Selama hidupnya, Aruna tak pernah berpikir jika Ia akan menjadi seorang Istri kedua. Meski sudah mendapat restu dari mertua dan Istri pertama, namun tetap saja poligami itu menuntut suami harus bersikap adil terhadap kedua istrinya. Sementara itu, Aruna merasakan bahwa Ia tak memiliki perasaan cinta terhadap Aryan, dan Aryan pun begitu. Keduanya menikah tanpa cinta, dan hanya sebuah keterpaksaan semata.
Bagi Isma, Ibu dari Aruna, menerima lamaran keluarga Aryan semata-mata untuk membuat Aruna melupakan masa lalunya yang sudah tiada. Selama 1 tahun ini, Aruna selalu murung dan tak bersemangat hidup karena Athar, sang pujaan hatinya meninggal akibat kecelakaan tepat setelah mereka bertunangan. Hati yang hancur berantakan itu tak bisa sembuh hanya dalam waktu 1 tahun saja.
Di sisi lain, alasan Sundari, Ibu dari Aryan melamar Aruna sebagai menantu keduanya hanya karena Gita, istri pertama Aryan yang tak kunjung mengandung. Pernikahan mereka sudah berjalan selama 5 tahun, dan Gita belum diberikan amanah menjadi seorang ibu.
Pada awalnya mungkin kejadian ini hanya kebetulan, dan Aryan pikir ibunya bercanda akan mencarikan dirinya Istri kedua agar segera memiliki keturunan. Jauh sebelum pernikahan kedua Aryan terjadi, Gita sempat tertekan karena ucapan Sundari yang selalu menekan dirinya agar memiliki keturunan dalam waktu yang cepat.
"Mas.. kalau memang aku belum bisa hamil, mas boleh poligami. Aku ridha, Mas." Ujar Gita ketika keduanya tengah duduk berdua di teras rumah malam hari. Rasa sesak di dadanya semakin membuatnya sulit bernafas kala mengungkapkan saran tersebut.
"Kamu ngomong apa sih? Kita bisa usaha lagi. Kan kata dokter kamu gak mandul. Hanya ada masalah aja, dan kamu ada kesempatan untuk hamil. Jangan dengar ucapan Ibu. Kita lewati ini sama-sama ya!" Respons Aryan segera meraih tangan sang istri untuk menenangkan.
"Tapi Mas. Kata Ibu, kalau kamu belum punya anak, kamu gak akan dapat warisan perusahaan."
"Tapi aku gak mau punya anak dari wanita lain. Istri aku itu kamu. Aku udah janji akan selalu di samping kamu, Gita."
"Tapi Mas..."
"Gita benar Aryan. Kenapa kamu gak poligami aja? Gita udah kasih restu, kan?" Tiba-tiba terdengar suara Sundari yang ternyata sudah berada di ambang pintu. Sontak saja pasangan suami istri itu menoleh bersamaan dengan berbeda ekspresi.
"Apa sih Bu? Buat apa aku poligami? Punya Gita aja udah cukup." Sahut Aryan memprotes celotehan Sundari.
"Kalian itu udah 5 tahun menikah, tapi Gita belum juga hamil. Ibu juga mau gendong cucu. Lagian kalau istri udah ridha suaminya poligami, ya gapapa." Mendengar hal itu, Gita hanya tersenyum getir. Meski Ia mengatakan ridha, namun istri mana yang rela melihat suaminya menikah lagi dengan perempuan lain.
"Kalau itu jalan satu-satunya Bu. Untuk calonnya, Ibu saja yang carikan. Asalkan yang bisa melayani Mas Aryan dengan baik." Tutur Gita kembali membuat Aryan menggeleng cepat.
"Kamu sama Ibu kenapa sih?" Protesnya beranjak lalu masuk ke dalam rumah tanpa ingin menoleh ke belakang. Aryan memilih mendinginkan kepalanya sendirian dari pada harus terus berdebat dengan Istri dan Ibunya.
...----------------...
"Ma... Aku belum mau menikah." Protes Aruna setelah waktu berlalu dan keputusan perjodohannya sudah disepakati.
"Apa karena Athar? Aruna, Athar sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Lupakanlah Nak! Kamu berhak melanjutkan hidup yang lebih baik."
"Apa selama ini aku kurang baik, Ma? Mas Athar terlalu sulit untuk aku lupakan. Gak ada rekam jejak yang mengharuskan aku lupa sama dia, Ma. Setelah aku benar-benar sembuh, dan setelah aku ikhlas, aku akan menikah. Aku yang memilih calonnya." Responsnya demikian. Ia susah tak bisa menahan kesabarannya atas keegoisan sang Ibu yang mengambil keputusan sendiri dengan dalih ingin melihatnya bahagia.
"Tapi sampai kapan? Kamu sudah 27 tahun sekarang. Sudah waktunya memiliki suami." Mendengar ucapan Isma kali ini, Aruna hanya menghela nafas dalam lalu mengangguk pelan dan menatap sang Ibu lebih dalam.
"Baik Ma. Kalau memang mau Mama aku menikah dengan orang yang Mama maksud. Tapi kalau seandainya nanti aku dan suamiku ada masalah dan memutuskan berpisah, jangan Mama marahi aku." Ujarnya kemudian beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Isma begitu saja.
"Ayah... andai saja Ayah masih ada, mungkin Ayah akan membela aku. Ayah gak mungkin paksa aku untuk nikah." Batinnya seraya meraih gambar diri seorang lelaki yang berusia sekitar 50 tahunan. Aruna memeluknya lalu meletakkan kembali ke tempat semula.
...----------------...
Waktu berlalu, dan hari pernikahan pun tiba. Acara sederhana yang hanya dihadiri keluarga pun berjalan sesuai rencana. Meski ijab qabul sudah selesai terucap, keduanya tak seperti pengantin pada umumnya. Aryan terlihat sendu kala melirik ke arah Sundari yang terlihat sumringah. Begitupun dengan Aruna yang memilih menghindar karena Ia tak mau terlibat dalam obrolan apapun bersama orang-orang. Walau pun tanpa cinta, namun hatinya terasa teriris melihat Aryan yang tengah menghubungi seseorang dengan air mata yang berderai seiring ucapan yang terlontar.
"Sayang... Mas pulang sekarang ya!" Ujarnya yang terdengar oleh Aruna sendiri. Sejenak Ia bertanya-tanya sebenarnya atas dasar apa perjodohan ini? Bukankah Aryan sudah beristri, dan mereka sudah menikah lama. Setahunya Istri tua Aryan memiliki paras yang cantik dan berakhlak baik.
"Sebenarnya apa yang mereka cari? Kebahagiaan sudah di depan mata, malah membawaku dalam sebuah ikatan tak berarti." Batin Aruna memilih memasuki kamarnya karena Ia merasa acara sudah selesai meskipun di luar kamar masih banyak tamu.
...----------------...
Malamnya, jelas terlihat keduanya yang tak memiliki perasaan apapun sama sekali. Aryan memilih tidur di sofa sementara Aruna sudah terlelap di tempat tidur. Aryan tak bisa memejamkan matanya padahal esok hari harus bersiap untuk pindah ke rumah yang sudah Sundari siapkan untuk mereka. Di benaknya, Aryan terus memikirkan Gita yang mungkin merasa terpukul atas apa yang terjadi. Ia sendiri tak bisa menolak keinginan sang Ibu yang terlampau egois dan serakah. Hanya karena warisan dengan syarat memiliki keturunan, Ia harus menerima perjodohan dengan wanita yang tak Ia cinta. Jelas saja cintanya hanya untuk Gita yang merupakan istri yang sudah menemaninya selama 5 tahun ini. Mungkin hatinya merasa hampa karena belum juga memiliki seorang anak, namun bukankah anak adalah titipan? Dan kita tak bisa memaksakan kehendak jika belum mendapatkan kepercayaan sang Pencipta.
Di waktu yang sama, Gita memilih untuk tidur setelah seharian Ia menangisi hari pernikahan suaminya. Ia sengaja tak menghadiri acara tersebut karena tak ingin membuat hatinya lebih hancur. Meski setiap hari mengatakan tidak apa-apa ketika Aryan bertanya Ia boleh menikah, namun nyatanya hatinya tak siap berbagi cinta dengan madunya.
"Andai aja Ibu bisa bersabar, aku juga bukan gak berusaha, Mas. Kita sudah berusaha, kan?" Lirihnya memecah kesunyian suasana malam diiringi isak tangis yang memilukan.
...-bersambung...
Pagi-pagi sekali, Aryan sudah bersiap dengan menarik sebuah koper berwarna merah muda lalu memasukkannya ke bagasi mobil. Di belakangnya terlihat Aruna berjalan menunduk mengekori kemudian terhenti dan kembali berpamitan pada keluarganya. Terlihat jelas hanya Oma Setya yang memperlihatkan wajah sendunya saat melepas kepergian cucu perempuan.
"Jaga dirimu ya, Nak. Kalau ada sesuatu, panggil Oma saja." Ujar Oma seraya memeluk Aruna yang terlanjur menangis. "Oma bahagia Nak. Kamu juga harus bahagia ya!" Imbuhnya ditanggapi anggukan oleh Aruna sendiri. Setelahnya, Aryan membukakan pintu untuk sang Istri lalu lanjut berpamitan sebelum Ia benar-benar berlalu dari lingkungan rumah keluarga Aruna. Di sepanjang jalan, keduanya tak ada yang berbicara. Masing-masing terfokus pada kesibukannya sendiri. Sampai pada akhirnya, Aryan merasa tak nyaman akan kecanggungan diantara mereka.
"Aruna! Kenapa kamu mau nikah sama aku yang jelas udah punya Istri?" Tanyanya semula merasa ragu, namun Ia beranikan agar tak lagi menerka apa yang dipikirkan Aruna.
"Mas sendiri? Kenapa mau nikah sama aku dan jelas-jelas Mas udah beristri?" Aryan sedikit terkejut mendapati pertanyaan balik dari Aruna. Bukannya menjawab, wanita itu malah melempar pertanyaan yang sama padanya.
"Harusnya kamu udah tahu dari Ibu."
"Ibu kamu bilang kalau Istri pertama kamu gak bisa berperan penuh untuk melayani kamu sebagai suami." Sontak saja Aryan terhenyak. Tentu Ia menoleh kasar ke arah Aruna yang terlihat santai tanpa memperlihatkan ekspresi apapun. Tangannya mencengkram kemudi dengan kuat, nafasnya mendadak tak beraturan. Saat itu Aruna yang menyadari kekesalan Aryan pun memilih bersandar dan menutup matanya cepat-cepat. Ia tak ingin beribu pertanyaan mendadak menghujani dirinya yang bahkan tak tahu alasannya menikah dengan pria di sampingnya ini.
...----------------...
Kurang lebih 1 jam perjalanan, Aryan menepikan mobilnya di sebuah rumah bernuansa putih biru 2 lantai yang dimana itu akan menjadi rumahnya bersama Aruna. Meski begitu, Aryan berniat untuk pulang ke rumah Gita dan tak ingin terlibat dalam urusan Ibunya. Melihat Aruna yang masih terlelap, Ia tak membangunkannya, Aryan memilih untuk mengambil barang-barangnya yang ada di bagasi mobi.
"Loh.... Aruna mana?" Tanya Sundari terdengar jelas sehingga Aruna perlahan membuka matanya.
"Masih di mobil Bu." Jawab Aryan seraya memasuki rumah tanpa mempedulikan Aruna yang masih berada di dalam mobilnya. Dengan perasaan cemas, Sundari mendekat dan mengetuk kaca mobil seraya memanggil Aruna. Tak perlu mengulang panggilan untuk yang ke sekian kali, Aruna membuka pintu dengan sebuah senyum tersungging di bibir manisnya.
"Bu!" Sapanya segera menyalami sang mertua dengan santun.
"Kenapa masih di sini?"
"Una tadi ketiduran, terus pas sampai, kepala Una masih sakit. Jadi Una diem dulu." Jawabnya asal. Sebenarnya Ia tak benar-benar terlelap. Dan saat mobil menepi pun, Ia sudah terbangun namun enggan membuka mata.
"Ya sudah. Sekarang kamu istirahat, di sana ada Bi Ima. Kalau kamu butuh apa-apa, panggil Bi Ima saja. Ibu ada urusan dulu" Setelah mengatakan pesan tersebut, Sundari berpamitan dan berlalu setelah mobil hitam menepi di depan gerbang rumahnya. Memang tidak terlalu jauh, namun cukup menguras tenaga jika harus berjalan dari teras rumah menuju gerbang. Halaman rumahnya sangat luas, Ia melihat beberapa tanaman berjejer rapi di sekeliling. Terlihat seperti sebuah taman, dengan kolam kecil di pojok tembok pembatas.
Perlahan Ia melangkah menuju pintu dengan harap Aryan masih ada di sekitar ruang tamu agar Ia tak merasa seperti orang asing. Namun sayang, Aryan tak ada di sana. Aruna hanya melihat sesosok wanita paruh baya menghampirinya dan tersenyum.
"Bu Aruna, saya Bi Ima. Pelayan yang bertanggung jawab atas kebutuhan Ibu." Ujarnya membuat Aruna mengangguk ragu. "Mari Bu, saya antar ke kamar Ibu." Imbuhnya lalu menuntun jalan menuju lantai atas. Saat Ia memasuki ruangan asing tersebut, Ia tak mendapati dimana Aryan. Ia hanya melihat kopernya saja yang sengaja diletakkan di samping tempat tidur.
"Mas Aryan dimana, Bi?" Tanyanya tentu menoleh pada Bi Ima.
"Tadi Pak Aryan tidur di kamar tamu, Bu." Jawab Bi Ami ditanggapi anggukan oleh Aruna. Sempat Ia berniat untuk mempertanyakan kenapa Aryan memilih tidur di sana, namun pertanyaannya tak sampai ke tenggorokan. Ia berpikir sejenak bahwa Aryan tak menginginkan kebersamaan dengannya.
"Ibu mau makan? Biar saya siapkan." Aruna terdiam sesaat, kemudian tersenyum dan menggeleng pelan menanggapi tawaran Asisten rumah tangganya tersebut.
"Enggak Bi. Aku mau mandi dulu, setelahnya mau beres-beres." Jawabnya demikian. Dengan begitu, Bi Ima gegas meninggalkan ruangan yang menjadi tempat istirahat untuk majikannya.
"Masa iya sih Bu Aruna perebut. Dari gelagatnya aja kayak gak peduli sama Pak Aryan." Batin Bi Ima menerka.
...----------------...
"Mas. Kamu kok di sini?" Pekik Gita tentu saja terhenyak mendapati sang suami datang malam-malam ke rumahnya. Segera Aryan memeluk sang istri dengan erat, lalu melayangkan sebuah kecupan di lehernya.
"Mas.. kamu ngapain?" Protesnya membuat Aryan melepas pelukan dan menatap dalan kedua manik Gita.
"Aku ini suami kamu. Apa salahnya aku pulang ke pelukan istri aku."
"Tapi kamu udah--"
"Enggak Gita. Jangan bilang gitu. Aku gak nerima pernikahan ini. Ini kemauan kamu sama Ibu. Alasan hanya karena anak, kita bisa berusaha lagi kan?"
"Tapi kamu udah terlanjur Mas. Aruna istri kamu juga sekarang. Kamu harus memperlakukan dia seperti kamu memperlakukan aku."
"Gak bisa Gita. Dia bukan kamu."
"Mas... aku sama dia beda. Tapi--" belum selesai Gita berucap, Aryan segera membungkamnya dengan ciuman bertubi-tubi. Ia memilih menghabiskan malam bersama Gita dari pada harus bersama dengan wanita yang tidak Ia cintai.
Sementara itu, Aruna masih terjaga meski sudah larut. Ia benar-benar merasakan kehampaan di malam yang seharusnya menjadi malam bahagia bersama sang suami. Namun, kenyataannya Malam ini Aryan tak ada di sampingnya.
"Ibu belum tidur?" Tanya Bi Ima seraya meletakkan sebuah cangkir berisi kopi latte instan kesukaannya.
"Belum ngantuk Bi." Jawabnya mendongak sejenak kemudian kembali fokus pada laptopnya.
"Mau saya temani, Bu?"
"Gapapa Bi. Bibi tidur aja. Besok pasti harus bangun lebih awal, kan?" Sahutnya menolak halus tawaran Bi Ima yang mengerti dan langsung berlalu meninggalkan Aruna sendiri. Pikirannya kembali berkecamuk sesaat setelah Bi Ima menutup rapat pintu kamar.
Apa artinya malam pengantin? Apa arti ijab qabul kemarin? Ia tak lebih hanya sebuah mainan yang tak pantas dihargai. Baik itu oleh Aryan, Ibunya, dan orang tuanya sendiri.
"Sebenarnya apa mau mereka? Kenapa menempatkanku dalam ikatan tanpa arti?" Gumamnya memijit dahi lalu terpejam sampai Ia terlelap tidur.
Entah sudah berapa lama Ia tertidur, Ia terbangun ketika tubuhnya sudah berbaring di sofa dengan secangkir kopi yang tak tersentuh. Ia mendengar sayup-sayup suara percikan air di kamar mandi dan terlihat pula ponsel dan jam tangan tergeletak di atas nakas. Apa Aryan kembali? Pikirnya menerka. Benar saja, tak lama dari itu, terlihat Aryan keluar dengan membalut tubuhnya dengan handuk. Namun yang membuatnya heran, mengapa Aryan sampai membasahi rambutnya malam-malam begini? Pikiran Aruna seketika berkecamuk lalu tersadar sendiri bahwa Aryan mungkin memilih menghabiskan waktu bersama Istri tuanya dari pada dengan orang yang tidak Ia kenal. Meskipun itu Istri barunya. Namun mengapa Aryan kembali jika Ia teringin menghabiskan waktu bersama Gita?
...-bersambung...
"Aryan... mana istrimu?" Pagi-pagi sekali, Sundari sudah ada di rumah baru Aryan dan Aruna. Ia begitu antusias ingin kembali bertemu dengan pengantin baru yang kemarin terpaksa Ia tinggalkan. Melihat Aryan turun dari kamarnya, semangatnya mendadak menggebu dengan langsung menghampiri Aryan yang masih di tengah tangga.
"Ibu ngapain di sini?" Tanyanya terheran.
"Kamu kok kayak gak senang Ibu ke sini? Jelas Ibu mau ketemu sana kamu."
"Kan nanti juga aku ke rumah Ibu, sekalian mampir ke rumah Gita." Respons Aryan begitu santai menyikapi kehebohan Ibunya.
"Kenapa ke rumah Gita? Kamu di sini aja. Temani Aruna. Kalau kamu terus ke rumah Gita, kapan Aruna kasih Ibu cucu?"
"Bu.... kenapa malah bahas itu lagi sih? Aku harus adil dong."
"Iya Aryan Ibu tahu. Tapi Ibu rasa percuma kamu sama Gita sering bersama tapi kenyataannya Gita gak juga mengandung, kan?"
"Bu. Kita gak bisa atur takdir. Gimana kalau misal aku udah nikah sama Aruna, terus Gita hamil? Bisa aja kan?" Mendengar sanggahan dari sang Putra yang jelas tak ingin kalah, Sundari hanya menghela nafas dalam lalu kembali ke dapur membiarkan Aryan masih terdiam di antara anak tangga. Hatinya mendadak gelisah saat mengingat Aruna yang tengah tertidur dengan posisi duduk di sofa semalam. Ia pikir Aruna menunggunya pulang dan tak bisa menahan kantuk. Namun pikirannya Ia tepis karena tidak mungkin Aruna mengharapkan kebersamaan dengannya.
"Mungkin pikiran aku aja." Ujarnya memilih menyusul sang Ibu ke dapur untuk meminta kopi. Melihat secangkir kopi di sajikan Bi Ima, Aryan mendadak teringat pada kopi yang tersaji di depan Aruna malam tadi.
"Bi. Apa Aruna minum kopi?" Tanyanya memastikan.
"Semalam iya Pak. Bu Aruna meminta saya untuk membuatkan kopi." Jawabnya jujur.
"Loh... kalian tidur pisah?" Mendengar pertanyaan dadakan Sundari tersebut, Aryan mendadak gugup. Ia salah tingkah dengan gelisah karena nyaris membuat Ibunya curiga.
"E-enggak Bu. Tadi subuh aku lihat ada cangkir kopi. A-aku ketiduran." Jawabnya asal. Bersamaan dengan itu, Aruna menyusul mereka dan tersenyum malu-malu menghampiri Bi Ima dan berniat membantunya.
"Sini Aruna. Itu biar Bi Ima saja yang masak." Titah Sundari segera dituruti oleh Aruna yang duduk tepat di samping Aryan.
"Gimana semalam?" Tanyanya tanpa basa-basi. Aryan yang tengah minum kopi pun langsung terbatuk mendengar pertanyaan konyol sang Ibu pada Istrinya. Ia mendadak panik. Takut jika Aruna mengadu bahwa semalam Ia menemui Gita.
"Semalam?" Tanya Aruna seolah Ia tak mengerti akan maksudnya.
"Iya semalam. Itu rambut kamu basah." Celetuk Sundari menunjuk rambut Aruna yang memang terlihat basah. Entah apa yang dipikirkan Sundari, Aruna keramas pagi ini hanya karena merasa rambutnya masih kaku akibat spray rambut yang digunakan perias pengantin kemarin.
"I-ini..." ragu-ragu Aruna melirik ke arah Aryan yang menatap tajam padanya. Ia tak berani jujur, namun juga tak kuasa jika berbohong.
"Bu... apa sih? Jangan nanya yang aneh-aneh. Kalau Aruna gak nyaman gimana?" Aruna sempat termangu sejenak mendengar ucapan Aryan yang bersikap seolah Ia memang perhatian. Padahal di belakang Ibunya, Aryan masih bersikap dingin dan tak menganggap dirinya ada.
...----------------...
"Bi... supermarket jauh gak?" Tanya Aruna setelah Sundari dan Aryan tak lagi di rumah.
"Ibu mau belanja?" Aruna segera mengangguk menanggapi pertanyaan Bi Ima.
"Iya Bi. Sekalian mau tahu wilayah sini."
"Ya sudah Bu. Sekalian saja beli keperluan dapur. Ada beberapa bahan juga yang hampir habis."
"Oh? Ya udah ayo Bi." Terlihat Aruna mendadak antusias dengan langsung menggandeng tangan Bi Ima. Ia merasa bersama Bi Ima seperti bersama dengan Oma.
Setelah bersiap, Aruna dan Bi Ima bergegas ke sebuah tempat perbelanjaan di dekat sana. Bi Ima tak ingin mengajak Aruna terlalu jauh untuk sementara. Keduanya berkeliling dan memilih apa yang diperlukan. Namun tiba-tiba, Bi Ima terhenti dengan memandang lurus sementara Aruna masih asyik memilah barang di tangannya.
"Pak Aryan." Ujarnya dengan suara pelan. Sontak saja Aruna menoleh ke arah Bi Ina lalu berbalik mengikuti arah pandangan wanita tua tersebut. Refleks, kemasan yang tengah Ia genggam pun terlepas tanpa sadar. Dengan panik sendiri, Ia meraih dan meletakkan kembali di rak seperti semula. Suasana canggung terjadi diantara mereka. Apa lagi Gita yang terus memalingkan wajah menghindari kontak mata dengan Aruna. Wajar jika Gita merasa benci pada wanita yang sudah merebut suaminya meski pada dasarnya Ia tak berniat.
"Ma-Mas di sini juga?" Tanyanya mencoba memecah kecanggungan.
"I-iya." Sahut Aryan segera berpaling muka.
"I-itu Istri Mas?" Mendengar pertanyaan selanjutnya dari Aruna, Aryan mendadak merangkul Gita dengan penuh kehangatan. Namun Gita menunjukkan perasaan tak nyaman yang terus mendorong Aryan menjauh. Aryan pikir Gita tengah marah dan cemburu karena mereka bertemu dengan Aruna secara tak sengaja. Begitu pun pikiran Aruna yang mengira jika Gita memang marah terhadapnya. Sempat ingin berucap, Gita cepat-cepat pergi dari tempat itu untuk menghindari Aruna. Ia berharap Aryan tak mengikutinya, namun ternyata Aryan terus mengejar dan bahkan menggandeng tangannya kemana pun Ia melangkah.
"Kenapa kamu kejar aku, Mas?" Protes Gita tak langsung di tanggapi oleh Aryan. Justru lelaki itu mengernyit heran dan terhenti dari langkahnya.
"Maksud kamu apa? Aku harus biarin kamu sendirian?"
"Tapi dengan kamu kejar aku, Aruna pasti--"
"Terus kalau aku sama dia, kamu akan setuju? Hati kamu gak akan sakit?" Dengan cepat Aryan menyela dan berhasil membuat Gita terdiam seketika. Ia memang tak mungkin ikhlas melihat suaminya dengan wanita lain, sekalipun itu adalah istri mudanya.
...----------------...
Setelah makan malam selesai, Aruna tak langsung beranjak dari tempatnya. Ia memilih mengemil buah terlebih dahulu seraya mengulur waktu agar tak berlama-lama bersama Aryan nantinya. Sedangkan Aryan sendiri sudah kembali ke kamar tanpa menghiraukan Aruna yang masih di lantai bawah. Pikirannya mulai berkecamuk, perasaannya mendadak gelisah. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan untuk kedepannya. Apa dia harus menyentuh Aruna agar perjanjian dengan Ibunya tidak terlalu lama? Namun Ia belum siap jika harus berbagi cinta istri pertamanya.
Lama Aryan melamun di sofa, terdengar pintu terbuka dan memperlihatkan sosok Aruna yang sudah kembali dari tempat makan. Ia terlihat santai dengan wajah datar seolah tanpa perasaannya seakan menjadi sebuah ciri khas tersendiri baginya. Aryan mulai penasaran apakah Aruna pernah tersenyum sebelumnya? Dan jika pernah, sejak kapan senyuman itu hilang?
"Mas mau ke rumah Mbak Gita?" Tanya Aruna membuyarkan lamunan Aryan. Pria itu terdiam lalu beranjak tanpa menjawab sepatah katapun. Ia menghampiri Aruna yang bergeming di tempatnya. Membiarkan Aryan mendekatinya, dan tak peduli akan apa yang dilakukan pria itu terhadapnya. Jika menyiksa, Ia akan terima. Mungkin dengan tindak kekerasan dari Aryan, Ia bisa lebih cepat bercerai dengan pria di depannya ini.
"Beri aku keturunan, setelah itu kau bebas akan berpisah atau bertahan denganku." Ujar Aryan begitu tegas di telinga Aruna yang membulatkan kedua matanya tiba-tiba. Apa suaminya bercanda? Tidak mungkin Ia berniat melakukan hal itu bukan?
...-bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!