NovelToon NovelToon

Kita Tidak Baik-Baik Saja

Papa Cheating

Di pagi minggu yang cerah ini, skincare-ku menunjukkan tanda-tanda kritis, artinya aku harus mengeluarkan tenaga dalam untuk pergi ke Mall dan menyiapkan catatan kecil berisi barang apa saja yang harus kubeli.

Walau terlihat pelit, itu cukup efektif untuk tidak membuang-buang uang demi barang yang belum tentu kupakai. Terkadang, sampai barangnya hilang pun belum tentu pernah aku gunakan.

Kalau kalian bertanya, skincare apa yang aku pakai, sebenarnya tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah. Merek Skarlet dengan pembelian satu paket lengkap.

Sejak duduk di bangku SMA--dan sekarang kelas tiga, aku lebih sering terpapar sinar matahari. Bukan masalah takut hitam, tapi wajahku jadi lebih tua dan sering dehidrasi.

Perjalanan menuju mall terbesar di Jakarta tidak terlalu jauh. Aku tidak mengeluarkan scoopy kesayangan, takut dia lelah menghadapi kejamnya ibu kota yang melebihi seorang ibu tiri.

Jadi, aku lebih memilih menggunakan go-kar. Selain bisa menambah penghasilan bapak-bapak berjiwa superhero, aku pun lebih santai karena tak perlu repot-repot mencari tempat parkir.

Bahasa halusnya, parkir adalah salah satu kegiatan yang tidak aku sukai. Kalau bahasa kasar, jangan. Barangkali, ada adik-adik di bawah umur yang membaca cerita ini. Dosaku jadi bertambah banyak karena mengajarkan hal tidak baik. Maafkan Kakak, ya, Bocah-bocah.

Ponsel yang berada di tas selempangku bergetar. Tidak biasanya pagi-pagi ada yang menelepon. Kalau bukan Papa, berarti Mama.

Aku menepi sejenak agar tidak menghalangi jalan, lalu merogoh tas untuk mengambil benda yang berjasa melancarkan komunikasi orang-orang. Angkat topi untukmu, Kakek Martin Cooper dan kawan-kawan.

"Assalamualaikum, Mamaku yang cantik bak Zulaikha. Aku baru aja ke luar udah dicariin aja. Mama kangen, ya?" sapaku tanpa mengecilkan suara.

"Waalaikumsalam, anakku yang manisnya melebihi Priyanka Chopra. Tebak, deh, Mama habis ngapain!"

"Habis ketemu Uda-uda? Uni-uni?" tebakku asal.

"Ck, bukan!" Mama menyahut setengah berteriak. "Mama habis dapetin tas Chenel limited edition! Ya ampun! Mama dapat dua, Dek! Dua!"

Teriakan Mama membuatku terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga. Suaranya melengking tinggi bak naga kehilangan pasangan.

"Ya Allah, Mama. Kirain ada apa. Mama belanja tas lagi? Itu yang di lemari tas Mama masih bisa dipakai, loh."

"Gampanglah itu. Bisa Mama kasihkan ke Mbak Ute sama orang lain. Duh, yang penting Mama bahagia banget sekarang. Udah dulu, ya? Mama mau nimang-nimang adik kamu dulu. Bye, Dek! Assalamualaikum!"

"Ogah punya adik benda mati. Waalaikumsalam!"

Usai merebahkan kembali bulu kuduk yang merinding. Aku berjalan lurus ke depan tanpa melihat ke kiri dan kanan, bahkan tidak berhenti walau dipanggil-panggil oleh para sales.

Brosur yang diangsurkan langsung aku jauhi. Soalnya, saat tangan sudah terulur ke depan untuk mengambil, para sales akan menarik dengan brutal dan menguji coba produk mereka ke tangan. Mengerikan, aku sampai trauma.

Senyumku mengembang sempurna saat tiba di toko langganan. Pemiliknya sedang tidak ada, tapi para pegawai sudah mengenaliku dengan baik. Pelanggan imut, katanya.

Padahal, kalau dipikir-pikir, aku tidaklah layak menyandang pujian imut. Tinggiku sekitar 157, berat badan 40 kilogram, dan memiliki kulit sawo matang. Sebagai pelengkap, ada kacamata minus bertengger di batang hidung dan gigi kelinci yang kadang lebih sering aku sembunyikan.

Usai beramah tamah, aku ke luar sembari menenteng belanjaan berupa satu paket produk skincare kebanggaan. Tujuan aku memakai skincare itu bukan untuk memutihkan kulit, tapi hanya membersihkan dan memberi nutrisi saja.

Iklan-iklan yang menawarkan produk dengan testimoni satu minggu langsung putih, semuanya bohong. Kalaupun benar, pasti mengandung merkuri.

Aku tidak mau menghancurkan masa tua dengan penampilan mengerikan. Kalau bisa biasa, kenapa harus luar biasa?

Ngomong-ngomong, sudah lama aku tidak menyenangkan diri sendiri. Mungkin aku akan singgah di kedai kopi dalam negeri sebentar. Kenapa aku sebut demikian?

Pemilik serta pekerjanya orang Indonesia. Biji kopinya diambil dari salah satu penghasil biji kopi terbaik di Indonesia, yakni Takengon. Tahu, kan? Letaknya di Aceh Tengah. Tempatnya asyik, pemiliknya ramah--kebetulan Abangnya sahabatku, dan harganya ramah di kantong pelajar.

"Subhanallah, kedai kopi gue bakalan berkah hari ini, gara-gara kedatangan cewek secakep Mbak Cleopatra!" sorak Bang Jack. "Long time no see, Zahra."

Aku langsung sungkem ala muslimah. "Apa kabar, Bang? Lama bener gak ketemu. Ameena gak di sini?"

"Baik, si Ameena lagi pusing sama tugas matematika. Katanya, kalian disuruh bikin tugas di kertas portofolio, ya? Udah, gak usah sekolah lagi. Mending kerja di kedai kopi gue. Syukur-syukur bisa gue ajak ke Takengon buat ambil biji kopi."

Bang Jack langsung terjun sendiri ke Takengon. Ia akan meninjau terlebih dahulu sebelum membeli. Tujuannya, untuk mengatasi biji kopi tidak berkualitas. Walau tempatnya Aceh, yang tempatnya berhias syariat dan bernapaskan Islam, siapa bisa menjamin bila adanya kecurangan?

"Jangan nyebar ajaran sesat sama anak kecil. Gue ke sini mau ngopi," ujarku sambil tersenyum geli.

Bang Jack mengarahkanku ke sudut terbaik di kedainya. Dekat pantry. Selain bisa bercakap-cakap dengan bebas, aku juga tidak terlalu suka keramaian.

Berada di tempat yang disesaki oleh banyak orang, membuat kepalaku pusing. Pusing yang tidak butuh obat, selain ketenangan. Syukur, Bang Jack sangat memahamiku.

Namun, sebelum duduk, aku melihat sesosok yang begitu akrab di mata. Papa, agaknya beliau sedang bercakap-cakap bersama seorang wanita anggun berambut hitam panjang terurai.

Mataku agak menyipit melihat Papa tampak nyaman. Bahasa tubuh mereka saling melempar kenyamanan, hingga di menit berikutnya, tangan mereka saling bertumpu di atas meja.

Aku tidak boleh menunjukkan kelemahan di depan orang-orang, bukan? Aku bukan tipikal anak yang akan lari saat melihat Papanya berselingkuh di belakang Mama lalu berakhir pada pertengkaran di rumah atau datang melabrak keduanya di tempat umum dengan harapan orang-orang akan membelaku.

Emosi boleh melampaui ketenangan seorang manusia, tapi tidak dengan akal sehat. Aku akan mendatangi mereka dengan satu cara cerdas khas Zahra.  Kutatap Bang Jack yang tidak menyadari perubahan pada diriku.

Ia melirik dan bertanya, "Ada apa?"

"Temenin gue, dong," pintaku sedikit merengek, seperti biasa.

"Ke mana? Jangan jauh-jauh, gue gak mau dinilai sebagai bos arogan yang pegawainya disuruh kerja, bosnya sibuk pergi entah ke mana."

"Gak jauh, Bang. Ke situ, doang. Tuh!" Aku menunjuk Papa dan kekasihnya.

"Mampus, gue lupa lagi ada Om Umar."

Gumaman Bang Jack terdengar sampai ke telingaku. Ah, rupanya dia sudah tahu sejak awal, kalau Papa nongkrong di sini bersama wanita itu. Ini kali ke-berapa, ya? Namun, tidak masalah.

Niat baik Bang Jack direalisasikan dengan sangat tulus. Pasti dia tidak ingin menyakiti hatiku dan Mama dengan memberikan informasi menyakitkan soal Papa selingkuh. Aku hargai itu.

"Mau temenin, gak? Mau aja, deh."

"Ya udah, ayo." Sebelum itu, Bang Jack memanggil salah satu pegawainya. "Bawain latte dingin ke meja sana. Gue mau temenin Zahra ngobrol."

"Oke, Bucin."

Panggilan Bucin tersemat secara tidak sengaja. Gara-gara Bang Jack memperlakukan aku secara istimewa setiap datang ke kedai kopinya, orang-orang sini menganggap aku adalah gadis pujaan Bang Jack.

Padahal, kami sudah saling mengenal sejak aku duduk di bangku SMP dan Bang Jack di bangku SMA. Itupun karena persahabatan aku dengan Ameena.

Namun, di antara kami, tidak ada yang mempermasalahkan panggilan itu. Asal tidak menimbulkan berita buruk saja. Toh, gara-gara Bang Jack dipanggil Bucin, aku bisa duduk di kedai kopi dengan nyaman tanpa ada yang mengganggu.

Awal-awal datang ke mari, pegawai Bang Jack genit sekali. Aku sampai mogok ngopi selama setahun karena takut. Sampai akhirnya Bang Jack tahu, barulah dia mengambil sikap begitu.

Aku tidak boleh jauh-jauh darinya. Seperti sekarang.

"Jangan aneh-aneh, ya?" pinta Bang Jack sebelum kami sampai di meja Papa. "Jangan berubah jadi maung, jangan coba-coba buat nyari masalah di tempat umum. Lo tetap di samping gue. Gak boleh melewati batas satu langkah pun!"

"Oke!" Aku mengangguk patuh. "Gue agak deg-degan. Baru kali ini menghadapi masalah pelakor-pelakor."

"Mau balik aja?" tawar Bang Jack serius. "Gue gak akan bilang sama Om Umar kalau lo mergokin mereka."

"Sstt!" Aku menempelkan telunjuk di bibir. "Tanggung."

Wajah Bang Jack masih khawatir, tapi saat kami sudah tiba di meja Papa, dia tetap berusaha bersikap biasa saja. Dia menggerakkan wajahnya seolah mengatakan, "Sapa mereka."

Sejenak, aku memejamkan mata. Yang teringat malah wajah Mama. Keberanianku tiba-tiba muncul disertai ketenangan yang luar biasa. Aku langsung duduk sembari menarik tali celemek Bang Jack.

"Hai, Papa."

Pegangan mereka terlepas saat sapaanku mengudara. Wajah Papa lucu. Tampak panik, tapi berusaha menetralkan ekspresinya. Aku belum berani menatap selingkuhan Papa karena takut kerasukan maung.

Salah-salah, Papa bisa marah besar kalau wajah kekasihnya kena cakar. Fatimah Az-zahra harus bersikap layaknya Ibu Peri berjiwa maung, maksudku berjiwa santun.

"Zahra, kok, di sini?" tanya Papa.

"Mau ketemu sama Bang Jack," jawabku sengaja.

"Ketemu Jack?" Tatapan Papa berubah tidak enak saat menatap Bang Jack. "Sepertinya, saya perlu bicara sama kamu, Jack."

"Iya, Om." Bang Jack menatapku lembut. "Bentar, ya? Gue mau ke situ dulu sebentar."

"Nanti bilangin sama pegawai Abang, gue udah haus banget. Biar lattenya cepet datang."

"Iya."

Sebenarnya, aku khawatir Papa akan melakukan sesuatu pada Bang Jack. Seorang Ayah bisa berubah jadi maung kalau putrinya didekati seorang pria. Terlebih lagi melihat interaksi aku dengan Bang Jack yang memberikan sinyal adanya hubungan di antara kami berdua. Pasti Papa menyangka kami pacaran.

Itu sebenarnya hanya trik saja. Aku suka mempermainkan orang yang terlebih dulu membuatku kesal.

Pasti Bang Jack bisa mengatasinya. Dia bukan pria bermental kerupuk yang gampang ciut saat digertak. Di dalam diri Bang Jack ada maung. Iya, maung.

Aku yakin sekali, seyakin Ida Ayu Nyoman Rai saat melahirkan Soekarno di tahun 1901. Memang tidak ada hubungannya, yang penting kalian tahu seyakin apa aku pada Bang Jack.

"Zahra lagi jalan-jalan, ya, di sini?" Kekasih Papa menyapa.

Aku mengalihkan pandangan ke arah wanita yang berpotensi menjadi ibu tiri di masa depan. Di situlah jantungku menyerah untuk berdetak saking takutnya diterkam maung Papa, eh, kekasih Papa.

"Bu Marsya?!"

Kenapa Harus Bu Marsya?

Di antara ribuan wanita di Jakarta, Bu Marsya yang menjadi maung, eh, selingkuhan Papa. Apakah Papa sangat kebelet selingkuh, tapi tidak laku makanya menggaet Bu Marsya, guru matematika di sekolahku?

Tidak juga, Papa merupakan juara di pemilihan Abang None saat masih muda dulu. Sampai usia empat puluhan pun Papa masih sangat ganteng. Apa karena kegantengan Papa menarik perhatian Bu Marsya, makanya mereka saling mencintai?

Creepy sekali hubungan percintaan dua orang dewasa ini. Ibarat kata, aku sedang menyaksikan rakit bambu sedang bersiap berlayar di lautan lepas.

Bila tidak ada gelombang maka pengemudinya akan disantap ikan hiu. Bila ada gelombang besar, akan karam dan tak sempat menatap cerobong asap di pelabuhan. Bila tidak ada aral melintang, bisa saja di tengah samudra ditelan pusaran air mematikan.

Beresiko sekali. Aku menatap Bu Marsya dengan tatapan kurang yakin. Serius, wanita itu akan melawan Kanjeng Ratu di rumahku?

Bukan bermaksud melecehkan penampilan seseorang, tapi Mama tidak bisa dibandingkan dengan Bu Marsya dari sudut manapun. Mata Papa mungkin mengalami rabun senja atau silindris. Kapan-kapan aku harus mengajaknya ke optik biar diperiksa. Barangkali, ada kacamata untuk menutupi bakat mata keranjang.

"Zahra, kok, kamu lihat saya kayak gitu?" Bu Marsya tersenyum agak takut.

"Hah? Kenapa, Bu?" Aku berkaca di layar ponsel tanpa mengubah ekspresi. Mengerikan sekali, seperti maung lapar yang disuguhi pemandangan daging kancil yang sudah busuk.

"Wajah kamu agak menyeramkan saat menatap saya tadi," ucap Bu Marsya.

"Ini standar, Bu. Kalau marah, saya berubah jadi maung."

Tanpa dinyana, ucapanku membuat Bu Marsya tertawa. Dikiranya, mungkin aku sedang bercanda. Padahal aku serius, Papa saksinya.

Aku pernah marah--dalam artian yang sesungguhnya, saat salah satu adik Mama memaksa Engkong dikremasi, padahal Engkong sudah Islam semenjak Mama mualaf dua puluh tahun yang lalu. Saat itu, aku benar-benar mengamuk dan nyaris membakar satu rumah kalau tidak dihentikan oleh Mama.

Aku tidak suka bila ada kegiatan usik mengusik. Terutama soal kehidupan. Masalah Bu Marsya yang menjadi selingkuhan Papa, aku bisa bersikap manis sembari memupuk kesabaran dalam hati--marahnya disimpan terlebih dahulu.

Aku akan menghukum Papa dan Bu Marsya dengan caraku sendiri. Bukan melibatkan emosi yang nantinya akan membakar orang-orang sekitar seperti sifat api.

"Bu Marsya lagi jalan-jalan juga?" tanyaku sopan.

"Iya, kebetulan ketemu sama Papa kamu. Jadi, kami mampir di sini sebentar untuk mengobrol biasa. Ya, seperti menjawab pertanyaan soal perkembangan kamu di sekolah."

"Iya, sih. Kayaknya, Bu Marsya cukup akrab sama Papa. Soalnya, pas saya sampai di sini, kalian pegangan tangan. Jangan begitu lagi, dong, Bu. Sebagai kawula muda, saya malu lihatnya. Ya, mungkin udah jadi kebiasaan Ibu terlalu akrab dengan orang, tapi jangan sampai pegangan tangan juga. Saya sama Bang Jack aja gak pernah bersentuhan tanpa sekat."

Celotehanku membuat wajah Bu Marsya pucat. "Kamu ngomong apa, sih?"

"Gak ngomong apa-apa. Lupain aja."

"Zahra, kamu sama Jack ada hubungan apa?"

"Aku sama Bang Jack? Emangnya Ibu kenal sama Bang Jack?"

"Saya hanya bertanya."

"Gak boleh nanya-nanya, Bu. Itu sok akrab namanya."

"Zahra!" sentak Bu Marsya. "Saya ini guru kamu. Harusnya, kamu menunjukkan sikap hormat terhadap orang yang mengajarkan kamu di sekolah!"

"Stop!" Aku mengangkat tangan kanan--nyaris mengenai wajahnya. "Ibu jangan marah-marah sama saya hanya karena saya gak kasih tahu apa hubungan saya sama Bang Jack."

"Zahra!"

Alih-alih memedulikan Bu Marsya yang tersinggung, aku malah menatap ke arah pintu keluar kedai. Barangkali, Bang Jack muncul dari sana untuk menemuiku dan membantu memberantas kebosanan yang melanda.

Sedikit pemberitahuan, Bu Marsya merupakan salah satu guru killer di sekolah. Aku sempat menaruh rasa hormat karena cara mengajarnya sangat menyenangkan walau dianggap killer.

Namun, dapat kupastikan, mulai dari hari ini aku akan mengenyahkan rasa hormat itu dari dalam hatiku. Percuma menjadi tenaga pendidik bila di samping mengajar, Bu Marsya merebut suami orang.

Merebut Papa dariku dan dari Mama. Itu merupakan perbuatan tidak menyenangkan. Aku tidak suka.

Saat aku tak sengaja melihat Bu Marsya, wanita itu tampak meletakkan tangan kiri di perutnya. Seperti tingkah wanita hamil yang melindungi kandungannya dari ancaman bahaya.

Dengan tatapan tajam aku menatap Bu Marsya. Kalau benar Bu Marsya hamil, berarti hubungan dia dengan Papa sudah sejauh itu?

"Wih, sorry. Gue telat bawain minumnya Incess!" Sahabatnya Bang Jack yang bekerja di sini berseru heboh, namanya Bang Udin--nama aslinya Benedict. "Lah, si Jack mana? Perasaan tadi dia pamit buat nemenin lo."

Aku menatap latte dan dua milkshake cokelat. "Gak masalah. Bang Jack agi ada urusan bentar, Bang. Ini pesanan siapa? Gue gak ada bilang mau milkshake tadi."

"Emang bukan lo yang pesan, Jack yang suruh lewat WA. Makanya lama karena bikin yang ini lagi."

"Bang Jack pengertian banget sama gue."

"Namanya juga bucin. Lo mau cemilan gak? Biar sekalian gue suruh bikinin? Mau apa? Sebutin aja. Kentang goreng, donat, kebab, roti canai, roti bakar, atau lo mau gue bawain samyang mozarella?" tawar Bang Udin serius.

"Kalau makan, gak kayaknya. Gue minta tolong bungkusin roti bakar cokelat sama samyang mozarella, ya? Masing-masing dua porsi."

"Sedikit amat?"

"Mama gue gak doyan makanan luar, apalagi yang berlemak. Mama vegetarian."

"Oke, nanti kalau mau balik, bilang ke gue biar gue ambilin. Udah, ya? Gue mau lanjut kerja. Gaji gue harus aman sampai akhir bulan buat bayar cicilan motor," seloroh Bang Udin.

Para pegawai Bang Jack perhatian sekali sama aku setelah kabar hoax beredar--kalau aku pacaran dengan Bang Jack. Mereka memperlakukan aku seperti adik sendiri, ketulusannya tampak jelas di mata masing-masing.

Walaupun begitu, Bang Jack mewanti-wanti untuk menolak ajakan ke luar dari mereka. Bukan tidak mungkin ada bisikan setan saat sedang bepergian. Aku sempat protes soal tuduhan itu, tapi dia tidak mau mendengar. Insting laki-laki tidak pernah salah, katanya.

"Mereka akrab sekali sama kamu, bahkan memperlakukan kamu layaknya ratu. Apa kamu sering datang ke mari atau bergaul di luar dengan mereka?" tanya Bu Marsya penuh selidik.

"Bu, laki-laki tahu mana yang pantas dijadikan ratu dan mana yang pantas dijadikan mainan. Saya ini bukan tipikal gadis gampangan yang menerima ajakan laki-laki dengan mudah. Tanya aja Papa, pasti Papa lebih mengenal saya dibanding Ibu," jawabku tenang.

"Saya gak bermaksud mengatakan kamu seperti itu," ujar Bu Marsya cepat.

"Saya juga gak merasa Ibu sedang mengata-ngatai saya. Bu, kata Mama, perempuan yang terlalu mudah 'dipakai' akan lebih mudah ditinggalkan." Aku memberi tanda kutip dengan jari ketika mengucap kata dipakai. Sengaja.

"Ya, kamu benar."

Ajaran Mama memang benar. Dilihat dari segi manapun tak ditemukan celah untuk dibilang salah.

Sejak tadi, aku sedang menahan diri untuk tidak marah-marah. Bukan mudah melakukannya. Mungkin, aku harus mengubah topik agar kepala tidak panas sebab dipaksa berhenti berpikir.

"Ibu suka es krim, gak?" tanyaku.

"Ah!" Bu Marsya kaget. "Ya, saya suka."

"Rasa apa?"

"Vanila. Kamu suka rasa apa?"

"Saya gak suka es krim." Sebenarnya aku suka, tapi gengsi kalau memiliki persamaan dengan maung, eh, selingkuhan Papa.

"Zahra!" Bang Jack memanggil dari kejauhan.

Aku mengembangkan senyuman. Akhirnya, Bang Jack balik juga. Matanya sedikit melebar saat melihat tiga minuman baru di atas meja. Aku tersenyum geli dan beralih menatap Papa, yang entah kenapa, ekspresinya tidak terbaca.

"Minumannya udah diantar? Siapa yang anterin?" tanya Bang Jack tanpa berniat bergeser dari sampingku. Dia langsung duduk dan membuat batas antara aku dengan Papa. Duh, baik sekali.

"Bang Udin, tadi Bu Marsya nanya, kenapa Bang Udin baik banget sama aku terus nge-treat aku kayak ratu. Apa aku sering ke sini atau ke luar bareng Abang sama yang lain. Mungkin Bu Marsya heran kenapa orang-orang sini pada baik sama aku," ceritaku dengan sengaja.

"Oh iya?" Kepala Bang Jack berputar ke arah Bu Marsya. "Selamat siang, Bu. Saya Jack. Maaf, tadi gak sempat kenalan karena mau ngobrol sama Om Umar. Zahra ini tipikal gadis tak tersentuh yang gampang bikin orang sayang sama dia. Makanya, saya berusaha jagain dia dari siapapun, tanpa pengecualian."

"Saya Marsya, gurunya Zahra di sekolah. Maaf, saya gak bermaksud menuduh Zahra atau apa," balas Bu Marsya ramah.

"Saya mengerti kekhawatiran seorang guru. Kebetulan, saya kenal Mamanya Zahra. Jadi, kami udah saling percaya. Saya cukup sering anterin Zahra pulang." Bang Jack kembali menatapku. "Minumannya mau dibungkus aja atau diminum sekarang?"

"Kok, buru-buru?" Aku merengut.

"Ngejar waktu, gue mau nganterin lo pulang, tapi mampir dulu di toko buku. Ada beberapa buku yang harus gue beli buat nyusun skripsi."

"Toko buku? Mau, mau. Sekalian nyari bacaan buat di rumah. Kalau gitu, minumannya bungkus aja, deh. Sekalian roti bakar sama samyang mozarella pesanan gue." Perbedaan usia kami empat tahun, Bang Jack sudah menyusun skripsi dan aku masih di bangku SMA kelas tiga.

"Pamit dulu sama Papa, sama Bu Marsya juga."

Aku berpura-pura menjadi anak manis. "Papa, aku pulang dulu, ya?"

"Kamu pulang sama Papa aja."

"Aku mau jalan-jalan sama Bang Jack. Lagian, Mama tahu Bang Jack gak bakalan aneh-aneh. Papa baru kenal, sih."

"Siapa tahu setan masuk pas kalian berduaan?"

"Kayak Papa sama Bu Marsya?" tembakku tak sabar.

Sinar mata Papa redup. "Zahra, apa maksud kamu?"

"Lupain, Pa. Aku asal ngomong aja. Pamit, Pa, Bu!"

Aku menyalami tangan mereka berdua dan langsung mengikuti Bang Jack ke kasir. Kali ini semua makanan yang aku pesan gratis, kecuali minuman.

Aku tahu Bang Jack mengajakku pergi karena hendak mengatakan sesuatu. Perihal pembicaraan dia sama Papa, misalnya. Atau hendak melarangku menceritakan kejadian hari ini pada Mama. Tanpa diminta, kejadian hari ini akan tetap menjadi rahasia.

Sesampainya di toko buku, Bang Jack tidak langsung masuk. Dia tampak sedang berpikir keras dan berbalik menatapku. "Apapun yang terjadi hari ini, gue harap lo gak bilang apapun sama Tante Dev."

"Kenapa?"

"Gue gak yakin sama permintaan barusan, tapi gue rasa hubungan Papa lo sama Bu Marsya bukan sekadar pacaran lagi. Gue juga gak yakin sama pemikiran gue sendiri, tapi gue janji bakal cari tahu soal itu."

"Bang Jack kenal Papa dengan baik. Bang Jack yakin bakalan nyari tahu soal Papa?"

Bang Jack mengangguk beberapa kali dengan tatapan nanar. "Gue tahu niat lo, Ra."

Aku menghindari tatapannya. "Niat apa? Gue gak lagi ngerencanain apa-apa."

"Percuma bohongin gue."

"Udah, ah. Ayo, masuk. Gue mau nyari novel Kang Abik." Aku melengos.

"Zahra!" panggil Bang Jack.

"Apa?"

"Tanpa gue gerak pun, lo pasti bakalan nyari tahu sendiri dan menjerat mereka dengan halus. Lo masih usia belasan tahun dan gak tahu dunia luar sekejam apa. Gue harap, jangan lakuin apapun yang nantinya malah bikin lo masuk ke dalam bahaya."

Aku tahu, Bang Jack akan melindungiku lebih dari apapun karena pertemanan kami. Akan tetapi, kalau diucapkan dengan nada tegas seperti itu, rasa-rasanya aku meleyot.

Bang Jack tipikal pria manis berkumis tipis, yang kalau tersenyum akan mengundang gadis-gadis manis untuk berbaris. Gula tebu, lewat. Reza Rahadian, lewat--sedikit. Apa aku bilang sama Mama, untuk mengadakan acara pertunangan segera?

"Dengerin gue, gak?"

"Iya, Bang." Gak janji, sambungku dalam hati.

Support System

Berbelanja buku adalah hal yang paling aku suka. Semua orang tahu, Fatimah Az-zahra penggila buku. Apapun genre dan jenisnya, pasti aku baca. Bang Jack adalah salah satu orang yang sering sekali menghadiahkan buku--pernah mengirimkan paket sebesar kardus bekas dispenser yang isinya buku semua.

Makanya sekarang aku curiga, tujuan Bang Jack mengajakku ke toko buku bukan untuk mencari bahan skripsi, melainkan menenangkanku dari emosi.

Bukan omong kosong, buktinya Bang Jack berlama-lama di rak bagian novel, mampir di buku bisnis, dan menetap di rak berisi ratusan komik.

Aku, lebih memilih mencari buku non-fiksi. Kali ini aku mendapat lima buku tentang alam semesta, lima buku  dan lima buku sejarah Islam dunia. Total harganya jangan ditanya, apalagi sampai julid dengan mengatakan aku penghabis harta orang tua.

Sejak SD, aku langganan Olimpiade. Setiap mengikuti pelatihan sampai hari lomba, ada uang saku yang lumayan untuk memenuhi dahaga buku.

Bulan lalu, aku baru saja memenangkan Olimpiade Sains bidang Biologi tingkat provinsi. Sayang, ketika mewakili provinsi aku harus kalah dan merelakan podium pertama ditempati oleh perwakilan dari Banda Aceh--aku juara tiga.

Lucunya, aku belajar sampai mimisan dan sibuk memberi semangat Ameena. Dia mewakili provinsi di bidang matematika. Entah apa yang dia makan sampai-sampai jago luar biasa di bagian menghitung--mungkin itu sebabnya dia sangat perhitungan.

Aku, jangankan mengikuti Olimpiade bidang yang dibenci oleh ummat pelajar satu dunia, diberikan pekerjaan rumah saja rasanya dunia mulai runtuh. Pusing.

Kembali ke cerita. Setelah mati-matian belajar, sampai hidung mimisan dan rambut rontok banyak, aku kalah. Mama sampai memanggil psikolog ke rumah saking takut anaknya depresi. Bagaimana tidak? Impianku adalah menang. Harus menang.

Namun, saat mewakili provinsi aku selalu kalah. Itu artinya aku kurang keras belajar atau akunya yang tidak hoki? Setiap mengingat itu, aku emosi.

Dengan kesal kubanting keranjang berisi buku ke kasir dan duduk di lantai. Bang Jack terdiam, dia ikut berjongkok di sampingku--walau tetap menjaga jarak.

"Ada apa? Masih marah soal tadi?" Suaranya sangat pelan saat bertanya.

"Kenapa aku harus kalah di Olimpiade kemarin?" Kepalaku pusing tiap memikirkan podium dan piala juara satu direbut orang lain.

"Ya, mungkin biar lo gak jadi orang gila kali. Ameena cerita sama gue, lo orang yang paling keras belajarnya setiap pembekalan."

"Nah, gue udah belajar sampai ubun-ubun gue mau habis gara-gara menguap. Kenapa masih kalah juga?"

"Gini, ya, Tuan Putri. Usaha lo aja udah cukup buat sekolah, gue yakin itu. Mereka pasti terharu ngelihat lo mau kerja keras demi menang. Jadi, gak usah terlalu dipikirin."

"Gue, kan, punya otak. Gimana bisa Abang suruh jangan mikir?"

"Sebenarnya, kekalahan lo cuma alasan, kan?"

"Maksudnya?"

"Lo marah karena Papa lo kepergok selingkuh, terus lo nyari alibi biar bisa marah-marah. Bener dugaan gue?"

"Gak ngerti, ah." Lebih tepatnya, aku tidak mau mengerti.

Kasir menegur kami agar tidak terlalu lama berdiam di sini. Pembeli lain terhalang saat hendak membayar. Dengan wajah lesu, aku bangkit dan membayar semua harga buku.

Untung Bang Jack ikut. Kalau tidak, aku harus membawa lima belas buku sendirian. Memang hanya sebesar novel, beberapa memiliki ukuran sedikit lebih besar dari itu. Namun, beratnya minta ampun.

Mungkin kalau aku bertemu orang gila di jalan, tinggal timpuk pakai buku yang kubeli. Dijamin orang gila itu akan pingsan dan memilih jalan lain setiap bertemu denganku. Begitulah kira-kira penjelasan seberapa berat beban yang dibawa Bang Jack.

Pria itu santai saja. Beban di gym lebih berat dari buku-buku ini. Buat orang yang terbiasa olahraga, beban segitu seperti menimang upil di atas jari telunjuk. Ringan.

Aku ke luar dari mall dengan perasaan campur aduk. Di sini, Bang Jack menemaniku menunggu taksi online. Pernyataan bila Bang Jack akan mengantarku pulang hanya alibi semata, agar aku terbebas dari cengkeraman atmosfer mengerikan bersama Papa.

Jujur, aku bersyukur sekali bisa menjauh dari dua orang yang sedang pubertas itu. Sedikit lebih lama lagi berada di sana, kemungkinan besar meja itu sudah terbalik dan Papa akan menanggung malu karena putrinya mengamuk di tempat umum.

Bang Jack tidak seperti Papa. Dia akan menolak mengantarku walau diminta. Sebaliknya saat ada Ameena, Bang Jack akan memaksa. 

Bukan hendak bermuka dua atau apa, pria itu hanya sedang menjaga martabat kami berdua. Dia selalu memikirkan mudharatnya sebelum melakukan sesuatu.

Nah, biasanya Bang Jack akan menunggu taksi online datang dan memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa aku aman bersama sopir taksi. Seperti yang dia lakukan sekarang.

Setelah aku pergi, katanya Bang Jack akan bersiap-siap ke bandara. Ia sudah membeli tiket ke Banda Aceh, dan menyewa travel dari Banda Aceh ke Takengon. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk meninjau biji kopi.

Aku curiga, Jangan-jangan Bang Jack punya kebun kopi sendiri di sana. Buktinya, rela bolak-balik Jakarta-Aceh tiap bulan.

Sebelum taksi online datang, aku menatap Bang Jack. "Tadi, Papa ngomong apa ke Abang? Kenapa harus pergi ke tempat lain?" tanyaku serius.

"Sepulang dari Aceh, Abang ceritain semuanya," jawab Bang Jack singkat.

"Kapan pulang dari Aceh?"

"Seminggu lagi."

Aku berdecak. "Lama banget. Kalau gitu, nanti kalau udah pulang kabarin, ya? Atau Abang mau datang ke rumah juga, silakan. Yang penting ngabarin dulu, biar aku lihat kondisinya. Kalau lagi gak ada Mama, nanti Abang bisa ajak Ameena."

"Ameena gak boleh tahu masalah kamu!" tegas Bang Jack.

"Kenapa? Ameena sahabat aku dari SMP."

"Zahra, sedekat apapun kalian, jangan saling mengumbar kabar rumah. Gak baik."

Aku berpikir sejenak dan menimbang-nimbang. Mungkin, Bang Jack ada benarnya.

Taksi online pesanan Bang Jack tiba. Sebelum masuk, aku memastikan sesuatu terlebih dahulu.

"Bang Jack yakin mau selidiki tentang Papa? Papa gak bisa dicampuri hidupnya, Bang. Aku kenal Papa dengan baik karena aku duplikatnya Papa," ucapku cemas.

"No, Abang gak akan kenapa-napa. Kamu jangan ngelakuin apapun sampai Abang pulang dari Aceh."

"Misalnya?"

"Ngasih obat pencahar ke makanan atau minumannya guru kamu itu."

"Ngasih pencahar ke maung, eh, pacarnya Papa?" Kedua alisku menyatu, Bang Jack malah memberikan ide bagus.

Seolah tahu apa yang aku pikirkan, pria itu melotot. Aku nyengir dan berusaha meyakinkan dia. Tidak akan terjadi apa-apa sampai Bang Jack kembali, setidaknya aku tidak akan melakukan hal ekstrem seperti yang Bang Jack sebut tadi.

Aku melambai-lambai heboh sebelum Bang Jack menutup pintu taksi. Perhatiannya membuat perutku bergemuruh.

"Lapar, Neng?" Sopir taksi menoleh ke belakang.

"Hah? Gak, kok, Pak." Aku maung, Pak. Bukan manusia.

"Ya udah, saya izin nyalain musik, ya?"

"Silakan, Pak."

Sopan sekali Pak Sopir ini. Mau menyalakan musik saja minta izin terlebih dahulu.

Ketika dentuman DJ memenuhi satu mobil, aku tersentak. Bapak itu nyengir dan mengatakan, "DJ itu support saya, biar makin semangat kerjanya."

Oh, begitu.

Rumahku berada di kawasan Menteng. Jangan tanya tepatnya di mana, aku takut kalian akan mendatangiku dan menanyakan banyak hal--apalagi melamar. Aku mau fokus pada masalah keluarga, khususnya Papa dan maung, selingkuhan maksudnya.

Taksi yang aku tumpangi bagai merangkak saat hampir tiba di depan rumah. Usai mengucapkan terima kasih pada sopir yang mirip Freddy Mercury itu, aku langsung menghambur masuk ke dalam rumah.

Di waktu siang menjelang sore, Mama pasti sedang menyejukkan body dan hati dengan menonton drama Korea. Aku heran, menjelang usia empat puluhan, Mama malah semakin mengikuti trend kekinian.

Orang lain cat rambut, Mama sewa satu salon selama dua puluh empat jam. Orang lain custom baju, Mama berusaha tidak ketinggalan. Orang lain beli sepatu baru, Mama malah memenuhi satu kamar dengan sepatunya.

Mulutku sudah lelah mengingatkan, agar Mama tidak terlalu boros dalam membeli barang. Bukan apa, takutnya malah tidak digunakan. Ukuran kakiku lebih kecil dari kaki Mama, badanku pun jauh lebih kecil dari Mama yang tinggi dan proporsional--seperti Luna Maya. Siapa yang akan memakainya nanti?

Namun, di balik semua itu, aku tahu Mama sedang menikmati hasil jerih payahnya. Sejak muda--usia dua puluhan, mendiang Engkong bilang Mama sudah mencari uang sendiri. Setiap ada festival fashion, nama Devi Maharani pasti tercatat sebagai salah satu model berbakat di era delapan puluhan.

Di masa tuanya, Mama pasti ingin memanjakan diri dengan tabungan yang entah berapa isinya. Aku memaklumi. Hanya saja, sebagai anak aku tetap berusaha mengingatkan Mama supaya tidak berlebihan.

Wajah Mama awet muda. Bila baru bertemu, tak seorangpun yang menyangka beliau sudah mempunyai anak gadis berusia delapan belas tahun.

Kadang-kadang, di tempat umum aku suka dianggap sebagai adik, sepupu, atau keponakannya Mama. Mengerikan sekali. Memangnya wajahku tidak cocok jadi anak usia delapan belas tahun, kah?

"Hai, Sayang. Udah selesai belanjanya?" Mama menyapa dari atas sofa gantung di ruang tengah.

Di pangkuannya, ada laptop putih kesayangan--dapat dipastikan benda itu sedang memutar konser atau drama negeri Ginseng.

Aku menyalami Mama sembari mengucap salam lalu duduk di sebelahnya. Dugaanku benar. Mama sedang menonton drama kolosal yang dibintangi artis-artis berbakat dari Korea.

Sebenarnya, aku tidak pernah mempermasalahkan orang-orang yang mabuk K-Pop. Terserah mereka mau menyukai apa, itu bukan urusanku selama tidak meminta uang padaku.

Masalahnya, ada beberapa orang yang terlalu fanatik sampai mendewakan mereka ketimbang orang tuanya. Aku tidak terlalu suka K-Pop, tapi tidak membencinya. Dalam artian, ada beberapa film sarat pendidikan yang aku sukai.

Mamaku ini sudah sangat fanatik. Nyaris gila, mungkin. Allah tidak menyukai orang-orang fanatik.

"Beli apa aja tadi?" tanya Mama sambil menjeda sejenak filmnya.

"Banyak, Ma. Skincare, lima belas buku, dua porsi mie goreng mozarella, dua porsi roti bakar cokelat, dua milkshake cokelat, sama satu latte. Minumannya udah habis di jalan, macet parah. Bikin gerah aja," ceritaku.

"Beli buku lagi? Mana bukunya?" Mata Mama mencari-cari. "Cuma segini makanannya? Bukunya mana?"

"Di depan, Ma. Berat, aku gak bisa bawa masuk semuanya. Nanti aja waktu udah mandi. Mama lagi ngapain? Nonton drama Korea lagi?"

Tiba-tiba, senyum Mama berubah cerah. "Dek, Mama udah beli tiket buat pergi konser VTS di New York. Kamu mau ikut, kan? Ayolah, temenin Mama!"

"Ya Allah, Mama!" Aku geleng-geleng kepala. "Ingat usia, Ma. Mama itu udah mau empat puluhan. Tulang-tulang Mama pasti udah gak kuat dibawa loncat-loncat. Nanti kalau Mama encok di sana, gimana?"

Tangan Mama mendarat di punggungku. "Mama gak setua itu, ya!"

"Ih, Mama dikasih tahu gak percaya. Aku mandi dulu, deh. Gerah. Oh iya, Mama dapat salam dari Bang Jack!" Aku bangkit dan hendak pergi ke kamar.

"Salamin balik, ya? Menantu Mama makin hari makin romantis aja."

Aku bergidik ngeri sembari berlari. Takut dipaksa Mama pergi konser lagi. Tahun ini aku harus bebas. Tidak akan ke mana-mana, kecuali atas kemauan diri sendiri.

Kakiku semakin cepat saat mendengar suara Mama memanggil.

"Dek, jadi gimana? Mau ikut Mama gak?!"

"Deeekk! Ya Allah, punya anak satu begini amat, ya?"

Gerutuan Mama terdengar sampai kamar. Aku pura-pura tidak mendengar, sembari meletakkan makanan di atas meja belajar, aku berpikir sejenak. Bapak sopir tadi mengaku DJ adalah support-nya. Apa K-Pop, K-Drama dan semacamnya menjadi support system Mama?

Terus, aku apa? Jangan-jangan, support-ku selama ini adalah Bang Jack dan Ameena. Mungkin benar, aku dan Ameena akan segera besanan. Maksudku, menjadi ipar.

"Oh, terus support Papa apa? Maungnya, si Bu Marsya?!" Aku melotot kesal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!