NovelToon NovelToon

Between Love and Obsession

Bagian 0: Prolog

Tak ada yang lebih menentukan nilai seorang manusia lebih dari kemampuannya untuk berpikir. Tak akan ada lampu listrik jika Thomas Alva Edison tidak berpikir. Tak akan ada generator jika Robert J. Van de Graaff tak berpikir. Tak akan ada perkembangan terhadap peradaban jika orang-orang yang terdahulu tak berpikir. Kemampuan untuk berpikir, itu adalah alasan satu-satunya mengapa zaman modern itu ada.

Lebih dari itu, kemampuan berpikir adalah hal terpenting dalam diri setiap makhluk berakal. Pikiran adalah alat untuk berusaha agar tetap hidup. Semakin tajam pikiran seseorang, semakin besar pula kemungkinannya untuk menguasai kehidupan miliknya. Sejak dunia masih dalam masa primitif hingga masa modern saat ini, kemampuan berpikir seorang individu adalah poin terpenting yang akan menentukan keberhasilan hidup seseorang.

Kendati kemampuan berpikir adalah hal utama yang membuat manusia berada di puncak hirarki, setiap manusia sejatinya tidak dilahirkan dengan kemampuan berpikir yang sama. Orang-orang yang mengklaim kalau setiap manusia dilahirkan dengan potensi yang sama itu hanyalah orang-orang yang mencari pembenaran; tak ada satu pun manusia yang memiliki potensi yang sama; setiap individu tak ada yang sama.

Tentu saja pernyataan itu bisa dibantah dengan mudah. Namun, Savier benar-benar memercayai kalau manusia dilahirkan dengan potensi yang berbeda-beda. Karena kalau tidak begitu, lantas mengapa ia sangat kesusahan dalam menggambar, bahkan setelah dirinya menghabiskan waktu berhari-hari untuk itu?

Jawabannya simpel: ia tidak memiliki bakat dalam bidang itu.

Tentu saja Savier mengerti kalau bakat bukanlah segalanya, tetapi itu adalah kunci yang akan mempermudah melewati suatu gerbang keahlian. Kerja keras memang penting, tapi bakat membuat perbedaan yang sangat jelas. Mungkin kerja keras dapat membuat seseorang bagus dalam suatu hal, tetapi seseorang tersebut tidak mungkin akan lebih baik dari orang berbakat yang juga bekerja keras.

Savier benci untuk mengakuinya, tapi itulah kenyataan yang harus ia terima: setiap orang dilahirkan dengan potensi yang berbeda-beda.

Savier menghela napas pelan dan kembali ke tempat duduknya dengan selembar kertas sketsa di tangan.

Nilai yang tertulis di kertas tugasnya ini hanya delapan puluh dua, padahal ia sangat berharap untuk bisa mendapatkan sembilan puluh di tugas terakhir ini. Tapi apadaya, kemampuannya tak cukup untuk memberinya sembilan puluh. Savier harus puas dengan nilainya itu, karena segitulah batas kemampuannya.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Savier langsung bergegas meninggalkan ruang kelas dan melesat menuju perpustakaan sekolah. Waktunya di sekolah dasar ini hanya tinggal sekitar satu setengah bulan lagi, karena itu ia ingin memaksimalkan waktunya selama mungkin di perpustakaan sederhana itu.

Namun, semangatnya yang menggelora langsung padam begitu ia tiba di depan perpustakaan – pintu yang biasanya terbuka hingga sore ini saat ini terkunci rapat.

Apa guru perpustakaan tidak hadir?

Savier mengernyitkan kening memandang pintu biru yang tertutup rapat di hadapannya. Ia sangat benci ketika perpustakaan ditutup seperti saat ini. Jika guru tersebut memang berhalangan hadir, mengapa dia tidak memberikan kunci itu ke guru yang lain agar perpustakaan tetap buka? Savier jadi tidak menyukainya.

Menghela napas pelan, Savier berbalik badan dan dengan enggan melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah.

Ia tak langsung pulang ke tempat ia tinggal. Untuk menghilangkan rasa kesal yang menyelimuti dirinya, Savier memutuskan untuk mengunjungi taman yang terletak tak terlalu jauh dari sekolah dasar tempatnya belajar. Itu adalah taman yang sederhana namun sangat rindang dan menyamankan, Savier selalu ke situ sepulang sekolah kala kegiatan sekolah membuatnya sebal.

Setibanya di taman, Savier langsung mendudukkan diri di bangku terdekat dari arah ia datang.

Bangku tersebut terletak tepat di depan sebuah pohon beringin. Belasan meter di depan bangku tersebut terdapat sebuah kolam kecil yang tak ada ikannya. Kolam tersebut dikelilingi oleh berbagai macam bunga yang berdiri rapi membentuk semacam pagar seolah-olah melindungi kolam dari makhluk asing. Meskipun taman ini secara keseluruhan tidak bisa dibilang sebagai taman yang berkelas, tetapi Savier cukup menyukai suasana di sini, terlebih semilir angin yang menerpa wajahnya sangatlah terasa menyejukkan.

Savier mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya, lalu dengan perlahan meletakkan tas itu di pinggir bangku.

Ia membuka buku tersebut dengan lembut, seolah-olah itu adalah benda yang sangat berharga baginya. Ah, bukan seolah-olah, buku itu memang adalah benda yang berharga bagi Savier. Karena, buku itu adalah buku pertama yang ia beli dengan menggunakan uangnya sendiri. Dan dengan senyum sumringah di bibirnya, Savier tenggelam dalam dunia bukunya yang penuh warna.

Setelah belasan menit Savier duduk sendirian di salah satu bangku taman, seorang gadis berkacamata yang terlihat sebaya dengan Savier duduk di ujung bangku yang Savier duduki. Gadis itu sama sekali tidak memerhatikan sosok Savier – mata kosongnya memandang hampa pada kolam kecil yang terlihat tak terawat itu.

“…Stupid parents,” lirih gadis itu.

Savier mengernyitkan keningnya, biasanya ia tak pernah terganggu dengan suara siapa pun jika sedang membaca. Namun, entah kenapa suara pelan gadis itu mampu membuat fokusnya terganggu, padahal ia sama sekali tak pernah terganggu dengan teriakan-teriakan di kelas. Menyebalkan. Savier tak suka diganggu ketika membaca. Tapi ia tak bisa mengatakan itu pada cewek yang duduk di ujung bangku; ini bukan perpustakaan di mana ia bisa memarahi orang lain jika mereka berisik.

“Ck,” kesal Savier. “Hidup ini singkat, kalau kau tidak mau menikmatinya, lebih baik mati saja; tidak ada artinya hidup jika tersenyum saja tidak bisa. Kau sama sekali tidak dilahirkan untuk menyenangkan orang lain, karenanya, tidak perlu ambil pusing dengan perkataan sok tahu mereka. Hidupmu adalah milikmu, suara yang harus kau dengar hanyalah suaramu, keinginan yang harus kau wujudkan hanyalah keinginanmu, dan yang benar-benar mengerti dirimu hanyalah dirimu sendiri. Selama kau tidak mengusik orang lain maka tidak ada yang berhak untuk mengusikmu, jika mereka mengusikmu maka kau berhak membalas mereka. Hiduplah seperti apa yang kau inginkan, bukankah itu sudah cukup?”

Savier tak menunggu respon siapa pun itu yang telah duduk di ujung bangku. Ia bangkit dari tempatnya duduk dan langsung beranjak dari situ sembari tetap memfokuskan pandangannya pada novel. Ia tak ingin membaca di situ; ia tak pernah merasa seterganggu ini sebelumnya, bisa-bisa ia kehilangan minat untuk menyelesaikan novel ini jika terus di situ.

“Hidup seperti yang kuinginkan, apa itu boleh?”

Savier tak berbalik, tetapi ia sempat berhenti sebentar, sebelum akhirnya kembali berjalan setelah menjawab pertanyaan gadis itu dengan pertanyaan miliknya: “Memangnya, siapa yang berhak melarangmu?”

“Oi!”

Ck, dengan enggan Savier menghentikan langkah dan berbalik memandang gadis berkacamata itu. “Apa?” tanyanya malas.

“Kau sama sekali tidak tahu masalahku, tapi mengapa kau sangat percaya diri kalau kata-katamu itu berpengaruh?” tanya gadis itu dengan senyum pongah.

Savier menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan tersebut. “Sepertinya kau salah sangka,” responnya enteng dengan ekspresi datar. “Untuk perkataan-perkataan pertama tadi, aku hanya mengulang kata-kata tokoh yang ada di novel yang kubaca, aku sama sekali tak berniat menujukannya padamu. Sedangkan untuk pertanyaanku tadi, itu adalah jawaban atas pertanyaanmu sebelumnya. Kesimpulannya, kau yang terlalu percaya diri karena telah berpikir kalau aku berbicara padamu.”

Gadis itu menaikkan sebelas alisnya dengan ekspresi tidak percaya. “Hanya aku orang yang berada di dekatmu tadi,” komentarnya malas.

Savier berusaha mati-matian untuk mempertahankan ekspresi datarnya; ia tidak punya argumen untuk mengelak dari pernyataan cewek itu. Tapi, ia tak mau mengakuinya…, itu akan sangat memalukan. “A-Aku berbicara pada diriku sendiri!” serunya dengan tidak meyakinkan. Dan menyadari betapa tidak meyakinkannya kilahannya barusan, Savier langsung berbalik arah dan pergi dari situ dengan terburu-buru.

“Hahahahaha… lu-hahahaha-cu sekali, hahahaha.…”

Kening Savier berkerut mendengar gelak tawa cewek itu, tetapi ia sama sekali tidak berhenti atau pun meneriakkan kekesalannya. “Cih, cewek menyebalkan,” decihnya kesal sambil meningkatkan laju jalannya. Aku tidak akan pernah ke taman itu lagi, batin Savier sambil berusaha melupakan kata-kata memalukannya tadi. Dan itu tidak pernah terjadinya!

Sibuk dengan gerutuannya, Savier tidak menyadari…. Ia sama sekali tidak menyadari kalau gadis berkacamata itu mengikutinya diam-diam dengan muka berseri dan senyum lebar di bibir tipisnya.

Bagian 1: In between Us, part 1

Tak selamanya perpustakaan adalah tempat yang ramai, apalagi di sekolah menengah pertama seperti ini. Beda tingkat pendidikan, beda pula kondisi perpustakaan di institusi pendidikan tersebut. Sekolah dasar cenderung memiliki perpustakaan yang kecil dan sederhana, buku yang mengisinya pun tak terlalu beragam dan tak banyak. Bisa dibilang kalau perpustakaan sekolah menengah pertama umumnya jauh lebih baik dari perpustakaan sekolah dasar.

Mengikuti asumsi tersebut, jelas sekolah menengah atas lebih unggul dari sekolah menengah pertama, dan tentu saja perpustakaan di institusi perkuliahan akan membuat perpustakaan-perpustakaan di sekolah-sekolah bagaikan danau di tengah-tengah lautan, terlampau besar perbedaannya.

Sebagaimana halnya perpustakaan di sekolah menengah pertama umumnya, begitu pula kondisi perpustakaan di sekolah menengah pertama tempat Savier melanjutkan pendidikannya: sederhana dan minimalis. Kendati begitu, Savier sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.

Pukul 09.45 adalah waktu istirahat di sekolah Savier. Kantin menjadi tempat terfavorit mayoritas pelajar, tetapi Savier kurang suka untuk mengunjungi tempat tersebut di menit-menit awal waktu istirahat. Hal itu lantaran dirinya tidak suka berhimpit-himpitan dengan siswa-siswi lainnya untuk memburu makanan-makanan laris di kantin sekolah. Savier sangat tidak suka suasana yang seperti itu, jadilah ia menghabiskan sepuluh menit pertama istirahat di perpustakaan sekolah, yang secara ajaibnya terletak tepat di depan kelasnya.

Perpustakaan di sekolahnya ini hanya terdiri atas satu ruangan kelas yang luasnya sama dengan luas ruang kelasnya. Terlalu jauh perbedaannya dengan perpustakaan yang dibayangkannya. Meskipun begitu, ia tetap menyukai perpustakaan ini. Karena pelajar lainnya sangat sedikit yang tertarik menghabiskan waktu di ruang yang hanya memiliki satu meja kosong dengan empat kursi yang mengelilinginya ini, hal itu menciptakan suasana sepi, aman, dan minim akan suara yang tak penting: suasana yang sempurna bagi Savier untuk membaca.

Setidaknya, begitulah suasana yang menyambutnya setiap kali ia melewati pintu bercat biru perpustakaan.

Namun, kali ini berbeda. Ada seseorang yang duduk di salah satu kursi itu. Dia seorang siswi. Savier merasa pernah melihatnya, tapi ia tidak tahu namanya dan tak ingat di mana ia pernah melihatnya. Mungkin hanya perasaannya saja?

Savier menghendikkan bahu dan bergegas duduk berhadapan dengan siswi kelas satu sepertinya itu, tentu saja setelah terlebih dahulu mengambil satu buku untuk dibaca.

Tak ada pertukaran kata antara keduanya; mereka sibuk dengan buku yang mereka baca, seolah-olah tak ada siapa pun di meja ini selain diri mereka sendiri.

Tak terasa sembilan menit telah berlalu sejak Savier duduk di kursi ini, ia harus segera ke kantin untuk mengisi perutnya yang kosong sedari pagi.

Memang, ia hampir tidak pernah sarapan. Bukan hanya dirinya, bahkan seluruh anggota keluarganya pun begitu; mereka hampir tak pernah makan pagi..., mungkin itu adalah dampak dari tidak memiliki orang tua yang lengkap. Ibunya telah wafat sejak ia berumur dua tahun. Bahkan Savier tak ingat akan rupa ibunya. Hingga kini pun ia tak tahu wajah ibunya seperti apa, dan tentu saja ia tak pernah bertanya.

Savier menghela napas pelan dan beranjak dari kursi, kemudian meletakkan buku yang dibacanya tadi ke tempatnya semula dan berlalu ke luar perpustakaan.

Meskipun sudah memasuki menit-menit akhir waktu istirahat, kantin masih tetap saja ramai, tapi setidaknya tak seramai menit-menit awal waktu istirahat. Dan ke sanalah Savier beranjak. Ia memasuki salah satu dari tiga kantin yang ada—tentu saja kantin yang dimasukinya adalah yang terdekat. Mendatangi kantin yang lebih jauh akan memakan waktu lebih, meskipun itu hanya belasan detik saja.

Savier langsung bergegas meninggalkan kantin seusai membayar makanan yang ia beli. Tak banyak, hanya dua ribu rupiah untuk sepotong roti coklat dan sebotol teh gelas. Itu sudah cukup. Savier tak makan banyak, toh, ia juga akan makan setelah pulang sekolah nanti.

Lagipula, ia harus berhemat: uang sakunya hanya lima ribu dalam sehari, jika ia bisa menyimpan tiga ribu per hari maka dalam enam hari ia akan bisa mengumpulkan uang sebanyak delapan belas ribu. Dalam sebulan, uang simpanannya akan mencapai tujuh puluh ribu lebih. Uang segitu bisa ia gunakan untuk membeli sebuah buku. Jadi, ia tak harus meminta uang lebih untuk membeli buku.

Savier tiba di kelasnya semenit kemudian.

Kelasnya adalah kelas unggulan, karena itu interiornya sedikit lebih elok dibandingkan kelas lainnya. Pun fasilitas di kelasnya lebih baik daripada kelas-kelas lainnya. Terdapat sebuah komputer, televisi, dvd-player, dan juga terdapat dua buah AC di kelas ini. Harus ia akui, berada di ruangan ini sangat nyaman untuk belajar. Kendati begitu, Savier sebenarnya baru pindah ke kelas ini dua hari yang lalu, karenanya pula ia belum cukup akrab dengan siswa/i lainnya.

Oleh sebab itu, Savier langsung menduduki kursinya begitu ia memasuki kelas. Kursinya terletak di barisan paling belakang, posisi duduk yang tak terlalu ia sukai.

“Savier, habis dari kantin?”

Oh, siswa yang baru saja menanyainya adalah teman semeja Savier. Namanya Hanafi. Dia lelaki yang dua centi lebih pendek darinya, ramah, dan sangat menggemari sepak bola. Savier pun sedikit menggemari sepak bola, karena itu ia bisa dengan mudah akrab dengan siswa di sampingnya ini.

“Ya, aku baru dari sana,” jawab Savier sembari memulai acara makannya. Ia tak perlu menawari teman semejanya ini, karena dia juga sedang menikmati makanannya sendiri.

“Eh, tadi aku sekilas melihatmu dengan Shona di perpus, kau yang mengajaknya ke sana?”

Savier menaikkan sebelah alis matanya mendengar pertanyaan Hanafi. “Shona?” tanyanya sedikit penasaran.

“Iya, cewek yang duduk di sebelah Alena itu,” respon Hanafi, tangannya menunjuk ke meja paling depan dan paling kanan.

Savier membawa matanya mengikuti arah yang ditunjuk Hanafi. Lensa matanya menangkap seorang siswi berbalutkan seragam perempuan standar—baju putih lengan pendek, rok biru pendek selutut, dan lengkap dengan dasi biru rapi melingkari kerah bajunya. Siswi tersebut memiliki warna kulit kecoklatan, wajahnya tergolong “manis” daripada cantik. Savier akhirnya tahu mengapa ia merasa pernah melihat siswi di perpus tadi, ternyata dia adalah teman sekelasnya, yang belum ia kenal.

“Oh,” respon Savier setelah diam sesaat, “aku tidak mengajaknya, itu hanya suatu kebetulan semata.”

“Oh, begitu.”

Savier mengangguk lalu melanjutkan acara makannya. Dan tak lama setelah ia makan, bel yang menandakan waktu istirahat telah berakhir pun berbunyi. Savier membuang sampahnya ke tong sampah di belakang kelas—tak jauh dari tempatnya duduk, kemudian ia kembali ke tempat duduknya dan mulai mempersiapkan dirinya untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

Hari-hari terus berlalu, dan entah kenapa, Savier mendapati dirinya selalu menghabiskan sebagian besar waktu istirahatnya di perpustakaan berdua dengan siswi bernama Shona Wilona itu. Kadang ia yang datang duluan, kadangpula gadis itu yang datang duluan. Jika ia ingat-ingat, sejak pertama kali mendapati gadis itu di perpustakaan, ia dan gadis itu tidak pernah sekali pun absen dari menghabiskan sebagian besar waktu istirahat di perpus. Uniknya, tak sekali pun mereka pernah bertegur sapa, baik ketika di kelas maupun di perpustakaan. Savier tidak tahu mengapa, rasanya ia tidak bisa memulai pembicaraan dengan siswi itu tanpa ada alasan penting.

Namun, hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya. Savier dan semua penghuni kelas diharuskan membayar uang buku, dan uang itu diamanahkan untuk dikumpulkan kepada bendahara kelas yang kemudian akan memberikan uang itu kepada guru yang bertugas. Masalahnya adalah, yang menjadi bendahara kelas adalah Shona, satu-satunya siswi yang belum pernah berbicara dengan dirinya. Tentu hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Savier, ini akan menjadi interaksi pertamanya dengan siswi itu. Dengan langkah mantap Savier mendatangi tempat Shona duduk.

“Siapa?” tanya siswi itu tanpa melihat ke arah Savier, suaranya sama sekali tidak lembut, namun Savier bukan tidak menyukainya.

“Mustafa Savier,” jawabnya sembari menyerahkan uang kepada sang bendahara.

Siswi itu mengangguk dan langsung menuliskan namanya di lembar catatannya. Dia lalu menerima uangnya dan mengambil kembalian dari uang tersebut. “Ini kembaliannya,” ucapnya pelan, dia masih tidak melihat ke arah Savier.

Savier mengangguk. “Terima kasih,” ucap Savier pelan lalu berbalik arah dan kembali ke tempat duduknya, ia sama sekali tidak mendengar respon apa pun dari siswi itu.

Savier menghela napas. Sudahlah, tidak penting juga.

Waktu terus berlalu, dan ujian akhir semester pun akhirnya tiba.

Namun begitu , Savier tidak melakukan persiapan apa pun untuk menghadapi ujian. Lagipula, ia sudah belajar di kelas selama kurang dari enam bulan ini, masak sih ia harus belajar lagi ketika akan menghadapi ujian?

Tidak, Savier tidak akan belajar untuk ujian. Karena, jika itu ia lakukan maka itu sama saja artinya dengan mengatakan kalau waktu yang dihabiskannya di kelas selama kurang leih enam bulan ini sama sekali tak berpengaruh apa-apa. Savier yakin kalau dirinya akan mampu menjawab sebagian besar soal-soal yang diberikan tanpa harus belajar lagi.

Lagipula, Savier bukan termasuk siswa yang rajin dalam hal “belajar”, tapi entah kenapa banyak yang berpikir kalau dia itu anak yang rajin. Terus terang saja, ia tidak pernah membuka buku pelajaran di rumah kecuali jika ia memiliki pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Savier lebih memilih untuk membaca buku-buku cerita atau buku lain yang menarik perhatiannya daripada menjatuhkan pandangannya pada buku pelajaran.

Hari pembagian rapor pun tiba.

Savier mendapat peringkat empat, satu tempat di bawah siswi itu. Savier tidak kecewa dengan hasil tersebut, hasil itu memang sesuai dengan perkiraannya: ia tidak akan berada di luar sepuluh besar, tetapi tak cukup untuk menjadi tiga besar. Ia jadi berpikir, apa jadinya kalau ia bersungguh-sungguh dalam belajar? Eh, sepertinya tak mungkin. Savier tak akan melakukan hal yang tak disukainya, jika ia terpaksa maka ia hanya akan melakukan hal itu dengan setengah hati.

Seusai pembagian rapor, maka hari-hari sekolah pun mencapai masa jedanya, dan hari-hari liburan pun mulai berdatangan.

Namun, bagi Savier, hari libur dan hari lainnya sama sekali tak jauh perbedaannya. Jika pada hari sekolah ia harus pergi pagi pulang siang terkadang sore, maka pada hari libur ia berada di rumah dari pagi hingga pagi lagi. Tidak pergi liburan? Nah, tak ada hal yang bernama “liburan” di keluarga Savier. Jangankan itu, makan bersama pun hampir tak pernah.

Keluarganya termasuk dalam keluarga yang tak terlihat seperti keluarga. Keluarganya Savier adalah individual yang self-centered, setiap orang mengurus sendiri masalah mereka, “family time” tidak pernah ada dalam keluarga ini. Terlebih lagi ayahnya, tidak sekali pun dia pernah bertanya begaimana sekolahnya. Tapi setidaknya Savier bersyukur karena keluarganya bukanlah keluarga yang bisa dikategorikan sebagai keluarga yang “broken home”, masih banyak orang yang memiliki keluarga yang lebih parah darinya.

Anggota keluarga yang paling dekat dengannya adalah kakak termuda Savier, namanya Erina Marianna. Kakaknya ini bisa dibilang adalah anggota keluarganya yang paling pengertian. Savier tidak ingin mengakui hal ini, tapi jika ditanya siapa anggota keluarga yang paling ia pedulikan maka jawabannya adalah kakaknya itu. Hanya saja, Savier tidak suka mengekspresikan perasaan dan kepeduliannya itu, tapi ia selalu mendengarkan dan mempertimbangkan perkataan kakaknya tersebut.

Setelah kakaknya itu, Savier sedikit dekat dengan abang tertuanya. Sebenarnya tidak bisa dibilang dekat juga, sih. Hanya saja, dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya, Savier lebih dekat dengan abangnya itu dibandingkan dengan yang lainnya. Sisanya, Savier hanya bisa mengatakan kalau kebersamaan mereka hanya karena ada ikatan darah yang mengikat mereka, tak lebih dari itu. Kendati demikian, Savier benar-benar tak mempermasalahkan itu.

Hari-hari libur itu, sebanyak dua minggu, benar-benar dihabiskan Savier di rumah tempat ayahnya mengontrak. Hanya sesekali ia keluar rumah membeli sesuatu atau ke warnet (warung internet) jika perlu mencari sesuatu di dunia maya. Selebihnya, ia menggunakan waktu kosong itu untuk membaca, baik itu buku-buku yang ia miliki atau pun cerita-cerita fiksi dari internet melalui mobile-phone-nya.

Tak terasa dua minggu pun telah terlewatkan.

Esok adalah hari dimulainya semester genap. Jujur saja, Savier belum mempersiapkan apa pun untuk hari esok. Itu pula alasannya mengapa kini kakaknya memandangnya dengan penuh tanya. “Perlu dibeli apa, Dik?” begitu tanyanya. Savier hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan, “Nggak perlu apa-apa, Kak Erina,” jawabnya singkat.

“Oh, ya udah.”

Savier sebisa mungkin tak ingin merepotkan kakaknya, terkecuali jika situasi cukup genting. Karenanya ia memberikan jawaban itu. Lagipula, jika memang memerlukan sesuatu maka ia bisa membeli keperluannya sendiri.

Bagian 1: In between Us, part 2

Mentari terbit dengan penuh semangatnya, pertanda hari kemarin telah berlalu dan saatnya bagi setiap insan untuk menatap hari ini yang nyata dan penuh tantangan. Savier keluar dari rumahnya dan langsung bergegas ke pinggir jalan menunggu angkutan umum yang lewat. Tak selalu ia menaiki angkot untuk ke sekolah, terkadang ayahnya mengantarnya dengan sepeda motor jika beliau bangun pagi. Jika beliau tidak bangun pagi seperti hari ini, Savier tidak punya pilihan lain selain menggunakan jasa angkutan kota.

Perjalanan ke sekolah tak memakan waktu lama. Kurang lebih lima menit setelah ia menaiki angkot, Savier menemukan dirinya tiba di sekolah. Oh, ini hari Senin, untung saja ia tiba di sekolah lebih awal. Karena kalau tidak maka ia akan melewatkan tugasnya untuk membersihkan ruang kelas. Jika ada hal yang paling Savier tidak suka, maka itu adalah dihukum atau diceramahi karena melakukan kesalahan. Karena itu, Savier mempercepat langkah kakinya menuju ke ruang kelas.

Setibanya di sana, ia langsung mengambil sapu lantai dari lemari kelas dan kemudian menyapu lantai dengan lugas. Selagi ia bekerja, satu per satu teman kelasnya berdatangan, dan tentu saja teman piketnya pun berdatangan, lalu bersama-sama mereka membersihkan ruang kelas dan membuatnya sebersih mungkin untuk membuat kegiatan belajar mengajar menjadi nyaman.

Setelah upacara bendera, yang lamanya membuat Savier sedikit jengkel, akhirnya kelas pertama di hari pertama semester genap pun dimulai.

Itu adalah pelajaran Matematika, subjek pelajaran yang paling Savier favoritkan dari semua pelajaran yang ada. Ada alasan-alasan mengapa Savier lebih menyukai Matematika. Salah satunya adalah karena ia tidak harus repot-repot menghapal banyak teori atau pun penjelasan umum lainnya seperti di dalam pelajaran biologi dan pendidikan kewarganegaraan, salah satu alasan lainnya adalah menyelesaikan masalah-masalah Matematika terasa menantang dan menyenangkan. Oh, Savier juga menyukai pelajaran Fisika, tapi jika harus memilih maka Savier akan lebih memilih Matematika.

Waktu istirahat akhirnya tiba, tetapi Savier sama sekali tak beranjak dari tempatnya duduk—ia tidak bisa pergi ke perpus dikarenakan perpus masih belum dibuka. Pun Savier tak berniat ke kantin hari ini. Ia ingin menghabiskan seluruh waktu istirahat hari ini di kelas dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru matematika tadi.

“Kau kalau jalan hati-hati, lah!”

Aktivitas Savier langsung terhenti begitu suara yang familier baginya terdengar tepat beberapa langkah di sampingnya. Ia langsung menolehkan pandangannya ke arah sumber suara. Sosok Shona yang memandang tajam ke arah siswa bertubuh paling besar di kelas inilah yang menyambut pandangannya.

“Kau yang nggak lihat-lihat.”

“Kau udah jelas-jelas salah masih nggak mau ngaku salah, tahu diri dong!”

“Nggak usah sok keras, kalau kau laki-laki udah kutokok kepalamu.”

“Kau pikir aku takut, hah?!”

“Ck, terserahmulah.”

Savier memandang ke arah Shona yang masih memandang tajam Morian—siswa bertubuh besar yang berseteru dengannya tadi, meskipun Morian sudah beranjak ke tempat duduknya. Ia langsung kembali menolehkan pandangan pada buku pelajarannya ketika Shona tiba-tiba mendaratkan pandangan tajam pada dirinya. Savier tetap memfokuskan mata pada bukunya itu selama Shona terus memandangnya. Merasa sedikit jengah karena terus dipandangi, Savier kembali mengarahkan pandangannya pada Shona. Adu tatapan pun dimulai, baik Savier maupun Shona tak ada yang berniat untuk mengalah.

Satu menit, dua menit, dan sebelum menit ketiga sempat berlalu akhirnya Shona menghela napas pelan lalu kembali berjalan ke tempat duduknya, dengan senyum kecil terpatri di bibir tipisnya. Savier tidak mengerti mengapa dia tersenyum seperti itu, tapi harus ia akui kalau senyum itu, meski terlihat sekilas baginya, sangatlah indah.

Siswi yang menarik. Bukan saja senyumnya sangat manis, dia juga memiliki kepribadian yang menarik, dia gadis yang kuat. Savier menggelengkan kepalanya pelan, mengusir wajah gadis itu lengkap dengan senyum manisnya dari mendominasi pikirannya, kemudian kembali berkutat dengan buku pelajarannya.

Hari-hari pun berlalu, kini Savier sedang memainkan plastisin-plastisin yang ia bawa untuk pelajaran seni budaya nanti sehabis istirahat.

Hari ini ia tak singgah ke perpustakaan. Pun begitu dengan teman seperpusnya yang hingga saat ini belum pernah berbicara dengannya sejak interaksi singkatnya dulu sewaktu membayar uang buku. Mayoritas siswa/i pada sibuk dengan plastisin mereka – Savier dapat melihat dengan jelas raut wajah penuh semangat mereka dalam memainkan plastisin-plastisin, sama seperti dirinya.

Ternyata guru seni budaya tak bisa hadir.

Kelasnya kini kosong tanpa ada acara belajar-mengajar. Guru piket mengatakan pada mereka untuk belajar sendiri. Mereka boleh belajar sendiri atau melakukan apa pun asalkan tidak berisik. Karenanya, ia dan siswa/i lainnya mulai berkutat dengan aktivitas-aktivitas yang menarik bagi mereka.

Ada yang bermain tebak-tebakan, ada yang membaca buku, ada juga yang saling bercerita, dan ada pula yang lebih memilih melanjutkan acara mereka dalam membuat berbagai benda dari plastisin. Savier sendiri juga memilih untuk melanjutkan kegiatannya dalam memainkan plastisin. Dari plastisin-plastisin itu ia membuat setangkai bunga lalu meletakkannya di meja, kemudian ia membuat benda lainnya dengan plastisin yang masih banyak tersisa.

Tak terduga oleh Savier, seorang siswi bernama Tiana yang duduk tepat di depannya berbalik arah dan dia dengan tanpa izin langsung mengambil bunga plastisin buatan Savier. “Buat siapa bunga ini, Savier?” tanyanya sambil tersenyum.

Savier hanya merespon datar pertanyaan itu, “Bukan untuk siapa-siapa.”

Namun, siswi tersebut tak berhenti sampai di situ. “Seriusan bukan buat siapa-siapa?” tanyanya sambil berdiri.

Dan sebelum Savier sempat merespon, Tiana sudah beranjak dan meletakkan bunga itu tepat di meja Shona. “Shona, ini dari Savier,” kata Tiana, dengan senyum usil menghiasi bibirnya.

Seisi kelas menjadi hening seketika. Tiana tidak berkata dalam suara yang kecil, melainkan volume suaranya cukup besar untuk bisa terdengar oleh seisi kelas. Karenanya, pandangan mayoritas siswa/i langsung tertuju pada Savier dan Shona.

“Cieeee… cieee…,” ejek seisi kelas, membuat Savier dan Shona menjadi malu seketika.

Penderitaan Savier dan Shona tak berakhir sampai disitu, para siswa mulai bersuit-suitan ria dan para siswi mulai menggoda Shona.

Puas dengan itu, mereka kemudian mulai melakukan hal yang lebih membuat Savier dan Shona malu: mereka menyanyikan sebuah lagu romansa dan bergerak bolak-balik dari tempat duduknya Shona dan Savier.

Itu adalah lagu sahut-sahutan bertemakan cinta, dan jujur saja Savier belum pernah merasa semalu ini. Sepertinya Shona pun merasakan hal yang sama dengannya. Setelah beberapa lama dia bertahan di kursinya, akhirnya dia menyerah dan bergegas ke luar kelas untuk menghindari godaan dari teman-teman sekelas.

Tentu saja Savier tak melakukan apa pun untuk meringankan penderitaan Shona. Jika ia pergi menyusul siswi tersebut maka sudah pasti godaan yang dilontarkan temannya akan menjadi-jadi. Ia tak mencoba untuk mengklarifikasi masalah tersebut karena ia yakin tak ada satu pun dari mereka yang akan percaya, karena itu ia hanya bisa pasrah di dalam kelas dan menunggu sampai mereka puas menggoda dirinya dan Shona.

Jujur saja, Savier sama sekali tak bermaksud untuk membuat bunga mainan itu untuk Shona. Ia juga tidak tahu mengapa ia sampai membuat bunga dari plastisin seperti itu. Savier sama sekali tidak sengaja dalam melakukan itu— tangannya tadi seolah-olah bergerak sendiri untuk membuat bunga mainan itu. Tapi apa boleh buat, waktu yang telah berlalu tak bisa diputar ulang; hal ini sudah terjadi, mungkin ia hanya perlu meminta maaf pada Shona dan semuanya akan baik-baik saja, mungkin.

...Dan usaha Savier untuk meminta maaf pada Shona pun dimulai. Akan tetapi, ketika ia berniat untuk melakukannya, Savier kembali sadar bahwa jika ia mendekati Shona maka apa yang dituduhkan oleh teman-temannya akan terbukti benar. Savier tidak menginginkan hal itu terjadi, karenanya, ia diam dan menganggap hal itu tidak pernah terjadi.

Beberapa hari setelahnya, Shona tidak masuk sekolah. Entah kenapa Savier merasa sedikit khawatir, hanya sedikit. Dan entah kebetulan atau apa, seorang siswi menelpon Shona ketika waktu istirahat pada kelas sore. Dari yang ia dengar dari pembicaraan mereka, ternyata Shona tidak hadir karena dia dan keluarganya mengunjungi keluarga mereka yang tengah berbelasungkawa. Savier merasa sedikit lega karena mengetahui kalau siswi itu baik-baik saja, hanya sedikit saja.

“Savier, mau ngomong sama Shona?”

Savier sedikit tersentak mendengar pertanyaan yang mengejutkan dan tiba-tiba itu. Ia langsung menggelangkan kepalanya dengan cepat. Meskipun ia sedikit terkejut, Savier tetap mampu memasang ekspresi yang mengatakan “aku tak berminat” di wajahnya.

“Shona, Savier nggak mau katanya.”

Savier mengernyitkan keningnya mendengar celotehan Tiana—nama siswi yang menelpon Shona. Ia yakin Shona tak berniat untuk berbicara dengannya, itu hanya keusilan dia saja. Tapi, bagaimana kalau ternyata Shona benar-benar ingin berbicara dengannya? Nah, itu tak mungkin. Savier tidak percaya hal itu. Ia benar-benar tidak percaya kalau Shona benar-benar ingin berbicara padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!