Seorang pemuda tampan nan tinggi dengan eksperesi datar, dan aura dingin yang terpancar oleh matanya yang bernetra hitam pekat memasuki rumahnya yang bagaikan mansion itu. Tak lupa dengan membawa kunci motor dan jaket tebal berwarna hitam miliknya yang bertengger indah di sebelah pundaknya.
Kediaman keluarga Radeya yang bagaikan Istana dengan nuansa putih dan berbagai benda dengan warna kuning keemasan memberikan aura yang siapapun memasukinya bagai merasakan surga dunia.
Keluarga Radeya adalah keluarga terkaya no.2 di Indonesia, pemilik Radeya company serta restoran-restoran mewah dan hotel bintang 5 yang bercabang di Indonesia maupun di luar negeri. Di tambah sekarang Radeya company berhasil menduduki posisi pertama dengan mengalahkan perusahaan milik keluarga Rulen~Rulen Company.
Martin dan Widya anggota keluarga Radeya kini sedang bersantai di sofa king size miliknya. Sesekali bercanda dan tertawa karena film komedi yang di tontonnya. Berbeda dengan seorang pemuda yang baru saja memasuki rumahnya langsung bergegas menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua, tanpa berniat bergabung dengan kedua orang tuanya. Mendengar suara langkah kaki Martin dan Widya menghentikan tawanya dan menatap sang anak.
"Rel, sini gabung sama kita," pinta seorang wanita cantik bagaikan model dengan senyum indah nya~Widya Faunie Radeya.
"Nggak ma, Verrel capek mau kamar aja," jawab pemuda itu~Verrel Aryanka Radeya~ tanpa menatap sang mama.
"Dari mana lagi anak itu! jam segini baru pulang mau jadi apa dia nanti?!!" sarkas Martin pria parubaya yang umurnya sekitar 40-an. Tetapi masih terlihat tampan dengan rahangnya yang kokoh.
Verrel yang mendengar perkataan papanya sempat menghentikan langkahnya dan memejamkan matanya sejenak, meredam kemarahan yang sudah lama pemuda itu sembunyikan.
Pemuda bernetra hitam pekat itu berusaha mengendalikan emosinya yang menguap akibat perkataan papanya.
"Udah, mas. Verrel kan udah gede biarin dia nikmati masa remajanya. Selagi itu masih wajar, dan kamu nggak berhak bicara seperti itu dengan anak kamu sendiri. Kamu taukan dampaknya apa?"
Widya berusaha menenangkan suaminya dengan menepuk-nepuk pelan bahu suaminya yang sekarang duduk di sampingnya.
Widya merasa tidak asing lagi dengan perdebatan suaminya dengan anak bungsunya. Mengingat Verrel yang keras kepala dan sering membangkang ucapan papanya membuat Widya tak bisa berbuat banyak untuk membelanya.
Widya menatap ujung tangga dan masih mendapati Verrel disana. Wanita bernetra abu itu menatap Verrel dengan senyum menenangkan dan memberi isyarat agar Verrel kembali melangkahkan kakinya.
Verrel yang melihat pancaran mata bernetra abu itu tersenyum tipis dengan bergumam "makasih ma". Setelah itu, kembali melanjutkan langkahnya untuk menuju kamarnya.
Ceklekkk ...
Verrel membuka pintu kamarnya dan tak lupa pula menguncinya kembali. Setelah itu membuang jaket dan kunci motornya asal dan langsung menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjang king size miliknya.
Kamar dengan nuansa putih, barang-barang tersusun berantakan berbanding terbalik dengan warna kamarnya yang bersih. Verrel seringkali mendapat omelan-omelan dari mamanya karena kamarnya yang super berantakan ini.
Verrel menengadah menatap langit kamarnya dengan kedua lengannya yang ia jadikan tumpuan kepalanya.
Tiba-tiba terlintas di pikiranmya bayangan seorang gadis yang sempat bertahta di hatinya, bahkan bayangan gadis itu masih tercetak jelas di hati dan pikirannya walaupun sudah beberapa kali Verrel berusaha melupakannya.
Seorang gadis yang mengajarkannya banyak hal, seorang gadis yang berhasil membuat jantungnya berdetak tak karuan, seorang gadis yang membuat hari-harinya terasa berwarna. Kini Verrel harus menerima kenyataan bahwa gadis itu telah menghancurkan kepercayaannya dan pergi meninggalkannya entah kemana.
"Sial gue nggak boleh jalan di tempat gini. Move-on Rel move-on." Verrel berucap sambil mengusap wajahnya dengan gusar.
Di kamar lain, tepat di samping kamar Verrel terdapat seorang pemuda yang sedang tertidur dengan pulas dia adalah Farhan Zafran Radeya saudara kandung dari Verrel Aryanka Radeya.
Kamarnya tertata rapi, dengan ber cat sama dengan Verrel. Di dalam kamarnya terdapat banyak deretan buku-buku bagaikan sebuah perpustakaan kecil.
Verrel sempat mengakui bahwa Farhan adalah seorang pemuda yang sempurna bisa di bilang dia perfect boys.
Dua orang pemuda bersaudara, dengan sejuta sifat yang berbanding terbalik. Membuat Martin, ayah dari dua pemuda itu memperlakukannya berbeda.
Farhan yang penurut dan tak pernah membantah ucapan papanya, melakukan apa saja yang papanya inginkan. Berbeda dengan Verrel dengan sejuta sifat yang membuat papanya memijit pelipisnya pusing, sikap Verrel yang keras kepala dan sering adu mulut dengan papanya membuat hubungan mereka berdua semakin renggang.
Verrel hanya ingin menunjukkan kepada papanya bahwa dia bukanlah Farhan si penurut dia adalah Verrel sang most wanted sekolah. Verrel tak ingin di samakan dengan orang lain, ini hidupnya! ia yang akan menerima akibatnya. Verrel hanya ingin menjadi dirinya sendiri walau itu di tatap buruk oleh dunia.
Apakah itu salah?
"Mas tidak seharusnya mengucapkan hal itu di depan Verrel, mas tau sendirikan anak kita itu gimana?'' ujar Widya sambil memijat pundak suaminya.
"Itu semua juga karena kamu, kamu terlalu memanjakan anak itu dan liat sekarang apa yang dia lakukan dia bagaikan anak yang tumbuh tanpa didikan orang tua!! berbeda dengan Farhan yang selalu patuh terhadap perintah ku," bentak Martin bangkit dari duduknya dan menatap istrinya yang tersentak kaget karena ucapan yang di lontarkannya.
Widya tersentak kaget mengelus dadanya untuk menetralisir detakan jantungnya, wajah wanita itu tetap berusaha tenang tak membalas tatapan tajam suaminya yang di tujukan untuknya.
"Salah aku? Ini bukan salah aku. Ini itu salah kamu! sikap kamu itu terlalu keras mas, kasian sama anak-anak kita. Kamu sadar nggak sih?" protes Widya tak ingin di salahkan sepenuhnya.
Mendengar teriakan mama dan papanya, Verrel bangkit dari tidurnya dan ingin menemui sang mama. Verrel tidak ingin jika papanya bertindak kasar kepada mamanya apalagi saat ada dirinya di rumah ini, "Ngapain sih, si papa teriak malam-malam gini? Mama juga ikut-ikutan," gerutu Verrel sambil mengintip di ambang pintu. Tak dapat melihat apa yang di lakukan mama dan papanya Verrel berniat melangkah maju tapi langkahnya terhenti karena Farhan.
"Ma, Pa Farhan mau tidur Farhan ngantuk habis belajar," ujar Farhan baru saja keluar dari kamarnya dengan matanya yang sedikit tertutup.
Farhan menguap, "Mama sama Papa tidur aja ini udah jam 12 malam Lo Ma, Pa," lanjutnya.
"Oh iya nak, Maaf papa jadi ganggu tidur kamu," sesal Martin sambil tersenyum ke arah Farhan.
Farhan kembali berjalan dengan langkah gontai memasuki kamarnya.
Verrel terdiam di tempatnya saat melihat Farhan lebih dulu menghentikan perdebatan itu. Sedangkan Verrel? hanya mengintip di balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
"Ini semua karena kamu!! udah diam," hardik Martin penuh penekanan di setiap katanya.
"Verrel berbeda dengan Farhan, Verrel tidak seperti Farhan. Verrel bukan orang yang mudah di atur seperti Farhan. Dia punya jalan hidupnya sendiri mas dan jangan salahkan dia," geram Widya.
Martin terdiam.
Verrel tersenyum tipis mendengar perkataan mamanya setidaknya masih ada satu wanita di hidupnya yang tidak akan meninggalkan dan sayang tulus padanya. Verrel sangat menyayangi mamanya, Verrel tidak akan tinggal diam jika ada yang menyakiti mamanya walaupun itu papanya sendiri.
Mendengar papanya tak bersuara lagi Verrel bernafas lega dan kembali mengunci pintu kamarnya, melangkah kembali keranjang king size miliknya, menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan kepalanya, menatap langit-langit kamarnya dan semenit kemudian pemuda bernetra hitam pekat itu menutup mata seraya bersiap-siap memasuki alam mimpinya.
####
Seorang gadis terbangun dari tidurnya dan menatap jam yang masih menunjukkan pukul 02.00 am. Gadis itu tersenyum dan bangkit dari kasurnya berjalan sambil menjinjitkan kakinya agar tak menimbulkan suara dengan mulut yang masih melafazkan doa bangun tidur.
"ALHAMDULILLAAHILLADZII AHYAANAA BA'DA MAA AMAA TANAA WA ILAIHIN NUSYUUR"
Gadis itu berjalan ke arah dapur dengan langkah pelan tidak ingin jika menggangu tidur kakaknya yang lelah bekerja seharian.
Rumah yang di tempatinya merupakan rumah oma-nya sangat sederhana hanya tersedia 3 kamar, ruang tamu yang tidak begitu luas dan yang adalah terakhir dapur.
Setelah mengambil air wudhu, kini gadis itu memakai mukenah biru kesayangannya untuk melaksanakan sholat tengah malam yang akhir-akhir ini sering dilakukannya.
Bermunajat mencurahkan isi hatinya kepada sang pencipta merupakan hal yang sangat di senanginya.
"Ya ... Allah, Zahra rindu mereka. Zahra ingin bertemu dengan kedua orang tua Zahra, Zahra sangat menyayanginya mereka ya Allah ... tapi Zahra tau engkau lebih menyayanginya sehingga mengambil mereka dengan begitu cepat. Tapi Zahra tidak akan berkecil hati Zahra tau engkau juga menyayangi Zahra buktinya kakak Zahra masih berada dekat dengan Zahra, masih memberi Zahra motivasi setiap harinya. Bahkan Zahra tau, membuka mata setelah tidur itu juga sebuah nikmat yang harus Zahra syukuri. Zahra hanya ingin berilah kakak hamba kesehatan lahir dan batin serta tabahkanlah hatinya dalam menghadapi kerasnya dunia. Ya Allah ... Zahra juga mohon tanamkanlah rasa ikhlas dalam diri Zahra. Hanya kepada engkaulah hamba meminta dan memohon pertolongan, hamba yakin engkau mengabulkan doa setiap hamba mu ... aamiin."
Gadis itu ialah gadis sederhana yang bernama Annisa Az-Zahra, gadis kecil yang hanya di besarkan oleh kakaknya yang Zahra anggap segalanya. Gadis dengan sejuta sifat yang mampu membuat orang-orang heran dan penasaran, begitu pula dengan mood gadis itu yang gampang sekali berubah membuat orang-orang disekitarnya menghela nafas.
Banyak hal yang telah gadis itu lalui, hidup menjadi dirinya itu tidak mudah. Apalagi semenjak Raihan kakaknya memaksanya memakai hijab di umur yang masih terbilang sangat tidak mungkin.
Di ambang pintu Raihan senantiasa mendengar doa adiknya, saat Zahra mengaminkan doanya Raihan juga ikut mengaminkan nya. Tak terasa air matanya menetes tanpa sepengetahuannya.
"Dek ... maafin kakak, kakak belum bisa bahagiain kamu seperti seorang kakak di luar sana. Tapi kakak janji kakak nggak akan ngebiarin adik kakak sedih terlalu lama."
Raihan menyeka air matanya dengan lengannya, masih menatap Zahra yang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang dilapisi kain mukenahnya.
"Pasti bunda dan ayah bangga banget sama kamu, karena putrinya tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, sholehah dan lucu seperti kamu," lanjut Raihan.
Tadinya Raihan hanya ingin ke toilet, tetapi setelah melihat pintu kamar Zahra yang sedikit terbuka membuat Raihan membalikkan langkahnya hingga sekarang berdiri di ambang pintu kamar Zahra.
####
Zahra menyeka air matanya, menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum menenangkan untuk dirinya sendiri. Setelah itu, melepas mukenah yang di kenakannya dan menyimpannya di dalam lemari biru bergambarkan doraemon.
Zahra mengunci pintu kamarnya yang sedikit terbuka dan langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang sederhana dengan spray bergambarkan Doraemon.
Raihan? Raihan sudah meninggalkan kamar Zahra saat Zahra mengeluarkan mukenanya.
"Hari pertama sekolah," gumam Zahra, dengan senyum yang terpancar di bibirnya.
"Zahra betah nggak yah sekolah disana? Ah di betah-betahin ajalah," lanjutnya.
Zahra nampak berfikir sejenak.
"Kira-kira Zahra punya teman nggak yah disana? Apa Zahra nggak usah pake hijab ke sekolah, tapi Kak Rai pasti marah. Ngomel-ngomel dah tuh orang sampe 1 tahun kedepan kalo Zahra nggak pake hijab ke sekolah, ufft ...," keluh Zahra.
Zahra mempertimbangkan apa yang di ucapkannya, tiga detik kemudian Zahra menggeleng lalu menarik dalam selimutnya untuk menutupi seluruh badannya yang kedinginan.
Zahra bukanlah gadis yang taat agama karena telah melakukan sholat tengah malam, Zahra hanyalah gadis sederhana yang berusaha mengikuti keinginan kakaknya. Bukan gadis sholehah yang tak pernah meninggalkan sholat Fardhu, Zahra sering meninggalkannya, menundah-nundah waktunya hingga sampai ke sholat fardhu setelahnya.
Dan hari ini, hari pertama Zahra sekolah sebagai murid baru dari pindahan sekolah lamanya. Sekolah yang lumayan terkenal di indonesia, sebenarnya Zahra betah di sekolah lamanya tapi Raihan tidak mengizinkannya di sana karena kerap Zahra adalah salah satu bahan buly-an di sekolah lamanya dan dia juga tidak mempunyai teman di sana.
Zahra tidak pernah mempermasalahkan hal itu, tetapi Zahra lagi-lagi tak ingin menolak permintaan kakaknya apalagi Zahra tau ini demi kebaikannya.
####
Pagi telah tiba, Zahra langsung membulatkan matanya setelah menatap jam dinding di kamarnya.
"KAK RAI, KENAPA KAK RAI NGGAK BANGUNIN ZAHRA??? HUWAAAA ZAHRA TELATT," jerit Zahra bangkit dari kasurnya dan berjalan mondar-mandir melihat jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 06.50 am.
Raihan membuka pintu kamar Zahra dengan kesal dan nampaklah sosok gadis yang tengah mondar-mandir, "Apasih Zahra kakak lagi gosok gigi ini kamu teriak-teriak!!" omel Raihan menunjukkan deretan giginya yang masih terdapat busa di sana, dengan tangan kanannya yang memegang sikat gigi berwarna merah miliknya.
Zahra berkacak pinggang, "KENAPA NGGAK BANGUNIN ZAHRA KAK RAI?!!" jerit Zahra semakin menjadi-jadi. Zahra menunjuk jam dinding dikamarnya.
Raihan mengikuti arah telunjuk Zahra dan pemuda itu malah tertawa hingga tersedak air ludahnya sendiri, "HAHAHAHA uhuukk ... uhukk ... Emang kamu mau kemana dek?" tanya Raihan, merasakan aneh di tenggorokannya.
Zahra mendengus kasar, "Zahra mau sekolah kak, aduhh kakak Zahra yang paling ganteng karena kakak Zahra cuman 1 kok mendadak Oon sih," omel Zahra.
"Jam kamu tuh rusak! ini baru setengah enam, udah kakak mau lanjut mandi. Kamu belum sholat subuh kan? Kebiasaan. Sholat dulu setelah itu mandi," tukas Raihan sembari bersiap-siap menutup pintu kamar Zahra
Zahra cengo mendengar ucapan Raihan, "Hp mana Hp," pekik Zahra mencari benda pipih kesayangannya.
Pagi yang cerah, seluruh anggota keluarga Radeya tengah sibuk dengan sarapannya masing-masing. Seperti tidak ada yang kurang di antara mereka.
"Bi, bangunin Verrel Bi entar dia telat," perintah Widya saat Bi Inem asisten rumah tangga mereka meletakkan buah di meja makan.
"Nggak usah ma, entar juga turun sendiri," tegur Martin sambil menikmati makanan di depannya.
Bi Inem mengangguk dan kembali berjalan ke arah dapur.
Di meja makan, Farhan sudah terlihat rapi dengan seragam sekolahnya dan Martin dengan tuxedo yang dikenakannya.
Sedangkan, di tempat lain tepatnya di lantai 2. Di kamar itu masih terdapat seorang pemuda yang menatap wajahnya di depan cermin, pancaran matanya menerawang jauh dan tersenyum kecut kala mengatakan selamat pagi untuk dirinya sendiri. Pemuda itu adalah Verrel Aryanka Radeya.
"Selamat pagi Verrel, siap untuk buat ulah lagi hari ini, uhm?" hardiknya untuk diri sendiri.
Setelah mengatakan itu Verrel memakai sepatu hitamnya, serta menyambar tas dan kunci motornya yang ia letakkan asal tadi malam.
Verrel melangkah keluar dari kamarnya, dan memilih untuk menunggu Farhan pergi terlebih dahulu barulah dia melangkahkan kakinya menuju tangga.
"Pa, ma Farhan berangkat dulu yah," pamit Farhan setelah meneguk habis minumannya.
"Iya, hati-hati yah, Han. Ingat belajar yang rajin jangan seperti Verrel," sahut Martin yang di iringi tawa mengejek diakhir kalimatnya.
Farhan mengangguk.
"Pa, jangan gitu ih," kata Widya.
Martin hanya mengangkat bahunya acuh dan kembali melanjutkan aksi makannya.
Martin tahu bahwa Verrel sedang memperhatikannya dari lantai atas, makanya ia dengan sengaja mengucapkan kalimat itu.
"Ya udah, Farhan pamit yah ma, pa," ujar Farhan sambil mencium punggung tangan Widya dan Martin secara bergantian. Tak lupa pula ia mencium puncak kepala Widya.
"Iya, hati-hati ya nak," ujar Widya dengan lembut.
Farhan mengganguk.
Farhan berjalan menjauh dari meja makan, ia sempat mendongakkan kepalanya ke arah Verrel dan tersenyum yang hanya di balas ekspresi datar oleh pemuda itu.
Setelah Farhan benar-benar sudah tak terlihat, barulah Verrel melangkahkan kakinya ke arah meja makan. Bukannya Verrel ingin makan bergabung dengan mereka, BUKAN!! Verrel hanya ingin bertemu dengan mamanya.
Verrel tersenyum tipis ke arah Widya, "Selamat pagi ma," sapa Verrel.
Verrel berjalan ke arah mamanya yang sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya.
"Iya sayang, selamat pagi," sahut Widya lembut dengan senyum hangat keibuannya.
"Jam segini baru bangun, mau jadi apa kamu?" hardik Martin tanpa menoleh ke arah Verrel.
"Baru bangun? Liat nih Verrel udah lengkap di katain baru bangun," balas Verrel dingin.
Martin meletakkan sendoknya asal, merasa kesal karena anak bungsunya ini lagi-lagi menyahut ucapannya.
"Udah, Nak. Jangan di masukkin ke hati. Tau sendirikan papa kamu gimana?" ujar Widya dengan lembut sembari menepuk bahu Verrel untuk menenangkannya.
Verrel mengangguk.
Martin melotot ke arah istrinya yang membela Verrel, "Ma, mama kok nyalahin papa sih? Kan Verrel yang salah kurang ajar sama Papa," sentak Martin.
Verrel mendelik mendengar sentakan papanya, "Makanya Verrel di ajar dong pa," sahut Verrel.
Widya memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut mendengar perdebatan dua orang laki-laki yang sangat berarti di hidupnya.
"Udah- udah, masih pagi udah debat gini pusing mama!" geram Widya menatap keduanya secara bergantian.
"Ya udah, Verrel sarapan dulu yah," bujuk Widya.
"Nggak ma, Verrel nggak laper. Verrel langsung berangkat aja yah," balas Verrel dengan senyum tipisnya.
Widya mengganguk.
Martin tersenyum miring.
Widya tau, Verrel orangnya keras kepala dan sangat susah di atur. Saat Verrel mengucapkan tidak! maka Widya tidak akan membujuk lagi karena Widya tau hal itu merupakan kesia-sian.
Widya hanya berharap Verrel dapat merubah sedikit sikapnya, dan berusaha memenuhi keinginan papanya, agar hubungan keduanya segera membaik. Widya sangat mengharapkan itu.
"Ma, Verrel berangkat," pamit Verrel dengan mencium punggung tangan mamanya dan tak lupa pula dengan puncak kepala Mamanya.
Verrel menatap Papanya, "Woy Pa!" seru Verrel.
Martin mendongak, "Uhm?"
Setelah itu, Verrel melenggang pergi menghiraukan papanya yang melotot ke arahnya.
"Ma, anak itu manggil Papa untuk apa?" tanya Martin kepada istrinya.
Widya menggeleng tidak tahu.
"Verrel ada-ada aja kamu nak," jerit Widya membatin.
####
Verrel mengeluarkan motor sport hitam miliknya dan memakai helm full face-nya. Tak butuh waktu lama Verrel mulai menstater motornya yang akan membawanya membelah kota Jakarta pagi ini.
''Sial,'' umpat Verrel karena lampu merah di depannya dengan terpaksa ia menghentikan laju motornya.
Pemuda bernetra hitam pekat itu menerawang sejauh 50 meter ke depan hingga ia dapat melihat seorang wanita tua yang sedang kesulitan menyebrang jalan.
Dan terlihat pula seorang gadis yang berlari ke arah wanita tua tersebut dan membantu wanita itu untuk menyebrang. Verrel memicingkan matanya untuk melihat siapa gadis yang membantu wanita itu. Verrel sempat tertegun karena gadis itu beda dari yang lain nampak begitu indah dengan balutan hijab putih menutupi kepalanya.
Di Jakarta apa masih ada gadis berhijab seperti itu?
"Siapa gadis itu?" batin Verrel bertanya.
Verrel memfokuskan penglihatan nya mengamati gadis itu. Hingga suara klakson kendaraan di belakangnya membuyarkan lamunannya.
Tak butuh waktu lama, Verrel memakai kembali helm full face-nya dan segera meninggalkan tempat itu.
Di jalan Verrel mengecek arloji miliknya, dan ternyata jam sudah menunjukkan pukul 6.55 am. Itu artinya 5 menit lagi gerbang sekolah itu akan ditutup sedangkan jaraknya sekarang dari sekolah masih membutuhkan waktu 15 menit. Verrel melajukan kendaraannya di atas rata-rata untuk mengejar ketertinggalannya. Tak peduli dengan umpatan-umpatan para pengendara lain akibat Verrel yang menyelip kendaraan seperti orang kesetanan.
####
Di tempat lain, seorang gadis yang sedang berada di salah satu angkutan umum, merasa sangat gelisah. Ia tak henti-hentinya menyembulkan kepalanya ke salah satu jendela diangkutan umum itu untuk melihat kendaraan di depannya.
Zahra mendesah berat, "telat 10 menit. Sedangkan jalanan masih macet," gumamnya lirih sambil memperhatikan kendaraan di depannya. Jantungnya berdetak tak karuan, merasa gelisah dengan posisinya sekarang.
"Pak! saya turun di sini aja," ucap Zahra sembari menyodorkan uang 5 ribuan ke sopir angkutan umum tersebut.
Zahra turun dari angkutan umum karena tidak tahan menunggu lebih lama lagi. Lagi pula jarak dari tempatnya sekarang dan sekolah barunya sudah tidak terlalu jauh. Makanya Zahra memutuskan untuk lari saja daripada menunggu angkutan umum yang masih terjebak macet itu.
"Hoosst ..." keluh Zahra ngos-ngosan. Berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya dan menyeka keringatnya yang sudah membasahi pelipisnya.
Dari kejauhan Zahra melihat gerbang sekolahnya sudah tertutup. Zahra mengecek kembali arloji biru miliknya, dan kini jarum jam tersebut menunjukkan pukul 07.15 am. Zahra Langsung membulatkan matanya dan berlari sejadi-jadinya ke arah gerbang tertutup itu.
Zahra menarik nafas dalam dan, "PAK ..." teriak Zahra dengan kedua tangan yang memegang erat gerbang yang menjulang tinggi dengan keadaan tertutup.
"PAK!! PAK SATPAMM!!" teriak Zahra lagi bahkan lebih keras dari sebelumnya. Ia tetap keukeh ingin masuk kesekolah ini, Ia tidak ingin pulang. Apalagi Zahra sebagai murid baru di sekolah ini.
"PAK ... BUKAIN GERBANGNYA DONG," teriak Zahra untuk kesekian kalinya.
Penjaga gerbang sekolah itupun menampakkan dirinya karena merasa terganggu oleh teriakan Zahra, "Apaasih?!!" sarkasnya.
"Kamu udah terlambat 20 menit, itu artinya kamu tidak bisa masuk lagi. Lebih baik kamu pulang!" sarkasnya lagi.
Zahra yang mendengar itu mengerucutkan bibirnya. Dia tidak ingin pulang dan membuat Raihan kecewa karena telah menyia-nyiakan hari pertamanya.
"Pak ... maafin Zahra. Zahra murid baru di sini. Ayolah pak," paksa Zahra dengan mimik wajah sememelas mungkin berharap orang ini akan kasihan padanya dan membukakan pintu gerbang.
"Benar kamu murid baru?" tanya pak satpam dengan raut wajah mengintimidasinya.
"Iyaa pakkk ... Zahra murid baru," ujar Zahra dengan nada yakin.
"Baiklah, tapi ini pertama dan terakhir kalinya kamu terlambat."
Setelah mengucapkan itu pak satpam membukakan pintu gerbang sekolah. Membuat Zahra tersenyum cerah.
"Murid baru kok terlambat," cibir pak Satpam.
"Hehe. Maaf pak Bono," sahut Zahra dengan nyengir kudanya.
"Ya udah kamu boleh pergi sekarang," suruh pak Bono sambil mengunci gerbang sekolah kembali.
"Eh ... anak itu tau nama saya dari mana?" Seakan tersadar akan kalimat Zahra. Pak Bono menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Dari name tag bapak, " pekik Zahra yang telah berlari menjauh dari tempat pak Bono berdiri.
Zahra berlari-lari kecil menyusuri koridor sekolah yang sudah nampak sangat sepi karena jam pelajaran telah berlangsung. Dengan menggenggam kedua tali tasnya ia mencari ruang kepala sekolah menurut instruksi dari Raihan.
"Assalamu'alaikum ... Pak," ujar Zahra terengah-engah karena mengejar waktu.
"Iya, wa'alaikumsalam. Silahkan masuk," sahut pak kepala sekolah sembari mempersilahkan Zahra duduk.
Zahra menarik nafas panjang, "Pak saya Zahra, saya murid pindahan pak dan hari ini adalah hari pertama saya sekolah. Saya mau tanya dimana kelas saya?" tutur Zahra panjang lebar setelah duduk di kursi yang telah di siapkan.
Pria parubaya di depan nya ini berusaha menahan tawa, karena Zahra yang bicara panjang lebar sebelum di persilahkan.
"Hm, kelas kamu di 11 IPA 2," jawab Pak kepala sekolah dengan senyuman tipisnya.
"Oh gitu yah, pak. Kelas 11 IPA 2, makasih pak," ujar Zahra sopan dan langsung meninggalkan ruang kepala sekolah itu.
"Eh tunggu kamu tau letak kelas kamu dimana?" Pekik pak kepala sekolah saat Zahra sudah berlari meninggalkan ruangannya.
"Semoga kamu betah sekolah di sini," lanjutnya.
Zahra kembali berlari mencari kelas yang di katakan Pak Thomas- kepala sekolah.
Dengan nafas Terengah-engah dan hijab yang sedikit berantakan. Zahra terus berlari, "Kak, hari pertama skolah Zahra udah kayak gini. Gimana hari selanjutnya?" Rengek Zahra sesekali mendongak melihat papan yang ada di setiap kelas.
Zahra berjalan menuruni tangga "Ufft ... 11 IPA 2 manasih?" desis Zahra.
Zahra berhenti berlari, gadis itu memilih untuk berjalan saja dengan kepala yang terus mendongak memandang papan di setiap kelas.
#KELAS 11 IPA 2
Zahra tersenyum cerah membaca papan di depan salah satu kelas. Akhirnya kelas yang di carinya ketemu juga.
Zahra menetralkan mimik wajahnya, menyeka keringat dan memperbaiki hijabnya yang terlihat berantakan.
####
"Rel, pulang skolah ngumpul di warkop kuy udah lama nih nggak ngumpul," bisik Daniel yang di balas anggukan persetujuan oleh Deon.
Verrel duduk di bangku kedua dari depan, ada dua baris bangku di samping kanannya. Verrel duduk sendiri dibangku yang seharusnya di tempati 2 orang itu. Sedangkan Daniel dan Deon memilih tempat strategis yaitu duduk di belakang Verrel.
Verrel menatap papan tulis di depannya dengan malas, tidak ada lagi yang bisa di lakukannya selain mendengar ocehan-ocehan dari wali kelas di depannya.
"Rel, woy rel!!" bisik Daniel kembali.
"Dasar budeg!!" umpat Daniel.
Deon meringis mendengar Daniel yang terlihat frustasi.
Verrel yang mendengar itu hanya memutar bola matanya malas dan kembali memfokuskankan penglihatan ke arah papan tulis dengan malas. Entah kenapa Verrel bisa terjebak disituasi ini.
"Jadi, Hukum ke-3 Newton berbunyi ..."
Tokk ... tokk ... tokk ...
Belum sempat ibu tini menyelesaikan kalimatnya, ada seseorang yang mengetuk pintu kelas membuat semua seisi kelas menatap ke arah pintu. Kecuali Verrel yang beralih menatap datar ke arah buku yang di pegangnya. Rasa malasnya begitu mendominasi dalam dirinya.
"Jadi, Hukum ke-3 Newton berbunyi ... tokk ... tokk ... tokk ..." celutuk Daniel, yang membuat seisi kelas menjadi riuh seperti pasar.
"Ehh, bego' malah becanda," imbuh Deon sembari menoyor kepala Daniel.
Zahra yang berdiri di ambang pintu, menatap kesal ke arah Deon dan Daniel. Setelah itu kembali menunduk.
Sempat sempatnya dia bercanda di saat Zahra sedang menunduk merasakan keringatnya menetes dengan derasnya karena merasa takut akan nasibnya yang sekarang. Mungkin itu yang sekarang ada di fikiran Zahra.
"DIAM!!!" bentak Ibu Tini.
"Eluu sihh bego'," keluh Deon
"Rel, ada murid baru noh. Cantik, " bisik Daniel dengan nada menyebalkannya.
Verrel lagi-lagi menghiraukan bisikan unfaedah Daniel, pandangannya tak beralih sedikit pun.
Bu Tini menatap Zahra, "Silahkan masuk," ujar Bu Tini sambil mempersilahkan Zahra masuk yang masih setia berdiri di ambang pintu.
"Anak-anak dia adalah siswi baru di kelas ini," ucap Bu Tini sembari memberi isyarat agar Zahra memperkenalkan dirinya.
Zahra mengangguk.
"Assalamu'alaikum ...," ujar Zahra memberi salam dengan sedikit mendongakkan kepalanya.
Tidak ada yang menjawab salam Zahra semuanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, mencatat tulisan di papan tulis, mencoret-coret buku, bermain ponsel secara diam-diam dan bahkan ada yang menatapnya tapi dengan tatapan sinis tak berniat membalas salamnya.
"Kak Rai, sekolah ini juga sama kak. Zahra nggak di anggap di sini," batinnya berkecil hati dan semakin menenggelamkan wajahnya.
Hingga tak lama suara berat milik seseorang terdengar dan membuat Zahra bernafas lega.
"Wa'alaikumsalam ..."
Banyak sorot mata aneh yang Zahra dapatkan. Banyak yang menatapnya sinis, mengejek atau bahkan enggan untuk menatapnya. Zahra hanya bersikap acuh berusaha menghiraukan tatapan-tatapan itu. Zahra bingung ada apa dengan pemuda yang menjawab salamnya, hingga mampu membuat sorot mata teman-teman kelasnya berubah.
Bu Tini mendesah berat. "Kenapa hanya Verrel yang menjawab?" bentak Bu Tini.
Siswa-siswi bergidik ngeri dan membalas salam tersebut serentak. "Wa'alaikumsalam," jawab semua siswa-siswi kompak dengan nada yang terdengar malas.
Bu Tini menoleh ke arah Zahra dengan tatapan tak setajam tadi. Bu Tini merasa tidak enak hati karena anak Walinya tidak memperlakukan Zahra dengan baik. Karena biasanya jika kelas ini kedatangan siswa atau siswi baru, kelas akan riuh seperti kedatangan oppa-oppa korea, tidak hening seperti ini.
Daniel yang melihat perubahan ekspresi Bu Tini pun bersuara. "Sama kita aja ganas, eh sama murid baru tuh jinak," celetuk Daniel tanpa sadar.
Deon yang mendengarnya refleks mengambil buku di depannya dan berpura-pura membaca dengan raut datarnya.
Sedangkan, semua teman-temannya hanya memutar bola mata malas, tak berniat mendengarkan ocehan unfaedah dari seorang Daniel Putra Brasmata.
Daniel dan Deon memang berasal dari keluarga terpandang. Tapi, hal itu tidak menjadikannya seseorang yang angkuh dan enggan untuk bergaul dengan orang kalangan bawah. Menurut mereka semuanya sama. Sama-sama manusia, mau kaya atau miskin pokoknya manusia. Mereka akan bersikap ramah ~ujar Daniel dan Deon.
Tak peduli berbagai sorot mata yang memandangnya aneh. Zahra menarik nafas dalam-dalam untuk memperkenalkan dirinya.
"Nama saya Annisa Az-Zahra, kalian bisa panggil saya Zahra, saya pindahan dari SMA ANTARIKSA "
Krikk!
Krikk!
Lagi dan lagi, tak ada yang memperdulikan atau seenggaknya tersenyum untuk awal pertemanan yang baik.
Melihat kecanggungan di kelasnya ini karena kedatangan siswi baru, Daniel berniat mencairkan suasana.
"Hai Zahra," seru Daniel dengan kedipan genitnya yang di balas senyum tipis oleh Zahra.
Zahra kembali bernafas lega, setidaknya siswa yang tak di kenalnya itu berhasil mencairkan kegugupan yang melingkupi dirinya.
"HUUH! ...," teriak semua penghuni kelas. Bahkan ada yang melempar kertas ke arah Daniel.
"Huuuh ...," timpal Deon di ikuti jitakan yang cukup keras.
"Wadaww ... sakit ****'," keluh Daniel karena jitakan Deon yang cukup keras.
"Hehehe sorry Niel. Kelepasan," jelas Deon tanpa dosa memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi.
"Kelepasan sih kelepasan," ketus Daniel.
"Lagian lo sih udah tua juga masih aja genit," hina Deon, mengabaikan Daniel yang melotot kearahnya.
"Siapa yang tua?" gertak Daniel dengan suara bass-nya.
"DANIEL DEON!!" Suara cempreng milik Bu Tini terdengar lagi.
Bu Tini mengalihkan pandangannya, menatap Zahra yang sedang berdiri di dekatnya.
"Zahra kamu duduk di sana," tunjuk Ibu Tini yang langsung di balas anggukan patuh oleh Zahra.
Bangku yang di tunjuk ibu Tini adalah bangku kosong sebelah kanan dekat jendela yang mengarah ke taman belakang sekolah.
Zahra melangkah dengan kepala yang sedikit tertunduk, ia sempat melirik salah satu siswa yang berada di samping bangkunya. Siswa yang menjawab salamnya walaupun dengan nada malas tapi setidaknya membuat Zahra bernafas lega.
Zahra sekarang sudah duduk di bangkunya, di samping kanannya terlihat seorang gadis cantik yang menatap keluar jendela. Menatap taman belakang sekolah yang sepi.
Zahra memberanikan dirinya untuk berkenalan dengan teman sebangkunya itu. Mau di tolak atau pun tidak itu urusan nanti, yang penting Zahra sudah mencobanya.
"Hai, nama aku Zahra nama kamu siapa?" sapa Zahra sedikit gugup dengan mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan tak lupa dengan senyum tipisnya.
Gadis itu melirik sekilas kearahnya, setelah itu kembali memandang keluar ke taman belakang sekolah yang nampak sepi. "Audy," jawabnya cuek.
Audy tak membalas uluran tangan Zahra membuat Zahra menariknya kembali. Zahra mengamati teman sebangkunya itu cantik itulah kata yang cocok untuk seorang Audy.
"Murid baru kok terlambat," imbuh Audy dengan seringai horornya.
Zahra yang mendengar pernyataan itu hanya dapat menghela nafas berat. Toh! Yang di katakan Audy benar.
"Berprasangka lah baik kepada saudara mu maka engkau akan mendapati ketenangan dalam hatimu dan kebahagiaan."
"Berprasangka baik? Maksud kak Rai apasih!" batin Zahra bingung.
Itulah kalimat motivasi yang di ucapkan Raihan pagi ini. Zahra merasa bingung akan pesan tersirat di kalimat motivasi itu.
Tak ingin larut dalam lamunannya, Zahra memfokuskan dirinya untuk mendengar penjelasan-penjelasan yang di lontarkan Bu Tini. Wlaupun sepenuhnya Zahra sama sekali tidak mengerti.
KRING! KRING!
Bel yang di tunggu-tunggu semua penghuni sekolah pun berbunyi, yang spontan membuat seisi kelas XI IPA 2 mengucap syukur. Semua penghuni kelas bergegas membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja.
"Baik, anak-anak sampai di sini pelajaran kita hari ini Assalam ..." Belum sempat ibu Tini menyelesaikan kalimatnya, Daniel memotongnya dengan cepat.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh ...," potong Daniel dengan lancang.
Penghuni kelas yang sibuk membereskan buku-bukunya itu melirik ke arah Daniel dengan sumpah serapah yang siap di lontarkan.
Berbeda dengan Zahra yang terkekeh geli melihat tingkah konyol temannya yang ia tak tahu namanya.
Ibu Tini menatap Daniel dengan tatapan tajamnya yang di balas dengan eksperesi sok polos Daniel. Ingat yah SOK POLOS!
"Kenapa Bu?" ucap Daniel dengan tatapan polosnya.
Bu Tini menarik nafas gusar dan menggelengkan kepalanya miris, melihat tingkah salah satu siswanya yang tak pernah bosan membuat ulah.
Bu Tini mulai melangkahkan kakinya keluar membuat semua penghuni kelas menarik nafas lega. Selanjutnya, mereka melotot ke arah Daniel karena hampir saja mereka ikut terkena imbasnya jika Bu Tini sudah memulai ceramahnya lagi.
"Huuuuuuh ...," jerit seisi kelas kompak saat Bu Tini sudah tak terlihat.
"Apa luh ...," balas Daniel dengan mimik muka yang minta untuk di hajar.
Deon yang melihat kelakuan sahabatnya hanya menggeleng kan kepalanya kekanan dan ke kiri seraya mengucap Astaghfirullah (bisa bayangin kan?)
Verrel meletakkan bukunya dengan kesal, melirik ke teman-teman kelasnya yang satu persatu mulai meninggalkan kelas.
Zahra kebingungan karena setelah Ibu Tini keluar, 30 detik setelahnya Audy pun ikut keluar tanpa berniat mengajak Zahra kekantin. Jangankan mengajak, menoleh ke arah Zahra saja rasanya malas menurutnya.
"Ngantin nggak yah?" batin Zahra bertanya.
"Ra, lo napa nggak ke kantin ?" tanya Daniel menatap ke sekeliling kelas yang sepi hanya terdapat dirinya, dua orang sahabatnya dan satu gadis yang terlihat linglung.
"Enggak kok, eh nama kamu siapa?" tanya Zahra dengan percaya diri menanyakan nama pemuda itu.
"Biar gue aja," seru Deon saat Daniel ingin menjawab pertanyaan Zahra.
"Kenalin nama gue Deon Denandhra sang pewaris tunggal dari keluarga Denandhra. Pemilik Denandhra company," tutur Deon dengan ramahnya yang terkesan jijik oleh kedua sahabatnya.
Daniel meringis mendengar nada ramah Deon, tak tinggal diam Daniel pun memperkenalkan dirinya.
"Kalo gue Daniel Putra Bramasta, siswa tertampan, terbaik, teramah, terpopuler, tersayang, terpintar, dan ter-ter lainnya di sekolah ini," serunya heboh dengan membangga-banggakan dirinya.
Deon cengo mendengar penuturan Daniel, Daniel dan Deon memandang ke arah Verrel yang tak berniat bergabung dengan sesi perkenalannya dengan Zahra.
"Rel ... kenalin diri lo," suruh Deon.
"Ogah!" balas Verrel dingin.
"Ok dia adalah Verrel Aryanka Radeya," seru Deon singkat menunjuk Verrel dengan dagunya.
Zahra sendiri merasa gugup setelah mendengar nama-nama ketiga pemuda di depannya yang menyandang nama keluarga mereka masing-masing. Dan Zahra yakin, mereka bertiga bukan orang sembarang. Zahra harus hati-hati.
Zahra beranjak dari duduknya. Tap, sebelum Zahra melangkahkan kakinya menjauh Zahra sempat melirik ke arah Verrel yang membereskan buku-bukunya.
Tanpa disengaja, ternyata Verrel juga tertarik melirik ke arahnya membuat kelereng beda warna saling bertubrukan. Tapi hanya berlangsung beberapa detik saja.
"Zina mata Ra, zina mata!!" cicit Zahra, menghentikan kontak mata di antara mereka dengan menggelengkan kepalanya.
Suaranya pelan tapi masih bisa didengar oleh Verrel. Verrel masih setia dengan ekspresi datarnya dan kemudian mengangkat alisnya sebelah melihat tingkah aneh gadis di hadapannya.
"Nih anak ngapain geleng-geleng?" batin Verrel bingung. "Bukannya tadi dia yang membantu nenek itu nyebrang," imbuhnya lagi tersadar akan peristiwa tadi pagi.
Daniel dan Deon yang masih ada di TKP mengerutkan keningnya bingung.
"Ngapa lu, Ra?" seru Daniel dengan mimik wajah heran.
"Hah?" Zahra yang sempat melamun kembali menstabilkan mimik wajahnya.
"Hah ohh haah ohh, jadi nggak lu ke kantin?" tutur Daniel.
Zahra mengganguk.
"Sungguh besar pesonamu Bang Verrel, Hahahaha," celutuk Deon yang di akhiri tawa.
Verrel yang mendengar ocehan kedua sahabatnya enggan untuk menanggapi dan memilih untuk membereskan buku yang berserakan di mejanya.
Verrel? Verrel dan 2 sahabatnya itu merupakan Most Wanted SMA TARUNA BAKTI. Mereka bertiga tidak dapat di keluarkan dari sekolah ini, walaupun seberapa sering mereka membuat ulah dan membuat guru-guru frustasi di karenakan mereka berasal dari keluarga terpandang.
Verrel Aryanka Radeya anak dari pemilik sekolah ini. Dengan kedua sahabatnya, Daniel Putra Bramasta Berasal dari keluarga Bramasta dan Deon Denandhra berasal dari keluarga Denandhra
Verrel, Daniel dan Deon memasuki kelas dan mengikuti pelajaran bukan karena keinginan mereka. Melainkan paksaan dari wali kelas mereka. Merasa kasian, mereka bertiga pun mengikuti keinginan Bu Tini selaku wali kelas mereka.
####
Zahra menyusuri koridor yang nampak ramai karena jam istirahat. Selama perjalanan menuju kantin Zahra lah yang menjadi pusat perhatian, bagaimana tidak! di antara semua siswi-siswi sekolah ini, ia adalah satu-satunya siswi yang mengenakan hijab kesekolah. Mungkin tatapan aneh lah yang paling banyak Zahra dapatkan.
"Eh, itu siapa? Kok gue baru liat yah?"
"Murid baru kali, nyasar dari mana tuh orang."
Semua siswi-siswi di sekolah ini menggerai indah rambutnya, seragam sekolah pendek dan rok ketat selutut atau bahkan ada yang lebih pendek dari itu.
Zahra berjalan dengan kepala menunduk, tetapi dengan langkah kaki yang cepat karena merasa jengah dengan tatapan-tatapan yang dilemparkan.
Zahra merasa ingin segera ke kantin, makan. Setelah itu belajar dan pulang, karena ia merasa lebih baik di rumah sendirian daripada di tengah keramaian yang tak mengharapkan kehadirannya.
Hingga langkah Zahra terhenti dan hampir saja terhuyung kebelakang. Saat Zahra merasakan dirinya menabrak seseorang.
"Astagfirullah ... maaf," lirih Zahra gugup, badannya gemetaran tak punya nyali untuk menatap seseorang yang di tabraknya.
"Bicara dengan siapa?" ujar pemuda itu dengan nada ramahnya
"Hah?" beo Zahra, bingung.
"Gue di sini ngapain lo ngadep bawah?" jawab pemuda itu dengan mengerutkan keningnya.
"Eh maaf, " ujar Zahra menatap pemuda tinggi di depannya.
"Lebih baik ngadep bawah dari pada ngadep atas," gumam Zahra dalam hati.
Pantas saja Zahra merasa menghadap ke atas, toh? Tinggi Zahra hanya sebatas dada pemuda itu.
Zahra memundurkan langkahnya menjaga jarak dengan pemuda di depannya.
"Nama gue Farhan. Farhan Zafran Radeya," ujar Farhan dengan senyum ramahnya.
Zahra bernafas lega karena orang yang di tabraknya di luar dugaan. Zahra kira akan menjadi bahan bully-an lagi seperti sekolah lamanya, tapi ini tidak. Bahkan, Farhan tersenyum ramah dan tidak marah sedikit pun.
"Nama aku Annisa Az-Zahra bisa di panggil Zahra, Nisa juga nggak apa-apa kok," terang Zahra dengan senyum tipisnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Farhan menarik uluran tangannya kembali, menunduk menatap Zahra dengan intens. Merasa asing di penglihatannya Farhan pun memberanikan diri untuk bertanya.
"Lo murid baru itu yah?"
"Iya," jawab Zahra kikuk.
"Farhan kenal ama cewek itu?"
"Nggak mungkinlah dia kan anak baru di sini."
"Kecentilan banget sih nabrak-nabrak Farhan segala."
"Kecentilan? Helloww Zahra nggak kecentilan, nabraknya nggak sengaja juga," cibir Zahra membatin.
Zahra merasa risih akan keadaan yang sekarang. Bukan karena adanya Farhan di hadapannya, tapi karena cibiran- cibiran yang di lontarkan oleh siswi-siswi yang melihat adegan tabrakan tanpa sengaja itu.
Bahkan Zahra bingung begitu terkenalnya kah pemuda di depannya ini? Hingga mampu membuat siswi-siswi di sepanjang koridor berhenti dan beralih menatapnya.
"Lo nggak usah dengerin mereka, mereka emang kek gitu. Santai aja," ujar Farhan.
Zahra mengangguk.
"Ra, lo pindahan dari sekolah mana?" tanyanya basa-basi.
"SMA ANTARIKSA, kamu udah kelas berapa?" tanya Zahra, ia ingin mengetahui kelas Farhan. Bukan untuk basa-basi, hanya saja Zahra tidak ingin jika mengetahui bahwa Farhan adalah kakak kelasnya sedangkan ia tidak memanggil Farhan dengan embel-embel Kak
"12 IPA 1."
Zahra mengangguk.
"Maaf. Saya duluan," pamit Zahra sebelum melanjutkan langkahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!