NovelToon NovelToon

I Love You Bu Guru

1. Telat

...Assalamu'alaikum, selamat datang di novel ke-6 Author. ...

...Baca sampai habis buat tau gimana bisa dapat hadiahnya ya😍...

...----------------...

"ANJAAA!" suara teriakan seorang wanita menggema di dalam rumah, membuat bergetar semua telinga yang mendengarnya. Tapi bagaikan sudah tuli, gadis cantik yang dipanggil namanya oleh suara menggelegar itu malah asyik bergelung di dalam selimut. Seolah-olah, suara yang barusan terdengar hanyalah suara di dalam mimpinya.

"ANJAAA!" Kali ini, suara itu terdengar bersamaan dengan suara pintu yang dibuka keras-keras. Sang pemilik suara segera masuk dengan langkah kesal, tak lupa tangannya memegang spatula seperti sebuah senjata. Dengan sekali hentakan, ia membuka selimut yang menutupi tubuh Sang putri. "BANGUN ANJAAA! SEKOLAH!"

Anja, sang gadis yang menjadi obyek teriakan itu mengernyitkan dahi saat sinar matahari menerpa wajahnya.

"Aduh, Bu, kenapa sih? Aku masih ngantuk. Lagian aku kan udah wisuda setahun lalu, jadi udah nggak sekolah," gumam gadis itu sambil berusaha menarik kembali selimut yang dibuka secara paksa.

"Iya, kamu emang udah nggak sekolah lagi! tapi sekarang kamu jadi gurunya! ini kan hari pertama kamu, Anja!"

Mendengar ucapan Sang ibu, sontak Anja membuka matanya. Gawat, dia lupa kalau hari ini adalah hari pertama dia masuk kerja!

"IBUUU!!!" Anja mulai berteriak dramatis. "Kenapa nggak bangunin aku dari tadi?!"

"Apa? Bisa-bisanya sekarang kamu nyalahin Ibu, hah?! Mulut ibu sampai pegel teriak-teriak dari tadi, tapi kamunya yang nggak dengar! Adikmu bahkan sudah berangkat duluan karena takut telat kalau nungguin kamu!"

Anja sudah tidak lagi mendengarkan omelan ibunya. Ia memilih untuk cepat-cepat bangkit dari kasur dan melesat ke kamar mandi.

Usai mandi super kilat dan berdandan seadanya, Anja berangkat menuju sekolah tempatnya bekerja dengan perasaan was was. Hari ini hari senin, dan sejak sabtu, dia sudah diberitahu kalau harus berangkat lebih pagi untuk mengikuti upacara bendera. Tapi, karena terlalu bersemangat, malamnya Anja malah tidak bisa tidur dan berakhir bangun kesiangan.

"Gawat!" Anja menghela napas panjang saat melihat gerbang sekolah sudah terkunci rapat dari dalam. "Aku telat!"

Anja mendekati gerbang besar itu dan mencoba melihat ke dalam, barangkali masih ada pak satpam yang bisa dimintai tolong untuk membuka gerbang. Tapi, saat itu dia melihat beberapa siswa yang terlambat tampak dihukum oleh seorang guru, membuat Anja merasa ragu.

Di sini kan aku jadi guru, harus digugu dan ditiru. Apalagi ini hari pertamaku. Apa kata guru-guru yang lain nanti saat melihatku terlambat? Belum lagi pandangan para murid kepadaku. Mereka pasti menganggap aku adalah seorang guru yang tidak teladan dan bersikap seenaknya.

Anja merenung lama di depan gerbang sekolah. Lama dia berpikir, tapi rasanya tidak ada solusi yang mampir di kepalanya.

"Duh, gimana dong?"

"Telat, ya?" Sedang sibuk-sibuknya berpikir, Anja dikagetkan dengan kemunculan suara berat di belakangnya. Anja reflek menoleh dan mendongak. Tampak sesosok tinggi besar berdiri di belakangnya.

Awalnya, Anja pikir sosok tinggi besar itu adalah seorang pria dewasa, tapi saat ia melihat seragam putih abu-abu yang dipakai cowok itu, Anja baru sadar kalau sepertinya dia adalah murid di sekolah ini.

"Eh, i-iya," Entah kenapa, Anja menjawab dengan suara gagap. Sepertinya dia sedikit terintimidasi dengan tinggi badan cowok itu.

"Gerbang ini nggak akan dibuka sampai upacara selesai. Percuma minta tolong sama satpam, dia orangnya disiplin banget, nggak peduli Lo murid baru apa bukan," cowok itu menjelaskan dengan santai.

"Murid baru?" Anja bergumam sendiri. Kenapa sepertinya dia merasa cowok ini menganggapnya sebagai seorang murid, bukan seorang guru ya?

Anja menundukkan kepala untuk melihat penampilannya sendiri, dan dalam sekejap ia langsung menepuk jidat karena menyadari sesuatu.

"Pantas saja. Kenapa pula aku pakai rok abu-abu di SMA?"

"Apa?" Cowok itu tampak bingung melihat ekspresi Anja.

"Ah, nggak, nggak apa-apa," Anja menggeleng dengan cepat. "Kalau gitu, kamu juga terlambat kan? Mau menunggu di sini juga?"

"Hah? Ngapain? Upacaranya baru selesai setengah jam lagi, bisa-bisa gue mati berdiri karena bosan menunggu di sini,"

Anja nyengir. Sepertinya cowok itu benar-benar mengira Anja adalah murid baru, melihat dari cara bicaranya yang kelewat santai. Memang sih, Anja dikenal punya wajah yang lebih muda dari usia sebenarnya, apalagi bentuk badannya memang tergolong mungil. Tapi, memang dirinya kelihatan semuda itu, ya?

Cowok itu tampak mengamati Anja lamat-lamat, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Ikut gue,"

"Hah?" Anja kebingungan. "Ikut kemana?"

Cowok itu menelengkan kepalanya menatap Anja. "Lo mau masuk, nggak?"

"Ya mau sih, tapi gimana caranya? Gerbangnya kan udah ditutup," sahut Anja sambil menunjuk gerbang di depannya.

"Makanya, ikut gue," ujar cowok itu sambil berjalan mendahului Anja.

"Loh, eh, mau kemana?" Tanya Anja keheranan. Meski begitu, ia tetap mengikuti langkah cowok itu.

Ternyata cowok itu membawa Anja menuju area belakang sekolah.

Anja memperhatikan dengan seksama saat cowok itu mulai melepaskan beberapa besi yang ada di gerbang belakang. Ada sekitar tiga buah besi yang ia lepaskan, membuat lubang seukuran tubuh manusia.

"Dah, masuk sana," ujar cowok itu kemudian.

"Hah?" Anja melongo. "Maksudnya, aku disuruh masuk lewat situ?"

"Ya iyalah, memangnya lewat mana lagi? Atas?"

"Ta-tapi..." Aku itu guru loh!

"Lo mau masuk apa nggak? Ini jalan rahasia gue. Nggak ada satupun murid lain yang gue kasih tau kecuali Lo. Harusnya Lo bersyukur karena gue mau bantuin,"

Anja menelan ludahnya kasar. Dia memang merasa berterima kasih karena cowok itu mau membantunya, tapi, masa dia harus lewat jalan itu sih?

"Lo mau masuk nggak? Kalau nggak mau, gue tutup lagi nih!" cowok itu mulai gusar.

"Ma-mau," Anja benar-benar mengutuk dirinya sendiri yang menjawab hal itu. Mana harga dirimu, Anja? Mana kode etik yang harus kau junjung sebagai seorang guru?

Bodoamatlah, Anja membatin. Yang penting aku nggak telat di hari pertama masuk kerja.

Dengan terpaksa, Anja akhirnya masuk melalui 'jalan' itu. Beruntung, area yang ia masuki itu adalah kebun di belakang sekolah, jadi sepertinya tidak ada yang tau aksinya kecuali murid cowok yang membantunya barusan.

Anja kira, cowok itu akan mengikutinya masuk. Tapi ternyata tidak. Cowok itu malah kembali memasang besi-besi yang sudah ia lepas.

"Loh, kamu nggak ikut masuk?" Anja bertanya heran.

"Nggak, males upacara," jawab cowok itu dengan nada enteng. Anja tentu tidak bisa marah, karena saat ini dirinya sedang berpura-pura menjadi murid baru.

"Tunggu sebentar," Anja menahan cowok itu yang sudah hendak berbalik badan, entah mau kemana dia. Anja lalu mengeluarkan beberapa buah permen dari dalam tasnya.

"Permen?" Meski heran, cowok itu menerima permen yang diberikan Anja.

"Ucapan terimakasih dariku. Permen ini bisa menyamarkan bau...ehem..rokok," Anja mengatakan kalimat terakhir dengan ragu. Ia takut cowok itu akan tersinggung dengan ucapannya.

Cowok itu tampak terkesiap, tapi kemudian ia membuka bungkus permen dan memakannya. "Thanks,"

Anja mengangguk pelan. Setelah itu, mereka berdua pun berpisah tanpa mengetahui nama satu sama lain.

...----------------...

...Terima kasih sudah membaca bab 1 hingga akhir! 🤗...

...Seperti yang sudah Author sampaikan di sinopsis, akan ada kuis berhadiah menarik untuk para pembaca novel ini. Kuis tersebut akan muncul secara acak di beberapa bab, jadi pastikan untuk membaca dari awal hingga akhir ya! 😍...

2. Kenalan

"Ini dia," Kepala sekolah mengantarkan Anja sampai ke depan kelas XII-IPA F. "Di kelas inilah nantinya kamu akan menjadi wali kelas sampai akhir semester satu."

Anja menganggukkan kepala sambil menelan ludahnya gugup. Dia sudah diberi tahu bahwa dia akan menjadi wali kelas baru, menggantikan guru yang sedang cuti melahirkan. Sebuah hal yang jarang terjadi bagi seorang guru yang baru masuk, tapi hal itu terpaksa dilakukan karena guru yang lain sudah mendapatkan tanggung jawab masing-masing, dan tinggal Anja saja yang tersisa.

Kepala sekolah wanita berbadan gempal itu lantas membuka pintu kelas. Suasana yang tadinya riuh seketika berubah hening. Para siswa buru-buru kembali ke tempat duduk masing-masing, memperhatikan Anja dan kepala sekolah yang baru masuk.

"Selamat pagi," Bu kepala sekolah berdiri sambil memandang wajah para siswa satu persatu. "Sesuai yang telah disampaikan sebelumnya, hari ini kalian kedatangan guru baru yang akan menjadi wali kelas sementara. Silahkan perkenalkan diri Anda Bu,"

Anja menganggukkan kepala sekali lagi, menghela napas panjang sejenak sebelum bersuara. "Selamat pagi anak-anak, perkenalkan, nama Ibu Anjani Prawita, kalian bisa panggil saya Bu Anja,"

Para siswa bertepuk tangan riuh menyambut kedatangan Anja. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Anja berusaha mempertahankan senyum, meski kegugupannya masih terasa.

"Baiklah, Bu Anja. Silahkan dilanjutkan perkenalannya. Saya permisi dulu." Kepala Sekolah berpamitan dan melangkah keluar kelas, meninggalkan Anja dan para siswa yang masih memperhatikannya.

Detik demi detik berlalu, dan kegugupan Anja semakin terasa. Semua siswa diam dengan raut muka penasaran, menunggu kata-kata berikutnya dari Anja.

"Ehm," Anja mencoba mengendalikan diri dan mencairkan suasana. "Ada yang mau ditanyakan ke Ibu?"

"Bu, udah punya pacar belum?" Seorang siswa mengangkat tangan, pertanyaannya disambut tawa teman-temannya.

Anja tersenyum, sudah menduga pertanyaan seperti ini akan muncul. "Alhamdulillah, sudah," jawabnya dengan tenang.

"Yah..." Para siswa berseru kecewa, pura-pura sedih. "Open recruitment pacar kedua nggak, Bu?"

Gelak tawa kembali pecah. Anja hanya bisa tersenyum, menyadari ini adalah risiko menjadi guru muda di SMA.

"Sayangnya tidak, Ibu orangnya setia," balas Anja sambil bercanda, membuat para siswi di kelas itu bersorak dan bertepuk tangan.

"Bu, Bu! Kalau gitu Ibu nikahnya kapan?" tanya seorang siswa lain dengan nada menggoda, disambut gelak tawa dari teman-temannya.

Anja tersenyum, mencoba menenangkan suasana yang mulai ramai. "Doain aja, semoga segera," jawabnya dengan santai.

"Bu, bu, pacar Ibu orangnya kaya gimana? Aku mau memantaskan diri,"

Gelak tawa kembali terdengar memenuhi ruang kelas. Lagi-lagi Anja hanya tersenyum. Syukurlah, rasa gugupnya sudah hilang.

"Baiklah, cukup perkenalannya. Sekarang giliran Ibu yang ingin kenalan dengan kalian," Anja melangkah mendekati meja guru, membuka laci, dan mengambil absen kelas. "Ibu akan panggil nama kalian satu per satu. Mohon angkat tangan, ya."

Anja mulai memanggil nama siswa dari daftar. Setiap nama yang dipanggil disambut lambaian tangan antusias. Sesekali, Anja menyisipkan candaan yang membuat siswa tertawa.

"Nathan Januar Bagaskara," Anja memanggil nama berikutnya. Namun, tak ada yang merespons.

"Nathan? Apa Nathan tidak hadir hari ini?"

Para siswa serentak menoleh ke arah bangku paling belakang. Dari tempatnya berdiri, Anja bisa melihat seorang siswa yang kepalanya tertelungkup di atas meja, seperti sedang tertidur.

"Nathan! Than!" Salah satu siswa di sebelahnya menyenggol tubuh Nathan dengan keras, mencoba membangunkannya, namun tak ada respons. Akhirnya, Anja memutuskan untuk turun tangan. Ia berjalan mendekati bangku Nathan dan berdiri di sampingnya.

"Nathan," ucap Anja sambil menepuk pundak siswa itu dengan lembut. "Bangun."

Nathan mengangkat kepalanya dengan perlahan, wajahnya tampak sedikit bingung, seolah baru saja tersadar dari mimpi panjang. Dengan mata yang masih sayu, ia menatap Anja.

Anja terkesiap melihat wajah siswa bernama Nathan itu. Dia kan, cowok yang tadi!

"Apa?" Suara Nathan yang sudah berat sejak awal, kini terdengar semakin dalam karena baru bangun tidur.

Anja terdiam, bingung mau berkata apa. Ia memang sudah tau kalau cowok tadi pagi adalah murid di sekolah ini, tapi ia tak menyangka kalau cowok itu adalah salah satu murid di kelasnya.

"Heh, Nathan! Yang sopan! Ini Bu Anja, bu guru kita yang baru!" teman sebangku Nathan memperingatkan.

Nathan mengerutkan kening, memandang Anja dari atas kepala sampai ujung kaki. "Guru? Kok kecil banget?"

Suasana kelas mendadak hening. Beberapa siswa mulai berbisik pelan, sementara yang lain menahan tawa. Anja merasa pipinya memerah, tapi ia berusaha tetap tenang. Dia sudah siap menghadapi berbagai jenis tingkah siswa, tapi ini sedikit di luar dugaannya.

"Ya, walaupun kecil, Ibu tetap guru kalian, Nathan," jawab Anja sambil tersenyum, mencoba mengambil kendali. "Dan mulai sekarang, Ibu akan jadi wali kelas kalian sampai akhir semester."

Nathan hanya terdiam sambil memandangi Anja. Sementara itu, Anja menahan diri untuk tidak terlalu memikirkan komentar itu. Lagipula, itu adalah kesalahan Anja karena tidak meluruskan kesalahpahaman tadi pagi. Dia pun melanjutkan absensi sambil sesekali menyapa dan mengajukan pertanyaan ringan kepada beberapa siswa. Setelah itu, pelajaran dimulai.

...----------------...

"Baiklah anak-anak, pelajaran hari ini selesai sampai di sini. Sampai bertemu di hari berikutnya," Anja mengakhiri pertemuannya dengan kelas terakhir setelah bel pulang berbunyi. Ada rasa lega di dalam hati karena hari pertamanya berakhir dengan mulus. Yah, meskipun ada sedikit bumbu-bumbu drama tadi pagi, tapi setidaknya Anja bisa melewatinya.

Anja berjalan menuju kantor guru sambil bergumam senang. Tapi, langkahnya terhenti saat ia melihat sosok tinggi besar berdiri di depannya.

Nathan, sosok tinggi besar itu berdiri sambil menyandarkan punggungnya ke tembok. Menyadari kedatangan Anja, dia pun menoleh dan melangkah menghampirinya.

Loh, loh, mau ngapain ya dia? Anja membatin. Apa dia mau mempermasalahkan masalah tadi pagi? Aduh, kenapa badan anak ini tinggi sekali? Leherku sampai pegal hanya untuk melihat wajahnya.

"Bu Anja," suara berat Nathan membuat Anja merinding. Tapi Anja berusaha untuk tenang.

"Y-ya?" Meski berusaha bersikap tenang, tetap saja suara Anja terdengar gugup.

"Saya sudah menunggu Ibu dari tadi,"

Apa? Kenapa kamu menungguku? Mau ngapain kamu?

Nathan memajukan langkah dan Anja reflek mundur.

"Ke-kenapa Nathan?"

Nathan hanya terdiam. Hingga tanpa diduga, cowok itu malah berlutut di hadapan Anja.

"Eh, eh? Kamu mau ngapain?" Anja berseru bingung, dan Nathan masih membisu sambil...membetulkan tali sepatu Anja yang terurai.

"Oh? Eh, ma-makasih, tapi kamu nggak perlu seperti itu, Nathan. Ibu bisa sendiri kok," Anja menjadi tidak enak hati. Apalagi para siswa yang berlalu lalang tampak memperhatikan mereka. Jangan sampai Anja dicap sebagai guru yang semena-mena sampai menyuruh siswa menali sepatunya.

"Saya mau minta maaf," Selesai membetulkan tali sepatu Anja, Nathan kembali berdiri. "Tadi saya sudah bersikap tidak sopan sama Bu Guru,"

Anja terdiam sejenak. Oh, ternyata dia mau minta maaf toh.

"Tidak apa-apa kok Nathan. Wajar kalau kamu salah paham, karena badan Ibu memang kecil. Ibu juga berterima kasih dengan bantuan kamu tadi pagi,"

Nathan menatap Anja lamat-lamat, kemudian ia mengulurkan tangannya.

"Eh?" Anja kebingungan dengan maksud cowok itu. Kenapa tiba-tiba dia mengulurkan tangan coba?

"Tadi pagi kan kita belum sempat kenalan Bu. Perkenalkan, nama saya Nathan,"

3. Beri Saya Waktu

"Perkenalkan, nama saya Nathan,"

Ucapan Nathan saat di sekolah terngiang di otak Anja. Entah kenapa, menurut Anja, perilaku cowok tinggi besar itu terlihat menggemaskan di matanya.

"Ya ampun, lucunya!" tanpa sadar Anja jadi kegirangan dan senyum-senyum sendiri. Hal itu tentu membuat Arka, adik kandungnya yang sedang menyetir motor mengerutkan kening keheranan.

"Kak, ngapain senyum-senyum sendiri nggak jelas begitu? Kesambet ya?"

Senyuman lebar di bibir Anja sontak menjadi rengutan kesal. "Kesambet gundulmu! Nyetir yang bener! Nggak usah lihat-lihat kakak!"

"Yeee, yang lihatin kakak siapa? Orang aku mau lihat di belakang ada mobil apa nggak lewat kaca spion, eh malah keliatan muka kakak yang senyum-senyum sendiri."

Mendengar penjelasan Arka, Anja spontan menjadi malu. Tapi, karena peraturannya adalah 'kakak tidak pernah salah', tentu saja Anja tidak mau mengakuinya begitu saja.

"Awas ya kamu, nggak akan kakak kasih uang saku tambahan lagi. Kakak masih marah gara-gara tadi pagi kamu tinggal pergi duluan," Anja mengeluarkan jurus paling ampuh bagi kakak seluruh dunia, yaitu mengancam tidak memberi uang saku. Hal itu jelas membuat setiap adik yang diancam merasa ketar ketir karena sumber pendapatan mereka akan berkurang. Termasuk Arka.

"Ih, nggak asyik banget mainnya pake ngancem ngancem! Padahal kan salah kakak sendiri bangunnya kesiangan! Aku tuh udah coba bangunin kakak tiga kali, tapi kakak nggak mau bangun!" Arka mencoba membela diri.

"Ya kalau gitu, kamu harusnya bangunin kakak sampai empat kali dong! Kalau kamu bangunin lagi, pasti kakak bangun!" Seperti yang sudah diduga, Anja tidak mau kalah.

Arka tentu hanya bisa menghela napas panjang. Mau bagaimana pun dia berusaha membela diri, tetap saja dia yang akan kalah jika beradu argumen dengan kakaknya itu. Arka juga merasa heran, padahal jarak umur antara dia dan kakaknya cukup jauh, sekitar tujuh tahun, tapi sang kakak sama sekali tidak mau mengalah kepadanya. Ujung-ujungnya, Arka lah yang nantinya akan minta maaf dan mengaku kalau dia yang salah.

Capek berdebat, dua saudara kandung itu akhirnya memilih diam saja sampai motor yang dikendarai Arka berbelok ke sebuah rumah yang tak terlalu besar. Di rumah itulah Anja, Arka, dan kedua orangtuanya tinggal.

Turun dari motor, Anja langsung berlari masuk sambil mengucap salam. Baru ada Ibu di rumah, karena ayahnya biasa pulang kerja di sore hari. Usai menyalami sang ibu, Anja bergegas melesat menuju kamarnya.

"Hai sayang!" Di dalam kamar, Anja langsung membuka ponsel dan menghubungi Raffi, pacarnya. Raffi dan Anja sudah berpacaran sejak semester awal kuliah, dan sekarang mereka harus menjalani hubungan jarak jauh karena Raffi diterima bekerja di sebuah perusahaan besar di Ibukota.

"Halo sayang," terdengar suara Raffi, bersamaan dengan wajahnya yang muncul pada layar. "Baru pulang kerja, ya?"

"Iya!" Anja menjawab dengan nada ceria. "Kamu lagi istirahat, ya?"

"Iya nih, capek banget. Tapi hilang capeknya setelah liat kamu,"

"Aduh, gombalnya!" Anja pura-pura bergidik merinding, meskipun sebenarnya di dalam hati ia merasa senang. "Ada cerita apa hari ini, sayang?"

Raffi pun menceritakan kejadian di kantornya hari ini. Mulai dari diomelin atasan, bertemu klien yang tidak sopan, dan lain-lain. Memang, sejak memutuskan untuk LDR, Anja dan Raffi sepakat untuk menghubungi satu sama lain minimal satu kali sehari, bercerita tentang hari yang mereka jalani masing-masing. Hal sederhana yang menurut mereka mampu mempererat hubungan di antara keduanya.

"Kalau kamu, gimana kabarnya hari ini? Hari pertama sekolah kamu lancar?"

Anja tersenyum mendengar pertanyaan Raffi. Ini dia yang ditunggu-tunggu. Anja sudah bersiap menceritakan kisah serunya di hari pertama sekolah dan pertemuannya dengan Nathan, tapi baru saja beberapa detik Anja bercerita, Raffi tiba-tiba sudah menutup telepon.

^^^Raffi ❤^^^

^^^Maaf ya sayang, tadi ada atasan aku. ^^^

^^^Aku lanjut kerja dulu, kita sambung nanti malam ya. ^^^

^^^I love you😘^^^

Anja menghela napas panjang. Yah, kadang-kadang hal seperti ini juga bisa terjadi. Anja memaklumi karena Raffi memang sedang bekerja. Raffi bilang, dia akan bekerja keras agar bisa cepat-cepat menikahi Anja tahun depan. Jadi tentu saja Anja tidak bisa protes jika dirinya tidak lagi dijadikan prioritas.

Anja

Nggak apa-apa sayang.

Yang semangat ya kerjanya.

Biar buat modal nikah kita, hehe🤭

Love you too😘

Anja menunggu selama hampir satu menit, tapi tidak ada balasan lagi dari Raffi. Mungkin dia sedang sibuk, Anja mencoba menghibur diri. Ia pun akhirnya memilih untuk mengisi ulang daya ponselnya dan merebahkan diri ke atas kasur. Mencoba memejamkan mata untuk mengistirahatkan badan sejenak.

...----------------...

Esoknya, Anja tidak terlambat lagi. Dia sudah menyiapkan alarm yang disetel keras-keras di samping telinganya. Meskipun ia baru terbangun saat ibu teriak-teriak menyuruhnya mematikan alarm, setidaknya ada kemajuan dari hari kemarin.

"Bu Anja," kepala sekolah memanggil Anja saat jam istirahat pertama. Anja segera bangkit dari kursinya dan menuju kantor kepala sekolah.

"Permisi Bu," Anja duduk di kursi tamu yang sudah disediakan. "Ada apa ya Bu?"

"Ada yang mau saya bicarakan soal salah satu murid di kelas Bu Anja," Kepala sekolah memulai percakapan dengan serius. "Bu Anja mungkin sudah berkenalan dengan mereka. Ada murid yang bernama Nathan, kan?"

Nathan, pikiran Anja kembali melayang di waktu kemarin saat Nathan meminta maaf padanya. Tanpa sadar ia tersenyum saat mengingatnya.

"Iya bu, ada, saya mengenalnya. Ada apa ya Bu dengan Nathan?"

"Sebenarnya, pihak sekolah sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan Nathan dari sekolah,"

"Apa?!" ucapan sang kepala sekolah jelas membuat Anja terkejut. "Dikeluarkan, Bu? Tapi kenapa?"

Kepala sekolah tampak menghela napas panjang sejenak sebelum melanjutkan bicara. "Bu Anja mungkin belum tau karena masih baru di sini. Tapi saya sudah sering mendapatkan laporan dari guru yang lain, kalau anak ini sangat bermasalah,"

Kepala sekolah mengeluarkan sebuah map dan menunjukkannya kepada Anja. "Di sini adalah catatan semua pelanggaran yang sudah dilakukan oleh Nathan. Memang bukan pelanggaran yang besar, tapi sudah tak terhitung berapa jumlahnya anak ini membolos, tidur di kelas, dan tidak mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya."

Anja membaca dokumen itu dengan teliti.

"Sekolah ini dikenal dengan sekolah unggulan, jadi keberadaan murid seperti Nathan bisa mencoreng nama baik sekolah ini. Saya memanggil Bu Anja kesini hanya untuk memberikan informasi saja, supaya wali kelas mengetahui kalau ada anak bermasalah di kelasnya."

Anja terdiam lama, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar dari kepala sekolah. Pikirannya campur aduk. Dia bingung harus bersikap bagaimana di situasi seperti ini.

"Mungkin begitu saja Bu Anja. Silahkan kembali—"

"Beri saya waktu Bu," Anja memotong ucapan kepala sekolah. "Ah, maaf, bukan maksud saya untuk lancang. Tapi, seperti yang ibu bilang, saya memang guru baru di sini, jadi saya belum terlalu mengenal murid-murid di kelas saya. Termasuk Nathan. Saya rasa, mungkin ada alasan kenapa Nathan seperti itu. Sebagai wali kelasnya, saya merasa bertanggungjawab untuk membantu murid saya. Jadi, kalau boleh, tolong berikan saya kesempatan Bu,"

Kepala sekolah menatap Anja lamat-lamat, heran mendengar permintaan Anja.

"Bu Anja, apa ini nantinya tidak akan merepotkan Ibu? Bukankah seharusnya Ibu bersyukur kalau biang kerok di kelas Ibu dikeluarkan, supaya tidak ada masalah kedepannya? Nathan, anak ini, memang dasarnya sudah bermasalah. Tidak ada satupun guru yang bisa mengatasinya. Apa Bu Anja yakin bisa melakukannya?"

"Tidak Bu," Anja menggelengkan kepala. "Sejujurnya, saya juga tidak yakin bisa melakukannya. Tapi, saya ingin mencobanya. Walaupun hasilnya mungkin sia-sia, saya tetap ingin mencobanya Bu,"

Kepala sekolah menghela napas panjang. "Baiklah," ucapnya kemudian. "Karena Bu Anja sudah bertekad, saya akan memberikan kesempatan. Tapi, hanya satu bulan Bu Anja. Jika dalam waktu satu bulan Nathan tidak berubah, terpaksa kita harus memberinya keputusan final."

"Baik Bu," Anja menganggukkan kepala. "Saya akan mengingatnya,"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!