NovelToon NovelToon

My Name Is Kimberly (Gadis Bercadar & CEO Galak)

Wawancara Kerja

Pagi ini, Kimberly alias Kimi memulai hari dengan semangat. Meski telah sepuluh kali ditolak berbagai perusahaan, Gadis itu berharap pada interview kali ini setidaknya ia dapat menunjukkan kemampuannya. Bukan malah menghabiskan waktu membahas niqab yang ia pakai, seperti terjadi pada beberapa interview sebelumnya.

Kimi mematut diri, menata niqab—banyak orang menyebutnya cadar—yang menutup wajah kecuali mata dengan rapi di depan cermin, lalu berdoa sebelum melangkah keluar rumah.

Kali ini, ia akan memenuhi panggilan wawancara kesebelas pada sebuah perusahaan besar di kawasan Kuningan. Mereka mencari penerjemah untuk pasar internasional—posisi yang sangat sesuai dengan keahlian Kimi.

Kimi melangkah keluar dari rumah kontrakannya yang sederhana di daerah Kemang, menyapa udara pagi Jakarta yang mulai terasa hangat.

“Kimi!” panggil seorang wanita dari samping rumah.

Kimi berbalik memperlihatkan penampilannya yang mencerminkan keseimbangan antara keanggunan muslimah dan gaya modern. Ia mengenakan niqab Yaman dua lapis berwarna hitam yang menjuntai lembut. Niqab itu dipadu dengan jilbab abu-abu yang menutupi kepala. Sementara sepasang mata hazel tampak bersinar terang di balik kacamata bulat minus dua-nya, memancarkan pesona kecerdasan gadis itu.

Ia melihat ibunya baru saja menjemur pakaian di halaman samping.

“Yes, Mom!” (Iya, Bu,) sahut Kimi.

“Have you had breakfast yet, sweetie?” (Apakah kamu sudah sarapan, sayang?)

“Not yet, Mom. I’ll grab something on the way, insyaAllah!” (Belum, Bu, nanti sarapan di jalan saja. InsyaAllah!) jawab Kimi. “Sekarang sudah telat, Mom!” sambungnya.

“Okay!” kata wanita itu dengan tatapan cemas.

Gadis itu berjalan cepat. Gamisnya terkibas. Hari ini Kimi mengenakan gamis abu-abu muda dengan lipatan-lipatan tegas di bagian lengan. Sekilas mirip blazer. Hasilnya ia tampak profesional dan modern di balik jilbab dan niqab-nya. Gamis tersebut membangun elemen formal dan kasual, membuatnya terlihat tegas namun tetap santai.

Di bahunya, Kimi menyandang tas soren wanita berwarna hitam, tampak serasi dengan flat-shoes kekinian yang membalut kakinya.

Kimi selalu memastikan penampilannya tidak hanya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai Islami, tetapi juga selera fashion yang stylish dan dinamis mengikuti zaman. Namun tak terlalu mencolok dan mengundang perhatian.

Setiap detail pakaiannya dipilih dengan hati-hati, mencerminkan kepribadian yang percaya diri dan berkelas. Maka ia tampak sudah siap menghadapi tantangan hari ini dengan elegansi tak terbantahkan. Setidaknya sebelum naik angkot dan bertemu orang-orang dengan segala reaksi mereka yang kerap membuat Kimi merasa risih.

Kimi menghembuskan nafas. Mengingat tantangan setiap hari yang ia hadapi terkadang membuatnya lelah. Namun ia sudah memiliki obatnya. Dengan memperbanyak dzikir, sholawat dan istighfar, Kimi selalu merasa lebih baik.

Setelah melewati deretan kafe dan butik kecil yang masih sepi, akhirnya sampai di jalan besar. Dengan cekatan, gadis ber-niqab itu melambaikan tangan pada sebuah angkot berwarna biru yang melaju perlahan, lalu naik dengan langkah sigap.

Di dalam angkot, Kimi memilih duduk di pojok belakang, mencoba menyesuaikan diri dengan jok angkot yang tidak terlalu empuk. Penumpang lain, dua orang ibu-ibu dan dua anak sekolah sedang mengobrol. Namun dua anak sekolah itu tiba-tiba terdiam setelah menyadari kedatangan Kimi. Mereka menatap Kimi dengan ekspresi terkejut.

Kimi sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan seperti itu. Namun sesekali masih merasa risih terutama jika terdengar ada yang membicarakannya. Seperti kali ini, ketika salah satu dari anak sekolah itu menyikut temannya sambil berbisik :

“Lihat, ada ninja...”

“Bukannya itu… kostum hantu?”

Kimi merengut, lalu membetulkan letak kacamatanya seraya mengalihkan pandangan ke luar jendela angkot. Kendaraan itu terus melaju mengikuti jalanan Jakarta yang tak pernah sepi.

Seiring perjalanan, angkot melintasi jalanan Kemang. Melewati deretan ruko dan apartemen. Kimi menikmati momen itu, merasakan dirinya seperti bagian dari arus kehidupan kota yang selalu bergerak.

Setelah beberapa menit, angkot berhenti di sebuah persimpangan besar. Kimi turun dengan hati-hati, memastikan niqab-nya tidak tersangkut pintu angkot yang agak sempit.

Dengan cepat, ia bergegas menuju halte bus di seberang jalan untuk melanjutkan perjalanan ke Kuningan. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan angkot itu, ia sempat mendengar ibu-ibu berbisik pada temannya :

“Mungkin dia mau syuting film horor.”

Kimi kembali merengut. Ninja, hantu, syuting film horor. Apa lagi? batin Kimi. Kimi tak habis pikir. Ia berharap tidak ada lagi komentar miring seperti itu, karena itu berarti mengomentari miring syariat Islam.

Mungkin tidak semua orang tahu bahwa ber-niqab atau bercadar itu wajib dalam mazhab Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Kecuali mazhab Imam Hanafi dan Imam Maliki yang menghukumi sunnah, namun itupun menjadi wajib jika khawatir terkena fitnah.

Kimi melanjutkan langkah dengan ringan. Kimi sadar, setiap hari adalah petualangan kecil yang memang selalu menawarkan tantangan, dan ia mencoba belajar untuk menikmatinya.

Ketika tiba di kantor perusahaan yang dituju, Kimi disambut oleh resepsionis yang terlihat agak bingung saat melihatnya. Namun, di balik niqab-nya Kimi tersenyum ramah, mengabaikan tatapan heran yang sejak tadi tertuju padanya. Setelah menunggu beberapa saat di ruang tunggu berhawa dingin, akhirnya ia dipanggil.

“Selamat pagi, Ibu… Kimberly,” sapa si pewawancara dengan bingung.

Si pewawancara merupakan seorang pria dengan jas rapi dan dasi mencolok yang mungkin lebih cocok untuk pesta, tapi terlalu berlebihan untuk wawancara kerja. Kimi mengangguk dan duduk dengan tenang di kursi depan meja.

“Selamat pagi, Pak. Assalamu'alaikum... Terima kasih sudah memberi saya kesempatan,” jawab Kimi dengan lembut.

Pria di depannya terus menerus melirik niqab-nya.

“Wa'alaikumsalam... Wah, Anda... memakai cadar, ya? Sungguh... unik sekali. Tapi tentu saja, tidak masalah,” katanya, berusaha terdengar santai, meski jelas terlihat bahwa dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. “Jadi, eh... bisa ceritakan sedikit tentang diri Anda?”

Kimi mengangguk dan mulai menjelaskan latar belakang pendidikannya, bahwa ia lulusan UAI jurusan ilmu komunikasi jalur beasiswa dan lulus dengan nilai terbaik serta memiliki kemampuan multibahasa.

Pewawancara itu tampak mendengarkan. Namun Kimi tidak bisa mengabaikan cara si pewawancara berusaha keras menghindari menatap niqab Kimi.

Setelah beberapa pertanyaan formal, pria itu tampaknya mulai kehabisan bahan wawancara. Dia batuk kecil, menyesuaikan dasinya, dan bertanya :

“Hmm, saya penasaran, bagaimana Anda melihat layar komputer saat bekerja? Maksud saya, apakah cadarnya tidak menghalangi pandangan?”

Kimi menahan senyum. “Tidak, Pak. Cadar ini hanya menutupi wajah saya, bukan mata. Mata saya masih berfungsi dengan baik, alhamdulillah,” jawabnya sambil tersenyum di balik niqab.

“Oh, begitu ya,” kata pewawancara, sedikit merah di wajahnya. "Tentu saja, tentu saja. Bagaimana dengan interaksi dengan tim? Apakah... cadar ini... eh... tidak menghambat komunikasi?"

Kimi tertawa kecil. “Tidak sama sekali, Pak. Saya masih bisa berbicara, mendengar, dan memahami candaan seperti orang lain. Mungkin saya hanya tidak terlihat saat tertawa, tapi saya jamin, saya bisa tertawa.”

Pewawancara tersenyum kikuk, kemudian beralih ke beberapa pertanyaan lain yang lebih serius.

Wawancara berlangsung cukup lama, tetapi Kimi merasa bahwa fokus pria itu terus kembali ke niqab-nya, seolah-olah itu adalah hal paling menarik di dunia ini.

Di akhir wawancara, pria itu menarik napas dalam-dalam dan berkata :

“Baiklah, Ibu… Kimberly, terima kasih sudah datang hari ini. Kami akan mempertimbangkan dengan baik. Oh, satu pertanyaan lagi, apakah... apakah Anda bersedia... sesekali... mungkin... membuka cadar, demi kepentingan pekerjaan?”

Kimi menghela napas dalam-dalam, tetap tersenyum meski hatinya sedikit tenggelam.

“Maaf, Pak. Cadar ini adalah bagian dari keyakinan saya. Saya memakainya bukan untuk bergaya, tapi sebagai bentuk ketaatan. Jadi, sayangnya saya tidak bisa melakukannya,” tutur Kimi tanpa ragu.

Pria itu mengangguk, meski terlihat jelas bahwa jawaban Kimi membuatnya semakin bingung.

“Tentu, tentu... Saya menghormati itu. Terima kasih, Ibu Kimberly. Kami akan menghubungi Anda segera.”

Saat Kimi melangkah keluar ruangan, dia bisa merasakan bahwa sekali lagi harapannya mungkin akan berakhir dengan penolakan. Namun, gadis itu berusaha tetap tenang, meski agak sulit, seraya meyakinkan dirinya sendiri bahwa setiap penolakan adalah langkah menuju kesempatan yang lebih baik.

Gadis ber-niqab itu melangkah keluar gedung. Langkahnya serasa melayang. Tidak dipungkiri, usai wawancara kesebelas ini semangatnya terasa mulai goyah.

Kimi duduk di halte seraya memperbanyak dzikir, sholawat dan istighfar. Dengan begitu hatinya menjadi lebih tenang. Ia mensyukuri keistiqomahannya sebagai bukti kecintaan kepada Rabb-nya daripada menuruti keinginan diri sendiri atau kehendak perusahaan-perusahaan yang meng-interview dirinya.

Perusahaan terakhir ini masih cukup halus ketika menyikapi niqab Kimi. Beberapa perusahaan sebelumnya bahkan menyarankan Kimi supaya melepas jilbab.

Sebelum naik bus tak lupa Kimi membeli roti dari pedagang asongan untuk disantap selama perjalanan. Makan sambil memakai niqab tidak masalah bagi Kimi. Apalagi cuma roti. Tak seperti dugaan kebanyakan orang. Selama mengunyah makanan lancar-lancar saja, makan sambil ber-niqab sama sekali bukan halangan.

Sampai di rumah, ibunya menyambut dengan tatapan cemas namun juga penuh harap.

“Kimi, bagaimana? Berhasil?” tanya ibunya.

Kimi mencium tangan ibunya kemudian menjawab :

“I don’t know, something didn’t go right... I guess.” (Aku tidak tahu, kayaknya ada yang tidak beres... mungkin.) jawab Kimi seraya menghembuskan napas. “Sepertinya mereka lebih tertarik pada cadarku daripada kemampuan bahasaku Mom! Mungkin… mereka butuh penerjemah yang bisa berbicara dengan mata, atau… wajah, bukan dengan mulut.”

Ibunya tersenyum getir seraya mengikuti Kimi melangkah masuk ke dalam rumah. Kimi melepaskan tas dan niqab-nya kemudian duduk di meja makan. Ibunya sudah menyiapkan teh hangat. Kimi menghirup aroma teh, mencoba menenangkan pikiran.

“Kimi, kamu sudah berusaha keras,” kata ibunya lembut. “Mommy akan terus berdoa agar kamu segera menemukan jalan terbaik.”

Kimi tersenyum lemah dan mengangguk. “Terima kasih, Mom. Aku juga akan terus berdoa. InsyaAllah, suatu saat nanti ada jalan terbaik.”

Kimi sudah merencanakan langkah berikutnya. Gadis itu memiliki satu perusahaan lagi yang akan ia kunjungi untuk wawancara kerja dalam beberapa hari ke depan. Ia sangat berharap perusahaan kedua belas ini nanti dapat menerimanya dengan baik.

Setelah agak sore, dalam setelan niqab-nya Kimi bergegas ke halaman rumah kontrakan. Dua buah pohon Terminalia mantaly menjulang indah dan teduh di sana. Namun daun-daun kecilnya sering jatuh dan berserakan. Sore ini Kimi mengambil alih pekerjaan menyapu halaman.

Tiba-tiba sebuah SUV mewah datang, berhenti di samping gerbang kontrakan Kimi. Kimi menghentikan pekerjaannya, lalu menengok. Ini kali kedua Kimi melihat mobil hitam itu berhenti di sana, di depan gerbang rumah sebelah. Jarak Kimi ke mobil itu tak begitu jauh hanya sekitar sepuluh meter.

Seperti waktu itu, adegan sore ini pun hampir sama. Di depan stir seorang pria berjambang tipis dengan gaya rambut slicked-back mengkilap, mengenakan kaca mata hitam klasik berlensa gradasi tampak melongok-longok sambil membunyikan klakson. Kemudian pria itu berteriak-teriak memanggil nama seseorang.

“Budi… Budi…!!! Bukaaa…!!!”

Kimi terkejut mendengar suara klakson dan teriakan itu. Padahal ini bukan kali pertama. Lalu—seperti waktu pertama itu—si pria pengemudi mobil melihat ke arah Kimi dengan tatapan aneh. Kimi beradu pandang dengan pria itu lagi. Sesaat saja. Habis itu ia segera berpaling sambil membaca istighfar beberapa kali.

Sepatu Kulit

Pukul tujuh pagi Kimi menatap keluar jendela kamar kontrakannya. Baru satu minggu Kimi dan ibunya tinggal di rumah sederhana itu.

Dari jendela kamar, Kimi dapat melihat halaman samping rumah berumput dihiasi pot-pot bunga sederhana. Halaman  samping itu berbatasan langsung dengan dinding samping rumah tetangganya. Sebuah rumah tiga lantai bercat putih. Megah dan mewah, bergaya Eropa klasik.

Telah beberapa kali Kimi melihat rumah tetangganya itu. Bentuk megahnya memancarkan aura kemewahan yang mencolok dari sekitarnya.

Bagian fasad rumah itu dikuasai pilar-pilar Corinthian yang kokoh, berdiri tegak menopang atap depan. Sementara jendela-jendela besarnya berbingkai putih berhiaskan tirai beludru, memberi kesan elegan. Di atas jendela, terdapat ornamen-ornamen klasik seperti relief bunga dan daun yang indah berjalin.

Di halaman depan, taman luas ditanami bunga-bunga. Aneka tanaman hias pun tertata rapi dalam pot-pot cantik.

Dari halaman depan, jalan setapak berbahan batu pualam mengarah ke pintu utama berukuran besar dan diukir dengan detail ukiran yang rumit. Sementara gerbang logam tempa tampak berdiri kokoh membatasi halaman, memberikan kesan eksklusif pada rumah tersebut.

Dari sisi gerbang itu dinding bersambung ke tembok pembatas halaman samping rumah Kimi. Tampak dari sana sebuah balkon mewah sedikit menggantung tepat di atas sudut belakang halaman samping rumah Kimi.

Hingga saat ini, Kimi dan ibunya, Rosmalia Maharani, masih berusaha mengenal seraya menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Mengamati sekeliling. Mulai berkenalan dengan tetangga baru, terutama rumah-rumah di belakang kontrakan mereka setelah masuk gang.

Namun untuk penghuni rumah mewah di samping rumah mereka. Baik Kimi maupun Rosmalia belum mengenal baik, kecuali hanya sepintas. Itu pun dalam kesempatan yang sangat terbatas.

Sempat beberapa kali Kimi menengadah ke balkon rumah mewah tetangganya itu saat menjemur pakaian. Namun ia tak pernah melihat seorang pun di sana.

Di sana Kimi hanya melihat Kemewahan. Kemewahan balkon itu tampak begitu kontras dengan keadaan rumah kontrakan Kimi yang sederhana.

Rumah kontrakan Kimi hanya sebuah rumah dua kamar dengan ruang tengah dan ruang tamu kecil. Di ruang tengah itu terdapat meja makan empat kursi dan sebuah sofa sederhana untuk menonton televisi. Sementara di ruang tamu terdapat satu set kursi tamu klasik.

Semua perabotan di rumah itu sudah tersedia. Kimi dan ibunya tinggal menempati dan memakai semua perabotan itu. Mereka tinggal menjaga kebersihannya saja.

Sementara di bagian belakang terdapat sebuah dapur dan kamar mandi yang ukurannya jauh lebih kecil lagi. Tapi tidak mengganggu kegiatan harian sama sekali. Malahan membuat mereka lebih mudah untuk menjaga kerapian dan kebersihan di area belakang.

Untuk mengontrak rumah sederhana yang mereka tempati, Rosmalia harus menjual beberapa perhiasan berharga miliknya. Beruntung, karena kebaikan pemilik rumah, mereka mendapatkan harga sewa yang terbilang murah dibandingkan rumah kontrakan sebelumnya.

Hasil penjualan perhiasan itu pun sebagian bisa dipergunakan untuk melunasi tunggakan rumah kontrakan sebelumnya meski hanya satu bulan dan masih tersisa dua bulan lagi.

Di ruangan lain, dalam sapuan sinar matahari pagi menembus jendela, Rosmalia tampak cemas setelah menerima telepon dari pemilik kontrakan sebelumnya. Suara pemilik kontrakan terdengar tegas dan tidak sabar.

“Ibu Maharani, kami memerlukan pelunasan untuk tunggakan dua bulan kontrakan yang belum dibayar. Mohon segera dibayar, kami tunggu minggu ini!”

Rosmalia menghela napas panjang, memikirkan bagaimana cara untuk mencari uang tambahan dengan cepat.

“Iya Bu, insyaAllah, kami sedang berusaha,” katanya.

Setelah kembali dari Inggris delapan belas tahun silam, Rosmalia berharap memulai babak baru yang lebih baik. Namun, realitas yang dihadapi jauh dari yang diimpikan.

Keahlian dan pengalaman internasionalnya sebagai desainer tidak mudah diterima pasar lokal yang lebih fokus pada gaya dan pendekatan kontemporer. Apalagi kini, setelah usianya memasuki kepala empat membuat ia semakin sulit mendapatkan pekerjaan di sektor seni dan desain, terutama di Jakarta, di mana pasar kerja seringkali lebih mengutamakan tenaga muda dengan tren terbaru.

Rosmalia sudah berusaha. Namun setiap upaya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang dan kondisinya selalu berakhir dengan penolakan. Penolakan yang kemudian menyisakan kekhawatiran dan ketidakpastian mengenai masa depan dirinya dan masa depan putrinya, Kimberly.

Dalam situasi itu akhirnya Rosmalia memilih jadi buruh cuci dan setrika baju. Berkeliling menawarkan jasa ke setiap rumah.

Setelah memperingatkan sekali lagi, si penelepon mengakhiri panggilan. Rosmalia termenung sejenak, kemudian pergi ke dapur.

Sementara itu, Kimi bersiap untuk wawancara kerja di perusahaan ke dua belas. Dengan niqab Yaman dua lapis warna hitam favoritnya, dipadu gamis blazer warna krem beraksen warna hitam, Kimi tampil anggun namun tetap mengesankan nuansa formal.

Saat menatap bayangan dirinya di depan cermin Kimi merasa sedikit gugup. Namun, di tengah segala ketidakpastian, ia berharap wawancara kali ini akan menjadi titik balik yang membawanya pada kesempatan yang telah lama ia impikan.

Ketika Kimi berdiri dan bersiap keluar kamar, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di halaman samping rumah.

Kimi melongok-longok lewat jendela. Ia tak melihat apa pun. Kemudian gadis itu keluar kamar mencari ibunya. Tak ada siapa pun di ruang tengah.

“Mom! Mom!” panggilnya.

“Ada apa? Mommy lagi sibuk!” jawab Rosmalia dari arah dapur. “Tunggu sebentar!”

Dengan langkah cepat Kimi membuka pintu menuju halaman samping rumah. Setelah memeriksa lebih teliti, ia melihat sebuah sepatu pantofel oxford cokelat tergeletak di atas rumput halaman samping sebelah belakang.

Sepatu itu tampak mengkilap namun sedikit kotor di beberapa bagian. Mungkin karena membentur tanah halaman sebelum mendarat di rumput.

Kimi menunduk untuk mengambil sepatu itu. Sesaat kemudian ia menengadah. Kimi merasa bahwa benda itu sepertinya jatuh dari arah atas, dari arah balkon rumah tetangganya.

Kimi memutuskan untuk membersihkan sepatu itu menggunakan tisu kemudian menyimpannya dalam sebuah kantong kresek putih. Kimi menjinjing kantong kresek itu, bermaksud mengembalikan sepatu itu, namun tiba-tiba ponselnya berdering.

Kimi terkejut. Kimi menyimpan kantong keresek itu di bawah lantai dekat beberapa kantong keresek lain di ruang tengah kemudian bergegas menuju kamar untuk mengangkat panggilan telepon. Rupanya dari perusahaan waktu itu.

“Halo Ibu…”

“Ya, Pak,” jawab Kimi.

“Selamat pagi, Ibu… Kimberly. Saya Darmanto dari PT Anugerah Jaya Persada. Saya ingin memberi tahu bahwa setelah mempertimbangkan… semua kandidat, kami… memutuskan untuk melanjutkan wawancara dengan kandidat lain.”

“Oh, iya Pak, saya mengerti,” Kimi menghela napas. “Tapi... apakah bisa diberi tahu alasannya?”

“Tentu. Begini, Bu… mmm… ya, kami menghargai pendidikan dan keahlian multi bahasa Anda, namun cadar Anda… tidak sesuai dengan kebijakan perusahaan kami mengenai penampilan di lingkungan kerja.”

“Baiklah…,” Kimi menarik napas panjang. “Terima kasih atas penjelasannya.”

“Terima kasih juga atas minat Anda dan pengorbanan Anda mengikuti wawancara di kantor kami.”

“Sama-sama Pak!”

“Saya rasa itu saja yang dapat saya sampaikan, mungkin… ada yang ditanyakan lagi sebelum diakhiri?”

“Tidak Pak, sudah cukup jelas.”

“Baik kalau begitu, selamat pagi…”

“Selamat pagi Pak…”

Kimi duduk termenung di tempat tidur lalu memasukan ponselnya ke dalam tas. Setelah itu ia bergegas ke ruang tengah dan duduk di sofa. Tampak ibunya baru kembali dari luar.

“Have you eaten?” (Sudah sarapan?) tanya Rosmalia.

“Yes, Mom,” (Sudah, Bu,) jawab Kimi, termenung.

Rosmalia menangkap keanehan itu.

“What's up, honey? Why the long face?” (Ada apa, sayang? Kenapa termenung?)

“I got… rejected again, Mom!” (Aku… ditolak lagi, Bu!)

“Pasti karena cadar lagi ya?”

Kimi menganguk.

Rosmalia menghembuskan nafas lalu duduk di dekat Kimi.

“Meskipun Mommy sendiri belum siap berhijab, tapi melihatmu teguh dalam pakaian muslimahmu ini, Mommy sangat bangga dan bersyukur. Stay strong, honey. I always love you, and I'm so proud of you!" (Tetaplah kuat, sayang. Aku selalu mencintaimu, dan aku sangat bangga padamu!)

Mendengar ucapan ibunya, mata Kimi berkaca-kaca.

Rosmalia beranjak ke dapur. Masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan, namun tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari depan rumah.

“Permisi… Paaak, Buuuu, permisiiii…!!”

Kimi beranjak ke ruang tamu. Gadis itu terkejut, seorang pria dalam setelan kemeja berdasi sudah berdiri di halaman rumahnya. Kimi menemui ibunya memberitahu ada tamu. Ibunya yang sedang sibuk mencuci piring berpesan supaya Kimi saja yang menemui si tamu.

Kimi pun beranjak ke ruang tamu dan membuka pintu. Rupanya itu adalah si pria berjambang tipis. Tak seperti sebelumnya, rambut slicked-back-nya pagi ini tampak belum tersisir rapi. Sementara matanya yang tak terhalang kacamata hitam terlihat lebih jelas. Tajam dan bernas.

Dalam setelan kemaja, dasi dan celana katun mahal, penampilan pria muda bertubuh ramping itu tampak sangat elegan. Hanya saja… ia bertelanjang kaki.

Pria itu menatap Kimi dengan sorot mata aneh. Namun kemudian memaksakan senyum sambil menyapa :

“Halooo… selamat pagi!”

“Selamat pagi,” jawab Kimi, bingung.

“Maaf Buuu, sepertinya tadi sepatu saya terjatuh di… sana.” Kata pria itu sambil menunjuk halaman samping.

Kimi langsung teringat.

“Oh iya, sebentar Pak!”

Kimi kembali ke ruang tengah.

“Tidak dipersilahkan masuk dulu?” gumam pria itu, lebih kepada dirinya sendiri, dengan suara hampir tak terdengar dan senyum menguncup.

Di ruang tengah, Kimi mencari-cari kantong kresek yang ia letakkan di lantai. “Mom! Kantong kresek di sini ke mana ya?” tanya Kimi.

Rosmalia muncul dari arah dapur.

“Kantong kresek apa?” tanya Rosmalia, memastikan.

“Tadi di sini ada kantong kresek kan Mom?”

“Oh kantong-kantong sampah, tadi sudah Mommy buang ke gerobak tukang sampah. Kebetulan tadi lewat depan rumah. Memangnya ada apa?”

“Hah, dibuang? Semuanya?” tanya Kimi, mulai panik.

“Ya, semuanya dong, Kimi… Masa sampah mau dibiarin numpuk? Nggak bagus. Nanti banyak kecoak.”

Sekarang Kimi benar-benar panik. “Kresek yang warna putih juga, Mom?” tanya gadis itu dengan mata membelalak.

Rosmalia berkernyit tak mengerti. “Iyaaa, Kimi… Ada apa sih memangnya?”

“Astaghfirullooh!" gumam Kimi, terkejut.

Kimi segera beranjak ke depan menemui si pria dengan tergopoh-gopoh. “Kayaknya sepatu… sepatu Anda... tadi... tak sengaja terbuang ke gerobak sampah,” ujar Kimi, panik.

“Terbuang? Ke gerobak sampah?”

“Iya Pak!”

“Mana, mana gerobak sampah itu?”

Kimi melongok-longok, “Sepertinya sudah pergi Pak.”

“Oh, tidak! Tidak mungkin!”

Keributan Pagi Hari

"Kenapa kamu bisa seceroboh ini?"

Jantung Kimi berdegup kencang mendengar pria itu melontarkan kata-kata dengan nada marah.

Si pria tak ragu memanggil perempuan di depannya dengan sebutan 'kamu'. Ia yakin perempuan ber-niqab itu masih muda setelah mendengarnya memanggil seseorang di dalam rumah dengan sebutan 'mommy'.

"Maaf, tidak sengaja," ucap Kimi, berusaha tetap tenang meskipun wajahnya memerah di balik niqab.

"Kamu tahu, itu… itu…" ujar si pria, menggantungkan kalimatnya tanpa mampu melanjutkan. "Oh tidak, apa yang harus kukatakan pada Alessandro?" gumam si pria dengan nada sedih.

"Maafkan saya, Pak," ucap Kimi lagi, sambil membenamkan wajahnya semakin dalam.

“Tidak, tidak ada maaf,” kata si pria dengan nada yang mulai menunjukkan kemarahan. “Pokoknya kamu harus bertanggung jawab, kamu harus ikut saya mencari sepatu itu sampai ketemu, sekarang juga!”

Si pria menghampiri jalan kemudian melongok-longok. Tak ada satu pun gerobak sampah yang terlihat, kecuali hanya dua tukang becak yang sedang mengobrol santai.

“Kita harus susul gerobak itu!” teriak si pria dari pinggir jalan.

“Kita?” tanya Kimi.

“Ya iya lah!” katanya dengan marah. “Ayo ikut saya!”

“InsyaAllah saya akan tanggung jawab Pak, tapi tidak sekarang,” bujuk Kimi, merasa bingung.

“Tanggung jawab apa, hah?” kata si pria sambil menghampiri Kimi. “Tidak ada tanggung jawab yang bisa mengganti kerugian ini. Nggak bakalan ada yang sepadan! Kecuali hanya dengan membantu saya menemukan sepatu itu sampai ketemu. Sekarang juga!” tegas si pria.

“Pak… saya ada jadwal wawancara kerja…" ujar Kimi mencoba mengiba.

“Tidak, tidak! Kamu harus bantu saya mencari sepatu itu. Sekarang! Paham?”

“Tapi Pak…”

“Tapi apa? Sudah! Tidak ada tapi-tapi!”

Kimi ragu. Gadis itu mematung di teras rumahnya.

“Ayooo!” ajak si pria tak sabar sambil melangkah terburu-buru.

Dengan gemetar Kimi segera memakai sepatu flat-shoes-nya, kemudian menyusul di belakang sambil membenarkan tasnya yang tersampir di bahu.

“Tunggu Pak!”

Si pria melirik ke arah Kimi, “Ayooo! Bisa lebih cepat tidak sih? Haduuuh!” kemudian beralih ke tukang becak yang sedang mengobrol dan berteriak, “Pak, becak satu! Bisa ngebut kan?”

“Oh iya, bisa, bisa Pak.”

Si pria buru-buru naik ke becak.

“Ayo, naik,” ajak si pria sambil menyisakan tempat duduk di sampingnya.

“No!” jawab Kimi tegas.

Si pria menghembuskan napas, kemudian melirik ke tukang becak satu lagi. “Bang satu lagi, buat dia tuh,” si pria melirik ke arah kimi. “Sana naik!” suruhnya dengan ketus.

Dengan enggan Kimi naik ke becak yang satu lagi.

“Pak, tahu tidak ke mana biasanya gerobak sampah yang biasa lewat di sini perginya?” tanya si pria.

“Tahu, tahu Pak, biasanya ke penampungan.”

“Ya sudah, ayo ke sana Pak!”

Becak mulai bergerak dengan kecepatan tinggi. Kimi menyuruh tukang becaknya menyusul. Beberapa saat kemudian gadis itu berhasil menyusul, mensejajarkan diri, lalu bicara setengah berteriak kepada si pria.

“Pak, tolong Pak, saya ada wawancara kerja…”

“Tidak! Tidak ada! Tidak ada wawancara kerja! Pokoknya kamu harus tanggung jawab, titik. Jadi kamu harus ikut cari sepatu itu. Gimana kalau tidak ketemu? Terus siapa yang bantu saya?”

“Iya Pak, saya akan tanggung jawab.”

“Ya sudah, ayo ikut!”

“Saya akan ganti Pak, insyaAllah.”

“Tidak akan sanggup… tidak akan sanggup.”

“Sepatu Bapak mahal?”

“Ya iya lah, mahal,” jawab si pria, dengan kesal.

“Ya sudah, kalau saya tidak sanggup tanggung jawab, kan Bapak orang kaya, ya udah tingal beli lagi, gampang kan?” saran Kimi mulai jengkel.

“Duuuh, kamu tuh nggak ngerti ya…”

Becak bergerak dalam kecepatan tinggi.

“Apanya yang nggak ngerti sih Pak?”

“Nih denger ya, kamu itu sudah menghilangkan sepatu berharga saya. Memang kamu tidak bisa membedakan mana sepatu biasa, mana sepatu bagus, dan mana sepatu yang spesial?”

“Nggak bisa… Tapi bapak kan orang kaya, kan cuma sepatu doang… Lagi pula saya sudah bilang, saya tidak sengaja. Tuhan aja maafin kok, kesalahan hambanya yang tidak sengaja...”

“Tapi saya bukan Tuhan!”

Kimi menghembuskan nafas.

“Iya Pak, saya minta maaf...”

“Maaf, maaf! Maaf saja tidak cukup!”

“Terus saya harus bagaimana?”

“Bantu saya cari sepatu itu sampai ketemu. Ngerti?”

Mata kimi mulai berkaca-kaca “Duuuh, tapi saya ada wawancara kerja Pak… Ini sudah telat bangeeet! Ya ampuuun…”, Kimi menyeka genangan air matanya.

“Tidak peduli.”

Kimi diam, memijit kepalanya. Gadis itu mulai tertekan. “Paling harga sepatu berapa sih Pak? Lima ratus ribu, atau satu juta? Kayaknya meskipun sampai dua juta tidak masalah buat bapak,” teriak Kimi melawan gemuruh kendaraan lalu lalang. Kimi ingat rumah mewah tetangganya itu yang sepertinya berharga miliaran.

“Dua juta? Apa artinya uang dua juta?”

“Iya, makanya…”

“Makanya apa? Kamu tahu tidak berapa harga sepatu saya itu?” tanya si pria dengan gemas.

“Tidak! Berapa emang?”

“2500 euro.”

Kimi berkernyit.

“2500 euro?”

“Dan kamu tahu berapa kalau dirupiahkan?”

“Berapaaa?”

Si pria menghembuskan nafas.

“Itu setara dengan 46 juta rupiah, paham?”

Kimi terkejut. Begitu pula dua tukang becak, sama-sama terkejut. Mereka saling pandang dan hampir saja becak-becak yang mereka kemudikan oleng.

Kimi gemetar. Tapi gadis itu tak mau menyerah. “Ya udah, berarti Bapak hanya kehilangan 23 juta rupiah kan?” kata Kimi berusaha berargumen seraya mengendalikan kegugupannya.

“Lho kok gitu?”

“Kan yang hilang cuma sebelah...”

“Enak saja, terus apa artinya punya sepatu cuma sebelah doang? Lagi pula 23 juta juga duit gede!”

Kimi terdiam. Gadis itu memeluk tasnya semakin erat. Tubuh Kimi semakin gemetar membayangkan uang sebanyak 46 juta rupiah.

“Sudah, pokoknya kamu diam, ikut saya. Bantu saya cari sepatu itu sampai ketemu.”

Gadis itu sadar, ia tak akan mungkin sanggup untuk bertanggung jawab. Ia sadar pula bahwa ini memang juga salahnya. Meskipun ibunya yang membuang, tapi bukan sepenuhnya salah ibunya. Nyatanya Kimi begitu ceroboh telah menyimpan kresek berisi sepatu itu di dekat bungkusan sampah. Dan kini tak ada jalan baginya selain menurut.

Beberapa menit kemudian mereka tiba di penampungan. Bau sampah mulai menyeruak memenuhi atmosfir sekeliling. Di sana tampak ada seorang pemulung yang sedang memilah sampah dengan telaten. Sebuah karung tergeletak di sebelahnya.

Begitu becak berhenti si pria langsung turun menemui si pemulung, lalu memanggilnya.

“Pak, maaf saya mau tanya!”

Si pemulung berdiri kemudian menghadap.

“Iya Pak, mau tanya apa ya?”

“Mmm… Bapak tadi lihat gerobak sampah yang datang dari arah sana?” tanya si pria.

“Eeee… nggak sih Pak. Barusan malah dari arah sana,” kata si pemulung seraya menunjuk arah sebaliknya. “Iya Pak, dari arah sana, bukan dari arah yang Bapak maksud,” lanjutnya.

“Haduuuh… Masa sih Pak?”

Kimi mendekat dengan wajah khawatir. Gadis itu menyisirkan pandang ke tumpukan sampah. Siapa tahu si pemulung tak melihat gerobak itu datang dan sampah-sampahnya sudah dibuang di penampungan.

Si pria mengikuti Kimi mengedarkan pandang ke sekitar area penampungan sampah itu.

“Pak, di sini Bapak nemuin sepatu kulit warna cokelat nggak Pak?” tanya Kimi. “Tapi hanya sebelah.”

“Emm… nggak Bu,” jawab si pemulung.

Beberapa detik kemudian si pemulung melongok-longok ke arah belakang si pria.

“Eh, tuh dia gerobaknya baru dateng!”

Kimi dan si pria terkejut lalu menengok ke belakang.

“Oh Tuhan!” gumam si pria. “Akhrinya, akhirnya…” si pria berbalik setengah berlari ke arah seorang pengepul sampah yang tampak melenggang santai mendorong gerobak.

Kimi menyusul di belakang dengan langkah cepat.

“Pak… Pak…!!” si pria berteriak-teriak ke arah si pendorong gerobak.

Si Pendorong gerobak berhenti karena terkejut. Ia terlihat panik dan seperti mau berbalik.

“Tungguuu…!!! Ada barang saya yang kebuang Pak! Tunggu!” teriak si pria.

Mendengar ucapan si pria, si pendorong gerobak menghembuskan napas, tak jadi berbalik.

“Pak, tadi Bapak ngambil sampah dari area sana ya?”

“Iya, Pak,” jawab si pendorong gerobak, waspada.

“Begini, Pak, tadi ada barang saya yang kebuang, boleh minta tolong diperiksa, Pak?” pinta si pria.

Si pendorong gerobak melihat ke dalam gerobaknya. Gerobak itu berisi bungkusan kresek sampah. Tidak penuh, tapi bungkusannya lumayan banyak.

“Waduuuh, repot dong, Pak, kalau cari sama-sama sih saya mau,” jawab si pendorong gerobak.

“Ya sudah, kita cari sama-sama,” kata si pria. Si pria melirik ke arah Kimi. “Kamu juga, jangan diem aja dong, bantu sini!” suruh si pria dengan ketus.

“Iya Pak,” sahut Kimi seraya mendekat.

Si pendorong gerobak mengeluarkan bungkusan sampah, sementara Kimi dan si pria membuka-buka bungkusan itu.

Kimi ingat bungkusan sepatu itu berwarna putih. Tapi gadis itu tidak tahu, mungkin saja bungkusan berisi sepatu itu dimasukan ke bungkusan lain yang lebih besar oleh ibunya. Maka tidak ada jalan lain selain memeriksa setiap bungkusan sampah.

Setelah mereka membuka hampir semua bungkusan sampah, mereka tak juga menemukan sepatu si pria. Cukup aneh. Tapi mereka tidak mau menyerah. Kimi dan si pria melihat ada satu bungkusan lagi yang belum dibuka. Si pria bergegas mengambilnya lalu memeriksa isi bungkusan terakhir itu. Namun hasilnya tetap sama, sepatu si pria tetap tak ditemukan.

Si pria panik. “Pak, Bapak beneran tadi membawa sampah dari area sana?”

“Iya Pak, beneran!” jawab si pendorong gerobak.

Kimi mencoba membantu, gadis itu pun bicara :

“Maksudnya, dari sekitar rumah-rumah di sana Pak, dari sekitar… rumah-rumah yang salah satu rumahnya itu ada rumah gedong tiga lantai warna putih itu loh Pak. Beneran dari sana Pak?”

“Iya…” jawab si pendorong gerobak sampah.

“Terus? Mana?” tanya si pria sambil melirik ke arah Kimi. “Sepatu saya mana?” tanyanya lagi, panik.

“Sebentar Pak, saya pikir…” kata si pendorong gerobak seraya menggantungkan kata-katanya.

“Saya pikir apa?” tanya si pria, tak sabar.

“Kalau sampah-sampah ini, tadi saya bawa dari area gang di sana Pak,” kata si pendorong gerobak sambil menunjuk ke belakang.

“Gang mana?” tanya si pria tak mengerti, walaupun sebenarnya ia cukup menyadari bahwa pertanyaannya mulai tidak penting.

“Gang di sana Pak. Gini, saya jelasin ya… Di samping rumah gedong putih itu kan ada rumah kecil yang ada pohon-pohon rindangnya itu… Pohon apa itu ya? Mmm… pohon ketapang kencana kalau tidak salah. Terus… di samping rumah itu ada gang, nah… saya masuk ke sana Pak, ngambil sampah-sampah ini dari rumah-rumah warga.”

“Terus?” tanya si pria semakin tak mengerti, seraya melirik ke arah Kimi.

Kimi sadar gang yang dimaskud si pendorong gerobak adalah gang samping rumahnya. Di gang itu memang ada beberapa rumah warga.

“Tapi Bapak ngambil sampah di rumah yang di samping rumah gedong putih itu kan, Pak? Rumah yang sebelum jalur masuk gang?”

“Nggak Bu, nggak ngambil,” kilah si pendorong sampah terlihat ketakutan.

Kimi berkernyit heran.

“Saya cuma dikasih kok. Kalau di rumah itu tadi ada ibu-ibu keluar membawa beberapa kantong kresek, terus ditaruh di gerobak saya, ya saya bawa saja,” jawab si pendorong gerobak membela diri.

“Sama aja kali Pak,” ujar Kimi, gemas.

“Tapi kan saya nggak ngambil.”

“Sudah-sudah! Kami nggak nyalahin Bapak. Oke?” ucap si pria. “Kami cuma mau tanya…”

“Saya dikasih loh Pak, saya nggak ngambil.”

“Iya, Paaak!” tegas si pria.

“Terus sampah-sampah dari rumah itu, rumah yang ada pohon-pohon ketapang kencananya itu, Bapak bawa kan pake gerobak ini?” tanya Kimi.

“Emmm… tadi sih saya bawa…”

“Tadi? Maksud Bapak apa?” tanya si pria terkejut.

“Eeee… jadi ceritanya gini Pak… tadi kan setelah saya menerima sampah dari rumah itu, rumah yang di samping rumah gedong itu, ada mobil truk sampah mampir. Truk itu berhenti di dekat saya. Ya sudah, daripada capek-capek saya kasih aja semua sampah dari gerobak saya ke truk itu.”

“Ya ampuuun, Pak, kenapa nggak ngomong dari tadi?” protes si pria, panik.

“Aduh maaf Pak, Bu, saya pikir….”

“Saya pikir, saya pikir,” ujar si pria, naik darah.

“Yaaa… mana saya tahu Pak. Saya pikir…”

“Saya pikir terus, haduuuh…”

“Terus gimana dong Pak?” tanya si pendorong gerobak. “Saya nggak disalahin kan?”

“Aman Pak, tenang saja,” kata si pria berusaha lapang dada meskipun kepanikannya mulai memuncak. “Ya sudah! Terus kemana truk sampah itu pergi?”

“Ya saya nggak tahu Pak,” jawab si pendorong gerobak sambil mengangkat bahu.

“Masa nggak tahu sih Pak? Bapak kan sehari-hari ngurusin sampah, masa nggak tahu sih Pak?” protes si pria, berharap si pendorong gerobak memberi keterangan lebih lanjut.

Si pendorong gerobak berpikir.

“Kalau saya lihat sih tadi muatannya sudah penuh…” gumam si pendorong gerobak, lalu berpikir lagi.

“Ya terus kalau sudah penuh memangnya kenapa?” tanya si pria tak sabar.

“Kalau sudah penuh biasanya sih langsung ke Bantar Gebang, Pak,” jawab si pendorong gerobak.

“Apa? Bantar Gebang?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!