Cahaya matahari menyinari dunia. Suasana hangat di pagi hari. Apalagi melihat sepasang suami istri yang saling melengkapi.
"Mas nanti siang nanti makan bareng, ya," ucap Arika seraya memasangkan dasi di leher suaminya.
"Emang kamu gada pemotretan sebentar, sayang?" tanya Arian.
"Enggak mas, lagi free hehe."
Arian tersenyum dan mencium pucuk kepala istrinya. Arika pun memejamkan matanya menikmati sentuhan sang suami.
"Baiklah, kita makan siang bareng nanti. Sebentar mas jemput."
"Tidak, aku yang mau ke kantor mas aja. Kita makan barengnya di sana."
"Loh? Mas kira kita mau makan siang di luar."
"Enggak deh mas, maunya di kantor kamu aja. Aku tau menjelang siang kamu ada meeting, jadi aku akan nunggu kamu di ruangan kamu aja, selesaikan meeting kamu jangan di tunda."
Tak hentinya Arian tersenyum, istrinya memang selalu pengertian.
"Pengertian banget sih istrinya, mas."
Arika mencium punggung tangan suaminya. Arian pun berangkat ke kantor, dan Arika siap-siap untuk ke pemotretannya.
...----------------...
Sesuai rencananya tadi bersama sang suami. Arika ke kantor suaminya.
Semua karyawan menyapanya dengan ramah, dan Arika membalasnya dengan senyuman.
"Pak Arian masih meeting, bu."
"Saya tau, saya akan menunggu ruangannya."
"Baik bu."
Dengan anggun Arika masuk ke dalam ruangan suaminya sambil menenteng paperbag.
Sambil menunggu suaminya, Arika menyiapkan makanan ke atas meja.
Tiba-tiba saja sebuah tangan melingkar di pinggangnya membuat wanita itu sedikit tersentak.
"Mas!" Arika tersenyum saat mengatahui itu suaminya, hampir saja jantungnya copot.
"Maaf."
Arika cemberut. Ia menyuruh Arian duduk di sofa, Arian pun hanya menurut.
Arian menarik tubuh Arika untuk duduk di atas pangkuannya sehingga membuat Arika jadi malu.
"Kok merah pipinya?"
"Gak, mana ada!"
"Itu merah?"
"Apasih mas gak jelas."
Arian terkekeh berhasil membuat istrinya kesal.
"Suapin, ya?"
Arika mengangguk dan mengambil seporsi bekal yang dia bawa dari rumah. Walaupun ia juga tengah bekerja sebagai model, tetapi Arika mengurus rumah tangganya sendiri. Memasak makanan untuk suaminya.
"Masakan kamu, sayang? Selalu enak."
"Iyakah? Padahal tadi aku buru-buru buatnya."
"Masakan selalu enak mau buru-buru atau enggak kalau kamu yang buat tetap perfect."
Arika memukul lengan suaminya. "Dasar gombal."
"Gak gombal sayang, emang fakta kok." Arian kembali membuka mulutnya saat Arika ingin menyuapinya.
Mereka makan siang, dengan diiringi canda tawa ringan.
"Sebentar malam, mama nyuruh kita ke rumah utama sayang."
Arika yang tadi antusias seketika terdiam mendengar ucapan suaminya.
"Kok kelihatan gak senang? Kenapa sayang? Apa ada masalah?"
Arika menggeleng dan tersenyum, ia sengaja mengecup bibir Arian agar sang suami tidak berpikir lebih jauh.
"Aku takut mas, sudah dua tahun lebih kita menikah tapi kita belum di titipin anak sama Allah. Aku takut mama, papa, oma, kecewa sama aku."
Arian menghela napas, ia mengapit kedua pipi istrinya menggunakan tangannya.
"Mereka akan mengerti, lagian kita juga sudah berusaha. dua tahun, tiga tahun, aku tidak peduli sayang. Kita menikah karena kita saling mencintai buka karena sekedar ingin memiliki keturunan."
"Aku mengerti mas, kamu memang berkata seperti itu. Namun, tidak dengan keluarga kamu yang pengen punya cucu, cicit. Kamu anak tunggal, hanya kamu yang bisa memberi mereka keturunan."
"Mas lagi malas membahas hal ini, Arika." Arian malah mengalihkan pembicaraan, sebab merasa tak nyaman.
"Maaf, kita akan ke rumah utama sebentar." Arika memeluk suaminya.
Mereka berpelukan, saling memberi ketenangan. Arika mencari keyakinan di pelukan suaminya, sementara Arian berusaha untuk mengyakinkan istrinya bahwa setiap pernikahan bukan hanya sekedar memiliki anak.
Malam hari pun tiba. Arika menghembuskan napas pelan, berusaha untuk menguatkan dirinya. Ia harus kuat mental untuk menerima ucapan keluarga suaminya nanti.
Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Arian yang baru saja usai mandi. Lelaki itu tersenyum ke arahnya.
"Cepatan mas, lama banget aku udah selesai nih."
"Sabar sayangku."
...****************...
Mereka melangkah masuk ke dalam rumah yang bernuasa mewah tersebut. Arika mengenggam dengan erat tangan suaminya.
Di ruang tengah, dua wanita paruh baya tersenyum melihat kedatangan mereka.
Mama Arian langsung memeluk menantunya begitu pun dengan sang oma.
"Mama kangen banget sama kamu, sayang. Kata Arian kamu sibuk pemotretan makanya gak sempat datang ke mari."
Arika menatap suaminya, kapan dirinya sesibuk itu? Padahal suaminya tidak pernah mengatakan jika mereka ingin berkunjung ke sana. Ia pikir baru kali ini mereka di panggil.
"Maaf ya mama, oma."
"Enggak apa-apa sayang, is okay oma mengerti."
Mereka begitu terlalu fokus kepada Arika sehingga tidak mengingat Arian juga ada.
"Kalian ini tidak melihatku?"
Mama Alea dan Oma Gema menepuk jidat. Arian cemberut merasa di abaikan.
"Kami lupa, gausah ngambek."
Mereka semua terkekeh. Setelah ayah Arian datang mereka menikmati makan malam bersama.
"Bagaimana hubungan kalian, baikkan?"
Arika dan Arian saling memandang dan perlahan mengangguk pelan.
"Kapan oma mendapatkan cicit? Apakah Arika sudah mengandung?"
Mereka berdua terdiam membuat suasana di ruang makan itu hening.
"Oma Arika seorang model, biarkan dia menikmati masa mudanya terlebih dahulu. Umurnya masih dua puluh tahun." Mama Alea berkata seperti itu karena merasa perkataan mertuanya membuat sang menantu tak nyaman.
"Alea! Arika sudah menjadi seorang istri, itu konsekuensi yang dia dapatkan jika sudah menikah!" sengit oma.
Mereka di sana semua terdiam, Arika mulai merasa tak nyaman dan meremas dengan kuat dress yang dia gunakan.
"Jangan bilang kamu memang sengaja menunda kehamilan kamu?"
Arika menggeleng keras, ia tidak pernah menunda mempunyai momongan.
"Tidak oma... Hanya saja belum wak-"
"Ck alasan." Oma Gema berdiri dan berlalu pergi.
Arian mengusap pinggang istrinya seraya mengangguk. Berusaha untuk menenangkan pikiran wanitanya.
"Maafin oma ya sayang."
"Gapapa, mah."
"Kalian nginep di sini kan?" tanya sang papa yang sedari tadi hanya diam.
Arian menatap istrinya. Arika mengangguk, kedua ortua pun tersenyum.
"Ya sudah, Ari sama Arika ke kamar dulu ya, mah, pah."
Mereka berdua mengangguk. Kedua pasangan itu menuju kamar.
Di dalam kamar, Arika duduk di tepi ranjang seraya melamun. Sedangkan Arian melepas baju kaosnya dan mendekati istrinya.
"Sayang, masih mikirin perkataan oma?"
Arika mengangguk, membuat Arian merasa bersalah.
"Maafin oma ya."
"Iya mas."
Mereka saling berpelukan, Arian menidurkan istrinya ke ranjang.
"Mas."
"Kenapa sayang?"
"Kalau misalnya, aku..."
Arian membungkam mulut itu menggunakan bibirnya. Ia sudah menangkap apa yang akan istrinya itu ucapkan.
Arika cemberut saat ciuman mereka terlepas. Arian mengusap dengan lembut bibir pink dan tembab itu.
"Mas sudah sering mendengar itu sayang, dan kamu juga akan terus mendengar jawabanku yang tetap sama."
Arika menghembuskan napasnya berulang kali.
"Maaf mas."
"Iya sayang, kamu harus tau dapatin kamu itu gak mudah. Aku mencintaimu lebih dari cintamu ke aku."
Saat mereka tengah mesra-mesraan tiba-tiba ponsel Arika berbunyi membuatnya mendorong tubuh suaminya agar menjauh.
"Siapa?"
"Ema."
Arian mengangguk. Arika menjawab telpon dari sahabatnya.
"Halo Em, kenapa telfon malam gini?"
"Ka, gue di usir dari kost."
"Jadi? Lo di mana sekarang, Em?"
"Gue gak tau mau kemana nih, Ka. Uang gue juga menipis. Gu-e nelpon lo mau pinjam uang boleh, Ika?"
Arika tersenyum dan tanpa berpikir langsung menjawab iya.
"Gausah minjam juga gue kasih. Kek siapa aja lo."
"Malu gue."
Arika terkekeh, berteman sudah dari SMA tetapi sahabatnya itu masih sungkan kepadanya.
"Enggak sans aja, gue transfer ke rek lo, ya? Btw lo mau nyari kost di mana malam-malam gini?"
"Gue juga gak tau semoga aja gue dapat."
Arika menatap suaminya, Arian pun mengerutkan keningnya.
"Mas?"
"Iya sayang?"
"Kan saat ini kita di rumah mama. Aku boleh nyuruh Ema tinggal di rumah kita malam ini? Gak mungkin dia cari kost malam-malam."
Arian diam sesaat.
"Mas?"
"Cuma untuk besok kan? Mas belum pernah melihat temanmu itu, mas belum percaya penuh."
"Ema anak baik kok mas."
Arian menghela napas, dan perlahan mengangguk. Dia tidak bisa menolah permintaan istri tercintanya.
"Baiklah sayang. Aku akan menelpon bibi dan mang Ucup."
"Makasih mamasku." Arika memeluk Arian sekilas dan kembali melanjutkan obrolannya dengan sang sahabat.
Setelah telponan, Arika merentangkan tangannya, merasa pegal.
"Sayang, ayo."
"Kemana mas?"
"Bikin dedek."
"Arghhh..." Arika belum menjawab, Arian sudah menutupi badan mungilnya menggunakan selimut.
"Mas, Arika gak mau malam ini," teriak Arika di dalam dekapan sang suami.
"Bodoh amat, kamu doang yang gamau. Orang mas mau."
...----------------...
Keesokan harinya, mereka berdua pulang ke rumah mereka.
Arika tersenyum melihat sahabatnya. Mereka berpelukan satu sama lain.
Arian juga ikut salaman dengan Ema.
"Arian."
"Ema."
Arika tersenyum, apalagi melihat wajah datar suaminya dan wajah kesal sahabatnya.
"Astaga, ayo masuk."
Arian masuk ke dalam kamar mereka. Sedangkan Arika berbincang dengan Ema di ruang tamu.
"Suami lo ganteng juga ya, Ka."
"Hahaha." Arika hanya tertawa mendengar ucapan sahabatnya.
"Tapi dia itu dingin, irit bicara." Arika berkata begitu agar sang sahabat mengerti sifat suaminya.
"Dingin juga sama lo?"
"Iya enggak lah, dia mah manja banget."
"Iya deh percaya gue mah."
Saat mereka sibuk berbincang. Tiba-tiba suara berat membuat mereka berdua menoleh bersamaan.
"Sayang, siapin baju mas." Arian keluar dari kamar dan mendekati ruang tengah.
Lelaki itu lupa jika bukan hanya ada Arika di sana, tapi ada juga sahabatnya.
Ema membulatkan matanya melihat perut kotak-kotak suami temannya.
"Ah sial, vibesnya yang ada dalam novel-novel itu."
Arika berdiri dan menarik tangan suaminya masuk ke dalam kamar.
"Maaf, maaf sayang aku lupa."
"Gapapa mas, kebiasannya sih kamu kek gitu."
Arian memeluk sang istri dari belakang, melihat pantulan mereka di cermin.
Saat mereka larut dalam pelukan. Pintu terbuka keras membuat mereka berdua menoleh.
"Ema?" Arika melepaskan pelukan suaminya.
Arian berdehem kasar, mengambil handuk di sandaran ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi.
"Ah maaf Ika, gu-e mau ngetuk pintunya tapi malah ke dorong."
Arika mengangguk saja.
"Gue buat nasi goreng boleh, Ka? Nanti gue siapin juga deh buat lo dan suami lo."
"Gitu doang lo mau minta izin? Langsung buat aja, btw gausah repot-repot buatin kami juga. Mas Arian gak bisa makan nasi goreng hari ini soalnya kemarin udah, untuk saat ini dia makan roti aja sama susu, nanti gue siapin."
"Oh gitu ya? Yaudah biar gue sekalian buatin roti buat suami lo!" Setelah mengatakan itu, Ema berlalu pergi tanpa menunggu jawaban Arika.
Arika dan Arian menuju ruang makan. Sedangkan Ema sudah berada di sana dengan senyuman manisnya.
"Ayo sarapan!"
Arika mengangguk dan tersenyum sedangkan Arian hanya memberikan wajah datarnya.
"Ini mas rotinya."
"Makasih, sayang." Arian memasukan roti yang sudah di beri slay itu ke dalam mulutnya. "Kok slay nanas?" Arian mengeluarkan roti itu dari dalam mulutnya.
"Ah iyakah?"
"Kamu kan tau mas gak suka nanas!"
Arika menghela napas, ia lupa memberitahu Ema jika suaminya tidak suka slay nanas.
"Maaf mas, aku buatin ulang, ya? Tadi yang buat Ema, dia gak tau kamu gak suka nanas dan aku juga lupa memberitahunya." Arika berdiri dari duduknya berniat untuk membuatkan suaminya roti baru.
"Gak usah, kamu sarapan aja. Mas akan sarapan di kantor."
"Tapi, mas..."
"Gapapa, mas sarapan di kantor, mas udah terlambat."
Arika menghela napas panjang dan pada akhirnya mengangguk. Ema yang merasa bersalah pun berdiri.
"Saya minta maaf, mas! Saya salah."
"Mas?" Arian menatap Ema. "Jangan panggil saya mas!"
"Mas!" Arika menegur suaminya yang berbicara lantang kepada sahabatnya.
Arian hanya berdehem, dan langsung pergi dari sana. Meninggalkan mereka berdua tanpa pamitan.
"Rik, maafin gue ya, karena gue suami lo kesal."
"Gapapa Ema."
...----------------...
Siang hari, Arian dan Arika sedang telponan. Dan pembicaraan mereka tentang masalah tadi pagi.
"Pokoknya mas gak mau jika teman kamu terus berada di rumah kita."
"Iya mas aku mengerti, tapi aku gak enak hati untuk nanya ke dia kapan dia dapat kost, kesannya aku ngusir."
Di seberang sana Arian menghela napas kasar.
"Iya terus kalau kamu gak berani, dan dia juga gak ngomong dan terus tinggal di rumah kita, kamu biarin gitu? Bukannya mas gak mau bantu sayang. Tapi kamu pikirin, jika dia tinggal seatap sama kita? Dia perempuan, aku gak mau nanti ada kesalahpahaman diantara kita berdua karena dia. Tadi aja dia udah lancang buatin aku sarapan yang menurut mas kamu yang wajib, manggil mas untuk aku cuma kamu yang berhak, aku gak mau rumah tangga kita terusik!" Setelah berbicara panjang lebar, Arian mengakhiri telpon mereka.
Arika menghembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruang tengah, Ema di sana tengah duduk santai sambil menonton tv.
"Gimana aku bilang ke Ema? Aku takut dia ke singgung dengan ucapanku."
Arika mendekati Ema, duduk di samping sahabatnya.
"Ema."
Ema menoleh dan menaikan dagunya.
"Gue mau ngomong sesuatu, tapi lo jangan ke singgung, ya?"
"Ngomong apa, Rik? Gue gak akan ke singgung"
"Lo udah dapat kost?"
Ema yang sedari tadi fokus ke tv mengalihkan pandangannya ke Arika.
"Belum, gue juga lagi nyari ini. Kenapa emangnya? Ada rekomendasi kosan?"
"Nanti gue cariin, gue juga akan minta mas Arian bantu cariin."
"Ok beb."
Arika tersenyum, ia diam sejenak dan berdiri dari sana.
"Gue ada acara pemotretan, gue tinggal sendiri di rumah gapapa?"
"Gapapa." Ema memberikan jempol seraya tersenyum.
Arika masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap.
"Arika," teriak Ema dari luar kamar.
"Iya?" Arika membuka pintu kamarnya.
"Baju lo bagus-bagus banget, Rik. Gue boleh pinjam gak?"
Arika diam sesaat, dan akhirnya mengangguk secara perlahan.
"Mau minjam baju yang mana?" Arika mengajak sahabatnya masuk ke dalam kamarnya.
Baru saja membuka lemari pakaiannya, Arika sudah mendapatkan telpon dari stafnya.
"Gue buru-buru banget, lo pilih aja mau minjam yang mana." Arika berlari keluar dari kamar dan segera meninggalkan rumah.
Ema pun memilih untuk ia pake, mumpung banyak yang bagus dan Arika mengizinkannya.
Sekitar setengah jam baru dia mendapatkan apa yang menurutnya benar-benar cocok untuknya.
"Gue cantik banget pake dress ini, pinggang gue ke bentuk banget." Ia memutar badannya di depan cermin.
Ia membuka ikat rambutnya dan membiarkan rambutnya terurai.
"Arika? Bukannya tadi dia minta izin soalnya ada pemotretan sampai jam delapan malam?"
Arian merasa bingung saat membuka pintu kamar ia melihat istrinya berada dalam kamar.
"Apa mungkin gak jadi, ya?" Arian berpikir jika Arika tak jadi pemotretan, ia pun melangkah masuk dengan langkah pelan.
Arian yang pulang ke rumah untuk mengambil berkas pun bergegas masuk ke dalam. Dan refleks melingkarkan tangannya ke pinggang wanita yang tengah membelakanginya.
"Sayang, tumben banget kamu pake dress ini? Cantik banget, bentuk badan kamu kelihatan banget." Arian memejamkan matanya.
Ema yang tak tahu apa-apa, tersentak kaget dan tiba-tiba saja badannya membeku mendapatkan perlakuan mendadak dari suami sahabatnya.
"Tadi kamu bilang ada pemotretan, kok ada di rumah? Gak jadi kah? Kok kamu diam aja dari tadi? Biasanya cerewet."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!