Asap hitam membumbung tinggi di atas kobaran api yang melalap sebuah bangunan rumah di pinggiran Wanua Jonggring. Tampak sekitar tempat kebakaran itu porak poranda seperti baru dihancurkan. Beberapa mayat tergeletak di sembarang tempat. Terlihat darah segar masih menetes dari luka penyebab kematian mereka.
Dari arah barat, beberapa bayangan berkelebat lincah diantara pucuk pucuk pepohonan dengan ringan nya. Ini menandakan bahwa mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Ilmu meringankan tubuhnya adalah bukti bahwa mereka bukan orang biasa.
Melihat kepulan asap tebal itu, salah satu bayangan mempercepat gerakan nya agar segera sampai di tempat kebakaran. Saat sosok tadi yang tak lain adalah seorang pemuda tampan yang berusia sekitar 2 dasawarsa berhasil mencapai tujuan, mata nya langsung melebar melihat beberapa mayat bergelimpangan dimana-mana. Dengan gugup, ia langsung berlari ke arah satu mayat yang sangat dikenalnya.
"Biyuuunngggg...!!! Biyung Seruni.. !!! "
Teriak si pemuda tampan sambil menggoyangkan jasad perempuan paruh baya yang terbujur kaku bersimbah darah segar ini dengan harapan perempuan itu bisa bangun dan bicara. Akan tetapi usahanya untuk membangunkan perempuan paruh baya itu sama sekali tidak berguna karena perempuan paruh baya itu sudah meninggal dunia.
Melihat perempuan paruh baya itu tak bergerak lagi, si pemuda tampan segera berkeliling memeriksa mayat-mayat yang tergeletak tak bernyawa dengan linangan air mata. Seluruh anggota keluarga nya telah tewas bahkan pelayan keluarga nya pun juga tidak ada yang selamat.
Pemandangan menyedihkan itu juga di saksikan oleh dua sosok yang menyusul di belakang si pemuda. Melihat si pemuda berlutut di depan mayat-mayat ini, seorang laki-laki tua yang mengikuti si pemuda segera mendekat dan menepuk bahu si pemuda.
"Tabahkan hati mu, Rawit.. Tidak ada gunanya kau menyesali kematian mereka. Kau harus merelakan kepergian mereka semua. Tidak boleh larut dalam kesedihan.
Tapi satu yang harus kamu ingat, kau harus menemukan siapa orang yang membunuh anggota keluarga mu ini. Camkan itu baik-baik.. ", ucap lelaki tua itu seraya berusaha untuk menenangkan hati sang pemuda yang bernama Panji Rawit ini.
" Apa sebenarnya salah keluarga ku Guru? Kenapa ada orang yang begitu tega membunuh mereka? Bahkan kakak perempuan ku yang sangat baik kepada ku, yang tidak pernah berbuat sesuatu yang salah, mereka bantai dengan biadab seperti ini", isak Panji Rawit sesenggukan.
"Tenangkan diri mu murid ku...
Kau harus tenang jika ingin menyelesaikan masalah ini. Aku yakin pembunuhnya pasti meninggalkan jejak atau benda penting di sekitar tempat ini. Gitarja, coba kau periksa sekitar tempat ini siapa tahu ada sesuatu yang bisa kita jadikan petunjuk ", lelaki tua berjambang putih itu mengalihkan perhatiannya pada seorang gadis muda yang berusia sekitar 2 windu di belakangnya. Sang gadis muda yang bernama Gitarja ini menganggukkan kepalanya pertanda mengerti. Dia bergegas memeriksa seluruh tempat itu dengan seksama.
Setiap benda yang mencurigakan, di periksa dengan cermat. Dia tak berani sedikitpun untuk sembrono mengerjakan tugas yang diberikan kepada nya oleh lelaki tua itu.
Saat Gitarja mengedarkan pandangan nya, matanya langsung tertuju pada sesosok lelaki yang terluka parah dan menyandar pada batang pohon di belakangnya yang berjarak 20 tombak jauhnya dari tempat kebakaran. Dia langsung mengenali sosok lelaki paruh baya itu sebagai ayah dari Panji Rawit. Terlihat lelaki paruh itu masih hidup meskipun dalam keadaan sekarat.
"Romo, Kakang Panji Rawit..!!! I-itu bapak mu..!! "
Teriakan keras Gitarja langsung membuat Panji Rawit tersadar bahwa mayat ayahnya memang tidak ada di situ. Tanpa menunggu lama, Panji Rawit langsung berlari ke arah yang ditunjuk oleh Gitarja begitu juga dengan Resi Sampar Angin, gurunya. Begitu sampai di dekat tempat lelaki paruh baya itu, Panji Rawit bergegas mendekat.
"Romo.. Romo Mpu Ranudaksa.. Kau baik-baik saja Romo? Jawab aku Romo.. ", tanya Panji Rawit dengan nada suara bergetar.
" K-kau sia-pa?? ", tanya lelaki paruh baya itu dengan lemah. Sepertinya ia tidak mengenali Panji Rawit karena sosok Panji Rawit anaknya adalah seorang pemuda jelek bertubuh bungkuk dengan wajah yang penuh dengan bekas jerawat dan bisul yang menakutkan.
" Ini aku anak mu Romo, Panji Rawit. Sekarang Romo coba perhatikan baik-baik ya", usai berkata demikian, Panji Rawit bersedekap tangan sambil komat-kamit merapal mantra.
Seketika itu juga, sosok Panji Rawit yang semula tampan dan mempesona langsung berubah menjadi sesosok lelaki bertubuh bungkuk dengan wajah jelek penuh bekas jerawat dan bisul.
"R-Rawit anak kuh uhukkk uhukkk ahhhh..
Rupanya k-kau benar Panji Rawit anak ku. Ahh Dewata masih memberikan kesempatan terakhir untuk bertemu dengan mu sebelum a-aku mati uhukkk uhukkk..", ujar Mpu Ranudaksa sambil batuk batuk yang terus mengeluarkan darah. Panji Rawit pun segera kembali ke wujud nya yang semula.
"Aku akan menyelamatkan Romo. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kembali Romo seperti sedia kala", Panji Rawit menyalurkan tenaga dalam nya pada telapak tangan dan dengan cepat menekan dada kanan lelaki tua itu.
" Percuma Rawit. Tulang belulang ku sudah hancur, kau hanya membuang-buang tenaga percuma saja uhukkk uhukkk..
Sekarang dengarkan aku Rawit. Aku akan mengatakan sebuah rahasia yang perlu kau ketahui. Rawit, kau bukan anak ku. Aku menemukan mu 20 tahun yang lalu di tepi Sungai Wulayu. Siapa orang tua mu, aku tidak t-tahu. Hanya cincin ini saja yang ada bersama mu.. ", Mpu Ranudaksa mengeluarkan sebuah cincin bermata merah dari balik bajunya dan menyerahkan nya pada Panji Rawit.
Dengan tangan gemetar, Panji Rawit menerima cincin bertahtakan batu mulia berwarna merah itu. Pengungkapan jati dirinya membuat pemuda tampan itu benar-benar terkejut setengah mati.
"Mungkin, cincin bermata merah itu kelak yang akan menjadi penuntun dirimu menemukan orang tua kandung mu, Ngger Cah Bagus..
Satu lagi, bongkar tumpukan batu yang ada di samping sanggar pamujan. Orang-orang Padepokan Pandan Alas dan beberapa pendekar yang membantai keluarga kita menginginkan keris pusaka yang aku sembunyikan disana. Ambilah, dan jaga keris pusaka itu seperti kau menjaga dirimu sendiri. J-jaga dirimu baik-baik, R-Rawit.. Hiduplah dengan ba.. bahagia... ", selepas berkata demikian, kepala Mpu Ranudaksa terkulai lemas. Melihat itu, Resi Sampar Angin segera memeriksa pernapasan lelaki paruh baya lalu menggelengkan kepalanya dengan penuh kesedihan.
Tangis Panji Rawit pun pecah seketika. Tiba-tiba saja hujan deras mengguyur di sertai kilat dan petir yang saling menyambar. Seluruh bumi seolah-olah ikut berduka cita atas kematian Mpu Ranudaksa, orang yang selama ini merawat Panji Rawit dari masih bayi.
Di tengah-tengah guyuran hujan deras, Panji Rawit mulai menggali tanah. Begitu hujan mereda, 9 lobang menganga tercipta di pekarangan bekas rumah Mpu Ranudaksa yang tinggal puing-puing nya. Satu persatu, Panji Rawit dibantu Resi Sampar Angin dan Gitarja menguburkan seluruh mayat keluarga Mpu Ranudaksa.
Begitu selesai, Panji Rawit menancapkan sebuah batu sebagai penanda kuburan dari masing-masing anggota keluarganya disertai perasaan yang mengharu biru. Tak dinyana, hari pertama ia turun gunung setelah bertahun-tahun belajar ilmu kanuragan di Padepokan Widarakandang akan menjadi hari dimana seluruh anggota keluarga nya dihabisi.
Setelah rampung penguburan, Panji Rawit segera berjalan ke arah yang di wasiat oleh Mpu Ranudaksa. Dia membongkar tumpukan batu di dekat sanggar pamujan dan akhirnya menemukan sebuah kotak kayu berukir indah di dalamnya. Segera Panji Rawit membuka kotak itu dan menemukan sebuah keris bergagang kayu hitam mengkilap lengkap dengan sarungnya.
Saat Panji Rawit mencabut keris pusaka itu, pamor keris yang berwarna merah itu langsung menyala terang hingga membuat silau mata yang memandangnya. Resi Sampar Angin pun kaget melihat keris pusaka di tangan sang murid.
"Keris Pulanggeni hemmmmm..
Pusaka yang telah lama menghilang dari dunia persilatan akhirnya muncul juga. Sayang sekali, kemunculan mu harus diawali dengan tragedi berdarah seperti ini", gumam Resi Sampar Angin sembari menatap keris pusaka itu.
Dengan menggenggam erat gagang Pulanggeni di tangannya, Panji Rawit pun segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke arah makam Mpu Ranudaksa dan anggota keluarganya sembari berkata,
"Romo Mpu Ranudaksa dan seluruh anggota keluarga ku, aku bersumpah diatas makam kalian bahwa aku Panji Rawit..
Akan membalaskan dendam kalian semua!! "
Resi Sampar Angin menghela nafas berat mendengar pernyataan keras dari murid nya. Sekalipun ia mengajarkan murid nya itu untuk selalu berbuat kebajikan dan menolong sesama manusia, akan tetapi kekejaman yang dialami oleh keluarga Panji Rawit benar-benar sudah di luar batas kemanusiaan. Bagaimanapun juga, orang-orang itulah yang memaksa Panji Rawit untuk berbuat sedemikian rupa.
Setelah Panji Rawit menyarungkan kembali keris pusaka di tangannya, Resi Sampar Angin bergegas mendekati muridnya itu. Gitarja anaknya yang juga merupakan adik seperguruan Panji Rawit di Padepokan Widarakandang pun ikut mendekati sang pemuda tampan.
"Rawit, keris pusaka di tangan mu ini adalah pusaka yang sedang diburu oleh para pendekar dunia persilatan. Namanya adalah Keris Pulanggeni. Kau harus hati-hati dalam menjaga nya dan jangan sampai kau biarkan orang jahat menguasainya.
Setelah ini kemana tujuan mu? ", mata Resi Sampar Angin tajam menatap ke arah sang murid.
" Sebelum kejadian ini, sebenarnya murid ingin melanglang buana dengan menebar kebajikan seperti yang guru ajarkan sebagai wujud dharma bhakti atas ajaran yang guru berikan. Akan tetapi, setelah pembantaian keluarga ku, murid ingin menuntut keadilan atas apa yang sudah menimpa sanak keluarga ku lebih dulu Guru..
Setelah itu, murid akan mencari siapa sebenarnya orang tua kandung murid yang telah tega membuang murid di tepi Sungai Wulayu. Murid ingin tahu apa sebenarnya tujuan dari hal itu..", ucap Panji Rawit sambil membenamkan keris pusaka ke balik sabuk yang ada pinggangnya.
"Haeeehhhhh.... Balas dendam memang tidak baik, Rawit. Tapi Guru juga tidak bisa menyalahkan mu untuk masalah ini karena perbuatan orang-orang Padepokan Pandan Alas memang sudah melampaui batas kewajaran untuk dunia kependekaran.
Untuk menyamarkan diri, sering-sering lah menggunakan Ajian Malih Rupa agar tidak seorang pun bisa mengenali mu dengan mudah. Itu adalah cara tercepat untuk bersembunyi jika kau sedang dalam bahaya.
Tetapi sekalipun kau sudah bertemu dengan dalang dari pembunuhan orang tua angkat mu ini, kau juga harus mengukur kemampuan mu sendiri, apakah mampu bersaing dengan nya atau tidak? Jangan mengedepankan emosi sesaat tapi berujung petaka pada diri sendiri. Ingatlah, seorang lelaki tidak akan pernah terlambat untuk membalas dendam meskipun sudah 10 tahun berlalu.. ", nasehat Resi Sampar Angin seraya mengelus jambang putihnya.
" Murid mengerti guru..
Dari sini kita berpisah. Mohon doa restu dari guru semoga apa yang murid harapkan bisa terwujud", ucap Panji Rawit sambil menghormat pada guru Padepokan Widarakandang itu.
"Berangkatlah, murid ku..
Aku berdoa kepada Hyang Akarya Jagad semoga kau selalu dalam lindungan Nya", Resi Sampar Angin mengangkat tangannya sebagai doa restu dari nya. Panji Rawit langsung melangkah ke arah utara, dimana Padepokan Pandan Alas berada.
Gitarja segera mendekati Resi Sampar Angin yang terus menatap Panji Rawit yang semakin menjauh dari pandangan.
"Apa Kakang Panji Rawit akan baik-baik saja, Romo? Dia sedang dalam bara api dendam sekarang ini. Jujur saja, aku mengkhawatirkan keselamatan nya", tutur Gitarja perlahan.
Hehehehe...
Resi Sampar Angin terkekeh kecil mendengar ucapan putri nya itu. Makna dari tawa ini hanya dia saja yang tahu.
*****
Mentari mulai menyingsing di ufuk timur, mengusir kegelapan malam yang sempat menguasai seisi bumi. Menggantikan dingin malam dengan cahaya terang yang hangat, membuatnya menjadi penanda hari yang baru.
Suara kokok ayam jantan yang semula begitu keras berangsur-angsur menghilang seiring dengan cahaya mentari pagi yang semakin terang. Berbarengan dengan itu, suara lesung yang ditumbuk dengan alu mulai terdengar dari perkampungan yang ada di utara Gunung Lawu. Cericit burung kutilang mulai bersahutan dengan suara burung-burung kecil di dahan pohon angsana.
Panji Rawit menggeliat dari tempat tidur nya, sebuah ranjang dari tatanan pohon bambu utuh yang digunakan sebagai gubuk oleh para peladang di kaki utara Gunung Lawu. Setelah meninggalkan Wanua Jonggring, Panji Rawit memang terus berjalan kaki ke arah utara, menyusuri hutan lebat yang ada di kaki timur gunung yang konon merupakan gunung dewa itu. Senja kemarin, dia yang baru keluar dari hutan terpaksa harus bermalam di gubuk milik peladang karena tidak juga melihat pemukiman penduduk di sekitar tempat itu.
Melihat sisa daging ayam hutan yang kemarin dia buru masih tersisa, Panji Rawit segera menghidupkan kembali api unggun yang sudah hampir mati karena kehabisan bahan. Api dengan cepat membesar hingga memanggang daging ayam hutan itu. Cukuplah untuk mengisi perutnya sebagai tenaga agar bisa meneruskan perjalanan.
Sembari menunggu ayam hutan panggang nya matang, Panji Rawit mencuci mukanya di sebuah mata air kecil dekat gubuk. Rasanya cukup menyegarkan wajah tampan nya.
Rupa-rupanya bau ayam hutan panggang itu menarik perhatian seorang gadis muda dengan pakaian pendekar yang kebetulan juga sedang melewati tempat itu. Dia segera bergerak ke arah sumber aroma lezat itu dan melihat sebuah gubuk tanpa penghuni akan tetapi ada seekor ayam hutan yang sedang di panggang pada api unggun di sampingnya. Air liur gadis muda itu hampir saja menetes saking terpesona dengan aroma enak yang menusuk hidung.
Melihat tidak ada orang yang terlihat di sekitar gubuk, gadis berkemben coklat dengan hiasan batik bermotif bunga bakung itu celingukan kesana kemari. Setelah dirasa aman, dia langsung melesat cepat ke arah ayam hutan panggang yang telah matang. Satu kali sambaran, ayam hutan panggang yang masih mengepulkan uap panas itu sudah ada di tangan. Akan tetapi, saat gadis cantik yang mengenakan tusuk konde dari perak berbentuk bunga cempaka itu hendak memakannya, tiba-tiba..
Shhhheeeeeeeeeeeeppppp!!
Lengan kanan gadis muda itu dicekal oleh seseorang. Saat gadis itu cukup terkejut dan segera menoleh ke empunya tangan.
"Mau mencuri ayam hutan panggang ku? Tak semudah itu... ", ucap si pemuda tampan berpakaian biru gelap tanpa lengan baju yang tak lain adalah Panji Rawit.
Secepat kilat tangan kiri Panji Rawit merebut tusuk ayam hutan panggang itu. Kecepatan nya benar-benar luar biasa karena si gadis muda itu baru menyadari bahwa ayam hutan panggang itu telah pindah tangan saat ia melihatnya.
Dan pertarungan sengit memperebutkan ayam hutan panggang itu pun segera terjadi. Dengan penuh nafsu, si gadis muda berwajah bulat telur itu memburu pergerakan Panji Rawit. Akan tetapi, sekeras apapun usahanya nyatanya itu tidak membuahkan hasil sama sekali. Malahan dia berulang kali hampir saja terjungkal karena serangan serangan nya dengan mudah dihindari oleh Panji Rawit.
Whhhuuuuuuuggghh whhhuuuuuuuggghh!
Dhhhaaaaaaaaaassss..!!!
Si gadis berkemben coklat terhuyung-huyung mundur setelah pukulan nya di papak telapak tangan kanan Panji Rawit. Setelah berhasil memperoleh pijakan yang pas, dia cepat memutar tubuh nya sambil melemparkan dua buah senjata rahasia berbentuk tusuk konde berwarna perak ke arah sang lawan.
Shhhrrrrriiiiiinnnnggg shhhrrrrriiiiiinnnnggg!!!
Dengan cekatan, Panji Rawit menangkap lemparan dua senjata rahasia itu dengan menjepit nya pada jari jemari tangan kanan nya. Dengan senyum penuh kemenangan, dia menjatuhkan senjata rahasia itu ke sampingnya. Hal ini membuat gadis muda itu meradang murka.
"Rupa-rupanya kau berilmu tinggi juga! Aku tidak akan main-main lagi.. ", teriak gadis itu sambil mencabut pedang yang ada di pinggangnya. Setelah itu, dia menerjang maju ke arah Panji Rawit sembari mengayunkan pedang.
Shhhrrreeeeeeeettttt!!
Dengan gesit Panji Rawit berkelit menghindari sembari memutar tubuh. Lalu dengan cepat ia menyarangkan siku kanan nya ke rusuk kanan gadis muda itu.
Dhhhaaaaaaaaaassss..
Aaaaaaaaaaaaaaaaarrrrgghhhhh!!
Gadis muda itu meraung keras. Saking sakitnya sikutan Panji Rawit, pedang di tangannya lepas. Saat itulah Panji Rawit membetot paha ayam hutan panggang nya dan menjejali mulut si gadis muda yang terbuka. Gadis itu terhuyung-huyung mundur namun ia murka karena merasa terhina dan hendak bergerak kembali menyerang. Akan tetapi Panji Rawit segera menggerakkan tangannya ke depan sebagai isyarat untuk berhenti.
"Sudah cukup!! Aku tidak mau main-main lagi!..
Ayam hutan panggang ini milik ku. Kau sudah ku bagi. Jangan macam-macam lagi jika tidak ingin aku bertindak tegas", ucap Panji Rawit segera.
Sang gadis muda mendengus kesal. Akan tetapi dalam hatinya ia mengakui bahwa Panji Rawit memang lebih unggul dalam kepandaian ilmu beladiri. Andaikan pemuda tampan itu mau serius bertarung, sudah dari tadi ia dikalahkan.
"Baik, aku setuju. Tapi satu potong paha ayam hutan panggang ini terlalu kecil, belum cukup mengisi perut ku. Tambah lagi sedikit.. ", pinta gadis muda itu sedikit memaksa.
" Dasar perut gentong. Ini..!! "
Panji Rawit merobek separuh ayam hutan panggang nya dan melemparkan nya ke arah gadis muda itu. Dengan cekatan, gadis muda itu segera menangkapnya dan memakan dengan lahap.
'Gadis ini benar-benar rakus. Sepertinya ia sudah kelaparan', batin Panji Rawit sembari mengunyah daging ayam hutan panggang bagiannya.
"Wah puasnya... ", ungkap gadis muda itu setelah selesai menyantap daging ayam hutan panggang nya seraya melemparkan tulang ke tanah. Dia segera mendekati Panji Rawit yang masih menikmati bagiannya dengan perlahan.
" Terimakasih atas makanannya, Kisanak. Aku Pramodawardhani. Siapa nama mu?", ucap gadis cantik itu sembari mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
Panji Rawit yang sedikit heran melihat perubahan sikap Pramodawardhani, tak segera menjawab tapi malah memperhatikan gadis itu lekat-lekat seolah sedang menyelidiki apa maunya. Dengan enggan dia menjawab tanpa mengulurkan tangannya,
"Nama ku Rawit. Panji Rawit... "
'Panji Rawit?!
Nama ini tidak pernah terdengar di dunia persilatan. Tapi kemampuan beladiri nya luar biasa. Aku Pramodawardhani, si Perawan Gunung Wilis, tak pernah kesulitan untuk menghadapi seorang pendekar pun bahkan jika dia adalah seorang pendekar ternama seperti Si Malaikat Buta ataupun Setan Pengemis Gunung Kumitir. Tapi menghadapi nya aku seperti anak kecil yang baru belajar silat. Bahkan ayam hutan panggang nya pun tak bisa aku rebut. Apakah dia adalah seorang pendekar yang baru turun gunung? '
Berbagai pikiran berkecamuk di dalam otak Pramodawardhani. Dia terdiam mendengar jawaban Panji Rawit dengan sejuta pertanyaan. Hal ini membuat Panji Rawit menatapnya lekat-lekat dengan sedikit keheranan.
"Nisanak nisanak Pramodawardhani.. ", panggil Panji Rawit segera. Namun perempuan cantik berkemben coklat itu tak juga menjawabnya karena masih sibuk dengan pikirannya sendiri hingga Panji Rawit langsung menggoyangkan telapak tangan nya di depan wajah Pramodawardhani.
" Hei, kenapa kau malah melamun?! ", ucapan sedikit Panji Rawit langsung menyadarkan Pramodawardhani dari pikiran nya.
" Oh eh iya, ada apa Kisanak Panji Rawit? ", gagap Pramodawardhani berbicara hingga Panji Rawit langsung menggelengkan kepalanya.
" Kau ini kenapa malah melamun begitu heh? Jangan kebanyakan melamun, tidak baik. Apalagi di tempat seperti ini. Bisa kemasukan setan.. ", Panji Rawit bergidik ngeri sembari tolah-toleh memperhatikan keadaan sekitar.
"T-tidak melamun kog. Cuma lagi memikirkan sesuatu saja. Oh iya Kisanak, kemana tujuan mu setelah ini?", tanya Pramodawardhani kemudian.
Panji Rawit terdiam sejenak mendengar pertanyaan ini. Sejujurnya, ia tidak ingin melibatkan siapapun dalam urusannya membalas dendam atas kematian keluarga ayah angkatnya akan tetapi dia juga tidak bisa mengajak orang lain dalam urusan ini.
'Lebih baik aku berhati-hati dan waspada terhadap semua kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Pramodawardhani orang yang baru ku kenal jadi lebih baik aku tidak mengatakan hal yang sebenarnya'
"Eh aku ingin ke utara, Pramodawardhani. Tepatnya ke wilayah Pakuwon Tanjungsari. Ada sesuatu yang perlu aku selesaikan disana", jawab Panji Rawit sambil tersenyum.
" Wah kita satu arah. Kalau kau tidak keberatan, bagaimana kalau kita jalan bersama? Setidaknya kita bisa saling menjaga selama perjalanan. Kau tahu, jalur ini tidak terlalu aman karena sering terjadi perampokan", senyum Pramodawardhani merekah selesai berbicara.
"T-tapi aku.. "
"Tapi apa? Jangan khawatir, aku bisa menjaga diri dengan baik. Aku pasti tidak akan merepotkan mu selama perjalanan", keukeuh Pramodawardhani ingin jalan bersama.
" Bukan itu maksud ku. Aku hanya eh bagaimana ngomong nya ya eh begini bekal perjalanan sangat sedikit dan itu tidak cukup untuk kita berdua ", mendengar alasan Panji Rawit, Pramodawardhani tersenyum sembari merogoh buntalan kain di punggungnya. Dia mengeluarkan sekantung kepeng yang jumlahnya cukup banyak.
" Kau tak perlu mengkhawatirkan hal itu. Bekal ku cukup banyak untuk beberapa purnama ke depan "
Mendengar jawaban dari Pramodawardhani, Panji Rawit tak punya alasan lagi untuk menolak keinginan perempuan cantik berwajah bulat telur ini. Maka setelah selesai membereskan barang bawaannya, Panji Rawit melenggang ke arah utara bersama dengan Pramodawardhani.
Melewati jalan setapak yang membelah kawasan hutan dan ladang penduduk, mereka terus bergerak ke arah utara. Sepanjang perjalanan, dua muda-mudi ini saling berbincang-bincang tentang banyak hal.
Dari perbincangan ini, Panji Rawit menjadi tahu bahwa Pramodawardhani bukanlah seorang pendekar wanita biasa. Pramodawardhani adalah putri dari pejabat menengah dalam tata pemerintahan kerajaan Medang yang bernama Demung Wiratama. Ayahnya mengurusi pergudangan Istana Medang yang disebut dengan Keraton Medang Sawit.
Sekedar tahu saja, saat itu Kerajaan Medang baru berpindah dari wilayah tengah Pulau Jawa ke wilayah timur. Perpindahan ini terjadi karena ibukota Medang di Pohpitu hancur karena meletusnya Gunung Mandrageni yang mengubur seluruh wilayah Kotaraja Pohpitu dengan lahar panasnya.
Raja Medang terakhir di Pohpitu, Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Rakai Pangkaja yang bergelar abhiseka Sri Vijayalokanamotunggadewa, tewas di istananya karena tidak mau mengungsi meskipun keadaan Pohpitu sedemikian gawatnya. Putra kakaknya yang tewas dalam perebutan tahta di awal masa pemerintahan Dyah Wawa yakni Sri Maharaja Mpu Wagiswara, Rakai Hino Mpu Sindok membawa serta beberapa pejabat penting, pendeta dan beberapa benda penting seperti panji kerajaan serta pusaka yang dianggap menjadi bukti kekuasaan raja ke wilayah timur.
Sebenarnya, carut marut pemerintahan Kerajaan Medang berawal dari meninggalnya Prabu Dyah Balitung yang belum sempat menunjuk putra mahkota sebelum kematiannya. Karena ketiga putra raja masih kecil, maka Mapatih Dyah Daksa yang masih saudara Dyah Balitung naik tahta. Selepas ketiga putra Prabu Dyah Balitung dewasa, Prabu Dyah Daksa enggan untuk segera menyerahkan tahta kepada salah satu putra mendiang Prabu Dyah Balitung yang mengakibatkan pemberontakan besar-besaran.
Dyah Daksa tewas dalam pemberontakan para pangeran yang akhirnya memunculkan Dyah Tulodong sang putra ketiga yang juga merupakan putra kesayangan Prabu Dyah Balitung naik tahta menggantikannya. Sementara itu kedua kakaknya hanya bisa memendam kekecewaan dan dendam.
Di bawah hasutan Dyah Wawa sang putra kedua, Mpu Wagiswara yang merupakan putra tertua memberontak yang berhasil menggulingkan tahta Dyah Tulodong pada tahun 924 Masehi atau 846 Saka. Namun perebutan kekuasaan di Pohpitu masih belum selesai.
Dyah Wawa yang ingin menduduki tahta kerajaan Medang menyuruh seorang dayang istana untuk mencampurkan racun ke dalam minuman Mpu Wagiswara kakaknya sendiri. Mpu Wagiswara tewas setelah gagal mendapatkan pengobatan sepekan setelah peristiwa itu. Dyah Wawa akhirnya naik tahta juga namun untuk mengamankan tahta ia mengangkat anak Mpu Wagiswara di jabatan penting kerajaan Medang.
Itulah kenapa sebabnya, para punggawa kerajaan Medang dan para pemuka agama bersedia mengikuti Mpu Sindok mengungsi ke daerah Pulau Jawa bagian timur. Mpu Sindok pun yang tak ingin keturunan nya terlibat lagi dalam masalah lama di Dinasti Syailendra, memilih untuk menggunakan gelar abhiseka berbeda dengan para pendahulunya yakni Sri Maharaja Isyanawikrama Dharmotunggadewavijaya.
Kembali ke perjalanan Panji Rawit dan Pramodawardhani, dua orang pendekar muda ini akhirnya mencapai tepian Sungai Wulayu tepatnya di wilayah Wanua Mantingan. Pramodawardhani yang kelaparan langsung menggelandang tangan Panji Rawit ke arah warung makan yang ada di pertigaan jalan.
"Ki, kami pesan makanan nya ya.. Apa saja yang penting bisa untuk mengganjal perut", ucap Pramodawardhani setelah mereka masuk ke dalam warung makan ini.
" Menu masakan kami yang menjadi andalan kami adalah ikan bakar disiram kuah santan. Jika nisanak berkenan, kami segera menyiapkannya ", ucap lelaki paruh baya bertubuh gemuk yang merupakan pemilik warung makan ini dengan ramah.
" Aku tidak keberatan. Siapkan saja dua hidangan dan antar ke meja kami. Perkara bayar, kau tak perlu khawatir Ki, uang ku cukup untuk membeli banyak makanan mu", Pramodawardhani menepuk pinggangnya hingga gemerincing kepeng beradu terdengar. Sang pemilik warung langsung tersenyum lebar dan mempersilahkan Panji Rawit dan Pramodawardhani untuk memilih tempat. Keduanya pun segera berjalan ke arah sudut ruangan warung yang dekat dengan jalan raya.
Sejak awal kedatangannya, pasangan Panji Rawit - Pramodawardhani memang menarik perhatian para pengunjung yang sedang makan atau menunggu pesanan mereka selesai. Tak terkecuali dua orang bertampang sangar yang duduk di pojokan.
"Sepertinya perempuan itu banyak duit Kang. Kita harus memberitahu Lurah e hal ini", bisik si lelaki berkumis tebal lirih pada seorang laki-laki berbadan gempal di sebelahnya.
" Iya Ndung.. Ayo, jangan buang waktu ", balas si lelaki berbadan gempal itu setuju. Keduanya bergegas keluar dari warung, meninggalkan makanan mereka yang masih separuh. Gerak gerik mencurigakan dari kedua orang ini tak lepas dari lirikan mata Panji Rawit.
Begitu makanan pesanan Panji Rawit dan Pramodawardhani datang, keduanya langsung menyantapnya dengan lahap. Maklum saja, seharian penuh di perjalanan mereka berdua hanya mengisi perutnya dengan ayam hutan panggang tadi pagi dan beberapa buah yang mereka dapat di perjalanan.
Tak berapa lama kemudian, beberapa orang bertubuh kekar dengan tampang seram datang ke warung makan. Mata mereka celingukan kesana kemari. Saat itu dua orang yang keluar dari warung makan tadi langsung menunjuk ke arah tempat Panji Rawit dan Pramodawardhani.
Melihat itu, Panji Rawit menghela nafas panjang dan bergumam dalam hati,
'Sepertinya mereka memang ingin mencari masalah.. '
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!