi overall aku bisa mengerjakannya," jawabku.
Putri tersenyum lega, "Syukurlah. Aku juga merasa begitu. Sepertinya belajar bersama kita membuahkan hasil."
Kami berbincang santai sambil menikmati es teh dan gorengan. Meski masih ada sedikit kecanggungan, aku bersyukur persahabatan kami tetap bertahan.
Beberapa minggu kemudian, hasil ujian diumumkan. Aku dan Putri sama-sama mendapat nilai yang memuaskan. Kami berpelukan singkat untuk merayakan keberhasilan kami.
"Selamat ya, Andi! Kamu berhasil!" seru Putri dengan mata berbinar.
"Kamu juga, Putri. Kita berhasil bersama," balasku.
Saat itu, Reza menghampiri kami. "Wah, selamat ya kalian berdua. Nilainya bagus-bagus."
Aku tersenyum canggung, teringat konfrontasi kami beberapa waktu lalu. Namun Reza tampak lebih ramah sekarang.
"Makasih, Rez," jawab Putri. "Kamu juga pasti dapat nilai bagus kan?"
Reza mengangguk, "Alhamdulillah. Oh ya, aku mau minta maaf sama kalian, terutama sama Andi. Aku salah paham waktu itu."
Aku terkejut mendengar permintaan maaf Reza. "Nggak apa-apa, Rez. Aku juga minta maaf kalau ada salah."
Kami berjabat tangan, dan rasanya beban di hatiku sedikit terangkat. Putri tersenyum melihat kami berdamai.
Liburan semester pun tiba. Aku dan Putri tetap sering berkomunikasi melalui chat. Kadang kami juga jalan bareng bersama teman-teman yang lain. Meski perasaanku pada Putri belum sepenuhnya hilang, aku belajar untuk menikmati persahabatan kami apa adanya.
Suatu hari, Putri mengajakku ke taman kota. Dia bilang ada yang ingin dibicarakan.
"Ada apa, Put?" tanyaku penasaran.
Putri terlihat gugup, "Andi, aku... aku mau bilang sesuatu."
Jantungku berdebar. Apakah ini tentang perasaanku waktu itu?
"Aku dapat tawaran beasiswa ke luar negeri," ujar Putri akhirnya.
Aku terkejut, "Wah, selamat Putri! Itu kan impianmu dari dulu."
Putri mengangguk, "Iya, tapi... aku bingung harus menerimanya atau tidak."
"Kenapa bingung? Ini kesempatan bagus untukmu," tanyaku heran.
"Aku... aku takut meninggalkan semua di sini. Keluargaku, teman-teman, dan... kamu, Andi," jawab Putri lirih.
Hatiku berdesir mendengar kata-katanya. Namun aku tahu, aku harus mendukungnya.
"Putri, dengar," aku meraih tangannya, "Ini kesempatan yang sangat berharga. Kamu harus mengejar mimpimu. Soal kita semua di sini, kamu nggak perlu khawatir. Kita akan selalu mendukungmu."
Mata Putri berkaca-kaca, "Tapi, Andi... bagaimana dengan kita?"
Aku menarik nafas dalam, "Kita akan baik-baik saja
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!