"Ibu!" Seorang gadis muda berlari saat melihat sang Ibu telah menangis dan bersimpuh di bawah.
"Apa yang terjadi?" tanya Widi khawatir melihat keadaan sang Ibu.
"Bawa pergi Ibumu dari sini sekarang juga! Aku tidak mau rumahku tercemar oleh virus-virus yang keluar dari tubuh kalian!"
Brak!
Hinaan dari saudaranya yang tiada henti, membuat Widi bertekad akan bekerja lebih keras lagi untuk membuat keluarganya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi.
"Suatu saat kalian akan membalas dan membayar semua perlakuan buruk kalian ini pada keluargaku!" batin Widi dengan sorot mata tajam.
"Kenapa! Kamu mau melawan aku," tanyanya dengan berkacak pinggang.
Widi tertunduk, ia menuntun Ibunya pulang dari rumah saudaranya.
"Apa yang Ibu lakukan?" tanya Widi dengan nada sedih.
"Gak ada apa-apa Nak, hanya berniat membantu ua kamu saja." isak Nia menahan sakit yang di tendang Henti.
Setibanya di rumah, Widi langsung menyiapkan piring dan minuman di atas meja. Ia membiarkan Ibunya duduk terlebih dahulu dan tidak lupa ia membangunkan Bapaknya yang sedang beristirahat.
"Ayo Bu, Pak. Kita makan dulu, maafkan Widi ya belum bisa membawa Ibu dan Bapak makan di luar sana," ucap Widi sedih, mengingat kejadian barusan.
"Nggak apa-apa Nak, Maafkan Bapak saya tidak bisa membahagiakan kamu," jawab Pak Wendi.
"Iya Nak, maafkan Ibu juga ya. Malah merepotkan kamu." Bu Nia pun tertunduk.
.
.
.
Keesokan harinya Widi mencari pekerjaan yang lebih layak meskipun hanya bermodal ijazah SMA, Widi sangat yakin bahwa dirinya akan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan ijazahnya.
"Awas, nanti baju kalian kotor. Biarkan anak orang miskin itu lewat!"
"Mau ke mana dia sambil bawa amplop coklat seperti itu?"
"Kayaknya mau ngelamar pekerjaan deh."
"Orang yang tamatan SMA, nggak bakalan bisa mendapatkan pekerjaan!"
Seketika mereka tertawa bahagia setelah menghina Widi. Widi tidak memperdulikan ucapan Ibu-Ibu yang sudah terhasut dengan ua nya, Widi tetap melanjutkan perjalanannya. Ketika ia tiba di persimpangan jalan raya, tidak sengaja ia menemukan dompet yang terjatuh.
"Dompet siapa ini? Kalau dilihat dari bentuk dompetnya, sepertinya bukan orang biasa." Widi membuka isi dompetnya, sontak ia terkejut melihat lembaran kertas yang berwarna merah.
"Buset, uangnya banyak banget! Nggak, aku nggak boleh mengambilnya. Ini bukan hak aku," ucap Widi, ia beralih ke kartu nama yang sudah tertera di selipan dompet.
"PT PRATAMA GROUP. Sepertinya tidak jauh dari sini deh, aku harus mengantarnya sekarang. Siapa tahu pemiliknya sedang mencarinya," ucap Widi, ia bergegas menuju perusahaan.
5 menit di perjalanan, Widi kelelahan karena berlari. Ia kira, lokasi perusahaan tidak jauh dari perkiraannya.
"Aduh, capek banget. Dimana sih lokasinya!" gumam Widi yang ngos-ngosan, ia melihat isi dompetnya ternyata hanya cukup untuk makannya 2 hari.
"Mana uang aku tinggal segini lagi," desis Widi, sekilas ia melihat dompet yang ia temukan.
Kurang lebih dari 10 menit akhirnya Widi tiba di sebuah perusahaan, baru saja ia melangkah masuk ke dalam gerbang. Namun, cepatnya Pak satpam menahan Widi.
"Hei! Mau cari siapa kamu?" tanya pak satpam, Widi berbalik arah begitu di panggil satpam.
"Maaf, perusahaan ini tidak menerima lowongan," ucapnya dengan nada sinis, iya menatap Widi dari atas hingga ke bawah.
"Maaf Pak, kebetulan saya datang ke sini bukan untuk mencari pekerjaan. Saya ke sini ingin bertemu dengan seseorang." Widi memberikan sebuah kartu nama ke satpam. Sontak, satpam terkejut ketika ia membaca kartu nama.
Pak satpam langsung mengantar Widi ke ruangan beliau. Widi pun bingung melihat Pak satpam mendadak berubah menjadi kalem.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
klek!
Pak satpam masuk ke dalam ruangan seorang CEO, yang diikutin oleh Widi.
"Maaf pak Cakra, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Bapak," ucapnya dengan ramah dan sedikit menunduk, Widi pun ikut menunduk.
Pak Cakra yang sedang duduk di atas kursi CEO, ia berbalik arah ke belakang. Pria berbadan tegap dan memegang tongkat sebagai pemangku jalannya, ia berdiri di depan mejanya dan memberi aba-aba pada satpam untuk segera keluar.
"Siapa kamu? Apa Kita pernah bertemu?" tanya Pak Cakra dengan wajah bingung.
"Kita memang belum pernah bertemu, pak. Tapi, tujuan saya datang ke sini, itu dengan niat baik saya," jawab Widi yang masih tertunduk ketakutan.
"Lihat ke sini, jangan lihat ke lantai. Memangnya saya lantai!" tanya pak Cakra menarik napasnya dengan dalam.
Dengan beratnya Widi menatap wajah pak Cakra.
"Maaf pak," ucap Widi dengan gemetaran.
"Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya lagi.
"Apa dompet Ini milik, Bapak?" tanya Widi dengan gugup.
Pak Cakra langsung meraih dompet yang ada di tangan Widi.
"Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga!" seru pak Cakra.
"Di mana kamu menemukannya? Terima kasih ya Nak, kamu sudah berbaik hati mengantar dompet saya. Alhamdulillah, ternyata masih ada orang yang jujur," ucap pak Cakra terharu.
"Sama-sama, Pak. Oh iya, sebelumnya saya minta maaf Pak. Saya tadi mengambil uang Bapak untuk membayar ongkos saya ke sini," ucap Widi dengan ragu.
"Gak apa-apa, ini uangnya sebagai imbalan karena kamu sudah mengantar dompetnya ke sini." Widi langsung menolak dengan lembut, sekilas pak Cakra melihat Widi membawa amplop coklat.
"Kalau gitu saya permisi dulu ya, Pak."
"Tunggu!" Widi cemas, ia langsung berbalik arah.
"Iya Pak, ada apa?"
"Mau ke mana kamu, membawa amplop coklat itu?" tunjuk pak Cakra ke arah amplop.
"Saya ingin mencari pekerjaan, Pak."
"Wah, kebetulan perusahaan ini sedang mencari lowongan. Berhubung kamu gak mau menerima uang pemberian saya, mulai besok kamu datang ke perusahaan ini untuk bekerja."
"Serius, pak?" Widi terkejut, ia tidak menyangka kebaikannya memudahkan ia mendapat pekerjaan.
Widi langsung pulang ke rumah dengan kabar bahagianya, tidak sengaja kebahagiaan Widi dilihat oleh ua nya yang sedang ghibah sama tetangga yang lain.
"Bu Henti, kok Widi terlihat bahagia, ya ?"
"Iya, apa mungkin dia sudah mendapat pekerjaan, ya?"
"Mana mungkin lah, orang cuma tamatan SMA gak segampang lulusan sarjana kalo mencari pekerjaan!"
Widi yang baru saja tiba di rumahnya, ia langsung masuk ke dalam menemui kedua orang tuanya.
"Assalamualaikum Ibu, Bapak."
"Wa'alaikumsalam."
"Wa'alaikumsalam."
Wendi dan Nia pun menoleh ke arah sumber suara, mereka sangat bahagia melihat anaknya sudah pulang.
"Sudah pulang, Nak?" tanya Pak Wendi meraihkan tangannya, agar Widi duduk di sampingnya.
"Sudah, Pak," jawab Widi dengan wajah bahagianya.
"Ada apa ini, kok bahagia sekali wajahnya?" tanya Nia yang memahami gerak-gerik Widi.
"Coba Ibu sama Bapak, tebak aku bahagia karena apa?" tanyanya dengan senyuman.
"Apa ya?"
"Kamu lagi jatuh cinta, ya?" tebak Nia, Widi menggelengkan kepalanya.
"Hadiah untuk Bapak sama Ibu?"
Hingga akhirnya Nia dan Wendi menyerah menjawab tebakan dari Widi. Widi menarik napas dalam.
"Aku sudah dapat pekerjaan baru!" seru Widi langsung memeluk Bapaknya yang berada di samping.
"Alhamdulillah...."
Sementara itu, Henti yang sedang menguping pembicaraan keluarga Nia pun terasa panas. Ia langsung mendobrak pintu rumah Nia, sehingga terlepas dari Pakuannya.
Brak!
Bugh!
"Astagfirullah!"
"Astagfirullah al'azim!"
Sontak membuat keluarga Nia terkejut mendengar suara pintunya yang di dobrak Paksa.
"Hei! Keluarga miskin, jangan bangga dulu meskipun kamu mendapatkan pekerjaan!" sentak Henti dengan berkacak pinggang.
"Apa lagi salah kami?" tanya Wendi dengan gemetaran.
"Dan kamu Widi! Jangan bangga dengan pekerjaan kamu, bisa saja kamu nanti di jual sama bos kamu sebagai pelacur!" seru Henti dengan ketawa kerasnya.
"Bahkan orang yang berijazah SMA, gak akan mungkin secepat itu mendapatkan pekerjaan. Atau jangan-jangan, kamu menjual diri, ups!"
"Ua, jangan sembarangan ngomong. Aku mendapatkan pekerjaan itu murni." Widi yang ingin maju untuk menghajar uanya, namun ia di tahan oleh Bapaknya.
Plak!
Plak!
Dua kali tamparan mendarat ke pipi Widi. Sontak, Nia dan Wendi tercengang melihat Henti berani menampar anak semata wayangnya. Selama 21 tahun mereka tidak pernah memukul Widi, sebesar apapun masalahnya.
Wendi ingin saja menegur Henti dengan sikapnya yang kurang ajar. Namun, ia urungkan niat baik mengingat statusnya terlalu di bawah standar di mata Henti dan keluarganya.
"Berani kamu menjawab ucapan aku!" bentak Henti, ia mencengkram kedua pipi Widi lalu mendorongnya hingga Widi terduduk di atas lantai.
Bugh!
Widi hanya mampu menangis dengan bisu, ia juga tidak berani melawan Henti. Keluarga Henti bisa membeli segalanya, beda lagi dengan keluarga Nia yang hanya bersyukur bisa makan enak berkat kegigihan Widi.
"Sudah miskin, malah sok belagu lagi!" sinis Henti dengan melipatkan tangannya di depan dadanya.
"Dan kalian bertiga, jangan pernah sok bahagia! Kalian orang miskin hanya bisa merasakan kesedihan dengan nasib kalian sendiri!" ejek Henti dengan ketawa kerasnya.
^^^"Teruslah menghina keluargaku, akan aku pegang semua omonganmu! Suatu saat kau akan membayar semuanya!" batin Widi seraya mengepalkan kedua tangannya.^^^
Nia dan Wendi mendengar ucapan Henti hanya bisa menahan rasa sakit hatinya, mereka sadar diri dengan nasib hidupnya. Widi hanya menunjuk wajah bencinya kepada Henti, ia menahan egonya hingga tiba waktunya untuk membalas semua perbuatan Henti.
Brak!
Bedentum!
Pintu rumah milik Wendi terlepas dari konsennya, mereka berdua hanya mampu mengusap dadanya. Perlahan-lahan Wendi memperbaiki sebisanya, mengingat kondisinya masih lemah.
Widi menangis di pelukan Ibunya, ia tidak mengerti kenapa orang tuanya masih bertahan tinggal yang berdekatan dengan saudaranya yang kejam.
.
.
.
Matahari pagi sudah terlihat sangat cerah, Widi sudah berdandan dengan rapi demi mendapatkan pekerjaan yang baik. Ia sangat bersemangat bekerja demi sebuah cita-citanya, dan tidak lupa ia minta doa restu kepada kedua orang tuanya agar rezekinya di beri kemudahan.
"Pak, Bu. Widi berangkat kerja dulu, ya. Assalamualaikum," ucap Widi sembari mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
"Iya Nak, hati-hati di jalan ya. Bekalnya jangan lupa dimakan siang nanti," balas Nia dengan penuh haru.
"Baik-baik di sana, kamu harus patuh apa kata bos kamu. Dan kamu harus bersabar apa pun masalah yang menimpa padamu," ucap Wendi memberi nasehat pada anaknya agar tidak menyebabkan masalah di pekerjaan barunya.
"Insya Allah pesan Bapak, akan Widi ingat. Assalamualaikum," balas Widi
Saat ini Widi hanya bermodalkan jalan kaki menuju ke perusahaan, apapun caranya akan ia coba agar pekerjaan yang ia harapkan tidak sia-sia begitu saja.
Nasib baik Widi datang tepat waktu secara bersamaan dengan Pak Cakra. Spontan Pak Cakra kagum dengan kecepatan waktu Widi. Terlihat Widi yang baru tiba di perusahaan, ia mengatur napasnya dengan baik sebab ia berlari dari rumah.
"Widi, kamu kenapa?" cemas Pak Cakra.
Sontak, Widi terkejut begitu mendengar suara yang tidak asing.
"Selamat pagi, Pak Cakra," Widi berusaha menutupi kelelahannya, sayang sudah terbaca oleh Pak Cakra meski ia pura-pura tidak tahu.
"Pagi juga Widi. Nanti kamu langsung menemui HRD, ya. Selamat bekerja," ucap Pak Cakra menepuk bahu Widi dengan lembut.
"Baik Pak, terima kasih," balas Widi dengan sedikit menunduk.
Widi langsung menuju ke ruang HRD yang di bimbing oleh asisten Pak Cakra.
"Alhamdulillah, meskipun sebagai OG yang penting aku bisa bekerja demi orang tuaku," gumam Widi sembari berkenalan dengan seangkatannya.
Sementara itu, Nia yang memiliki semangat yang tinggi ia berbelanja di warung, ia berniat memasak kesukaan Widi. Baru saja tiba di warung, tidak sengaja ia mendengar nama Widi di sebut oleh Henti.
"Mana mungkin lah, orang yang ijazah SMA bisa dapat pekerjaan secepat itu! Bisa saja si Widi itu menjual diri."
Deg!
"Astagfirullah, apalagi yang di lakukan sama Mba Henti," isak Nia seraya meremas dada bajunya yang terasa sesak.
klek!
Bruk!
Wendi melihat istrinya yang baru pulang dengan keadaan menangis pun bingung, ia duduk di samping istrinya dan merangkulnya dengan lembut agar istrinya merasa tenang.
"Ada apa Bu, kok nangis? Mana barang belanjaannya?" Wendi mengitari posisi duduk istrinya.
"Gak jadi belanja karna ada Mba Henti," balas Nia dengan tersedu-sedu.
"Apa hubungannya sama, Mbak Henti?" tanya Wendi yang dilanda kebingungan.
"Mba Henti, mengatakan kalo Widi menjual diri!" sesak Nia mengingat ucapan kakaknya, Wendi mengepalkan kedua tangannya.
.
.
.
Tak lama dari itu, hari menjelang sore Widi pulang ketika pekerjaannya sudah selesai.
"Widi, kita pulang duluan ya."
"Iya kak, hati-hati di jalan."
"Widi, mau aku antar gak?"
"Lain kali aja kak, aku masih banyak pekerjaan."
"Ya sudah."
Widi buru-buru menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi. Kurang lebih 20 menit akhirnya ia sudah selesai dan bergegas mengambil tasnya yang berada di kloter untuk pulang, karena waktunya sudah lewat dari jam pulangnya.
Tak lama dari itu, akhirnya Widi tiba di rumah. Ia tidak tahu kedua orang tuanya sedang berada di puncak emosi.
"Assalamualaikum, tumben Bapak sama Ibu duduk di teras?" tanya Widi seraya mengulurkan tangannya yang ingin bersalaman dengan kedua orang tuanya.
Plak!
Plak!
Widi tercengang dan memegang kedua pipinya, ia terkejut mendapat perlakuan buruk dari Bapak untuk pertama kalinya.
"Pak!"
"Dari mana kamu!" sentak Pak Wendi berkacak pinggang dengan wajahnya merah padam.
"Widi kerja Pak," balas Widi dengan mata sendunya.
"Pembohong! Pasti kamu menjual diri kan, kami tidak butuh uang haram kamu. Silahkan kamu pergi dari sini!" Pak Wendi melemparkan tas besar yang berisi baju Widi.
Bruk!
Bugh!
"Pak, apa yang terjadi? Kenapa baju Widi di buang?" panik Widi
"Pak, sudah! Jangan usir Widi!" Nia langsung memeluk Widi.
"Bu, apa yang terjadi?" tanya Widi, Nia tak mampu untuk menjelaskannya ia hanya bisa memeluk erat anaknya.
"Pergi kamu dari sini! Tanpa uang haram kamu, kami bisa mencari sendiri!" sentak Wendi menarik Paksa istrinya masuk ke dalam.
Brak!
"Apa yang terjadi?" isak Widi
Widi terpaksa pergi dari rumah, ia mengambil tas yang dIbuang oleh Bapaknya. Tetangga mulai menggosip melihat Widi yang di usir oleh Bapaknya, begitu juga dengan Henti. Ia tertawa bahagia melihat keluarga Nia sedang tidak baik-baik saja.
"Betulkan apa kata aku pagi tadi!" tanya Henti seraya melirik ke arah Widi yang sedang menuntun tas besarnya.
"Iya ya, gak nyangka aku. Padahal masih muda."
"Kasihan banget, demi hidup terpandang ia rela menjual harga dirinya."
"Minggir! Wanita malam mau lewat!"
Hati Widi langsung mencekam, ia langsung melabrak Ibu-Ibu termasuk ua nya.
"Apa yang kalian katakan! Siapa yang wanita malam!" bentak Widi, seketika Ibu-Ibu terkejut melihat amarah Widi.
Tanpa ba bi bu lagi, Ibu-Ibu memilih masuk ke rumah tanpa menjawab pertanyaan Widi.
"Aku tahu siapa dalang di balik semua ini! Ibu Bapak, bersabarlah aku akan pulang dengan membawa keberkahan untuk kalian berdua. Aku ikhlas Bapak mengusir aku, suatu saat akan aku balas orang yang menghina kita!"
.
.
.
4 tahun kemudian....
Widi menerima kenaikan jabatan dan bonus yang tinggi dari perusahaan Cakra. Betapa bahagianya Widi, sebuah impian yang ia tunggu akhirnya tercapai.
"Selamat Widi, atas kenaikan jabatan kamu. Semoga semakin lancar rezeki kamu, dan bisa bekerja sama dengan lebih baik lagi," ucap Pak Cakra
"Aamiin, terima kasih banyak Pak," balas Widi dengan senyuman yang terukir di wajahnya.
Widi keluar dari ruangan Pak Cakra, ia bahagia akhirnya bisa membawa kedua orang tuanya ke rumah baru, meskipun itu hanya rumah dinas.
"Alhamdulillah ya Allah, terima kasih akhirnya aku bisa membuktikan hasil kerja kerasku selama ini."
"Sudah saatnya aku menjemput kedua orang tuaku!" sambung Widi, ia langsung menyalakan mobil sedannya menuju ke rumah orang tuanya.
Brm!
Kurang lebih 20 menit akhirnya Widi tiba di rumah orang tuanya, ia sangat merasa bahagia akhirnya bisa bersumpah dengan kedua orang tuanya lagi setelah 5 tahun lamanya ia tidak pulang ke rumah.
"Bapak dan Ibu sedang apa ya di rumah? Semoga mereka sehat-sehat saja," ucapnya dengan lirih
Terlihat rumah tua dan kuno itu sangat berantakan dan kotor di mana-mana, Widi tersentuh melihat keadaan rumah orang tuanya. Bahkan tetangganya berlalu lalang melewati depan rumah orang tuanya sembari berbisik-bisik dan menutup hidungnya.
Baru saja ia ingin membuka pintu mobil, terlihat Ua Henti membuang sampah ke rumah orang tuanya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Kurang ajar bisa-bisanya dia membuang sampah di rumah orang tuaku!" Widi mengepalkan kedua tangannya, ia berniat ingin menghajarnya. Tapi, ia urungkan lagi niatnya.
"Tapi, kemana Ibu dan Bapak? Kenapa rumah terlihat sangat sepi?"
Sepintas ide lewat di pikiran Widi, ia memutar balik mobilnya. Widi berniat menyamar seperti kehidupan yang sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!