Adegan 1: Pertemuan di Restoran
Suasana restoran agak ramai pada malam hari. Hesti, seorang wanita berumur 25 tahun yang merantau untuk bekerja, menghampiri meja tempat Dody, pria berumur 40 tahun, duduk sendirian. Dody sedang melihat menu saat Hesti datang untuk mengambil pesanan.
Hesti tersenyum ramah"Selamat malam, Pak. Sudah siap pesanannya?"
Dody melihat Hesti dengan ramah "Belum, Mbak. Saya masih bingung mau pesan apa. Ada rekomendasi mungkin?"
Hesti tersenyum kecil "Kalau Bapak suka yang pedas, saya bisa rekomendasikan Ayam Rica-Rica. Rasanya pedas tapi pas."
"Boleh, Ayam Rica-Rica ya. Minumnya teh tawar saja." Sahut Dody
"Baik, Pak. Saya segera buatkan."
Hesti hendak pergi, tapi Dody tampak tertarik untuk melanjutkan percakapan.
"Sudah lama kerja di sini, Mbak?"tanya Dody
"Baru dua tahun, Pak."Sahut Hesty dengan sopan
"Merantau, ya? Tinggal di sini sendirian?"tanya Dody lagi
"Iya, Pak. Saya merantau. Sahut Hesty"Anak saya tinggal di kampung bersama ibu saya."Hesty pun menjelaskan soal anak nya yang ditinggal dikampung dan dirawat sama ibunya
"Wah, pasti berat jauh dari anak."
Hesti tersenyum lembut"Iya, Pak. Namanya juga demi masa depan anak. Saya harus kuat meskipun jauh dari dia."
Dody pun mengangguk dengan simpati "Hebat, Mbak. Tidak mudah pastinya, tapi semoga segala usahanya lancar ya."
Hesti tersenyum"Terima kasih, Pak. Doanya sangat berarti."
"Anak Mbak umurnya berapa?"Tanya Dody selanjutnya
"Baru lima tahun, Pak. Masih kecil, jadi saya sering kangen. Tapi, Alhamdulillah ada ibu yang bantu jagain di kampung."jelas Hesty lagi
Dody tersenyum kagum "Pasti Mbak Hesti wanita yang kuat. Semoga semua berjalan lancar untuk Mbak dan keluarga."
Hesti "Amin, terima kasih banyak, Pak. Saya permisi dulu ya, nanti saya bawakan pesanannya."
Hesti pergi untuk menyiapkan pesanan, meninggalkan Dody yang tampak terkesan. Ada sesuatu dalam percakapan itu yang menyentuh hati mereka berdua.
Setelah beberapa saat, Hesti kembali ke meja Dody sambil membawa pesanan. Restoran mulai agak sepi, membuat suasana lebih tenang. Hesti meletakkan piring di meja Dody dan tersenyum ramah.
Hesti datang dengan membawa pesanan Dody"Ini pesanannya, Pak. Silakan dicoba. Semoga cocok di lidah."
Dody mencicipi sedikit Ayam Rica-Rica"Hmm, enak sekali! Ini rekomendasi yang bagus, Mbak."
Hesty tersenyum"Alhamdulillah kalau suka, Pak. Ini salah satu menu favorit di sini."
"Saya jadi penasaran. Apa Mbak Hesti sering pulang kampung untuk ketemu anak?"Tanya Dody penasaran
Hesti terlihat sedikit sedih "Tidak terlalu sering, Pak. Biaya pulang kampung lumayan besar, jadi biasanya saya hanya bisa pulang setahun sekali. Itupun kalau ada cuti."
Dody terlihat terkejut "Wah, jarang sekali ya. Pasti kangen berat sama anak."
"Iya, Pak. Setiap hari pasti rindu, tapi saya harus sabar. Semua ini demi dia juga, supaya masa depannya lebih baik." jawab Hesty sambil tersenyum tipis
Dody mengangguk dengan empati "Saya paham, Mbak. Kadang hidup memang menuntut kita untuk berkorban, apalagi untuk anak."
Hesti terdiam sejenak, merasa tersentuh oleh kata-kata Dody. Ada sesuatu dalam cara Dody berbicara yang membuat Hesti merasa dipahami.
"Kalau boleh tahu, ibu Mbak yang menjaga anak, sehat-sehat saja di kampung?"
"Alhamdulillah, Ibu sehat. Meskipun sudah agak tua, tapi beliau masih kuat jagain cucunya. Saya bersyukur ada beliau yang membantu."
Dody tersenyum "Ibu Mbak pasti orang yang luar biasa. Tidak mudah menjaga anak kecil di usia lanjut."
"Iya, Pak. Saya beruntung punya ibu yang selalu mendukung saya, meskipun saya merantau jauh."
Dody berpikir sejenak "Kadang orang tua memang menjadi kekuatan terbesar kita, ya. Saya jadi ingat almarhum ibu saya. Beliau juga selalu ada di saat-saat terberat."
Hesti terlihat tersentuh"Maaf, Pak. Saya tidak tahu."
Dody tersenyum kecil "Tidak apa-apa, Mbak. Itu sudah lama sekali. Yang penting, kita tetap menghargai apa yang mereka lakukan untuk kita."
Sejenak ada keheningan, tapi bukan keheningan canggung. Ada rasa saling mengerti di antara mereka.
"Terima kasih, Pak, sudah mau mendengarkan cerita saya."
"Mbak Hesti tidak perlu berterima kasih. Saya malah senang bisa ngobrol dengan Mbak. Kadang percakapan sederhana seperti ini bisa memberi semangat baru."
Hesti tersenyum "Iya, Pak. Saya juga merasa begitu."
Dody menatap Hesti dengan penuh penghargaan. Ada rasa kagum yang semakin tumbuh di antara mereka. Meskipun baru saling kenal, mereka merasa seolah ada sesuatu yang lebih dalam yang menghubungkan mereka.
* Hubungan yang Mulai Terbentuk*
Beberapa hari telah berlalu sejak percakapan mereka di restoran. Dody sering datang kembali ke restoran, dan setiap kali Hesti bekerja, mereka saling menyapa dan mengobrol sedikit. Malam itu, Dody kembali duduk di meja favoritnya, dan Hesti menghampiri dengan senyum hangat.
"Selamat malam lagi, Pak Dody. Pesanan biasa, Ayam Rica-Rica dan teh tawar?" Sapa Hesti dengan ramah
Dody tertawa kecil "Sepertinya saya sudah ketagihan dengan rekomendasi Mbak. Pesan yang sama, ya."
Hesti tertawa "Baik, Pak. Saya buatkan seperti biasa."
Hesti mencatat pesanan dan berbalik hendak pergi, tapi Dody menyela sebelum dia bisa bergerak.
Dody: "Mbak Hesti, kalau tidak sibuk nanti, bolehkah kita ngobrol sebentar setelah jam kerja?"
Hesti sedikit terkejut"Oh, ngobrol lagi, Pak?"
Dody tersenyum hangat"Iya. Saya merasa senang bisa berbicara dengan Mbak. Tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin mengenal lebih dekat."
"Baiklah, Pak. Setelah saya selesai nanti, kita bisa ngobrol sebentar."
Setelah restoran mulai sepi dan jam kerja Hesti berakhir, Dody menunggu di luar. Hesti keluar dari pintu belakang restoran, tampak lelah tapi masih tersenyum.
"Maaf membuat Bapak menunggu. Saya baru bisa keluar sekarang."kata Hesty
"Tidak apa-apa, Mbak Hesti. Saya memang ingin mendengar lebih banyak cerita tentang Mbak dan perjuangan hidup di sini."
Mereka berjalan santai di dekat restoran, berbicara dengan suasana yang lebih santai dan intim.
"Jadi, Mbak Hesti sudah merasa betah di kota ini?"Tanya Dody sambil menatap Hesty
Hesti menghela napas "Sejujurnya, belum sepenuhnya, Pak. Kota ini ramai, tapi sering terasa sepi. Jauh dari keluarga, terutama dari anak saya."
Dody mengangguk memahami "Iya, saya bisa bayangkan. Kadang kita bisa dikelilingi banyak orang, tapi tetap merasa kesepian
"Betul, Pak. Saya sering merasa seperti itu. Apalagi setiap kali melihat orang lain bersama keluarga mereka."Mata Hesti mulai berkaca-kaca
"Mbak Hesti pasti merindukan masa-masa bersama anak."ujar Dody yang menyadari bahwa Hesty mulai sedih..
Dody meraih tangan Hesti
Hesti mengangguk "Iya, sangat rindu. Setiap malam saya hanya bisa berdoa agar waktu cepat berlalu, supaya saya bisa segera pulang dan bertemu dengannya lagi."
Dody tersenyum lembut "Mbak Hesti wanita yang kuat. Saya sangat menghargai apa yang Mbak lakukan demi anak."
"Terima kasih, Pak Dody. Tapi saya yakin, semua orang tua pasti akan melakukan hal yang sama untuk anaknya."
"Itu benar. Tapi tidak semua orang bisa melakukannya dengan hati sekuat Mbak. Saya bisa lihat dari cara Mbak berbicara tentang anak, ada banyak cinta dan pengorbanan."
Hesti terdiam sejenak, merasa tersentuh oleh kata-kata Dody. Dia menyadari bahwa Dody benar-benar mendengarkan dan memahami perasaannya.
"Terima kasih, Pak. Saya jarang sekali bisa berbicara seperti ini dengan orang lain."
"Saya senang bisa menjadi tempat Mbak bercerita. Kadang kita hanya butuh seseorang yang mau mendengarkan."Dody berkata penuh perhatian
Suasana di antara mereka semakin hangat. Hesti mulai merasa lebih nyaman di dekat Dody, dan percakapan mereka mengalir dengan mudah.
"Mbak Hesti, saya tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi saya merasa ada sesuatu yang istimewa setiap kali kita berbicara. Saya ingin mengenal Mbak lebih dalam, kalau Mbak berkenan."
Hesti terkejut mendengar ungkapan itu, tapi tidak merasa tidak nyaman. Ada perasaan yang sama yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Hesti tersenyum malu "Pak Dody, saya juga merasa senang setiap kali kita berbicara. Tapi... saya tidak tahu apa saya siap untuk hubungan lebih dari sekadar teman saat ini."
Dody tersenyum lembut "Saya mengerti, Mbak Hesti. Tidak perlu terburu-buru. Kita bisa mulai dari sini, perlahan-lahan. Yang penting, saya ingin Mbak tahu kalau saya ada di sini untuk mendukung."
Hesti tersenyum, merasa tenang dengan sikap Dody yang sabar dan penuh pengertian. Mereka melanjutkan percakapan, berjalan bersama dalam keheningan malam, dengan hati yang semakin dekat satu sama lain.
Perpisahan di Kos-kosan
Sudah larut malam, dan setelah berjalan cukup lama mengobrol, Dody menawarkan untuk mengantarkan Hesti pulang ke kos-kosannya. Mereka tiba di depan kos-kosan Hesti yang sederhana.
"Terima kasih sudah mau ngobrol, Mbak Hesti. Senang bisa mengenal lebih banyak tentang hidup Mbak." kata Dody sesampainya di kontrakan Hesty
Hesti tersenyum lembut "Saya juga senang bisa berbicara dengan Bapak. Terima kasih sudah menemani sampai malam begini."
Dody tersenyum "Sama-sama. Kalau Mbak butuh teman bicara lagi, saya selalu ada."
"Baik, Pak. Hati-hati di jalan, ya."Jangan khawatir, Mbak. Istirahat yang cukup, ya."
Dody berbalik dan pergi, sementara Hesti masuk ke dalam kos-kosannya. Namun, begitu masuk ke kamarnya yang sepi, suasana hatinya berubah.
Di dalam kamar kos yang kecil, Hesti duduk di tepi tempat tidurnya. Rasa lelah bekerja seharian tak mampu menutupi kerinduan mendalam yang tiba-tiba menyerang. Dia teringat wajah anaknya yang jauh di kampung, bersama ibunya. Mata Hesti mulai berkaca-kaca.
Hesti berbisik pelan "Aduh, Nak... Ibu rindu sekali sama kamu..."
Dia meraih ponselnya, membuka galeri foto, dan melihat foto anaknya yang tersenyum ceria. Air matanya mulai mengalir deras.
Hesti menangis pelan "Kenapa jaraknya harus sejauh ini, ya Allah? Ibu kangen sekali... Ibu ingin memeluk kamu..."
Hesti berusaha menenangkan diri, tetapi semakin dia mencoba, rasa rindunya semakin menguat. Setiap malam, inilah rutinitasnya. Merasa sepi, jauh dari anaknya, dan hanya bisa menangis diam-diam di dalam kamar.
Dia terbaring di tempat tidur, masih memegang ponselnya, menatap foto anaknya sampai akhirnya air mata membasahi bantal.
Hesti berdoa dalam hati "Ya Allah, jaga anakku di sana. Beri dia kesehatan, dan kuatkan hati ini supaya aku bisa segera pulang dan memeluknya lagi."
Hesti terus menangis dalam keheningan, sementara pikirannya dipenuhi dengan kerinduan yang tak terhingga kepada anaknya. Suara tangisnya hanya terdengar oleh dirinya sendiri di kamar kecil itu. Malam itu, Hesti tertidur dengan rasa rindu yang mendalam, berharap waktu segera berlalu agar dia bisa segera berkumpul lagi dengan anaknya di kampung.
Kerinduan yang teramat sangat tentang anaknya akhirnya terbawa kedalam mimpi,Hesti memeluk bocah laki2 semata wayangnya dengan penuh kerinduan
Setelah menangis hingga tertidur, Hesti memasuki alam mimpi yang terasa begitu nyata. Dalam mimpi itu, dia berada di kampung halaman, di rumah ibunya. Hesti melihat anak laki-lakinya, bocah kecil yang begitu dirindukannya, sedang bermain di halaman. Wajah anaknya tampak begitu ceria dan berlari ke arahnya.
Anak Hesti tersenyum lebar "Ibu! Ibu pulang!"
Hesti tersentak terharu. Dia berjongkok dan membuka tangannya lebar-lebar, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.
Hesti dengan suara bergetar penuh cinta"Nak, Ibu kangen sekali..."
Anak laki-lakinya berlari kencang ke arah Hesti dan langsung memeluknya erat. Hesti memeluk bocah kecilnya dengan penuh kehangatan, merasakan tubuh mungilnya yang sudah lama dirindukan. Sentuhan itu terasa begitu nyata, seolah kerinduannya terjawab.
Hesti memeluk erat "Maafkan Ibu, Nak. Ibu harus jauh, tapi Ibu selalu sayang dan rindu sama kamu."
Anaknya hanya tersenyum, memeluk Hesti lebih erat. Hesti menciumi pipi anaknya, memeluknya seakan tak ingin melepaskan.
Anak Hesti tertawa "Ibu jangan pergi lagi, ya. Ibu di sini saja sama aku."
Hesti pun menangis bahagia "Iya, Nak. Ibu tidak akan pergi. Ibu akan selalu ada untukmu."
Mimpi itu terasa begitu indah, penuh dengan kehangatan dan cinta yang selama ini hanya bisa Hesti simpan di dalam hati. Kerinduannya terobati, meskipun hanya dalam mimpi. Ia bisa melihat senyum anaknya, bisa merasakan debaran hatinya saat memeluknya.
Namun, seiring waktu, mimpi itu mulai memudar. Hesti mencoba memegang erat anaknya, tapi seperti kabut, anak itu perlahan menjauh. Tangannya terasa kosong, dan Hesti terbangun dengan air mata di pipinya.
Hesti terbangun, matanya berkaca-kaca. Kamar kosnya kembali sunyi, dan kenyataan bahwa anaknya masih jauh di kampung kembali menghantamnya. Tapi mimpi tadi memberikan sejenak rasa damai, meski hanya sementara.
Hesti berbisik pelan "Ya Allah, terima kasih sudah pertemukan aku dengan anakku, meskipun hanya dalam mimpi..."
Dia menatap langit-langit, memeluk bantalnya erat-erat, berdoa dalam hati agar kerinduan itu segera terwujud dalam kenyataan. Hesti tahu bahwa hari-hari berat masih menantinya, tapi dia tetap kuat, bertahan demi masa depan anaknya yang ia cintai dengan segenap hati.
Pagi Hari dan Shalat Subuh
Ketika suara adzan subuh mulai berkumandang dari masjid terdekat, Hesti terbangun sepenuhnya dari tidurnya yang diselimuti kerinduan akan anaknya. Meski matanya masih sedikit bengkak akibat tangis semalam, dia merasa sedikit lebih tenang setelah bermimpi bertemu anaknya.
Dengan langkah perlahan, Hesti beranjak dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu, dan bersiap untuk shalat subuh. Di dalam kamar kos yang sederhana, dia menggelar sajadah dan mulai menunaikan shalat.
Hesti berbisik dalam doa"Ya Allah, kuatkan hatiku untuk menjalani hari ini. Berikan kesehatan dan perlindungan untuk anakku di kampung. Mudahkan rezekiku agar aku bisa segera berkumpul dengan anakku lagi."
Setelah menunaikan shalat, Hesti duduk sejenak di atas sajadahnya, menenangkan hati, lalu mempersiapkan diri untuk berangkat kerja seperti biasa.
Setelah berpakaian rapi, Hesti melangkah keluar dari kos-kosannya menuju restoran tempatnya bekerja. Jalanan pagi masih sepi, embun pagi masih tersisa di dedaunan, dan suasana sejuk terasa menenangkan. Meski dalam hati masih terasa rindu yang dalam, Hesti mencoba fokus pada pekerjaannya.
Sesampainya di restoran, Hesti menyapa rekan-rekannya dengan senyum yang selalu ia coba tunjukkan, meskipun hatinya sering kali lelah. Dia mulai bekerja, melayani pelanggan yang datang.
Rekan Kerja Hesti menyapa "Pagi, Hesti. Kamu kelihatan sedikit lelah, nggak apa-apa?"
Hesti tersenyum lembut "Iya, nggak apa-apa kok. Cuma semalam agak susah tidur, rindu sama anak."
"Semoga hari ini lancar, ya. Kamu wanita yang kuat, Hesti."lanjutnya
Hesti mengangguk "Amin, terima kasih. Kita semua sama-sama berjuang."
Hesti pun melanjutkan hari-harinya seperti biasa, bekerja keras dan menyimpan kerinduannya dalam hati. Meski rindu itu selalu ada, dia tetap yakin bahwa suatu hari dia akan kembali memeluk anaknya, bukan hanya dalam mimpi, tetapi dalam kenyataan.
Di sudut dapur restoran, Ana bekerja dengan tenang. Meskipun terlihat ceria saat berbicara dengan Hesti, hatinya juga sedang resah. Semalam, ibunya menelepon dari kampung dan memberi tahu bahwa anak keduanya, yang berusia 4 tahun, sedang sakit. Ana merasa sangat khawatir, namun ia menyimpan kekhawatirannya sendiri.
Ana tahu bahwa Hesti sering sedih saat merindukan anaknya, dan karena itu, Ana memilih untuk tidak menceritakan masalahnya. Ia tak ingin membuat Hesti semakin terbebani, mengingat Hesti hanya punya satu anak dan pasti lebih sering merasakan kerinduan yang mendalam.
Ana dalam hati "Anak kedua lagi sakit, semoga nggak parah... Tapi aku nggak bisa cerita ke Hesti, dia pasti sedih kalau dengar. Aku harus kuat."
Ana melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan bercampur aduk. Meskipun hatinya ingin segera pulang dan merawat anak-anaknya yang masih kecil — yang pertama berusia 6 tahun, yang kedua 4 tahun, dan yang ketiga 2 tahun — dia paham bahwa kewajibannya untuk bekerja harus tetap dijalani demi masa depan mereka.
Setiap kali telepon ibunya terlintas di pikirannya, ada dorongan kuat untuk menangis, tapi Ana terus menahan diri, mencoba tetap profesional dan ceria di depan Hesti.
Ana tersenyum tipis sambil bekerja"Semoga anak-anak di rumah baik-baik saja... Aku harus tetap semangat."
Seperti Hesti, Ana juga sedang merasakan beban berat sebagai seorang ibu yang jauh dari anak-anaknya. Namun, dia tetap memilih menyembunyikan kekhawatiran itu, menunjukkan ketangguhan demi menjalani hari dan mendukung Hesti, yang juga sedang berjuang dengan kesendiriannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!