NovelToon NovelToon

Lara Berselimut Cinta

#1•

#1

Opening

Dimasa lalu, Adhis berkenalan dengan Raka ketika patah hati hebat melanda dirinya.

Cinta seiring waktu, tumbuh diantara mereka, Raka terlalu manis dimata Adhis yang baru saja dicampakkan.

Mereka pun menjalin hubungan yang tak mudah, karena Adhis menetap di Yogyakarta, sementara Raka, kuliah di Ibu kota.

Long Distance Relationship, mereka jalani selama bertahun-tahun tanpa ada masalah berarti. Raka yang teramat mencintai, ditambah Adhis yang juga sangat mengerti bahwa mereka memang harus berjauhan karena situasi.

Ketika mereka akhirnya menikah, Raka resmi menyandang gelar Dokter Spesialis Bedah Torax, dan Adhis resmi menyandang gelar Sarjana Sosial.

Kehidupan pernikahan mereka berjalan dengan manis, saling mengisi, saling mengerti, dan saling memahami kesibukan masing-masing.

Tak ada peristiwa pahit yang mampu merusak kemesraan, serta keromantisan keduanya. Yang ada adalah, saling instrospeksi diri ketika keduanya merasa melakukan sesuatu yanga salah.

Tapi, 10 tahun kemudian, semua tiba-tiba terasa asing. Cinta yang sering Raka dengungkan, tak lagi manis terdengar, semuanya hampa tanpa rasa, kala orang ketiga hadir begitu saja.

...

Suara dengkuran halus nan teratur itu menjadi melodi indah yang mengiringi raganya yang lelah usai memadu cinta. Terlebih dua hari sudah mereka tak bersua karena kesibukan Raka di Rumah Sakit. 

Adhis merasakan tubuhnya di peluk semakin erat ketika Raka kembali berganti posisi menghadap ke arahnya. 

Cup. 

“Cintaku,” gumam Raka usai mengecup mesra kening Adhis. Istri mana yang tak bahagia ketika masih begitu di cinta oleh pasangannya, terlebih 10 tahun sudah mereka bersama dalam satu bahtera mengarungi samudra bernama pernikahan. 

Adhis mengulurkan telapak tangannya, ia mengusap wajah tampan yang tak pernah bosan untuk dilihat dan dinikmati, apalagi usai mereka berbagi peluh beberapa saat yang lalu. “Kenapa belum tidur?” bisik Raka yang merasakan usapan lembut membelai sebagian wajahnya. 

“Belum ngantuk, lagi pula masih kangen,” jawab Adhis dengan nada lembut nan manja. Suara yang selalu Raka suka semenjak mereka mulai menjalin hubungan bertahun-tahun silam. 

Raka membuka kembali netranya yang hampir terlelap, “Mas juga kangen, makanya tadi buru-buru pulang, selepas keluar dari ruang operasi. Happy anniversary, Cintaku.” 

“Happy anniversary juga, Mas,” balas Adhis dengan rona merah di pipinya. 

“Terima kasih, sudah mau mendampingi Mas dalam suka dan duka, dalam sakit dan sehat. Semoga hanya maut saja yang memisahkan kita. Kamu yang paling tahu, seberapa dalam cintaku padamu.” 

Kalimat-kalimat cinta itu selalu Raka dengungkan, kalimat yang tak pernah bosan Adhis dengar. Sejak awal mereka memutuskan menjadi sepasang kekasih, hingga saat ini selepas 10 tahun pernikahan. Adhis semakin terpesona dan semakin larut dalam perasaan cinta senada dengan Raka, tatkala Raka bahkan tak pernah mempermasalahkan dirinya yang belum bisa melahirkan seorang anak. 

Pelukan hangat itu masih Adhis rasakan sebagai miliknya, begitupun raga nan rupawan tersebut. Hingga, sebuah panggil masuk membuyarkan semuanya. 

Raka melepaskan pelukannya sejenak, bahkan setelah melihat siapa yang menghubunginya, ia segera menyingkir ke balkon guna mengangkat panggilan. 

Sepintas rasa tak nyaman menghampiri Adhis, maka demi menyingkirkan rasa tak nyaman tersebut, Adhis pilih ke kamar mandi guna menyegarkan tubuhnya dari penat usai menjalankan kewajiban sebagai istri. 

Tak butuh waktu lama, karena Adhis sudah ingin kembali memejamkan mata, ia pun bergegas keluar usai aktivitas nya selesai. 

“Sudah mandinya?” tanya Raka yang sepertinya juga hendak membersihkan diri. “Mas juga mau mandi, ada panggilan dari Rumah Sakit.” 

Adhis memulas senyum kemudian mengangguk, mengerti, bahkan sangat memaklumi, karena profesi Raka adalah seorang Dokter yang kadang harus kembali ke Rumah Sakit sewaktu-waktu. “Baiklah, aku siapkan pakaian untuk Mas.”

Sekali lagi Raka mengecup pipi sang istri, sebelum kembali melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Ponsel Raka kembali bergetar, selepas pria itu menutup pintu kamar mandi. Dan tak biasanya Adhis begitu penasaran dengan si penelepon, padahal Raka sudah bilang telepon tersebut dari Rumah Sakit. 

Rumah Sakit 2, begitulah nama yang tertera di sana. 

#2•

#2

Tapi … sungguh bagai melihat sebuah fakta yang sangat gamblang didepan mata, isi pesan berikutnya mengisahkan apa yang telah Raka lakukan tanpa sepengetahuan Adhis. 

‘Mas, kalau bisa cepat ya, sejak sore tadi Qiran mengigau manggil-manggil Papa, dan sekarang rewel lagi, pengen digendong sama Mas’. 

Bagai dihimpit beban yang berat, Adhis meremat bathrobe yang masih ia kenakan. Jadi beginikah? rupanya ini juga alasan kenapa Raka tak pernah mengungkit masalah anak diantara mereka, Rupanya Raka telah memiliki anak dengan wanita lain. 

Sungguh sakit, bahkan lebih pedih daripada sayatan sembilu. Beginikah rasanya dicurangi? terlebih pelakunya adalah orang yang sangat ia percayai sungguh tega, padahal beberapa menit yang lalu, Adhis masih mendengar bisikan manis penuh madu dan aroma cinta. 

Air matanya semakin deras tatkala Adhis menggulir chat demi chat keatas, satu persatu Adhis baca dengan hati yang remuk redam. Ada banyak foto seorang gadis kecil nan lucu, Adhis perkirakan usianya baru 3 tahun. Dan Lihat betapa Raka tak lupa menyematkan emot love di setiap foto gadis kecil itu. 

Tapi tunggu, bukankah Adhis pernah melihat gadis kecil ini di rumah ibu mertuanya? 

Yah, tak salah lagi, saat itu gadis kecil ini tengah bermanja di pelukan Bu Dewi. Dan ketika Adhis bertanya pada Bu Dewi, wanita itu menjawab bahwa Qiran adalah anak tetangga depan rumah, yang sering bermain bersama Bu Dewi. 

Jadi sudah berapa lama ini semua berlangsung? apakah Ayah dan Ibu mertuanya ikut memainkan peran? begitu inginkah mereka segera memiliki cucu? mengingat Raka adalah putra tunggal mereka, hingga sengaja ikut menyembunyikan fakta ini. Jika benar demikian, maka sungguh tega Raka melakukan kecurangan ini. Bermain-main di belakang wanita yang telah mendampinginya selama sepuluh tahun terakhir. 

Adhis segera meletakkan kembali ponsel milik suaminya, ia menghapus kasar airmata yang tak henti berderai. Sementara tangannya yang gemetar ia paksa untuk menyiapkan selembar kemeja serta celana panjang lengkap dengan pakaian dalam, yang akan Raka kenakan malam ini. Ia tak mau gegabah menumpahkan semua gelisah serta amarahnya, mungkin diam-diam ia akan mencari tahu kebenaran dari semua ini. 

setelah kembali rapi dengan piyama tidurnya, kini Adhis mulai mengeringkan rambut panjangnya dengan bantuan hairdryer. Dari pantulan kaca ia melihat Raka keluar dari kamar mandi dan hal pertama yang ia lihat adalah ponselnya. Raka tersenyum, belum pernah Adhis melihat Raka tersenyum selembut itu pada orang lain selain dirinya, dan kini pria itu tersenyum lembut hanya karena melihat pesan yang baru saja masuk melalui ponselnya. 

Raka kembali meletakkan ponsel kemudian menghampiri Adhis, secara fisik Raka terbilang sangat tampan dengan tubuh atletis yang sangat sehat. Jadi wajar jika Adhis selalu berdebar-debar kala pria itu mendekatinya dengan kata cinta serta pelukan mesra. Seperti saat ini, pria itu mengambil alih hairdryer yang tengah Adhis gunakan untuk mengeringkan rambut. 

“Katanya ada panggilan dari Rumah Sakit?” 

“Hmm, tapi situasinya sudah terkendali, jadi aku bisa sedikit santai.” Jawaban yang Adhis tahu mengandung banyak kebohongan, tapi Adhis telan mentah-mentah demi menghilangkan kecurigaan Raka. 

“Rambutku sudah kering, Mas sebaiknya bersiap, tak baik membuat orang lain menunggu, apalagi dia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan.” Agaknya bujukan Adhis berhasil membuat Raka menghentikan aktivitasnya. 

Pria itu menatap wajah ayu nan lemah lembut milik sang istri, mengusap lembut kedua pipi sehalus pualam, karena Adhis selalu rajin merawat wajahnya dengan kosmetik tradisional buatan perusahaan keluarganya. Sekali lagi Raka mel^umat bibir mungil yang melengkapi wajah cantik tersebut. Berlama-lama disana, seolah ia adalah musafir yang tengah kehausan, jadi ketika menemukan oase, dengan serakah ia meraup semuanya, agar nanti tak lagi kehausan. 

“Jika Mas tak ada panggilan ke Rumah Sakit, rasanya Mas masih ingin mengulangnya lagi dan lagi. Bersamamu rasanya tak pernah membosankan.” 

Andai saja Adhis tak membaca pesan singkat di ponsel Raka, mungkin saat ini ia tengah melambung ke angkasa, karena kalimat pujian yang Raka lontarkan. Sayangnya semua itu kini terasa hambar setelah Adhis mengetahui fakta yang sebenarnya. 

#3•

#3

Dari kursi nyaman yang ia duduki, Adhis menatap langit jingga yang kini tengah memayungi Yogyakarta. Kehidupannya sangat sempurna, bergelimang materi yang jumlahnya  tak sedikit. Sementara latar belakang keluarganya masih tergolong dalam Keluarga dengan strata sosial tinggi di Yogyakarta. 

Seminggu berlalu sudah, sekuat tenaga Adhis menahan perasaannya, dan memang Adhis akui, Raka begitu lihai menyembunyikan sandiwaranya. Dengan menggunakan alasan jaga malam di Rumah Sakit, Raka kerap pergi disaat hari mulai larut. 

Seminggu ini, ketika Raka berpamitan, Adhis nyaris tak bisa membedakan, apakah Raka benar-benar pergi ke Rumah Sakit, atau pergi menemui wanita itu dan anaknya. Sungguh Adhis belum sanggup membayangkan kemungkinan tersebut. 

Tok

Tok

Tok

Setelah mengetuk pintu, Pria muda itu menyodorkan laporan yang berhasil ia kumpulkan selama seminggu belakangan ini. 

“Katakan! aku siap mendengarnya.” Suara Adhis terdengar datar, namun ia harus bersiap, jika bukan sekarang, harus kapan lagi?

“Apa Ibu yakin?” tanya Yoga

Adhis mengangguk yakin. “Namanya Anggita Jelita, usianya baru 25 tahun ketika mereka menikah secara siri. Hingga saat ini belum tercatat, karena tidak ada izin dari Anda selaku istri pertama.” 

Buliran bening itu meluncur begitu saja, pandai sekali Raka bermain peran, hingga selama bertahun-tahun. Berhasil mengelabui istri yang katanya satu-satunya wanita yang ia cinta. “Sudah berapa lama?” 

“Menikah di Garut, 4 tahun yang lalu.” 

4 tahun yang lalu??

Tiba-tiba kilasan memori kembali melintas, 4 tahun yang lalu, Raka minta izin ada tugas di Garut selama satu minggu. Dan selama satu minggu pula, Raka sulit dihubungi, bahkan pesan singkat Adhis pun terabaikan. 

Yoga terdiam, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, ketika melihat Adhis menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ia sangat tahu bagaimana kesakitan yang kini dialami sang atasan, karena Ibunya pun pernah mengalami hal serupa. Hingga akhirnya memilih berpisah, dan membesarkan Yoga seorang diri, karena tak sanggup dimadu. 

“Bu, Anda baik-baik saja?” tanya Yoga prihatin. 

Masih dengan posisi menelungkup, Adhis menggeleng, ia memang tak baik-baik saja, tapi protes pun tak sanggup, karena ia sadar diri dengan kekurangan yang ada pada dirinya. 

“Lanjutkan.” Dengan perasaan yang masih tercabik-cabik Adhis kembali mengangkat wajahnya. 

“Anak pertama mereka berjenis kelamin perempuan, berusia 3 tahun … “

“Apakah Ayah dan Ibu mertuaku tahu tentang ini?” 

Yoga mengangguk, “Ketika Nona Anggita mulai hamil, Bu Dewi membeli rumah yang berada tepat di depan rumah yang beliau tempati. Sebagai ungkapan rasa bahagianya, sekaligus ingin melihat dari dekat tumbuh kembang janin yang ada dalam kandungan Nona Anggita.” Yoga mengakhiri penjelasannya. 

“Pergilah, terima kasih atas penjelasannya.” Adhis meminta Yoga meninggalkannya seorang diri. “Selanjutnya, aku akan membaca langsung hasil pencarianmu.” 

Namun kenyataan itu tak sesuai dengan keadaan, karena kedua tangan Adhis gemetar tak sanggup melihat isi dari amplop yang berada di hadapannya. 

Tapi kemudian sekuat tenaga ia memberanikan diri melihat isi dari amplop tersebut. Namun sekuat dan setegar apapun perasaan seorang wanita, pastilah ia tak akan sanggup menghadapi kenyataan bahwa suaminya telah mendua. 

Itulah yang Adhis rasakan saat ini, cinta yang sering Raka dengungkan, rindu yang sering ia ungkapkan, serta hasrat yang seolah tak pernah terpuaskan, kini berbanding terbalik dengan fakta yang terhampar dihadapannya. 

Adhis tak sanggup melihat foto-foto tersebut, foto dimana Raka tersenyum lepas bersama keluarga barunya, istri serta anak mereka. Adhis tak rela, walau hanya berbagi senyuman Raka, tapi kenyataannya Raka bukan hanya membagi senyumannya, ia bahkan sudah berbagi peluh dengan wanita itu, kurang sakit apalagi hatinya. 

Adhis membereskan foto-foto yang berserakan diatas meja kerjanya, kemudian memasukkan kembali ke tempatnya semula. 

“Yoga, mana kunci mobilmu?” Akhirnya Adhis memutuskan keluar, ia ingin melihat dari dekat, apakah benar hasil temuan Yoga. 

Yoga menggulirkan kunci mobilnya, begitu pula Adhis, “hari ini, aku pinjam mobilmu, kamu pakailah mobilku.” 

“Baik, Bu.” 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!