NovelToon NovelToon

Oh My Mister

Masalah

"Sudah berapa lama kamu bekerja disini?" tanya seorang Supervisor dengan nada kesal memarahi seorang wanita uang diduga adalah bawahannya.

Wanita itu tampak tertunduk dengan kedua tangannya yang saling meremas guna menahan perasaannya.

"Satu tahun lebih, Pak," jawab pegawai wanita itu lirih.

"Satu tahun, tapi apa kemajuan kinerja kamu? Saya sudah capek menegur kamu berkali-kali, untuk mengembangkan bahasa Inggris kamu! Kamu ini seorang customer service, dan sudah kewajiban kamu bisa lancar berbahasa Inggris! Jangan selalu menyusahkan rekan-rekan kamu saat kamu menangani customer asing!" Pekik Supervisior itu seraya menatap tajam penuh rasa kesal.

Karyawan wanita berambut sebahu itu terlihat bergeming, wajahnya memerah menahan gemuruh yang seakan meluap di dadanya. Rasa malu, kesal, seakan berkecamuk menjadi satu. Namun apa daya, ia hanyalah seorang karyawan biasa yang hanya bisa pasrah kala dilontarkan segala caci maki dari seseorang yang memiliki jabatan di atasnya.

"Maaf, Pak! Saya akan berusaha lebih lagi," jawab karyawan wanita itu dengan tertunduk.

"Sudahlah! Saya beri kamu satu kesempatan, jika dalam kurun waktu tiga bulan kamu tak ada perkembangan maka saya tidak akan segan beri kamu surat peringatan terakhir! Sudahlah, sekarang kamu boleh kembali," ucap supervisor itu kembali, setelah beberapa kali menghela napasnya dengan kasar.

"Baik pak, saya akan berusaha semaksimal mungkin! Tolong maafkan saya," jawab karyawan itu dan langsung membalikkan tubuhnya, melangkah keluar ruangan Supervisor tersebut dengan kedua telapak tangannya yang mengepal erat.

"Argh ... Apek banget! Lagi-lagi di omelin, kayanya gue emang harus cari kerjaan lain," gerutu wanita itu dalam hati.

Karyawan wanita itu bernama Mikha Arlista, seseorang yang sangat menghindari bahasa asing sejak dirinya duduk di bangku sekolah. Mikha terpaksa harus bertahan dengan pekerjaannya karena tuntutan hidup, terlebih lagi dia seorang perantau di ibu kota.

Orang Tua dan adik perempuannya tinggal di Yogyakarta, Ayahnya bekerja sebagai seorang PNS (pegawai negeri sipil) kelas rendahan sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga.

Sejak masuk perguruan tinggi, ia sudah terbiasa mandiri bahkan membiayai hidup sendiri karena tidak ingin membebani kedu orang tuanya.

"Gimana, Kha?" tanya rekan kerja Mikha yang bernama Indah.

Mikha tampak menghela napasnya seraya memijat keningnya yang tiba-tiba saja terasa berdenyut.

"Ah biasa, bos darah tingginya kumat mulu kalo sama gue," jawab Mikha sambil bersandar di kursi kerjanya.

"Hmmm mau gue rekomen tempat les Bahasa Inggris yang bagus gak? Nanti gue tanya tetangga gue dulu, soalnya dia 'kan guru, so pasti taulah," tutur Indah sambil merangkul Mikha.

"Stttt ... udah ah jangan diomongin dulu, pusing nih kepala gue! Nih ya, mendingan makan dulu! Gue bawa cemilan, mau kaga?" tanya Mikha seraya meraih sebungkus cemilan yang sengaja ia simpan di dalam laci meja kerjanya dan menyodorkannya pada Indah.

Keduanya tampak menikmati, sambil tertawa kecil kala menceritakan hal-hal random yang membuat perasaan Mikha jauh terasa lebih baik.

"Duh ... duh ... duh! Karyawan teladan abis diomelin bukannya mikir, masih sempet ketawa ha ha hi hi." Tiba-tiba Resti menghampiri Mikha dan Indah dengan mimik wajah mengejek seraya melipatkan kedua tangannya di depan dada.

Resti adalah salah satu rekan kerja Mikha, tetapi entah mengapa ia seolah membenci Mikha tanpa alasan yang jelas. Hingga semua kesalahan kecil pada Mikha bisa menjadi besar karena ulahnya, termasuk dengan apa yang terjadi pada gadis itu hari ini. Dalang di balik semua itu, tidak lain adalah Resti.

Mikha nampak melirik sesaat ke arah wanita yang memakai make up tebal tersebut dan menjawab dengan nada suara yang terdengar santai, "Apa sih lo? Ini tuh dah masuk jam makan siang, ngapa sih lo syirik aje sama gue? Ada masalah apa sih dihidup lo, Res?" ujar Mikha sambil terus makan cemilannya.

"Ih ngapain gue syirik sama karyawan gak guna macam lu? Kok heran ya gue, kenapa orang macem lu bisa di terima kerja disini? Bahasa Inggris lu aja ancur dan lo gak punya kelebihan apapun!" ejek wanita trouble maker itu kembali dengan tawa kecil yang menyertainya.

"Duh ... Kha keluar yuk! Tiba-tiba kok di sini jadi bau bacin sih? Eh... iya lupa, ada si mulut bangkai sih di sini!" Indah seketika berdiri dari duduknya dan tersenyum seringai ke arah Resti.

Kedua mata Resti seketika membulat sempurna, menatap Indah yang seakan tengah mencibir dirinya dengan mimik wajah tak bersahabat.

"Maksud lo apa?" pekik Resti tampak mulai tersulut emosi dan mendorong bahu Indah.

"Udahlah, Ndah! Yang waras mah ngalah aja, lagian kasian banget sih hidupnya sampai kesukaannya ngurusin hidup orang. Oh ya mbak Resti, mohon maaf yee saya mau makan dulu, kalau masih mau ngobrol silahkan sama tembok aja." Mikha menyunggingkan senyuman mencemooh, sambil menarik tangan Indah dan meninggalkan Resti.

Mikha dan Indah berjalan keluar gedung perkantoran untuk makan siang, terlihat Indah yang masih saja tampak mengerucutkan bibirnya dengan sumpah serapah yang terus keluar dari bibirnya.

"Duh sumpah ya itu manusia mulutnya kaya sampah! Tukang ngadu sana sini, ihhh rasanya pengen banget gue cabein, heran gue! Kita gak pernah ngusik dia, tapi kok segitu gak sukanya dia sama kita?" cerca Indah seraya menghentak-hentakan kakinya.

Melihat rekan kerja sekaligus salah satu sahabatnya bertingkah laku seperti itu, Mikha hanya bisa tertawa. Wajah Indah benar-benar terlihat lucu saat gadis itu tengah marah-marah.

"Biarin aja lah, gue juga tau yang ngaduin masalah gue tadi pagi juga dia, tapi biarin ajalah orang kaya gitu kalo kita tanggepin malah kesenengan," ujar Mikha santai dan tersenyum melihat tingkah sahabatnya.

"Ya ampun, Kha! Nih ya, kalo gue jadi lo, udah baku hantam tadi," ucap Indah kembali.

"Ah lo mah! Gue udah cukup bermasalah dan gak mau nambah-nambahin lagi, lagian gue belom dapet kerjaan cadangan hehehe," jawab Mikha sambil tertawa mencoba mencairkan suasana.

"Sempet-sempetnya cengar cengir lu, duhh cian amat temen gue! Ya sudah, makan siang hari ini gue traktir deh," ujar Indah yang membuat Mikha semakin tersenyum lebar. Gadis itu menatap sahabatnya seakan tengah merencanakan suatu hal.

"Bener? Ya udah, ayolah! Kita makan sop kaki kambing di sebrang yuk! Dan ingat, kau yang teraktir!" seru Mikha berlari mendahului Indah, sedangkan Indah membulatkan matanya melihat kelakuan sahabatnya.

"Ye ngelunjak lo, di situ mahal, Kupret!" pekik Indah mengejar Mikha yang sudah berada jauh di depannya.

......***......

Pertemuan pertama

Sepulang kerja seperti hari-hari biasanya, setelah gadis itu turun dari ojek online, Mikha selalu mampir untuk sekedar membeli makanan untuk makan malam.

Namun, tanpa diduga tiba-tiba ia bertabrakan dengan seorang pria, hingga membuat kantong makanannya terlepas dari genggamannya, dan seketika membuat seluruh isinya jatuh berserakan di jalan.

"Aduhhh makanan gue!" pekik Mikha terkejut.

"I'm sorry...oh my God ! Help me, help me please!"

Pria itu reflek langsung menarik tangan Mikha dan berlari, Mikha yang panik pun mencoba memberontak, tetapi tenaga pria itu jauh lebih kuat darinya.

Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah gang yang sepi, pria itu berhenti dengan napas yang terengah-engah dan seketika melepaskan Mikha.

"Astaga, lo sinting ya! Lo mau ngapain bawa gue ke tempat sepi gini?" cecar Mikha berteriak dengan kedua netra membulat sempurna.

"So-sorry, I'm stuck. Someone is following me," ujar pria tersebut panik dengan napas yang belum beraturan. Pria tersebut tampak mengintip sedikit dari ujung tembok seolah memastikan keadaan yang berada di sekitarnya. Sedangkan gadis itu mengusap wajahnya kasar, ingin rasanya ia mengumpat karena situasi yang tengah menimpa dirinya.

*Maaf saya terpaksa, saya di ikuti dan di kejar seseorang.

"Ya Tuhan apa salah dan dosaku? Kenapa ketemu bule stress begini, gue gak ngerti lu ngomong apa Mas Bule!" pekik Mikha geram, ia nampak begitu frustrasi meladeni pria berkulit putih yang kini bersamanya.

Mikha benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, jangankan menjawab, mengerti ucapan pria itu pun tidak. Gadis itu hanya bisa menggaruk-harus kasar kepalanya, otaknya benar-benar tidak bisa mencerna apapun.

"Really? Don't you recognize me?" tanya pria blonde itu dan mendekatkan wajahnya pada wajah gadis di hadapannya.

*Kamu tidak mengenal saya?

PLAKK!!!

"Kurang ajar! Jangan dikira gue takut ya!" Sebuah tamparan melesat tepat mengenai salah satu pipi pria berkulit putih itu. Dengan perasaan murka yang tak kunjung padam seketika gadis berambut sebahu itu langsung berbalik arah dan bergegas pergi meninggalkan pria berparas khas Eropa tersebut. Namun alih-alih terlihat kesal ataupun marah, pria bermanik biru tersebut terlihat tersenyum seringai sambil memegangi wajahnya yang masih terasa sedikit pedih dan memerah.

...***...

Sesampainya di sebuah kamar indekost yang ia tempati selama tinggal di Jakarta, Mikha segera membersihkan diri dan beristirahat, cukup banyak kejadian hari itu yang sangat membuat tubuh dan pikirannya lelah.

Gadis itu membaringkan tubuhnya di atas kasur lantai berukuran kecil, menatap langit-langit ruang kamarnya seraya memijat kepalanya yang terasa pening.

"Kenapa sama hari ini sih? Dari pagi ada aja yang bikin emosi. Duh, sudah lama gue ngirim lamaran kerja kemana-mana tapi belum ada panggilan, bagaimana ini kalo sampai gue dipecat duluan tapi belum ada kerjaan baru?" keluh Mikha bermonolog sendiri.

Tiba-tiba ponsel miliknya berdering, dengan cepat gadis itu segera meraihnya. Terlihat sebuah nama yang tak asing terpampang di layar ponsel miliknya. Gadis itu segera menggeser icon hijau untuk memulai pembicaraan.

"Ada angin apa lu telepon gue, Dil? Memangnya ada pulsa lu?" ucap Mikha terkekeh.

"Woiiii, lu punya hape cuma buat pajangan? Chat gue dari siang diread doang kaga dibales! Kowe pikir koran!" Dilla memekik nyaring hingga membuat Mikha menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Ett dah! Kuping gue sakit lu ngomong kaya pake toa, emang ada apaan sih? Maap dah, tadi siang gue sibuk banget masalah kerjaan jadi lupa bales he-he-he," jawab Mikha dengan santainya pada Dilla yang merupakan sahabat karibnya.

"Besok siang temenin gue ke Tanah abang, yuk! Gue di suruh emak gue ngambil pesenan baju nih," ucap Dilla.

"Huh, bilang aja lu butuh bantuan gue jd kuli. Wah, mantap nih bisnis emak lu, makin lancar jaya kayanya. Tapi ingat, gak ada yang gratis ya!"

"Udah hapal gue mah sama lu, tenang abis kesana kita jalan-jalan berburu kuliner seharian," jawab Dilla kembali.

"Oke, siap bos! Sekalian besok ada yang mau gue ceritain sama lu," ucap Mikha sambil mengambil sebotol air mineral yang berada di samping dirinya. Gadis itu perlahan membuka tutupnya dan menengguknya hingga nyaris tandas setengahnya.

"Okelah, jam sebelasan ketemuan di halte aja ya! Besok gak bisa bawa motor nih, soalny bakal banyak bawa barang dan pulangnya ribet mending kesana naik bajaj aja," tutur Dilla.

"Halah, alasan bilang aje SIM lu mati kan? Makanya gak berani jauh-jauh! Ya sudah deh, gue mau ke warung dulu beli mi instan, laper gue! Bye," ucap Mikha dan seketika menutup panggilan telepon dari Dilla.

Gadis itu segera beranjak dan meraih jaket miliknya yang digantung tepat di belakang pintu kamarnya.

Mikha dengan santai keluar dari rumah kost-nya, menuju sebuah warung kelontong yang hanya berada di sebrang jalan. Namun, tanpa dirinya sadari, terlihat dari jarak yang cukup jauh, seseorang yang tengah memperhatikannya dengan sebuah senyuman.

Ya, sosok itu adalah pria blonde yang tadi bertemu dengannya dan sengaja mengikutinya, pria tersebut bernama Maxim Andreas Larry.

...***...

Curahan hati

Keesokan harinya Mikha dan Dilla pergi ke pasar Tanah Abang, tepat seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Kedua gadis itu tampak sibuk berbaur dengan lautan manusia di bawah terik sinar mentari.

"Dil, sumpah deh lu bener-bener niat jadiin gue kuli! Ini barang banyak amat!" Keluh Mikha kesal.

"Ha-ha-ha tenang, sahabatmu ini paling mengerti kok kalau tak ada yang gratis di dunia ini," jawab Dilla santai sambil meminum es di tangannya.

Mikha nampak mengerucutkan bibirnya, terlihat peluh yang sudah membasahi keningnya.

"Bodo amat, dah lah cepetan panas ini! Dah beres 'kan?" Mikha terus protes dan merancau. Gadis itu sudah kehilangan kesabaran, kakinya terasa begitu pegal karena berjalan terlalu lama, sedangkan tangannya terasa kebas karena membawa barang-barang belanjaan yang cukup banyak.

"Iya balik, antrin ke emak gue dulu ye! Sekalian ambil motor. Baru deh kita jalan ke kota tua aja ya, biar kaga jauh-jauh, Lo tau 'kan kalau SIM gue mati," jawab Dilla sambil terkekeh geli.

Mikha menggelengkan kepalanya, andai saja bukan sahabatnya, pasti gadis itu sudah memukul Dilla dengan sandal yang tengah ia kenakan.

...***...

Seorang pria tampak merencanakan sesuatu di sebuah kamar Hotel berbintang yang tengah dia sewa. Pria itu terlihat sibuk mengemas barang-barangnya, hingga tak lama ponsel miliknya tiba-tiba saja berdering.

"Ya, ada apa?" ucap Max dengan nada suara yang malas, sesaat setelah mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Kamu ini sebenarnya dimana? Kabar tentang hilangnya kamu itu mulai tercium media!" ucap seseorang dari balik panggilan telepon tersebut.

Maxim menghela napasnya, pria yang memiliki lensa mata sebiru langit itu melemparkan pandangan pada sebuah kaca yang terletak tepat di sampingnya.

"Hei, itu tidak akan pernah terjadi! Kita memiliki orang-orang yang handal untuk membungkam mereka. Sudah ya, aku lagi sibuk, bye!"

Tanpa ingin berbasa-basi, Max seketika mematikan sambungan teleponnya, sejenak ia berpikir akan jalan hidupnya kedepannya.

Hidupnya sudah penuh masalah dan ia hanya ingin sejenak bebas dan melakukan apa yang ia sukai, tanpa harus diatur dan tanpa memikirkan opini publik terhadapnya.

...***...

Hari semakin sore, mentari mulai berangsur menempati sisi barat bumi.

Tampak kedua orang gadis tengah bersantai seraya menikmati makanan dan suasana di kawasan Kota Tua yang seakan tiada sepinya.

"Lu sebenernya kemarin mau cerita apa? Masalah kerjaan lagi ya?" tanya Dilla menerka-nerka.

Mikha menganggukkan kepalanya, menanggapi pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir sahabatnya.

"Iya, itu termasuk. Gue benar-benar gak habis pikir sama temen kerja gue yang satu itu. Kok segitu gak sukanya sama gue sampe ngadu-ngadu, padahal selama ini gak ada customer komplain dan yang gue mintain bantuan juga gak keberatan. Gue sudah coba cari tempat les bahasa Inggris dan ya ... lo tau sendiri biayanya mahal," keluh Mikha dengan hembusan napas yang terlihat berat.

"Cari gawean lain lah!" seru Dilla menimpali.

"Ah, ngomong mah enteng. Gue juga sudah nyari, cuma, belum rejekinya kali. Udah gitu, pas pulang kerja kemarin gue tabrakan sama cowok bule, makanan yang baru gue beli berantakan semua! Dan dia main tarik-tarik tangan gue dan bawa kabur gue! Gimana gak kesel coba!"

"Lah kok bisa ada bule nyasar di daerah situ? Ha-ha-ha ... gila gue gak bisa bayangin sih gimana begonya muka lu yang gak bisa ngomong sama dia, terus-terus gimana lagi?" tanya Dilla penasaran dengan tawanya yang lepas.

Mikha menepuk pundak sahabatnya dengan kesal, seraya memanyunkan bibirnya.

"Puas lu ngetawain gue! Ah, bodo amat lah! Kemarin gue maki-maki dia pake bahasa kita aje, mau ngerti atau kaga, gak urus lah! Siapa suruh dia minta tolong gak jelas sama gue, pake acara ngajak lari gue lagi. Dan yang paling gue kesel pecel ayam gue yang berantakan di jalan dia kaga gantiin! Ini tanggal tua, 'kan gue jadi darah tinggi!" ucap Mikha kesal mengingat kejadian konyol yang ia alami kemarin malam.

Melihat sahabatnya kesal Dilla malah semakin tertawa dan makin menggodanya. Gadis berparas manis itu tiada henti-hentinya tertawa walaupun air muka Mikha sudah terlihat masam.

"Tapi ganteng gak?" goda Dilla sambil menyenggol Mikha dengan sikunya.

"Ah gak tau ah, lu mah begitu!" jawab Mikha merajuk.

"Dih ngambek ha-ha-ha lagian lu mah oon! Menyia-nyiakan kesempatan, kali aja jodoh! 'Kan gue kesian sama lu yang udah enam tahun jomblo." Dilla semakin tertawa terbahak-bahak, hingga sudut bertanya nampak mengeluarkan air mata.

"Lama-lama mulut lu gw iket pakai karet dua biji ya! Pedes banget, nyelekit pas kena di hati, eh ... tapi kalo dia buronan FBI gimana ya? Ih gak kebayang gue, untung gak kenapa-napa." Seketika bukunkuduk gadisnitu meremang seketika, dengan pikirannya yang melayang kemana-mana. Sedangkan Dilla menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan sahabatnya yang mulai ngalur ngidul kemana-mana.

"Ah lu mah kebanyakan nonton film! Eh Kha, ke sana yuk! Ada yang cover lagu-lagu group The Prince. Ya ampun, mana cogan semua lagi!" ujar Dilla menarik-narik tangan Mikha.

"Hmmm sepertinya yang perlu di kasihani karena menjomblo lama itu elu bukannya gue, ngefans sampe segitunya ya ampun! Dasar istri virtual," cibir Mikha menepuk keningnya kala melihat Dilla yang begitu tergila-gila mengidolakannya sebuah group vokal asal negri ratu Elizabeth.

Hingga tanpa terasa, satu setengah jam kemudian mereka kembali. Kedua gadis yang kini telah sampai di depan rumah kost Mikha, tampak kebingungan saat melihat di depan gerbang rumah tersebut terdapat beberapa tukang bersih-bersih dan juga ibu pemilik kost.

"Ada apa kha? Kok rame?" tanya Dilla penasaran.

"Mana gue tau? Tapi biasanya kalo kaya gini, ada yang baru keluar atau baru nempati kostan. Jadi dibersih-bersihin dulu," jawab Mikha seraya mengangkat bahunya sekilas.

Dilla mengangguk-anggukan kepalanya kala mendengar jawaban dari sahabatnya. gadis itu kembali memutar kunci kontak sepeda motor miliknya.

"Oh gitu. Oh ya ... ingat, Kha! Lu gak usah mikirin kerjaan, kalo emang harus keluar tapi belum dapet gantinya lu bisa tinggal sama gue dulu. Gak usah mikirin apa-apa, lo udah gue anggap saudara sendiri dan orang tua gue juga udah anggap lu anak sendiri," ujar Dilla mencoba menangkan hati Mikha.

Dilla adalah sahabat karib Mikha sejak mereka masih SMP di Yogyakarta. Susah senang sudah mereka lalui, dan ia sangat tahu bagimana kepribadian Mikha, terlebih dulu ia merupakan tetangga rumah Mikha di Kota pelajar tersebut.

"Oke, makasih ya Dil. Tapi gue gak akan nyerah kok, ya udah gue masuk dulu ya, udah malem lu hati-hati di jalan," ucap Mikha seraya melambaikan tangannya pada Dilla.

"Sipp, ya udah gak usah mikir banyak lagi. Gue balik ya, dahh!" seru Dilla membalas lambaian tangan Mikha.

Dilla segera menyalakan motornya dan melaju pergi.

Sedangkan Mikha memilih langsung masuk ke rumah kostnya. Namun, saat baru saja gadis itu sampai di lantai dua, ia dibuat terkejut oleh sesuatu hingga kedua matanya membulat sempurna.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!