NovelToon NovelToon

STRANGE MERCHANT

Chapter 1 : Rumah Warisan Kakek

Adakalanya seorang Sagara merasa dirinya adalah pria paling sial di dunia. Pria yang terkenal selalu tersenyum dan terlihat bahagia ketika menyapa orang-orang di sekelilingnya, kini tengah meringkuk di dalam kamar karena baru saja berurusan dengan sang pemilik bangunan. Dia diminta untuk segera melunasi biaya kontrakannya yang sudah menunggak selama dua bulan. Sagara berpikir keras tentang bagaimana caranya dia mendapatkan uang untuk membayarnya. Dia hanya memiliki waktu seminggu untuk mengumpulkan biaya tersebut, sedangkan kondisi dirinya saat ini sedang tidak memiliki pemasukan sama sekali.

Sehari sebelumnya, Sagara baru saja ditipu oleh pemilik toko tempat dirinya bekerja sambilan. Gajinya selama dua bulan belum dibayarkan, akan tetapi sang pemiliki sudah kabur dan menghilang tanpa menitipkan pesan apapun. Itu terjadi ketika akhir pekan, saat dirinya libur bekerja. Toko tempatnya bekerja itu tau-tau sudah dijual dan beralih kepemilikan orang lain saat keesokan harinya. Sagara tidak tahu lagi bagaimana cara dia mencari uang untuk mencukupi bayaran kontrakannya itu. Tabungannya selama ini masih belum cukup. Dia membutuhkan setidaknya tiga juta lagi untuk membayar kontrakan. Gajinya yang dua bulan itu sebenarnya akan dia gunakan untuk melengkapi kekurangannya, akan tetapi kini rencananya tersebut tidak lagi memungkinkan. Sagara menjadi stress, terlebih bulan depan dia sudah harus membayar angsuran biaya kuliahnya.

"Bagaimana ini? Apa aku akan berakhir tidur di jalanan?" Sagara mengekspresikan kekhawatirannya dengan cara yang aneh. Dia menertawakan situasinya saat ini dengan menganggapnya lucu.

Bagi Sagara, sudah tidak ada jalan keluar dari masalah ini. Dia sudah tidak memiliki barang berharga atau apapun untuk dijual. Ditambah memikirkan hutang besar yang ditinggalkan sang ayah, biaya angsuran kuliah, biaya untuk kebutuhan harian, dan tunggakan bayaran kontrakan. Kecuali dia memenangkan undian, Sagara tidak tahu bagaimana cara melunasi semua hutang dan kebutuhannya itu.

Sagara berpikir bahwa kehidupan manis perkuliahannya akan segera berakhir. Padahal dia baru-baru ini dekat dengan seorang wanita yang merupakan teman satu angkatannya. Namun, dia harus merelakan kehidupan kampusnya karena sebentar lagi dia akan dikeluarkan jika tidak bisa membayar angsuran kuliahnya.

Di saat Sagara terdiam dan meratapi nasibnya, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di sampingnya itu berdering kencang. Dia mengabaikannya sekali. Sagara awalnya berpikir bahwa panggilan itu bisa saja kabar buruk lainnya yang datang menghantam dirinya bagaikan ombak besar yang datang setelah gempa. Dia tidak tahu apakah dirinya masih dapat bertahan jika dia mendapatkan kabar buruk lainnya.

Hanya saja, ponsel miliknya itu ternyata tidak hanya berdering sekali dua kali saja, akan tetapi terus lanjut berdering setelah sejenak berhenti berdering. Sudah kurang lebih tujuh panggilan tak terjawab dalam daftar orang yang menghubunginya. Sagara semakin yakin nampaknya akan ada badai yang datang jika dia mengangkat panggilan orang tersebut. Jadi dia terus mengabaikannya, sudah tidak tahu berapa kali ponsel itu berdering.

Sagara sedikit kesal. Dia menjadi lengah. Dia cemas seperti diteror karena terus mendengar suara ponselnya yang berdering. Pandangannya pun teralihkan dan menatap laya ponselnya yang berdering tersebut. Dia melihat nomor tak dikenal yang ternyata menelponnya. Dia tidak menyimpan nomor tersebut. Dia tidak yakin siapa orang yang sedang mencoba menghubungi dirinya.

Tiba-tiba saja pintu kamar kontrakan Sagara diketuk sebanyak tiga kali. Sagara sedikit terperanjat. Dia kaget. Jantungnya seakan berhenti berdetak beberapa saat. Nafasnya pun terasa sesak

"Siapa?" tanyanya gugup.

"Selamat Siang, apakah Tuan Sagara sedang ada di dalam? Saya pengacara Tuan Miles, boleh saya minta waktunya sebentar?

"Ada perlu apa? Saya tidak mengenal Tuan Miles, apalagi memiliki masalah dengannya."

"Saya datang untuk alasan lain, saya akan menyampaikannya setelah saya dapat bertemu langsung dengan Tuan Sagara."

"Maaf, sepertinya Bapak salah orang. Nama saya memang Sagara, tapi nama panjang saya Sagara Adyatama, mungkin yang saat ini sedang Bapak cari Sagara yang lain."

Ketika Sagara berpikir bahwa orang yang mengetuk pintu kontrakannya itu telah pergi, ponselnya kembali berbunyi.

"Ini benar Tuan Sagara, silahkan mengangkat panggilan saya jika Tuan tidak berkenan untuk bertemu langsung dengan saya."

Sagara kembali terkejut. Nampaknya orang yang di depan kontrakannya ini adalah orang yang sama meneror ponselnya dari tadi. Dia pun semakin heran. Sagara bertanya-tanya, sebenarnya apa maksud tujuan pria itu mencarinya, bahkan sampai mendatangi tempat tinggalnya? Apakah Sagara telah secara tidak sadar menyinggung seseorang? Jika tidak, mengapa orang yang mengaku sebagai pengacara seorang bernama Miles ini datang mencarinya? Bagaimana juga pengacara itu tahu tentang identitas dan alamat tempat tinggalnya?

Sagara bangkit dan membuka pintu depan kontrakannya. Segera dirinya memandangi pria berpakaian serba hitam dengan menenteng tas koper yang dipegangnya.

"Salam, Tuan Sagara. Perkenalkan, saya Jacob, pengacara pribadi dari Tuan Miles." Pria itu berwajah datar tanpa ekspresi, mengulurkan tangan kananya ke hadapan Sagara.

"Ya, Saya Sagara, tapi saya tidak mengenal Bapak, atau Tuan Miles yang Bapak sebutkan," balas Sagara sambil berjabatan tangan dengan pria tersebut.

"Mungkin Tuan Sagara tidak mengenal Tuan Miles, tapi Tuan Miles mengenal anda. Beliau adalah kakek Anda, ayah dari Tuan River."

"Kakek? Saya tidak ingat kalau masih memiliki kakek? Apa benar Tuan River yang Bapak maksud adalah ayah saya?"

"Benar, ayah Tuan Sagara, Tuan River Adyatama yang wafat tiga tahun yang lalu."

"Jadi, a-apa yang Kakek mau dari saya?" tanya Sagara dengan penuh curiga.

Mungkinkah sang kakek telah meninggalkan segudang hutang yang berkali-kali lipat dibanding hutang yang ditinggalkan sang ayah? Sejenak Sagara merinding ketika menunggu pengacara di hadapannya itu membuka mulutnya.

"Saya ingin menyampaikan bahwa Tuan Miles telah wafat pagi ini."

"Selama ini beliau telah mendengar banyak hal tentang kehidupan Tuan Sagara. Dia tahu segala hal tentang anda, kesulitan anda, serta hutang yang ditinggalkan Tuan River saat wafat."

"Tunggu, apa Bapak secara tidak langsung mengatakan bahwa selama ini kakek saya memata-matai saya?" Sagara bertanya sedikit kesal, jika sang kakek benar mengetahui kondisinya, mengapa tidak pernah menemuinya atau memberikan sedikit bantuan padanya?

Bukankah kakeknya ini sangatlah pelit? Mengapa dia begitu kejam melihat cucunya ini menderita akibat warisan hutang dari anaknya.

"Saya ingin menyampaikan bahwa Tuan Miles sangat berhutang pada Anda. Dia sangat menyayangi Anda, Tuan Sagara. Dia sangat menyesal karena tidak bisa membantu Anda."

"Tuan Miles dan Tuan River memiliki masalah di masa lalu yang membuat akhirnya hubungan keduanya terputus. Tuan River melarang ayahnya untuk terlibat dalam keluarganya. Bahkan sampai sebelum kematiannya, Tuan River masih mengutuk hubungan ayah dan anak tersebut."

"Jadi, sekarang apa? Mengapa dia tiba-tiba menyuruh pengacara pribadinya mengetuk rumah cucunya? Apa Bapak ingin mengatakan kalau kakek saya juga ingin menitipkan hutangnya kepada sang cucu seperti yang sudah dilakukan anaknya?"

"Beliau menitipkan warisan kepada Tuan Sagara. Selain itu, hutang dari ayah Tuan telah dilunasi." Pengacara bernama Jacob itu kemudian menyerahkan koper yang dipegangnya kepada Sagara. "Silahkan, didalamnya terdapat kunci dan sertifikat rumah yang telah berpindah nama menjadi atas kepemilikan Tuan Sagara."

Sagara pun menerima koper tersebut, akan tetapi dirinya mendadak linglung. Sesaat dirinya berpikir kalau ini berada di dalam mimpi. Mengapa hidupnya yang semula terasa sangat sial, tiba-tiba berubah sangat beruntung hanya dalam waktu kurang dari satu jam? Apa dirinya sedang berada di dalam skenario drama atau sinetron?

"Mengenai aset lainnya dari Tuan Miles telah sepenuhnya saya sumbangkan sesuai dengan permintaan Tuan Miles sebelum beliau wafat."

"Itu saja yang ingin saya sampaikan, jika Tuan memiliki pertanyaan di masa depan atau butuh bantuan saya, silahkan menghubungi kontak saya yang ada di kartu nama saya." Pengacara itu kemudian menyodorkan kartu namanya dan langsung diterima oleh Sagara.

"Kalau begitu, saya permisi pergi karena masih ada pekerjaan lain. Sampai jumpa, Tuan Sagara, saya dengan tulus berharap kehidupan Tuan akan membaik setelah ini," ucap Jacob lalu membalik tubuhnya dan berjalan pergi meninggalkan Sagara yang masih terdiam mematung.

"Apa ini sungguhan?" Sagara mencubit pipinya sendiri, masih tidak menyangka bahwa ini bukanlah mimpi di siang bolong.

Chapter 2 : Masa Lalu Keluarga

Hari itu Sagara tidak bisa fokus memperhatikan sang dosen ketika sedang menerangkan materi. Pikirannya masih teralihkan pada rumah warisan yang dia dapatkan kemarin dari seorang pria yang mengaku sebagai pengacara pribadi kakeknya. Awalnya dia sulit untuk percaya, bagaimanapun dia tidak pernah mengenal kakeknya. Selain itu, mengingat kehidupannya selama ini sangatlah miskin juga membuat Sagara terusik. Sang ayah hanyalah tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan, jadi mengapa dia bisa memiliki kakek yang kaya raya seperti itu?

Sagara pun mencari tahu kebenarannya. Malam itu dia mengunjungi pamannya. Kakak dari mendiang sang ibu. Dia bertanya dan mengungkit tentang kematian sang kakek, juga mengenai warisan yang didapatkannya. Sagara melihat wajah sang paman sedikit gugup. Dia terdiam seakan ragu untuk menjawabnya. Namun, Sagara tidak menyerah dan terus mendorong sang paman untuk bercerita. Pada akhirnya dia pun mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut.

Sagara telah mengetahui bahwa sang ayah yang terlebih dahulu memutuskan hubungan keluarga dengan sang kakek. River adalah pria yang memiliki kepribadian yang tegas. Dia bertemu dengan Sofia pada saat berkuliah. Keduanya dengan cepat menjadi akrab, kemudian tumbuh rasa cinta di antara keduanya. Hubungan River dan Sofia semakin dalam. Keduanya memutuskan untuk menjalani hubungan yang lebih serius. River dan Sofia berpacaran. Sampai masa kelulusan keduanya, River dan Sofia semakin yakin dengan hubungan keduanya. River pun mengenalkan Sofia kepada sang ayah. Miles Adyatama, seorang kolektor barang antik dan juga pebisnis sukses yang sangat kaya raya. River dan Sofia kemudian menghadapi penolakan keras dari Miles.

Sofia hanyalah wanita yang berasal dari keluarga kasta rendah. Sang ayah hanyalah seorang buruh pabrik dan ibunya seorang penjahit. Miles telah menyinggung dan merendahkan Sofia tanpa dia sadari telah memicu amarah River. Sofia merasa hubungannya dengan River tidak memiliki harapan. River tak berdaya dengan kuasa sang ayah padanya. Selama ini dia hidup dengan mengandalkan uang dari sang ayah. Selama ini juga dia tidak pernah menentang perintah atau kemauan sang ayah. Namun, Sofia adalah wanita yang dicintainya. River merasa dirinya sudah cukup dewasa, sudah saatnya dia membuat keputusan atas dirinya sendiri.

River kembali menemui Miles. Keadaannya saat itu sedang tidak baik-baik saja, River sedikit mabuk, sehingga membuat dirinya membuat kesalahan yang sangat fatal. River berdebat dengan Miles malam itu. River tidak bisa menahan diri ketika sang ayah terus mengungkit latar belakang keluarga Sofia dan juga masa depannya nanti. Terlebih ketika Miles menginginkan River untuk menikahi wanita pilihannya. Seorang wanita yang berasal dari keluarga terpandang, keberadaan yang bahkan tak bisa dibandingkan dengan seorang Sofia. Miles telah melewati batasannya. Begitu juga dengan River yang kemudian mengucapkan kata-kata yang menjadi awal putusnya ikatan ayah dan anak di antara keduanya. River lebih memilih Sofia dan meninggalkan rumah. Dia bersumpah tidak ingin lagi berhubungan dengan Miles dan melarang ayahnya tersebut ikut campur dalam kehidupannya.

Sagara menjadi tahu cerita di balik keluarganya. Dia berterima kasih kepada sang paman yang sudah mau memberitahu Sagara mengenai masa lalu ayahnya itu. Bukan keputusan yang mudah. Sang Paman sendiri telah melanggar janji yang sudah dia ucapkan pada River untuk tidak menceritakan kepada siapapun. Namun, mengingat situasinya sudah sampai seperti ini, dia merasa akan lebih baik mengungkapkannya kepada Sagara. Pikirnya janji dengan orang yang sudah mati nampaknya tidak lebih penting daripada memberitahukan kebenaran pada orang yang masih hidup.

"Jaga dirimu baik-baik. Paman mengucapkan turut berduka atas kepergian Tuan Miles." Paman berkumis tebal itu kemudian memeluk Sagara dengan penuh kehangatan.

Hans memang selalu menjadi paman yang baik bagi Sagara. Dia selalu mencoba membantu dan mengulurkan bantuan Sagara jika memiliki kesulitan. Namun, dikarenakan ekonomi keluarganya yang juga sulit, Paman Hans tidak bisa membantu dalam hal finansial.

"Terimakasih, Paman," balas Sagara sembari melepas pelukan sang paman.

Setelahnya Sagara pamit undur diri karena hari sudah semakin larut malam dan besok pagi dirinya perlu berangkat ke kampus. Sang paman pun mengantar kepergian Sagara. Melihat Sagara melangkah pergi meninggalkan pekarangan rumahnya, membuat dirinya sedikit emosional. Dia tersenyum dan merasa nostalgia saat melihat punggung Sagara, terbayang saat pertama kali sang adik melangkah pergi meninggalkan rumah dan memulai kehidupan barunya bersama River.

"Lihat Sofia, putramu tidak akan lagi menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Sekarang kamu dapat istirahat dengan tenang bersama River."

Chapter 3 : Rencana Melunasi Hutang

Keesokan paginya Sagara kembali menjalani rutinitasnya dengan perasaan campur aduk. Meski beban hidupnya telah banyak berkurang setelah menerima warisan dari kakeknya dan hutang ayahnya telah dilunasi, akan tetapi masih ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Seperti tunggakan kontrakan selama dua bulan dan angsuran semesteran kuliah yang harus segera dia bayarkan.

Di kampus pun Sagara mencoba untuk tetap fokus di kelas, tapi pikirannya terus melayang-layang. Dia duduk diam sambil menatap kosong ke arah papan tulis, sementara dosen menerangkan materi dengan penuh semangat. Kata-kata dosen hanya berlalu begitu saja di telinganya. Pikirannya sibuk merenungkan cara mendapatkan uang untuk membayar semua itu. Mencari pekerjaan sambilan dengan gaji yang dibayar di muka sepertinya mustahil dalam waktu sesingkat ini. Satu-satunya pilihan lain adalah meminjam uang dari temannya, tetapi itu adalah sesuatu yang sangat dia hindari.

Sagara tidak bisa menutupi masalahnya di permukaan. Lucas yang duduk di sebelahnya, memperhatikan Sagara yang tampak lebih diam dari biasanya.

"Bro, kok lu kelihatan ga bersemangat hari ini?" bisik Lucas sambil mencondongkan tubuhnya mendekat. "Ada masalah, ya?"

Sagara tersenyum tipis, "Ga apa-apa, cuma lagi banyak pikiran aja."

Lucas menatap Sagara dengan penuh perhatian. Dia tahu sahabatnya ini bukan tipe orang yang mudah terbuka tentang masalah pribadi. "Lu tau kan, kalau lu lagi butuh sesuatu, gua ada di sini buat bantu."

Sagara menghela napas. Tawaran itu terdengar menggiurkan, terutama dengan situasi yang dia hadapi saat ini. "Gua tau, Lucas. Tapi, gua ga pengen jadi beban buat lu."

Lucas tertawa kecil, "Beban? Lu bercanda? Gua ini orang kaya yang lagi nyari cara buat ngabisin duit, bro!" ucap Lucas dengan candaannya.

Bagaimanapun Lucas adalah anak orang kaya yang hidupnya sedikit hedonis. Dia sering nongkrong di kafe mahal dan membeli barang-barang branded atau mewah tanpa berpikir panjang. Meskipun begitu, Lucas tidaklah sombong. Sebaliknya, dia sangat akrab dan menghargai pertemanannya dengan Sagara. Lucas menganggap Sagara sebagai pribadi yang dewasa, menyenangkan, dan bisa membantunya berubah menjadi versi dirinya yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.

"Ayo cepetan cerita! Tentang apa? Kuliah? Atau ada masalah lain?" Lucas terus mendesak, seakan tak ingin melepaskan Sagara begitu saja.

Sagara menoleh ke arah Lucas, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Lu tau sendiri kan kontrakan gua masih nunggak dua bulan. Belum lagi angsuran kuliah. Gua ga tau harus cari uang dari mana lagi."

"Loh, gaji part time lu dua bulan ini emang ga cukup Ga?"

"Gaji dari hongkong? Si Bowo tuh kabur sebelum ngasih gaji gua. Tokonya udah dia jual, sekarang udah jadi punya orang lain."

"Gila ya itu si gendut! Bisa-bisanya! Oke, ayo Ga, kita ke kantor polisi sekarang!"

"Buat apa? Emang ngaruh?" tanya Sagara sembari mengangkat sebelah alisnya.

"Ya engga sih, tapi masa lu pasrah gitu aja? Terus gimana bayaran kontrakan? Masih kurang kan? Apa mau gua pinjemin dulu?"

Sagara langsung memasang ekspresi tidak suka sebagai tanda kalau dirinya tidak menginginkan bantuan dari Lucas. Matanya menjadi tajam dan alisnya menukik, menegaskan bahwa dirinya sungguh tidak ingin meminjam uang dari Lucas.

Lucas yang menyadarinya pun angkat tangan, mengangguk pelan, memahami situasi sahabatnya itu. Sagara memang memiliki harga diri yang tinggi dan keras kepala. Dia selalu saja merasa tidak enak hati jika Lucas membantunya. Dia terlalu memikirkan hal yang tidak perlu, seperti merasa kalau dirinya memanfaatkan Lucas untuk terus membantunya dalam hal uang.

"Oke, oke. Gua ngerti, tapi gua serius ya sama kata-kata gua tadi, gua ga keberatan bantu lu."

Sagara tersenyum tipis, tapi ada kekhawatiran di matanya. "Iya, iya, bawel. Nanti kalau gua butuh banget, gua pasti kabarin lu."

Lucas tertawa kecil dan menepuk pundak Sagara. "Lu tuh ya, selalu aja mikirin orang lain. Ga enakan orangnya. Kita ini kan sahabatan, Bro. Lu udah banyak bantu gua di kuliah. Gue ga akan bisa survive di sini tanpa bantuan lu. Jadi, ini cuma sekadar gua balas budi aja. Gampang lah."

"Lucas, gua juga serius," jawab Sagara sambil menatap Lucas. "Gua hargai tawaran lu, tapi ini masalah prinsip. Gua ga mau selalu ngandelin orang lain buat bantu gua. Gua harus berusaha nyelesain masalah gua sendiri, paham?"

"Oke deh." Lucas mengangguk pelan, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.

Sagara tersenyum, merasa sedikit lega karena tahu bahwa Lucas benar-benar tulus ingin membantunya. Dia menatap sahabatnya itu dengan rasa terima kasih, tetapi tetap ada keraguan di hatinya. Dia tidak ingin menjadi seseorang yang terus bergantung pada orang lain, apalagi dalam urusan keuangan. Namun, jika keadaan semakin mendesak, mungkin dia tidak punya pilihan lain.

Sepulang kuliah Sagara berjalan menuju tempat parkir dengan Lucas di sisinya. Mereka melangkah dalam keheningan sebelum Lucas akhirnya memecah suasana.

"Ga, tadi pas kita makan di kantin, kan sempat cerita soal warisan kakek lu. Udah tau rumahnya kayak gimana? Lu udah pernah ke sana?" tanya Lucas sambil membuka kunci mobilnya.

Sagara menggeleng. "Belum, gua belum sempat lihat rumahnya. Tapi gua udah cek lokasinya di maps. Rumah itu ada di kota sebelah, ga terlalu jauh dari sini. Mungkin cuma butuh waktu sejam kalau naik motor?"

Lucas menaikkan alisnya, tampak tertarik. "Serius? Sejam doang? Eh, kenapa lu ga pergi besok hari Jumat aja? Habis kelas terakhir selesai, langsung gas ke sana. Siapa tahu kan, di sana lu bisa nemuin sesuatu yang bisa bantu lu keluar dari masalah lu saat ini."

Sagara menatap Lucas, merenungkan kata-katanya. "Gua emang udah mikir buat ke sana dalam waktu dekat ini. Mungkin gua bisa lihat-lihat dulu di sana. Siapa tau ada barang-barang berharga yang bisa gua jual, atau setidaknya, gua bisa nenangin pikiran gua di sana. Kalau ga ada yang bisa jual, lebih baik rumahnya sekalian gua jual."

Lucas tersenyum lebar, sebenarnya dia sedikit merasa lucu mendengar perkataan Sagara, tapi dia mencoba untuk menahannya.

"Nah, gitu dong! Itu baru namanya rencana! Pokoknya kalau lu butuh bantuan buat bawa barang atau apa, lu tinggal panggil gua aja. Gua bisa temenin lu ke sana."

Sagara yang melihat Lucas pun ikut tertawa kecil, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar dukungan dari Lucas.

"Thanks, Lucas. Gua bakal kabarin lu kalau butuh bantuan. Rencananya gua bakal ke sana sendirian dulu. Mau lihat-lihat, siapa tau ada hal yang perlu gua selesaikan sendiri."

Lucas mengangguk paham. "Ya, ga masalah, tapi lu harus ingat, gua ada buat lu kapan aja. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa."

Sagara hanya tersenyum, kemudian mereka berpisah di parkiran. Sagara menaiki motornya dan memikirkan rencana untuk mengunjungi rumah itu akhir pekan nanti.

Malamnya Sagara duduk di meja belajar, menatap peta lokasi rumah warisan kakeknya. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh dengan berbagai kekhawatiran.

"Apa benar-benar bisa nemuin sesuatu di sana?" tanya Sagara pada dirinya sendiri.

Sagara telah memutuskan untuk mengunjungi rumah itu akhir pekan ini. Meski perasaan ragu masih ada, dia tahu bahwa langkah ini adalah salah satu cara untuk mengungkap lebih jauh tentang keluarganya, dan mungkin, dia bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang menimpanya saat ini. Segera dia akan mencari jawabannya di rumah itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!