NovelToon NovelToon

If You Come Back

Luka yang tak berdarah

Cuaca terlihat sangat mendung, awan gelap mulai menghalangi cahaya matahari yang menerangi bumi. Pemakaman yang tadinya ramai, kini satu persatu orang mulai pergi sebelum hujan mengguyur mereka. Tinggal lah seorang wanita dan beberapa orang saja yang masih diam berdiri di depan sebuah makam yang baru saja di buat.

Perlahan, wanita itu berlutut. Ia mengusap papan nisan dengan lembut. Tatapannya terlihat kosong, cuaca hari ini seolah menggambarkan keadaan hatinya sekarang. Gerimis mulai turun, tapi tak membuat wanita itu beranjak dari sana.

"Elara, ayo kita pulang. Sebentar lagi, pasti turun hujan." Ujar seorang pria tampan seraya menyentuh bahu wanita bernama Elara Aleshia.

"Arion, Mami sama Papi ke mobil duluan." Ujar seorang wanita paruh baya pada putranya, Arion Zefrano.

Arion mengangguk, ia membiarkan sepasang paruh baya itu pergi dari sana. Meninggalkan ia berdua dengan wanita yang berstatus sebagai istrinya. Perlahan, Elara beranjak berdiri. Arion menuntun istrinya itu untuk kembali ke mobil lantaran tatapan Elara yang terlihat kosong.

Keduanya pun masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan area pemakaman. Sepanjang jalan, Elara hanya menatap jalan tanpa berkata sedikitpun. Sejak sang ayah di nyatakan meninggal malam tadi, membuat dunia Elara terasa hancur. Orang tua satu-satunya yang ia miliki kini sudah berpulang. Cinta pertama nya, tak ada lagi bersamanya.

"Ayah pasti sudah bahagia sama Ibu, jangan terus meratapinya." Ujar Arion seraya mengelus bahu Elara dengan lembut. Ia tahu, seberapa terpukul Elara. Terlebih, istrinya itu terbilang sangat sayang dengan sang ayah yang memang sudah lama memiliki penyakit jantung. Sayangnya, dokter tak bisa lagi menyelamatkan sang ayah.

Sesampainya di rumah, Elara langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu dan bahkan menguncinya. Melihat itu, Arion menghela nafas pasrah. Ia memandang sendu ke arah pintu kamar mereka yang tertutup rapat. Yah, mungkin saat ini Elara butuh menenangkan diri.

"Papa."

Arion menoleh, ia tersenyum melihat anak laki-laki berusia enam tahun yang datang menghampirinya.

"Ervan? Kenapa hum?" Arion menghampiri putranya yang bernama Ervan Diaz Zefrano, putra pertamanya dengan Elara. Ervan tak ikut, sebab Arion melarangnya.

"Apa Mama baik-baik saja?" Tanya Ervan dengan tatapan khawatir.

"Ya, mama baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu, sebentar saja. Nanti Mama akan pulih kembali hm. Ervan jangan ganggu mama dulu yah, main aja sama Papa." Ujar Arion memberi pengertian seraya mengelus kepala putranya itu.

Tatapan Ervan beralih menatap ke arah pintu dengan tatapan sendu. "Mama gak pernah main sama Ervan." Lirihnya.

Raut wajah Arion berubah, "Eum mungkin mama sibuk dengan kuliahnya. Ervan kan bisa main sama Papa, laki-laki mainnya harus sama laki-laki." Ujar Arion menenangkan putranya.

"Tapi temanku selalu main dengan ibunya. Mama gak suka Ervan yah?" Pertanyaan Ervan membuat tenggorokan Arion terasa tercekat.

"Bukan begitu, Mama hanya sibuk saja. Ayo, kita main di kamarmu." Arion memilih membawa putranya pergi bermain agar anak itu tak banyak bertanya lagi.

Selama ini Ervan ingin dengan dengan mamanya, tetapi Elara seolah menjauhinya. Bahkan, wanita itu tak pernah antusias dengan apa yang Ervan lakukan. Sering kali Ervan mencoba mendekat, tetapi mamanya seolah menatapnya sebagai orang asing.

"Ervan mau main sama Mama." Ujar Ervan saat keduanya masuk ke dalam kamar bermain milik Ervan.

"Nanti setelah Mama pulih kita main sama mama yah, sekarang main sama Papa dulu." Sahut Arion menenangkan putranya.

Ervan menunduk, ia menatap mainannya yang berantakan di karpet kamarnya. "Kapan Mama mau main sama Ervan?" Batin Ervan dengan tatapan sendu.

.

.

.

Seharian Elara tak keluar dari kamarnya, wanita itu hanya diam terduduk di lantai seraya bersandar pada ranjang. Ia memeluk lututnya seraya menatap kosong ke depan. Air matanya kembali luruh, d4danya terasa sesak. Tak ada isak tangis yang keluar dari bibirnya, hanya ada air mata yang mengalir untuk mencurahkan isi hatinya.

"Menikahlah dengan Arion, kalau kamu sayang Ayah. Ayah akan lebih semangat untuk sembuh, jika kamu mau menuruti kemauan Ayah." Ujar seorang pria paruh baya yang terbaring di atas brankar.

"Elara mau lanjutin kuliah dulu Ayah, Elara mau jadi wanita karir." Ujar Elara dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu bisa berkuliah setelah menikah, Arion juga pasti tidak akan melarang. Ayah tidak bisa menjagamu dengan kondisi seperti ini, menurut lah Nak." Ujar sang ayah dengan suara yang lirih.

Elara terdiam, ia menatap sang ayah dengan tatapan lekat. "Apa dengan itu Ayah berjanji padaku untuk bertahan lebih lama? Aku gak mau kehilangan Ayah, jika memang dengan aku menikah Ayah bisa semangat sembuh. Aku mau menikah dengan Arion." Putus Elara dengan mata berkaca-kaca.

"Ayah pasti semangat sembuh dan terus menemani putri kesayangan Ayah ini. Jangankan sampai Ayah punya cucu, Ayah akan berusaha bertahan sampai Ayah punya cicit. Jantung ini, akan terus berdetak sampai melihat putri kesayangan Ayah ini bahagia."

"Ayah bohong, aku belum bahagia dan ayah sudah pergi. Pernikahan ini ... tidak lebih dari sekedar janjiku pada ayah. Tapi, ayah mengingkari janji ayah." Lirih Elara dan melepas cincin pernikahannya yang terpasang apik di jari manisnya.

Ia kembali mengingat pernikahannya dengan Arion, tak ada raut wajah bahagianya. Ia tak mencintai Arion, bertahun-tahun ia menutup hatinya untuk suaminya itu. Namun, kesalahan satu malam membuatnya hamil dan melahirkan Ervan. Tak ada rasa bahagia di hati Elara saat menjalankan rumah tangganya bersama Arion selama tujuh tahun ini.

Sementara itu, Arion khawatir karena seharian Elara tak keluar kamar. Ia mengetuk pintu kamarnya, tetapi tak ada jawaban dari Elara. Arion mencoba berpikir positif, tetapi ia justru semakin bertambah khawatir.

"Elara, bisakah kamu keluar? Seharian kamu belum makan, Magh mu akan kambuh. Elara, kau mendengarku?" Ujar Arion yang kini berdiri di depan pintu.

Cukup lama Arion membujuk, tapi tak ada sahutan dari dalam. Khawatir Elara pingsan, Arion segera mengambil kunci duplikat. Namun, saat akan memasukkan kunci itu. Tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Melihat itu, Arion tersenyum lega.

"Elara, apa kamu baik-baik saja? Aku sangat ...." Perkataan Arion terhenti saat melihat koper yang ada di sisi wanita itu.

"Kamu ... mau kemana?" Tanya Arion dengan tatapan bingung.

"Ayah sudah tiada, gak ada lagi yang harus di pertahankan dari pernikahan ini. Mari kita berpisah Ar,"

Deghh!!

Arion menggelengkan kepalanya, ia tersenyum ragu pada istrinya itu. "Kamu lelah yah? Aku akan membiarkanmu istirahat. Masuklah kembali ke kamar, aku akan meminta bibi membawakan mu makan malam. Aku akan membiarkanmu sendiri dalam beberapa waktu untuk menerima keadaan ini semua." Ujar Arion dengan tatapan pias.

"Aku ingin mengejar kebahagiaanku, Arion." Lirih Elara dengan tatapan lekat.

Senyuman Arion luntur, ia menatap Elara dengan tatapan yang sulit di artikan. "Apa bersamaku kamu tidak bahagia? Tujuh tahun kita menikah, apa tidak ada artinya bagimu? Setelah apa yang kita lalu selama ini? Ingat, ada Ervan. Apa kamu memikirkan perasaannya?" Ujar Arion dengan suara bergetar.

"Aku tetap ingin berpisah, Ar. Hak mu yang ku berikan selama ini hanya sebatas baktiku menjadi seorang istri. Tolong, biarkan aku lepas dari belenggu pernikahan ini. Apa kamu juga tidak tersiksa dengan pernikahan terpaksa ini? Kamu bisa dapat wanita yang lebih baik dariku Ar," Lirih Elara dengan tatapan lekat.

Arion berkacak pinggang, pria itu menunduk sejenak dan menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Jantung Arion berdegup dengan keras, tangannya terasa bergetar saat ini.

"Baik, pergi lah jika itu membuatmu bahagia. Tapi, jangan bawa putraku." Ujar Arion sambil menatap Elara dengan tatapan yang menyakitkan.

Elara memalingkan wajahnya, ia mengangguk dan kembali menatap Arion dengan tatapan datar. "Anggap saja, Ervan sebagai hadiah terbaik yang pernah aku berikan padamu selama kita menikah." Ujar Elara sebelum beranjak pergi meninggalkan Arion yang terkejut dengan perkataan istrinya itu. Kedua tangan Arion terkepal, menahan amarah yang memuncak di d4da.

"JANGAN PERNAH KEMBALI ELARA!" Sentak Arion yang mana membuat langkah Elara terhenti.

"Jangan pernah kembali ke kehidupan ku dan putraku! Sekalinya kamu keluar dari rumah ini, kamu tidak akan memiliki kesempatan untuk kembali!" Ancam Arion. Namun, Elara tetap pada pendiriannya.

"Kamu pantas mendapat wanita yang lebih baik, Ar." Ujar Elara sebelum melanjutkan langkahnya pergi menjauh.

"Mama! Mama!!" Ervan yang melihat sang mama pergi dengan membawa kopernya segera berlari mengejarnya. Namun, Elara tetap pada pendiriannya. Ia memasuki mobil yang baru saja datang menjemputnya.

Mobil itu bergegas pergi, tapi tak membuat Ervan berhenti mengejarnya. Arion berlari mengejar putranya, ia meraih tubuh Ervan dalam pelukannya dan menahan putranya itu agar tak semakin mengejar kepergian mobil yang membawa Elara.

"MAMAAAAA!!"

Air mata Arion luruh, ia memeluk putranya di tengah guyuran hujan. "Kamu akan membayar apa yang kamu perbuat Elara!" Batin Arion dengan mata memerah menahan amarah.

Keadaan yang sebenarnya

"Kamu gila yah?! Gak kasihan sama anak dan suamimu itu?" Sentak seorang wanita yang menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Elara hanya diam, ia memandang lurus ke depan dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Hentikan mobilnya Kei!" Sentak Elara secara tiba-tiba, membuat Keiko mendadak menghentikan mobilnya di tepi jembatan.

Elara bergegas keluar, melihat itu Keiko langsung menyusulnya. Matanya membulat sempurna saat melihat Elara yang berusaha menaiki jembatan. Bergegas, Keiko memeluk tubuh Elara dari belakang dan menghalangi rencana wanita itu.

"BERHENTI EL! KAMU GIL4 HAH?! AYAH PASTI SEDIH LIHAT KAMU YANG KAYAK GINI!" Teriak Keiko.

Tubuh Elara luruh, Keiko pun langsung merengkuh wanita itu dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh Elara yang bergetar hebat, tangis histeris Elara memekik di gendang telinganya. Perlahan, Keiko melepas kan pelukannya. Ia meraih wajah Elara dan menatapnya dengan tatapan dalam.

"Semesta jahat sama aku Kei, mereka selalu ambil orang yang aku sayangin. Pertama adikku, ibu, sekarang ayah hiks ... kenapa harus orang yang aku sayang? Kenapa hiks .... semesta cuman mau aku menderita dengan mengambil orang terdekatku Kei." Isak Elara dengan tatapan menyakitkan.

"El, semua sudah jalannya. Jalan hidup ayah, cukup sampai disini. Kamu harus relakan ayah, biar ayah tenang. Kalau lihat kamu seperti ini, ayah pasti sedih." Ujar Keiko dengan suara lirih.

Keiko menghapus air mata Elara, raut wajah sahabatnya itu tampak sangat lelah dengan keadaannya sekarang. Keiko tahu, jika Elara tengah rapuh. Emosinya belum stabil dan butuh teman yang selalu berada di sisinya. Maka dari itu, saat Elara memintanya menjemputnya. Tanpa banyak kata Keiko langsung menjemput wanita itu pergi.

"Apa karena ada aku, hidup mereka menjadi sial?" Tanya Elara dengan tatapan kosong.

"El! Gak ada yang namanya pembawa sial! Berhenti berpikiran negatif tentang diri kamu sendiri! Kamu berhak bahagia, kamu berhak menjalani kehidupanmu yang baru. Semua yang telah terjadi, itu karena takdir. Bukan karena sial atau apapun itu." Tegas Keiko.

Mendapati Elara yang hanya diam dengan tubuh yang lemas, Keiko menghela nafas pelan melihat itu. "Kita pulang sekarang yah? Kasihan dengan Ervan yang tadi mengejarmu sampai segitunya," ujar Keiko yang mendapat gelengan dari Elara.

"Semua orang yang aku sayang meninggal El, cukup ayah, ibu dan adek saja. Ervan, dia harus baik-baik saja. Arion, dia pria yang sangat baik. Dia tak pantas mendapatkan wanita seperti ku." Air mata Elara kembali jatuh, d4danya terasa sangat sesak. Ia bahkan meremas lengan baju Keiko dengan sekuat tenaga. Sorot matanya penuh ketakutan, tubuhnya pun bergetar hebat.

"El, tidak ada yang bisa melihat masa depan. Jangan berpikiran kamu akan mencelakai mereka, ayo kembali. Pasti Arion sedang khawatir denganmu." Bujuk kembali Keiko.

"Aku sudah memutuskan cerai dari Arion, Kei." Ujar Elara dengan menatap dalam wajah terkejut Keiko.

"A-apa?"

Air mata Elara luruh, entah penyesalan ataukah rasa sakit yang tidak dapat Keiko lihat. Tatapan wanita itu benar-benar kosong seakan tak ada harapan yang dapat ia perjuangkan. Elara, sahabatnya itu merasa dunianya berhenti setelah orang-orang tersayangnya pergi meninggalkannya.

"El ...,"

"Kalau aku tidak pergi, siapa selanjutnya yang akan menyusul ayah? Arion, atau Ervan? Bukankah lebih baik, aku saja? Biar rasa bersalah ini berakhir." Ujar Elara dengan senyuman yang menurut Keiko tidak wajar.

"El ...."

.

.

.

Keiko memandang Elara yang duduk di tepi ranjang seraya membelakanginya. Sahabatnya itu hanya memeluk sebuah bingkai seraya menatap kosong ke depan. Sudah satu bulan lamanya Elara terus berdiam diri di kamar ini tanpa berniat untuk melanjutkan kehidupan yang normal. Elara hanya menangis, terkadang melamun seperti saat ini.

"Sampai kapan Elara sembuh?" Tanya Keiko pada dokter muda di sebelahnya yang turut memandang Elara.

"Tergantung Elara nya, apa dia mau sembuh atau tidak? Elara mengalami gejala depresi, dimana dia merasa sedih, putus asa, merasa bersalah, gagal, selalu berpikiran negatif. Bahkan, berusaha untuk mencelakai dirinya. Dia merasa, orang yang di sekelilingnya akan mengalami nasib yang sama seperti keluarganya. Keadaan mental seseorang berbeda-beda, tidak semuanya kuat menghadapi kenyataan yang ada." Ujar Dokter itu dengan tatapan sendu.

Keiko menghela nafas pelan, "Padahal, tak seperti yang dia pikirkan. Semuanya sudah jalan hidup mereka. Sudah waktunya mereka berpulang, bukan karena kehadiran Elara. Dokter Agam, kamu harus berusaha menyembuhkan sahabatku. Dia masih memiliki seorang putra yang pasti menunggunya kembali." Dokter psikiater itu menganggukkan kepalanya.

"Untungnya, kamu cepat tanggap jika keadaan mental Elara sedang tidak baik-baik saja. Jadi, kita masih bisa menyembuhkannya." Kata Dokter Agam.

Keiko tersenyum tipis, yah dia merasa Bersyukur telah menyadari kondisi mental Elara lebih cepat. Keiko membawa Elara ke rumahnya, dia memang tinggal sendiri di rumah ini. Sementara orang tuanya sibuk bekerja di luar negri. Sejak pertama kali Elara tinggal di rumahnya, ada beberapa perbuatan yang Elara lakukan. Seperti, ingin menyakiti dirinya sendiri dan selalu merasa bersalah.

"Dulu, Elara adalah wanita yang sangat ceria. Cerewet, selalu heboh, tapi sejak ibunya meninggal ... dia berubah. Di tambah, setelah ayahnya meninggal membuat Elara begitu terpuruk." Lirih Keiko.

"Seseorang yang mengalami depresi butuh seseorang di dekatnya. Berusaha meyakinkannya bahwa dia sangat berharga. Sayangnya, suaminya malah melepaskannya." Perkataan Dokter Agam membuat Keiko menyipitkan matanya.

"Elara yang minta di cerai kan Dok, bukan suaminya." Protes Keiko.

"Laki-laki yang punya keputusan, seharusnya dia menolak permintaan Elara dan menahannya tinggal di sisinya. Seharusnya dia paham, jika Elara butuh teman di masa terpuruknya." Ujar Dokter Agam dengan tatapan yang sulit di artikan.

Keiko hanya bingung, ia memandang kepergian Dokter Agam dengan keningnya yang mengerut dalam. "Aneh, ngomongnya seolah tuh kayak ... mau membanggakan dirinya gitu. Tapi, masa sih? Tapi bener juga sih, seharusnya Arion tahu jika kondisi Elara sedang tidak stabil. Kan, kunci sebuah hubungan tuh ada di laki-laki." Gumam Keiko.

Karena sudah jam makan siang, Keiko membawakan Elara makan siangnya. Selama sebulan ini, Keiko benar-benar telaten mengurus Elara. Dia tidak ingin, Elara mengambil langkah yang salah seperti malam itu. Jika saja Keiko tidak mencegahnya, ia pasti kehilangan sahabatnya tersayangnya ini.

"El, makan dulu yah." Ajak Keiko.

Elara tak menolak, ia bahkan meraih piring yang ada di tangan Keiko. Perlahan, ia menyendokkan makanan itu ke dalam mulutnya. Keiko yang melihat itu tersenyum, biasanya ia harus membujuk Elara untuk makan. Tapi sekarang, wanita itu terlihat mandiri.

"Maaf, aku sudah merepotkanmu selama ini." Lirih Elara dengan memandang sendu ke arah Keiko.

"Gak papa, repotin aja aku El. Dari pada kamu nyemplung ke kali kan? Mending repotin aku, ikhlas lahir batin deh buat kamu." Seru Keiko dengan candaannya

Elara tersenyum, ia kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Namun, baru tiga suap makan saja Elara sudah terdiam. Raut wajahnya berubah pucat, melihat itu Keiko melunturkan senyumnya. "Ada apa?" Tanya Keiko dengan khawatir.

Elara tak menjawab, ia meletakkan piringnya dan berlari ke arah kamar mandi. Tanpa berlama-kama, Keiko segera menyusul nya. Ia melihat Elara yang tertunduk di wastafel seraya mem*nt4hkan isi perutnya. Sayang sekali, makanan yang sempat Elara makan tadi terbuang.

"Mual Kei." Lirih Elara.

Elara kembali mem*nt4hkan isi perutnya, Keiko segera menyingkirkan rambut panjang Elara agar tak mengenai munt4hannya. Namun, tiba-tiba saja tubuh Elara luruh ke bawah. Membuat Keiko reflek menahan perut sahabatnya agar tak menghantam lantai.

"DOKTER AGAAAAM! TOLOOONG!" Teriakan Keiko mengundang Dokter Agam datang. Pria tampan itu terkejut mendapati Elara yang pingsan. Bergegas, ia meraih tubuh Elara dan menggendongnya.

"Kita bawa ke rumah sakit!"

.

.

.

Dokter Agam menatap hasil laporan keadaan Elara dengan tatapan yang sulit di artikan. Lalu, pria itu menyerahkan kertas hasil laporan yang rekannya berikan tadi pada Keiko yang berdiri di sisinya. Tanpa memperdulikan respon Keiko, Dokter Agam berjalan mendekati brankar dimana Elara berbaring dengan selang infus di tangannya.

"Jadi, Elara sudah hamil tiga bulan? Bagaimana bisa?!" Kaget Keiko.

Dokter Agam hanya diam, ia memandang Elara yang terlihat damai dalam tidurnya. Tak ada raut wajah keputusasaan, ketakutan, dan kesedihan saat ini. Elara, tampak terlelap tanpa beban pikirannya yang selama ini menghantuinya.

Tak lama, Elara membuka matanya. Melihat itu, Keiko datang mendekat dan menunggu Elara menyesuaikan keadaan. Perlahan, tatapan Elara mengarah pada Keiko yang seolah ingin memberitahukannya sesuatu.

"El, kamu sedang hamil!" Seru Keiko dengan senyuman mengembang.

Elara hanya diam, tetapi bola matanya terlihat membulat sempurna seolah tengah terkejut saat ini. Perlahan, ia meletakkan tangannya di atas perutnya yang memang sedikit membuncit. Selama ini, ia tidak sadar jika dirinya sedang hamil. Terlalu sibuk memikirkan sang ayah hingga dia tak menyadari perubahan dirinya.

"Cepat kasih tahu Arion, dia pasti akan langsung kesini." Pinta Keiko.

Elara menggelengkan kepalanya, ia tak mungkin lupa dengan perkataan Arion malam itu. Dia memutuskan untuk pergi, dan Arion tak mengizinkannya untuk kembali. Bayangan penolakan Arion memenuhi pikirannya. Tak di sangka, Elara menggelengkan kepalanya seraya menatap lurus kedepan.

"Aku yang akan membesarkan anak ini sendiri." Ujar Elara seraya mengelus perutnya dengan lembut.

____

Bentar kawan, satu lagi🤓

Setelah ini bocil gembul muncul yah😆

Waktu yang berlalu, luka yang masih ada

Lima tahun kemudian.

Terlihat, seorang gadis kecil tengah berdandan ria di depan cermin kecilnya. Rambut pendek bergelombang miliknya di sisir serapih mungkin. Lalu, ia memakai mahkota kecil di atas kepalanya seolah ia adalah sang putri. Senyumannya merekah, ia menatap pantulan dirinya yang terlihat sangat cantik.

"Tantiknaaa buat jadi pacal pangelan iniii!" Seru gadis kecil itu sambil memegangi kedua pipi gembulnya.

TING TONG!

TING TONG!

Mendengar suara bell, gadis kecil itu berlari keluar dari kamarnya. Bahkan, ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Melihat sosok gadis kecil itu, Elara yang baru saja keluar dari kamarnya memekik panik.

"DARA! HATI-HATI!" Teriak Elara. Dara Calista, gadis kecil yang Elara lahirkan empat tahun yang lalu. Ia memilih menyewa rumah dan membesarkan putrinya seorang diri. Perlahan, keadaan Elara jauh lebih membaik setelah putrinya lahir. Dunianya perlahan kembali pulih, kehidupan nya pun kembali hidup.

Cklek!

Dara membuka pintu rumahnya, senyumannya merekah melihat sosok yang sedari tadi ia tunggu. "Mana bakcona Dala? Kemalin Dala minta Onty bawakan loh! Cudah dandan tantik Dala ini buat makan bakco, nda lupa ci?" Ujar bocah menggemaskan itu saat melihat Keiko yang datang dengan membawa paper bag di tangannya.

"Hais, selalu minta jajan. Gak minta sugar daddy aja? Biar Aunty carikan?" Celetuk Keiko yang mana mendapat pelototan tajam dari Elara.

"Kei, jangan ajari putriku yang aneh-aneh." Tegur Elara.

Keiko terkekeh pelan, ia menyerahkan paper bag yang berisikan pesanan Dara. Melihat itu, Dara meraih paper bag yang Keiko berikan dan mengintipnya sedikit. "Bakcona Dalaaa! Onty cayangna Dala, Dala makan dulu yah. Balu nanti kita cali cugal daddy!" Ujar Dara dan berlari ke dapur untuk mengambil mangkok.

Mendengar itu, Elara dan Keiko sama-sama melongo di buatnya. Mereka tak menyangka jika Dara akan mengatakan hal itu. Tadinya, Keiko niat bercanda saja. Tak di sangka gadis kecil itu cepat tanggap perkataannya.

"Itu ...."

"Masuklah, aku pikir kamu tidak datang." Ajak Elara.

"Mana mungkin, keponakanku menginginkan bakso. Masa tidak aku belikan? Kamu lihat lipatan tangan gembulnya itu? Pipi bulat yang meluber? Sangat menggemaskan bukan? Hais, Dara untukku saja bagaimana? Kau bisa membuat yang baru." Sahu Keiko dengan mengedipkan matanya jail.

Elara melirik sinis, "Buat aja sendiri," Ujar Elara yang kesal membuat Keiko tertawa.

"Lagian, umurmu sudah hampir tiga puluh tahun. Kenapa tidak menikah? Dara sudah empat tahun, tapi Tantenya ini belum menemukan tambatan hati." Lanjut Elara seraya membenarkan letak mangkok bakso milik putrinya.

"Hais, belum menemukan yang cocok. Lagian, menikah bukan tujuan hidupku." Jawab Keiko dengan santai.

"Dokter Agam gimana? Dia tampan dan mapan, kamu tidak tertarik?" Tanya Elara dengan jail.

Keiko membulatkan matanya, "Sembarangan! Dia tuh sukanya sama kamu tahu! Tapi kamunya gak peka-peka!" Omel Keiko.

"Jangan mengarang Kei, gak lucu." Tegur Elara.

"Dih, yaudah kalau gak percaya." Ujar Keiko seraya melirik kesal ke arah sahabatnya itu.

Elara menggelengkan kepalanya, sahabatnya satu itu sering sekali meledeknya dengan Dokter Agam. Sebenarnya Keiko belum tertarik dengan yang namanya pernikahan. Walau begitu, Keiko begitu tertarik dengan pria tampan yang ia temui di mana saja. Sifatnya, bahkan sering di tiru oleh Dara yang masih tahap pengenalan hal baru.

"Celain cuka bakco, Dala juga juga cate. Nda pelcaya? Coba beliin Dala cate becok." Celetuk Dara secara tiba-tiba.

"Yeee, ada aja akalnya nih bocah yah!" Omel Keiko seraya menarik gemas pipi bulat Dara.

"Mama cudah, Dala mau cucu ada? Cemalem Dala liat ada tempatna becal. Nda mungkin kocong ci?" Ujar Dara dengan mata bulatnya.

"Susu untuk nanti malam, nanti kamu akan bertambah bulat jika terus meminum susu." Sahut Elara seraya membersihkan mulut putrinya.

"Ngapain pake bahasa halus El? Bilang saja, kuruskan badanmu dulu baru minum susu! Hahaha!!" Dara melirik sinis, bibirnya mengerucut di sertai matanya yang menyipit.

"Onty jelek! Pantecan nda laku!" Desis Dara.

"Kamu ....,"

"Sudahlah, aku akan berangkat ke kantor. Ayo Dara siap-siap, kamu akan Mama antar sekolah." Ucap Elara melerai perdebatan keduanya.

"Yaudah, kalau gitu aku ke butik dulu. Peluk Aunty cantik dulu lemper, nanti Aunty kasih uang dua lebuuuu." Keiko memeluk Dara yang memasang raut wajah pasrah. Ia senang sekali meledek dan menjaili bocah menggemaskan itu.

"Cudahlah, kemalin telol gulung cekalang lempel. Pacalan kali mukana Dala ini, nda papa demi uang dua lebuuu." Batin anak itu menerima keadaan.

Sementara itu di tempat berbeda, terlihat Arion baru saja keluar dari kamarnya. Ia melewati keluarganya yang sedang makan di meja makan. Melihat kehadiran Arion, seorang wanita paruh baya pun memanggilnya. Terpaksa, Arion menghentikan langkahnya dan menatap ibunya itu.

"Arion, Dahlia datang untuk sarapan bersama kita. Ayo, kita sarapan dulu." Seru Damara, yang merupakan ibu dari Arion.

Arion melirik wanita cantik yang duduk di sebelah Damara, "Aku harus ke perusahaan JR Group hari ini, tidak sempat sarapan." Ujar Arion dengan tatapan datarnya.

"Hais, makanlah dulu. Dahlia datang dan membawakanmu masakan buatannya. Dia sudah bersusah payah, jadi hargai dia." Tegur Damara.

"Aku tidak meminta dia memasaknya." Jawab Arion dan beranjak pergi meninggalkan Damara yang berseru memanggilnya.

"Astaga anak itu, maafkan Arion yah sayang." Ujar Damara merasa tak enak pada sosok wanita cantik di sebelahnya itu.

"Enggak masalah Tante, mungkin Arion memang sedang buru-buru. Aku masak juga untuk Ervan, dia sangat suka masakanku. Iya kan Ervan?" Dahlia beralih menatap Ervan yang lahap memakan masakannya. Anak lali-laki tampan berusia sebelas tahun itu mengangguk seraya tersenyum tipis.

"Sudah cocok jadi Mamanya Ervan!" Seru Damara yang mana membuat Ervan seketika menghentikan gerakan mulutnya.

"Mama? Bagaimana kabarnya sekarang yah?" Batin Ervan seraya memandang lurus ke depan. Kepergian Elara saat itu, menyisakan luka sendiri bagi Ervan. Ia tak akan pernah lupa momen, dimana sang Mama pergi meninggalkannya.

.

.

.

.

Elara menurunkan Dara di sekolahnya, ia memastikan bocah menggemaskan itu masuk ke dalam sekolah dengan aman. Setelah itu, ia lanjut melajukan mobilnya pergi ke kantornya. Mobilnya terlihat murah, yang dirinya beli dari hasil kerja kerasnya selama ini. Tapi walau begitu, mobil itu setidaknya dapat melindunginya dan putrinya dari panas dan hujan.

Setelah memastikan mobil sang mama pergi, Dara keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan senyuman lebar, ia berlari keluar gerbang sekolahnya dan menghampiri penjual bubur sumsum yang tengah melayani pembeli. Satpam melihat Dara keluar, tetapi ia hanya memantau gadis kecil itu dari pos satpamnya.

"Abang, beli dua lebu." Pinta Dara dengan memegang uangnya di depan d4da.

"Siap neng cantik, tumben agak siang." Sahut penjual itu yang sepertinya sudah mengenali Dara.

"Tunggu Mama pelgi dulu, balu jajan. Nanti malam di libulin cucu nya Dala kalau Mama tahu Dala jajan." Jawab Dara tanpa mengalihkan pandangannya dari bubur sumsum yang sangat menggiurkan.

"Pak, bubur sum-sumnya masih ada? Saya mau satu,"

Dara mengalihkan pandangannya, keningnya mengerut dalam saat melihat sosok pria tinggi di sampingnya yang memiliki wajah yang sangat tampan. Bahkan, pria itu terc1um sangat wangi, aroma parfumnya sangat memanjakan hidung Dara.

"Gantengna ini olang." Gumam Dara tanpa sadar.

Pria itu menunduk, ia baru sadar akan gadis kecil di sisinya. Dengan ramah, ia tersenyum. Mendapat senyuman pria itu, Dara memegangi pipi gembulnya dengan gemas. "Cenyumnaaaa!! Cemanis bubul cyum-cyum!" Pekik Dara dengan girang.

Pria itu tertawa, ia akhirnya berjongkok dan menyamakan tingginya dengan Dara. "Siapa nama mu? Kenapa kamu sangat lincah dalam berbicara hum?"

Di tanya seperti itu, Dara tersenyum malu-malu. "Namanya Dalaaa, Daaaalaaa. panggil cayangku juga boleh." Ujar Dara dengan menahan senyumnya.

Pria itu tersenyum, ia mengelus pipi gembul Dara yang sangat menggemaskan. "Arion, kamu bisa memanggil Om Ar." Terang pria itu yang tak lain dan tak bukan adalah Arion.

Dara mengerjapkan matanya, "Pelnah dengel, tapi lupa." Cicit Dara seraya berpikir keras.

Arion tersenyum, ia sungguh gemas dengan gadis kecil di hadapannya. "Anak ini sangat imut, seperti boneka. Ayahnya pasti beruntung sekali memilikinya." Batin Arion yang masih tetap mempertahankan senyumnya.

Setelah pesanan Dara jadi, anak itu meraih pesanannya. Saat akan membayar, penjual bubur sumsum itu menolaknya dan mengatakan jika Arion lah yang sudah membayarnya. Dengan senang hati, Dara tak akan menolaknya.

"Om baik, celing-celing bayalin Dala yah!" Seru Dara sebelum beranjak masuk ke dalam sekolahnya.

Arion tersenyum, ia menatap kepergian Dara dengan perasaan yang tak menentu. Dia merasa aneh dengan perasaannya, tapi ia tidak tahu perasaan apa itu.

"Emang lucu dia anaknya, ibunya cantik banget! Sayangnya, gak pernah lihat model ayahnya gimana." Celetuk penjual bubur sumsum itu. Arion tak menanggapinya, ia membayar bubur sumsum pesanannya dan Dara. Lalu, kembali masuk ke dalam mobilnya.

Sesampainya di mobil, Arion terngiang-ngiang dengan wajah Dara yang menurutnya sangat tak asing di matanya. Mata gadis kecil itu, tatapannya, rambut bergelombangnya, seolah ia merasa familiar. Arion kembali mengingat celotehan Dara yang membuatnya tertawa. "Astaga, aku sudah lama tidak tertawa. Tapi, gadis kecil itu membuatku tertawa hari ini." Gumam Arion seraya menggelengkan kepalanya pelan. Ia lalu melanjutkan perjalanan nya menuju perusahaan yang ia tuju.

______

Dalaaaa, belum lahir aja udah di cariin onty-onty🥶

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!