NovelToon NovelToon

Dinikahi Pria Beristri

Tamu Asing

"Naa...!!" seorang lelaki berteriak memanggil temannya yang sedang mengobrol dengan temannya yang lain.

Perempuan yang merasa dipanggil namanya itu membalas dengan lambaian tangan. Tak lupa juga dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.

"Dari tadi?" tanya perempuan itu setelah menghampiri teman lelakinya

"Enggak juga. Sudah selesai belum?" lelaki itu balik bertanya.

"Eeem, sudah." balasnya.

"Yuk, aku antar pulang. Sudah mau sore ini." kata lelaki itu sambil melihat jam tangannya.

"Oke."

Mereka adalah Liana dan Damar. Dua sejoli yang terkenal sangat dekat di kampus. Karena saking akrabnya, mereka kerap kali dikira pasangan kekasih.

Setelah menempuh jarak hampir 30 menit, akhirnya mobil yang dikendarai Damar sampai di jalan menuju rumah Liana. Dari kejauhan tampak mobil ayah Liana di halaman.

"Ayahmu sudah pulang rupanya." ujar Damar.

"Ah, iya. Beberapa hari ini ayah memang selalu pulang lebih awal. Katanya tidak banyak pekerjaan di kantor." jawab Liana.

"Oh..." sahut Damar.

"Akhirnya, sampai juga. Capek banget..." gumam Liana.

"Tinggal duduk manis saja capek. Lebay...!!" balas Damar.

"Otaknya capek, bro. Seharian full tugas. Ya sudah, aku turun ya. Terimakasih yaa..., Damar yang baik hati dan tidak sombong...!!!" ujar Liana sambil memamerkan senyum dan mengedipkan matanya.

"Iya. Sudah, buruan turun sana!" kata Damar

Setelah mobil Damar berlalu, Liana bergegas masuk ke rumah.

"Ayah...!!" seru Liana ketika berada di dalam rumah.

Pak Gani, ayah Liana, keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi.

"Sudah pulang?" begitu sapa ayahnya.

"Ayah buat kopi sendiri, ibu dan Rosa memangnya kemana?" tanya Liana.

"Entahlah, ayah sampai mereka sudah tidak ada." jawab pak Gani

"Ooh..., kalau begitu aku ke kamar dulu ya." kata Liana.

"Iya, nak."

Liana menoleh ke arah ayahnya yang sedang duduk di ruang makan. Dia menatap nanar bagian belakang tubuh sang ayah.

"Andai bunda masih hidup. Dan andai saja ayah tidak menikah lagi. Mungkin ayah tidak akan seperti ini. Maafkan aku ayah, aku masih menjadi beban hidup ayah."

Liana kemudian masuk ke kamarnya dengan mata berkaca-kaca.

......................

Tok... Tok... Tok...

Malam itu pintu rumah pak Gani diketuk oleh seseorang. Pak Gani terpaksa menghentikan pekerjaannya sejenak. Dan pergi membuka pintu.

"Selamat malam, bisa bertemu dengan nyonya Ranti?" ujar seseorang dengan setelan hitam dan wajah garang.

"Dia sedang tidak di rumah. Ada apa ya? Mari masuk dulu..." ajak pak Gani.

Pak Gani sangat tahu, tiga orang tinggi besar yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Pak Gani merasakan firasat yang tidak mengenakkan malam itu

Ketiga pria garang itu memasuki rumah sederhana milik pak Gani. Lalu duduk di sofa jadul dengan sopan setelah dipersilahkan.

"Maaf sebelumnya pak. Kalau kedatangan kami mengganggu bapak. Karena kami harus bertemu dengan nyonya Ranti." ujarnya.

"Iya, pasti ada hal yang sangat penting sehingga kalian datang malam-malam begini. Ada apa? Katakan saja, saya suaminya." balas pak Gani.

"Jadi begini, pak. Nyonya Ranti membawa kabur uang bos kami senilai 500 juta."

DEG...!!

"APA...?!" seru pak Gani. "Li..., lima ratus, ju..., juta...?!!"

"Betul sekali, pak. Nyonya meminjam uang tersebut dengan dalih untuk membuka usaha. Dan akan dikembalikan dalam tempo satu bulan. Tapi ini sudah hampir dua bulan, dan nyonya Ranti tidak bisa dihubungi. Toko yang katanya dia dirikan ternyata juga palsu. Ketika kami ke lokasi, di sana hanya ada gedung kosong terbengkalai."

"Eesshhh...!" pak Gani tampak sedikit meringis menahan sakit sambil memegang dadanya.

"Bapak kenapa?" orang yang sedari tadi berbicara itu menatap lekat pak Gani.

"Tidak apa-apa. Hanya sedikit kurang enak badan. Kalian tinggalkan saja nomor telepon, saya akan hubungi kalian kalau dia kembali." tutur pak Gani.

"Tidak bisa seperti itu, pak. Setidaknya bapak memberi kami jaminan untuk hutang nyonya Ranti. Kami kesini untuk menagih hutang!" tandas pria itu.

"Tolonglah, kecilkan suara kalian...!" suara pak Gani semakin terdengar parau.

Melihat kondisi pak Gani yang tampak semakin pucat dan wajahnya berkeringat. Seseorang dari mereka memberi isyarat untuj pergi.

"Baiklah, katakan pada nyonya Ranti kami akan datang kembali."

Sepeninggal tiga tamu tak diundang itu, pak Gani tampak semakin meremas dadanya. Karena rasa sakit yang menjalar, juga amarah yang membuncah karena ulah istrinya.

Sementara di luar sana, Liana yang baru pulang dari minimarket dibuat penasaran dengan sebuah mobil yang beranjak dari depan rumahnya.

"Siapa ya...? Perasaan baru pertama ini mobil itu bertamu."

Liana terus menatap kepergian mobil hitam itu sebelum dia memasuki halaman rumahnya.

"Ayah, habis kedatangan ta..." ucapan Liana menggantung karena dia melihat sang ayah yang tengah merintih kesakitan.

"Ayah...!!!"

Plastik berisi belanjaan dia jatuhkan begitu saja. Dia berlari menghampiri ayahnya.

"O..., obat..." ujar pak Gani dengan suara lirih.

Liana yang paham betul kondisi sang ayah, segera berlari ke kamar untuk mengambil obat ayahnya.

Tak lama kemudian dia kembali membawa obat juga segelas air.

"Ayah istirahat dulu di sini ya." Liana menata bantal di atas sofa agar ayahnya bisa tiduran.

Liana tidak ingin bertanya apapun. Dia akan bersabar sampai kondisi sang ayah membaik. Dengan telaten Liana memijat kaki dan tangan ayahnya. Hingga pada akhirnya sang ayah terlelap.

Liana kemudian mengunci pintu. Tak peduli meskipun ibu dan saudara sambungnya belum pulang. Dia juga tidak berkeinginan untuk menghubungi mereka. Dia justru mengirim pesan pada sahabatnya, Damar. Setelah membereskan barang belanjaannya.

Liana : Ayah kambuh, Mar. Tapi sekarang sudah tidur setelah minum obat.

Damar : Mau dibawa ke RS tidak?

Liana : Ayah menolak, mau istirahat saja di rumah.

Damar : Baiklah. Kalau ada apa-apa kamu segera telepon aku ya.

Liana : Iya, Mar. Thanks ya

Damar : Iya. Sekarang kamu istirahat, jangan sampai sakit juga.

Selepas berkirim kabar pada Damar, Liana menarik selimut sang ayah. Kemudian dia mendaratkan tubuhnya di sofa yang dekat ayahnya.

"Apa yang terjadi...? Kenapa tiba-tiba sakit jantung ayah kambuh...? Apa ada hubungannya dengan tamu tadi...??"

"Kemana pula duo wanita sok iye itu pergi? Masa sampai jam segini belum pulang. Dasar benalu. Jadi anggota keluarga bukannya ngurusin keluarga. Malah sok sibuk dan jarang di rumah. Ayaaah..., ayah kenapa sih bisa menikah sama itu orang? Kan gini jadinya. Makan ati...!!!"

Liana terus bermonolog hingga rasa kantuk menghampirinya. Dan akhirnya dia tertidur dengan posisi meringkuk di sofa. Dia tidak ingin jauh-jauh dari ayahnya. Karena khawatir nanti ayahnya terbangun dan butuh sesuatu.

......................

Ayah Jatuh Sakit

Pagi-pagi sekali Liana sudah sibuk di dapur. Dia memasak bubur untuk pak Gani yang kondisinya masih lemah. Tak lupa juga menggoreng nasi sisa semalam untuk dia sarapan.

Setelah bubur siap, Liana mengantar bubur itu ke kamar. Iya, habis subuh tadi pak Gani terbangun dan dia pindah ke kamarnya.

"Sarapan dulu, yah." Liana menaruh bubur di atas nakas.

"Terimakasih, nak." balas pak Gani yang sedang memandangi ponselnya.

"Apa ibu sudah memberi kabar?" tanya Liana kemudian.

"Nomornya tidak bisa dihubungi. Rosa juga." kata pak Gani.

Suaranya yang terdengar pelan, menandakan bahwa pria dewasa itu masih dalam kondisi kurang sehat.

"Nanti biar aku coba hubungi teman Rosa." ujar Liana untuk membuat hati ayahnya senang.

Dalam hati Liana kembali bertanya-tanya. Kenapa mereka tiba-tiba tidak ada kabar?

"Ayah tidak perlu memikirkan mereka. Untuk saat ini yang terpenting adalah kesehatan ayah. Bagaimana kalau kita ke dokter, yah? Dokter lebih tahu keadaan ayah, jadi nanti penanganannya juga lebih tepat." Liana terus berceloteh.

Pak Gani tersenyum melihat putrinya seperti itu. Mengingatkan dia akan almarhumah istrinya, ibu kandung Liana.

"Kenapa ayah senyum-senyum begitu?" protes Liana.

"Kamu mirip sekali dengan bundamu. Cerewetnya bisa sama begitu..." ujar pak Gani, masih dengan senyum yang sama.

"Ayah ini..." balas Liana. "Aku ini lagi serius malah dibilang cerewet." katanya.

"Terimakasih sudah sangat perhatian sama ayah." pak Gani mengusap lembut rambut putrinya.

"Kamu tidak kuliah?" tanya pak Gani setelahnya.

"Aku izin dulu deh, yah. Nanti ayah nggak ada yang jagain." jawab Liana.

"Pergilah. Ayah bisa jaga diri." sang ayah berusaha menenangkan Liana.

"Jaga diri modelan apa?!" tandas Liana. "Semalam aku tinggal sebentar ke minimarket depan saja, papa jatuh sakit begini." ujar Liana.

Dia sengaja bicara seperti itu. Lantaran rasa penasaran yang semakin menggelitik pikirannya. Ayah hanya tersenyum pada putrinya itu.

"Jika ayah katakan padamu. Ayah khawatir kamu akan semakin membenci ibu dan saudaramu, nak..."

......................

Karena paksaan dari ayahnya, Liana pun tetap berangkat ke kampus. Saat di kampus, setiap ada kesempatan, dia selalu mencoba menghubungi Rosa dan beberapa temannya yang dia kenal.

"Kenapa bengong?" tanya Nunik pada Liana.

"Bu Ranti dan Rosa tiba-tiba menghilang. Aku sedang berusaha mencarinya." balas Liana yang masih sibuk berkutat dengan benda pipih di tangannya.

"Menghilang atau minggat?!" sahut Nunik.

Sontak saja Liana menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Nunik dengan tatapan yang aneh.

"Apa maksudmu mengatakan minggat?!" tanya Liana kemudian.

"Iyaa, kan kamu sendiri bilang kalau ibu tirimu itu tidak tulus. Dia hanya ingin memanfaatkan ayahmu. Apa mungkin dia minggat setelah berhasil mengambil beberapa barang berharga dari rumahmu." begitulah penjabaran dari Nunik.

"Tabungan..., atau sertifikat tanah dan rumahmu gitu...?!" imbuhnya.

"Ada benarnya juga. Coba nanti aku cek." Liana manggut-manggut.

Liana benar-benar baru kepikiran soal itu setelah Nunik berbicara. Dia yang awalnya cuek dengan kepergian dua perempuan itu, tiba-tiba menjadi sangat khawatir.

"Aku dengar dari Damar, ayahmu sakit ya?" tanya Nunik.

"He'em." Liana mengangguk. "Semalam mendadak jantungnya terasa nyeri lagi. Tapi pagi tadi sudah lebih baik."

"Apa mungkin om Gani shock karena mengetahui ibu dan adikmu pergi begitu saja?" otak Nunik mulai aktif berasumsi.

"Entahlah, Nik. Semalam itu aku melihat ada mobil aneh yang pergi dari rumahku. Sebelum aku menemukan ayah jatuh sakit." ujar Liana.

"Apa om Gani benar-benar tidak mengatakan sesuatu padamu?" Nunik kembali bertanya bak seorang polisi yang sedang menginterogasi.

Liana menggelengkan kepalanya.

"Ini semakin menarik." Nunik tersenyum miring.

"Maksudmu...?!!" otak seakan tak bisa menjangkau jalan pikiran sahabatnya itu.

"Kayak di sinetron dan novel-novel ini sih. Ban..."

"Aaah, Nunik...!!!" geram Liana memotong begitu saja kalimat yang akan diucapkan oleh Nunik.

"Ini itu kenyataan. Real. Bukan novel apalagi sinetron." tambahnya.

Nunik hanya memanyunkan bibirnya. Tapi Liana tidak benar-benar marah. Dia sudah memahami temannya itu. Yang memang suka terbawa suasana karena hobinya nonton sinetron dan membaca novel.

......................

Entahlah apa yang sedang terjadi, beberapa hari ini Liana selalu disambut dengan kejutan setiap kali tiba di rumah. Dan kali ini dia di sambut oleh bu Maya, ibu RT di tempat tinggalnya.

"Kok bu Maya duduk di luar saja? Apa ayah masih tidur kali ya." begitu gumam Liana.

"Liana...!" bu Maya segera bangkit dari duduknya setelah melihat Liana memasuki halaman rumah.

"Akhirnya kamu pulang, nak. Ibu telepon kamu dari tadi, tapi HP kamu tidak aktif." katanya.

"Ada apa, bu?!" Liana mulai merasa ada yang tidak beres, saat melihat wajah panik bu RT.

"Ayahmu dibawa sama warga ke rumah sakit."

"Ayah?!" Liana benar-benar kaget.

"Simpan buku-bukumu, ayo kita susul ke sana!" ajak bu Maya kemudian.

"Iya, bu. Tunggu sebentar."

Liana memasuki rumah yang sudah kosong itu dengan sedikit berlari. Dia menaruh tas kuliahnya begitu saja. Kemudian mengambil tas selempang kecil untuk wadah HP dan dompetnya.

Tak perlu menunggu lebih lama lagi. Bu Maya langsung mengajak Liana pergi. Setelah memastikan rumah terkunci dengan aman.

"Tadi warga melihat ada beberapa orang baju hitam-hitam datang ke rumahmu. Dan terdengar samar-samar percekcokan, Na. Lalu beberapa saat setelah mereka keluar, ada yang mencoba melihat rumahmu. Karena ayahmu tak kunjung keluar untuk menutup pintu. Ternyata ayahmu sudah tergeletak pingsan. Tapi tidak ada luka-luka." begitu cerita bu Maya, sesuai dengan apa yang dia dengar dari para saksi.

"Siapa mereka?" ujar Liana lirih.

"Apa itu orang yang sama, yang semalam sempat datang...?!"

Pertanyaan demi pertanyaan yang belum menemukan jawaban, terus memenuhi kepala Liana. Hingga tanpa dia sadari, mobil yang dikendarai bu Maya sudah memasuki area rumah sakit.

Bu Maya mengajak Liana masuk begitu saja, karena wanita paruh baya itu sudah mendapat laporan dari sang suami mengenai kamar rawat pak Gani.

Liana melongo tatkala mendapati ayahnya berada di lantai kamar VVIP. Tapi untuk sementara dia berusaha mengabaikan keterkejutannya untuk kesekian kalinya.

"Ayah...!!!" Liana berlari, lalu memeluk ayahnya yang sedang terbaring lemah.

"Ayah baik-baik saja. Jangan menangis..." ujar pak Gani pelan.

"Apa yang terjadi, yah...?!" tanya Liana sambil mengusap air matanya. Pak Gani hanya menggelengkan kepalanya.

Pak RT dan beberapa warga pamit undur diri beberapa saat setelah kedatangan Liana. Bu RT menawarkan diri untuk menemani Liana, namun Liana menolak dengan sopan. Dia merasa sungkan kalau harus merepotkan orang lain.

"Baiklah, kalau begitu kami pamit. Tenangkan hatimu ya, Na. Semua akan baik-baik saja. Kalau ada apa-apa, atau butuh sesuatu kamu hubungi ibu ya." bu Maya mengusap pundak Liana dengan lembut.

"Terimakasih bu Maya." balas Liana.

Sore harinya saat Liana kembali dari kantin. Dia melihat pria-pria setelan hitam berbadan tinggi tegap berdiri di depan pintu kamar ayahnya. Namun, kali ini mereka tampak lebih rapi dan berkelas. Tidak seperti orang-orang yang dia lihat sekilas malam itu. Liana menghembuskan nafas dengan kasar, sebelum mendekati mereka.

"Kalian ini siapa? Kenapa berdiri di sini?" tanya Liana.

"Maaf, nona. Kami hanya sedang berjaga. Tuan kami berada di dalam bersama orang tua nona." jawab salah seorang dengan sopan.

"Wajahnya garang sih, tapi mereka sopan sekali." batin Liana.

Tanpa banyak bicara lagi, Liana membuka pintu kamar itu. Dengan rasa penasaran yang tinggi, dia berjalan menuju bed ayahnya. Tampaklah seorang pria tua duduk di samping bed sang ayah.

"Liana..." ujar pak Gani dengan suaranya yang semakin serak.

Pria tua itu menoleh ke belakang. Memindai Liana dari atas sampai bawah, lalu dia tersenyum.

"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.

Deg...!!

Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.

......................

Kembalinya Ibu Tiri

"Sepertinya putrimu perlu penjelasan darimu, Gani." ujar pria itu. "Kalau begitu aku pergi dulu, bicaralah dengannya." imbuhnya.

"Iya, paman." jawab ayah Liana.

"Cepatlah sembuh, aku menantikan kedatanganmu di rumah." pria itu menepuk bahu pak Gani.

Pria itu beranjak dari kursinya dengan tongkat yang setia menemaninya.

"Jaga ayahmu dengan baik, nak." pesan pria itu pada Liana.

Liana hanya mengangguk kaku. Pikirannya seolah belum kembali dari kelananya. Dia menoleh ke belakang sampai pria asing itu benar-benar tak terlihat lagi.

"Ayah...?!" Liana menuntut penjelasan dari ayahnya.

Pak Gani hanya tersenyum.

"Apa ayah menjualku pada kakek-kakek itu? Ayah punya hutang dan aku jaminannya? Ayah menjodohkan aku dengan pria itu karena harta, iya...?!! Ayo katakan padaku, ayah...!!!" Liana benar-benar dibuat penasaran dengan ucapan kakek itu.

Lagi-lagi ayahnya tersenyum.

"Duduklah dulu, tenangkan hatimu, nak." tuturnya dengan lembut.

Liana yang patuh, mengikuti perintah sang ayah. Meski gerakannya terlihat canggung. Karena dia sangat takut dengan penjelasan yang akan ayahnya sampaikan sesaat lagi.

"Dengarkan ayah baik-baik. Pria tua itu adalah sahabat baik kakek dan nenekmu. Dia yang merawat ayah ketika ayah menjadi yatim piatu, karena paman dan bibi ayah hendak mengirim ayah ke panti asuhan." katanya.

"Lalu ayah memberikan aku padanya untuk balas budi begitu?!" sahut Liana yang kesabarannya setipis tisu dibagi dua.

"Nak..., sejak kapan kamu pandai memotong ucapan orang lain?" tegur sang ayah, tapi tetap dengan nada yang halus.

Iya, pak Gani adalah sosok pria yang lembut. Dan tidak pernah meninggikan suaranya ketika berbicara pada orang, terutama pada seorang wanita.

"Maaf, ayah..." balas Liana dengan suara lirih.

"Paman Sudibyo namanya. Sejak dulu menginginkan ayah dan bunda untuk tinggal bersamanya. Tapi ayah menolak, karena bundamu merasa canggung tinggal bersamanya. Ketika bunda meninggalkan kita, paman kembali datang dan ingin membawa kita bersamanya. Tapi ayah masih menolak. Dan saat ini, ayah harus mengambil keputusan terbaik buat kamu, nak. Karena ayah tidak mau kamu tinggal bersama ibu dan adik tirimu itu. Jadi alangkah baiknya kamu ikut bersama paman, kakek Sudibyo."

"Kan masih sama ayah juga tinggalnya. Lagian mereka juga sudah minggat." kata Liana.

"Nak..., cepat atau lambat mereka pasti akan kembali mencarimu. Ayah khawatir, saat itu tiba ayah tidak bersamamu lagi." ujarnya.

"Ayah..., ayah kenapa bicara seperti itu? Ayah akan baik-baik saja. Bukankah kakek itu orang baik. Aku yakin pasti yang membawa ayah ke kamar ini adalah dia. Dan dia juga pasti mengerahkan dokter-dokter terbaik untuk menyembuhkan sakit jantung ayah. Iya kan...??" Liana berbicara dengan penuh keyakinan.

"Kemarilah peluk ayah." kata pak Gani.

"Hidup dan matinya semua makhluk di dunia ini, adalah urusan Allah, nak. Dokter sehebat apapun tidak akan bisa melawan takdir. Ayah sudah ikhlas untuk pergi kapanpun. Karena sekarang ayah sudah menemukan orang yang bisa menjagamu lebih baik dari ayah." tuturnya.

"Ayah..." hanya rengekan yang keluar dari bibir Liana. Matanya pun kian basah.

"Aku takut ayah, jangan bicara seperti itu." kata Liana.

"Naiklah sini, berbaring bersama ayah." ujar sang ayah.

Liana pun berbaring di samping ayahnya. Pelukan dari tangan ayahnya yang semakin kurus tetap terasa hangat dan nyaman bagi Liana.

"Putri ayah sudah sebesar ini saja. Padahal rasanya baru kemarin ayah menggendongmu."

"Bagaimana kalau ayah menggendongku lagi." Liana berusaha menghibur hati yang saat ini sedang gamang.

"Ayah rasa, ayah sudah tak sekuat itu." pak Gani mempererat pelukannya.

Obrolan mereka semakin santai. Hingga Liana melupakan hal-hal serius yang mereka bicarakan di awal.

......................

Sementara di tempat yang lain. Dua orang wanita beda usia sedang kesal karena mendapati pintu rumah yang terkunci. Sehingga mereka tidak bisa memasuki rumah itu.

"Coba telepon ayah, bu." kata putrinya.

"Tidak bisa. Ibu tidak punya nomornya. Kamu kan tahu HP dan nomor ibu baru." ujarnya dengan bangga, sambil memamerkan handphone barunya.

"Bagaimana sih, nomor suami sendiri tidak disimpan." gerutu anaknya.

Mereka adalah Ratih dan Rosa. Mereka datang dengan membawa dua koper besar. Namun tidak bisa masuk ke rumah karena pintu terkunci.

"Eh, bu Ratih...!" seru tetangga sebelah.

"Iya, bu. Ini pada kemana ya, kok sepi." tanya bu Ratih.

"Memangnya ibu tidak tahu?" tanya tentangga yang sudah tiba di teras rumah pak Gani.

"Pak Gani dibawa ke rumah sakit. Kemarin sepertinya ada orang datang dan mengancamnya. Gayanya sih kayak penagih hutang begitu. Pakai hitam-hitam dan garang." si tetangga bicara dengan bibir yang meliuk-liuk.

Bu Ratih mulai gelisah saat mendengar penuturan tetangganya. Tapi dia berusaha tetap tenang.

"Ah, yang benar bu. Masa suami saya punya hutang...?!" sahut bu Ratih.

"Iya kali saja bu. Dia hutang tanpa sepengetahuan ibu." bisiknya.

"Terus kalian ini dari mana? Kok bawa koper besar begitu." tetangga melirik koper mereka.

"Oh ini..." bu Ratih senyam-senyum. Merasa bahwa ini saatnya dia pamer pada tetangganya.

"Kami habis ada acara keluarga. Jalan-jalan keliling begitu. Biasalah, keluarga saya memang selalu begitu. Setiap bulan mengadakan pertemuan. Family gathering begitu..."

"Waah, enak sekali. Tapi kenapa pak Gani dan Liana tidak ikut?" lagi-lagi tetangga itu mengulik informasi sebagai bahan gosip esok hari.

"Mas Gani menolak karena sibuk. Dan Liana kan kuliah, bu."

"Lha, emang Rosa tidak sekolah?" celetuk si ibu tetangga.

"Oh, kalau Rosa kebetulan lagi libur habis ujian." bagitu jawab bu Ratih.

"Oh seperti itu..." balas tetangga. "Bagaimana kalau kalian istirahat di rumah saya dulu."

Bu Ratih menoleh pada putrinya. Lalu dia mengiyakan tawaran tetangga.

"Lumayan kan, nanti pasti kecipratan oleh-oleh sebagai ucapan terimakasih." begitu batin tetangga.

......................

Pagi harinya Liana tiba di rumah bersama Damar. Rosa yang melihat kedatangan mereka segera berlari menghampiri.

"Kak Liana...!!" serunya. "Hallo kak Damar..." suaranya melambai ketika menyapa Damar.

"Kapan kamu pulang?" tanya Liana sambil memutar kunci pintu.

"Semalam. Kami kekunci. Kok kakak nggak kasih kabar ayah sakit?"

"Harusnya aku yang tanya. Kenapa nomor kalian tidak bisa dihubungi?" balas Liana dengan nada datar.

Liana mendaratkan tubuhnya di kursi ruang tamu.

"Oh, itu. HP kami hilang, kak." jawab Rosa. Jawaban yang sudah disepakati oleh Rosa dan juga ibunya.

"Bisa barengan begitu ya." sahut Liana dengan senyuman miring.

"Soalnya waktu itu aku titipkan di tas ibu. Dan tasnya dijambret." Rosa memberi alasan sekenanya. Tentunya dia juga memasang wajah sedih. Yang justru terlihat konyol bagi Liana.

"Moga saja besok benar-benar dijambret itu tas mereka. Aamiin...!!" Liana mengumpat dalam hatinya.

Damar yang sedang bersandar di pintu hanya menahan tawa mendengar jawaban dan ekspresi Rosa.

"Aku akan mandi lalu kembali ke rumah sakit." Liana beranjak dari tempat duduknya.

"Mar, kalau mau minum cari sendiri ya." pesan Liana pada Damar.

"Oke." Damar mengacungkan jempolnya.

"Kamu tidak mau kasih tahu ibumu kalau kami datang? Barang kali nanti mau sekalian ke rumah sakitnya." kata Damar.

"Ah, iya. Baiklah." Rosa pun keluar dari rumah itu dengan penuh semangat.

Tak lama kemudian dia kembali bersama ibunya sambil menarik kopernya masing-masing.

"Astaga..., suami lagi sakit di rumah sakit. Bisa-bisanya dia tetap bergaya begitu." batin Damar.

Bagaimana tidak. Bu Ratih memakai dress bunga-bunga nuansa merah menyala di atas lutut. Dengan warna lipstik yang senada dengan bajunya. Jangan lupakan heelsnya juga, yang selalu setia menyertai langkah kaki jenjangnya. Bu Ratih memang selalu berpenampilan seperti itu. Diusianya yang tak lagi muda, kecantikannya masih terpancar jelas, ditambah lagi kulit putih dan postur tubuh yang benar-benar ideal. Sehingga membuat dia makin percaya diri mengumbar kemolekannya.

"Ayo, Mar!" ajak Liana sambil memeriksa isi tas selempangnya.

"Bentar. Ibu dan adikmu mau ikut katanya." balas Damar.

Tak lama kemudian yang ditunggu keluar dari dalam kamar masing-masing. Liana memutar bola matanya dengan malas saat melihat penampilan mereka yang lebih cocok untuk pergi jalan-jalan, daripada ke rumah sakit.

"Nggak waras...!!" batin Liana.

......................

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!