NovelToon NovelToon

Cinta Dalam Pernikahan Rahasia

BAB 1 PAGI YANG BERBEDA

Cahaya silau mulai mengusik tidurnya yang nyenyak. Wanita cantik yang masih mengenakan gaun panjang itu seketika matanya mengerjab. Kedua tangannya ia pakai untuk menghalau sinar mentari yang masuk melalui jendela kamar. Matanya menyipit dan mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar.

Disaat yang bersamaan matanya bertemu dengan kedua mata yang memandang ke arahnya. Ia langsung tersadar dan terbangun duduk. Tangannya meraba pakaiannya dan semuanya masih utuh.

"Cepat mandi dan ganti bajumu." Pria itu bangun dan melempar paper bag tepat di pinggir ranjang.

Kesadarannya belum penuh. Ia masih berpikir dan mencerna semuanya.

"*Kemarin aku menikah? Aku sudah menikah*?"

Dia memukuli kepalanya sendiri, merasa bodoh. Jelas-jelas dia kemarin sudah melangsungkan pernikahan. Dan pria yang berada satu kamar dengannya ini adalah suaminya.

"Apa ka—"

"Saya akan ke kantor hari ini. Siapkan saja semuanya."

Ucapan Vania terpotong saat secara tiba-tiba suaminya itu mengangkat telepon dari seseorang.

"Lambat sekali!" David mengumpat saat melihat Vania sudah tidak ada di ranjang. "Bangunnya juga siang!" lanjutnya lagi.

Di dalam kamar mandi, Vania kesusahan untuk membuka gaunnya sendiri. Karna resleting berada di belakang. Saat memakai gaun ini pun perlu bantuan orang banyak, apalagi membukanya. Dia akhirnya terduduk pasrah karna selalu gagal untuk membuka resletingnya. Dia kebingungan sendiri akhirnya.

Tok! Tok! Tok!

"Hey, cepat! Aku ada urusan di kantor! Apa kau mau aku tinggal di sini sendirian???"

Terdengar suara suaminya yang marah-marah. Vania tambah kebingungan.

KRIEETTT..

Wajahnya semakin memerah karna melihat Vania masih utuh dengan gaunnya. Sudah lama ia menunggu ternyata wanita itu belum juga mandi.

"Ma-maaf, aku gak bisa buka gaunnya dari tadi," ucapnya dengan wajah menunduk.

Tangannya yang seketika tadinya mengepal perlahan mengendur.

"Tolong bukain resletingnya. Nanti aku akan mandi cepat," ucapnya lagi seraya membalikkan tubuhnya.

"Terima kasih." Vania langsung buru-buru masuk ke dalam saat resleting gaunnya sudah terbuka keseluruhan.

Sedangkan David masih dalam posisi berdiri. Ia terdiam terpaku melihat sesuatu yang indah barusan. David adalah pria normal, jelas saja jiwa kelakiannya bangkit saat menghadapi hal seperti itu. Apalagi Vania adalah sosok wanita muda yang memiliki kulit seputih susu.

"Ah. Sial!" David merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan mengacak rambutnya merasa frustasi.

"Apa yang kau pikirkan! Karina! Hanya Karina yang harus kau pikirkan! Ingat!" Ia berusaha mengingatkan diri sendiri akan hatinya yang hanya akan tertuju pada Karina.

"Tuan, nyonya Vania dimana?" tanya Reno-asistennya.

"Tunggu saja dia di depan pintu. Aku gerah, ingin di dalam mobil saja."

David memutuskan untuk keluar dari kamar hotel, ia tak kuat jika harus lama-lama satu kamar dengan seorang wanita. Apalagi saat Vania baru saja keluar dari kamar mandi, dia sempat-sempatnya pakai handuk dan menanyakan pakaian dalamnya pada David. Tentu ia tak mau membantu dan memanggil pelayan untuk membantunya.

"Bagaimana Tuan, semalam enak gak?" tanya Reno seraya menggoda bosnya itu.

"Kau masih mau kerja sama saya apa gak? Kalau gak, hari ini kamu saya pecat!" ancam David seraya menutup pintu mobil dengan keras.

Reno hanya tersenyum-senyum saja karna sudah hafal dengan sifat dan sikap bosnya itu. Dia tidak takut sebenarnya, karna ancaman David tidak sungguh-sungguh.

"Selamat pagi nyonya Vania yang cantik seperti bidadari. Sungguh beruntungnya tuan David memiliki istri ke du—, eh maksud saya memiliki istri cantik yang tak ada duanya. Silahkan masuk, Nyonya." Reno hampir saja keceplosan.

Vania hanya tersenyum singkat dan duduk di sebelah David yang sedang fokus terhadap ponselnya. Matanya hanya melirik sebentar dan ia memilih memandangi pemandangan di luar jendela.

"Hari ini nyonya Vania akan diajak ke kantor atau kita antarkan ke rumah dulu, Tuan?"

"Ehem. Kantor. Aku ada meeting sebentar lagi. Apa kau tidak tahu? Jangan banyak tanya apa yang sudah kamu ketahui, Reno!" Lagi-lagi Reno kena semprot, tapi asistennya itu hanya cengengesan saja.

"Maaf, Nyonya. Kalau telinga Anda sedikit sakit mendengar suara keras dari Tuan David. Dia memang seperti itu setiap harinya tapi hatinya ba—"

DUG!

"Aw ....." Reno meringis. Saat dengan sengaja David menendang jok mobilnya dari belakang. Dan akhirnya Reno hanya terdiam sampai mereka tiba di kantor.

"Tuan, gandeng Nyonya Vania. Semua karyawan sudah berkumpul di dalam untuk menyambut kalian berdua."

David menghembuskan nafasnya kasar dan mulai meraih jari jemari Vania. Mereka akhirnya jalan bergandengan.

Perlu diakui, David sungguh tampan. Vania sedari tadi curi-curi pandang ke arahnya. Apalagi sekarang, jarak mereka sangat dekat. Jantungnya berdegup dengan cepat saat tangannya disentuh oleh David. Ini pertama kalinya Vania sedekat ini dengan pria.

Jelas terlihat bahwa seluruh karyawan sangat terpesona dengan kecantikan Vania. Mereka mulai berbisik membicarakan soal Vania.

"Itu istri keduanya? Pantas mau, orang cantik."

"Sayang sekali tapi, cantik-cantik mau jadi istri kedua."

"Kalau aku gak masalah mau jadi istri ke berapa. Kalau cowoknya kaya tuan David. Udah kaya, ganteng, berwibawa, tinggi. Sempurna!"

"Nyonya silahkan istirahat di sini." Reno mempersilahkan Vania untuk masuk ke kamar pribadi rahasia di dalam ruangan David. Vania pun mengangguk dan memasuki ruangan tertutup itu. Didalamnya terdapat sebuah kasur dan satu lemari kecil.

Tak berapa lama pelayan datang membawakan banyak makanan dan minuman. Benar-benar seperti ratu di kerajaan.

"Terimakasih," ucapnya dengan sopan pada pelayan. Pelayan tersebut terkejut mendengar ucapan terimakasih itu. Karna sebelumnya tak ada yang mengucapkan kata-kata seperti itu.

"Iya, Nyonya. Kalau butuh apa-apa silahkan panggil saya melalui telepon," ucap pelayan dan pamit pergi.

"Oh ya, ponselku dimana?" Ia baru ingat akan ponselnya. Karna sejak kemarin ia sangat sibuk dengan acara pernikahan. Sampai-sampai ia tak ingat ponselnya ada dimana sekarang. Apalagi saat acara selesai, ia sampai ketiduran di atas ranjang tanpa membersihkan diri.

"Loh. Pada dimana mereka?" Ia tak melihat siapa pun di ruangan suaminya itu. Kosong tak ada siapa pun. Ia pun memberanikan diri keluar.

"Nyonya, Anda perlu apa?" Seorang wanita datang menghampiri dengan jalan cepat. Pakaiannya sopan walaupun memakai rok pendek tapi tidak ketat atau pun terlalu pendek. Pakaiannya juga biasa, memakai kemeja dan blazer.

"Hm. Suamiku dimana?" tanyanya walaupun lidahnya sedikit kaku mengucap panggilan suami untuk pria asing yang belum ia kenal lebih dalam itu.

"Tuan David sedang ada meeting. Sekitar beberapa jam lagi kembali."

Vania menggaruk kepalanya merasa bingung. Tidak mungkin ia menanyakan ponselnya pada karyawan wanita itu. Pasti dia tidak tahu, dan membuatnya malu karna sudah kehilangan ponsel sejak semalam.

"Nyonya ingin apa? Nanti saya ambilkan atau belikan. Atau Nyonya ingin kemana?"

"Kamu siapa?" tanyanya dengan wajah datar.

"Maaf, Nyonya. Maaf kalau saya lancang." Karyawan wanita itu merasa tidak enak hati dan menunduk sopan.

BAB 2 FAKTA TERTUNDA

   Karyawan wanita itu berpikiran kalau pertanyaan Vania seperti menggertaknya.

    "Tidak, maksud ku kamu disini sebagai apa? Dan namamu siapa," tanyanya lebih jelas dan wanita itu mulai tersenyum.

    "Hm, nama saya Mawar. Saya sekretaris tuan David, Nyonya. Saya tadi dapat pesan untuk menjaga Anda. Makanya saya tidak ikut meeting kali ini," jelasnya panjang lebar.

     Terdengar ada suara langkah kaki mendekat. Vania segera berbalik badan.

    "Ayah ......" Matanya berbinar-binar saat melihat ayahnya datang. Ia berhambur memeluk ayahnya dengan erat.

    "Loh, kok David hari ini ke kantor. Dasar itu anak! Bukannya cuti saja malah nekat berangkat!" Marshel yang merupakan Papa David hanya bisa menggerutu kesal dengan putranya. "Dimana dia sekarang?" tanya Marshel dengan kesal.

    "Sudah tidak apa-apa, Bos. Mungkin ada pekerjaan penting yang gak bisa ditinggalkan." Temmy yang merupakan asistennya sekaligus besannya hanya bisa menenangkan bosnya itu.

    "Tuan David sedang ada meeting, Tuan Marshel," jawab Mawar.

    Marshel mendengus kasar dan berjalan memasuki ruangan kerja putranya.

    "Vania, istirahat saja di kamar," suruh Marshel pada menantunya dan Vania akhirnya masuk lagi ke dalam kamar rahasia itu. Di dalam sana karna bosen, ia membuka lemari untuk mengetahui isi di dalamnya.

   Dahinya mengernyit saat melihat beberapa benda yang menurutnya aneh. Anehnya karna suaminya itu seorang laki-laki, tapi beberapa benda tersebut seperti milik perempuan. Padahal katanya itu adalah kamar rahasia. Yang tak mungkin ada orang lain yang berani memasuki ruangan itu. Kecuali Reno dan pelayan untuk sekedar membersihkan.

   "Punya siapa ini? Apa milik mantan pacarnya? Dasar laki-laki, ngapain pacaran dibawa ke kamar? Dasar br*ngs*k." Vania menggerutu kesal, ia tak habis pikir jika tuduhannya benar. Entah kenapa ia merasakan dadanya sesak dan berpikiran yang macam-macam.

    "Arrgghh. Punya siapa ini!" geramnya.

    "Nyonya, ada apa?" Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka oleh Mawar. Sekretaris suaminya itu dengan lancang membuka pintu kamar yang katanya rahasia itu. Ia memandangi Mawar dari atas sampai bawah.

    "Jika dia dengan berani membuka pintu kamar tanpa mengetok pintu, itu artinya dia sudah sering membuka kamar ini tanpa ijin." Vania langsung membuang muka dan menggelengkan kepala.

   "Tadi saya dengar sepertinya Anda berteriak, Nyonya. Makanya saya langsung membuka pintu, takut Anda kenapa-kenapa."

    "Ah. Alasan! Tidak percaya aku!" Ia masih menggerutu dalam hati. Ia jadi over thinking sekali.

   "Ada apa?" David tiba-tiba muncul. Dia berdiri disebelah Mawar di pintu kamar. Sampai Vania melihat lengan tangan mereka sedikit bersentuhan.

   "Tidak ada apa-apa." Vania langsung menyerobot keluar kamar, menabrak ditengah-tengah mereka hingga keduanya terpaksa minggir.

   "Maaf, Tuan. Tadi saya seperti mendengar teriakkan di dalam kamar. Makanya saya buru-buru membuka pintu," jawabnya dengan jujur.

    Masih diselimuti kemarahan yang menggebu. Vania keluar dari kantor dan berjalan ditengah-tengah panasnya mentari. Reno lah yang bersedia mengejar Vania yang tiba-tiba pergi.

   "Nyo-nyonya, Anda mau kemana?" tanyanya dengan nafasnya yang memburu. Ia memegangi dadanya yang hampir kehilangan nafas.

   "Ayah saya kemana?" Kedua matanya mengitari parkiran dan tak menemukan siapa pun.

   "Sudah pulang barusan, Nyonya," jawab Reno setelah berhasil mengatur nafasnya yang tadi tersengal-sengal.

   Tiba-tiba Vania berjongkok dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dan seketika tangisnya pecah.

   "Nyonya. Nyonya. Jangan menangis di sini." Reno langsung membawa Vania untuk masuk ke dalam mobil. Ia takut ada karyawan yang melihat Vania menangis di halaman parkir dan akan membuat gosip yang aneh-aneh nantinya.

   Tangis Vania pecah dan menangis tersedu-sedu. Belum berani Reno menanyakan penyebab tangisnya. Ia hanya bisa diam, menunggu tangis Vania reda.

   "Menangis lah sepuasnya, Nyonya. Saya akan diam sampai Anda mau bercerita," ucap Reno.

   "Apa kau tahu? Aku memutuskan untuk bersedia menikah dengannya karna permintaan ayah? Aku menerimanya karna aku yakin pilihan ayah yang terbaik. Aku tak pernah menerima cinta dari pria mana pun karna ayah sangat menjagaku. Dan baru sehari aku resmi menjadi istrinya, aku menemukan hal-hal yang membuatku sakit," ujarnya sembari tersedu-sedu.

   "Hal-hal apa yang Anda temukan, Nyonya?"

   "Apa dia memang yang terbaik untukku? Apa wanita seperti aku memang pantas mendapatkan pria sepertinya? Apa sebaliknya?"

    "Aku tidak memiliki masa lalu soal percintaan sedikit pun. Apa dia memiliki masa lalu yang banyak? Apa aku perlu tahu? Apa aku tidak perlu tahu?"

   "Aku pertama kali dekat dengan pria dan langsung menikah. Aku tidak melewati perkenalan, tidak melewati pendekatan."

   Reno hanya menyimak sampai Vania selesai mengungkapkan semua isi hatinya. Dia terdiam beberapa saat dan mulai mencerna semua ucapan dari Vania.

    "Apa hari ini Anda menemukan sesuatu, Nyonya?"

    "Ya. Kau bilang itu kamar rahasia. Kamar pribadi yang berada di dalam ruangan. Seharusnya tidak ada siapa pun yang berani atau lancang masuk ke dalam kamar. Lalu kenapa aku melihat ada jam tangan wanita, syal berwarna-warni, accecories wanita di dalam lemari?"

    Seketika Reno menelan ludah. "Maafkan aku, Tuan. Aku lupa akan hal itu." Ia merutuki kebodohannya sendiri.

     "Apa itu milik mantannya? Mantan kekasihnya? Atau wanita yang ada di dalam kantor? Apa pria yang tampan dan kaya memang bisa bertindak seenaknya dengan perempuan? Apa dia memiliki masa lalu yang kelam?"

   "Aku telah menjaga kehormatan aku selama ini hanya untuk suamiku. Tapi kenapa pria tidak seperti itu? Kenapa—"

   "Nyonya, Anda salah. Tuan David pria yang baik. Segala tuduhan Anda salah. Dan soal benda-benda milik perempuan yang Anda temukan itu adalah milik nyonya besar Larissa. Bukan milik perempuan lain atau pun mantan pacarnya," jelasnya.

    Perkataan sekaligus jawaban dari Reno membuatnya terdiam. Ia menelan ludahnya sendiri dan segera menghapus sisa-sisa air matanya.

   "Tuan ...."

   David tiba-tiba datang membuka pintu mobil dan mendapati keduanya sedang duduk berdua. Pandangannya langsung tertuju pada Reno-asistennya.

    "Maaf, Tuan." Reno langsung keluar dari mobil dan pindah duduk di depan. Sedangkan David langsung duduk disebelah Vania, yang masih berusaha menghapus sisa-sisa air matanya.

    "Reno ....." panggilnya pada asistennya.

    "Nyonya Vania tadi mencari tuan Temmy. Ia mengatakan rindu pada ayahnya," jawabnya.

    "Ya sudah. Kita ke kantor papa."

    "Tidak .... Gak usah. Gak usah." Vania menolak, ia menggelengkan kepalanya kuat.

    "Kita kembali ke hotel," ucap David kemudian.

    "Bisakah kamu menyetir sendiri?" Vania tiba-tiba memegang tangan suaminya, dan mereka saling berpandangan. "Aku perlu mengobrol berdua dengan kamu."

    "Siapa kamu, mengatur-atur aku?" jawaban ketus David membuat Vania seketika membeku. Pandangannya mulai melemah dan langsung membuang pandangannya ke arah lain. Hatinya begitu sakit mendengar penolakan dari suaminya yang seperti tak menganggap dirinya sebagai seorang istri.

    Saat tiba di hotel pun, David berjalan mendahuluinya sampai Vania tertinggal jauh di belakang. Dan hanya Reno yang menemaninya.

    "Apa kamu tahu ponsel aku ada dimana?" Vania pun teringat akan ponselnya dan menanyakannya pada Reno.

    Dengan sigap, ia merogoh saku celananya dan memberikan sebuah ponsel.

    "Ini ponsel baru untuk Nyonya. Silahkan pakai," ujarnya dengan tersenyum.

    "Tapi—"

    "Tenang saja, Nyonya. Isinya masih sama dengan ponsel Anda sebelumnya. Saya sudah memindahkan semuanya. Ini atas permintaan dari tuan David. Karna ponsel yang Anda miliki, jujur saja sangat kuno dan—"

    "Kampungan?" Vania memelototinya dan langsung berlalu pergi dengan wajah jengkel.

BAB 3 MENANTU KESAYANGAN

Hari ini adalah hari berbahagia di keluarga besar Marshel. Dia akan menyambut menantu barunya. Sesuai perjanjian bahwa putranya akan kembali tinggal di sini. Sudah lama David tidak menginjakkan kakinya di rumah ini.

"Mama gak sabar tinggal bareng lagi sama putra semata wayang kita. Semoga hubungan dengan Vania bisa membuat mata hati putra kita terbuka," ucap Larissa penuh harap.

Saat mendengar deru mobil mendekat, mereka langsung berjalan keluar. Dan benar saja putra dan menantunya telah datang.

"*Jantungku kenapa berdegup sangat cepat*." Vania memegangi dadanya, ia merasa sangat *nervous* saat melihat rumah bak istana di depan matanya. Rumah ini akan menjadi tempat tinggalnya sekarang. Matanya melirik ke arah suaminya yang turun dari mobil begitu saja tanpa menunggunya.

"Tuan, nyonya Vania!" Reno lekas menarik tuannya itu untuk menunggu Vania. Dengan wajah kesal, David memberhentikan langkahnya.

Terlihat para pelayan sudah berdiri rapi menyambut kedatangan majikan baru. Mereka saling berbisik bahwa majikan barunya sangatlah cantik seperti bidadari.

"David . . ." Larissa tanpa sabar langsung memeluk putranya yang sangat ia sayangi.

"Vania, menantuku yang cantik. Cup. Cup." Begitupun dengan istri putranya, ia menciumi Vania bertubi-tubi merasa bahagia bahwa dirinya yakin memilih wanita yang tepat untuk putranya.

Masih dengan sikap malu-malu, Vania duduk untuk makan bersama. Melihat hidangan sebanyak dan selezat itu, Vania jadi kepikiran dengan adiknya Sissy.

"*Sissy sangat suka udang*."

"Kamu mau udang, Vania? Sini Mama ambilin." Vania langsung menggeleng.

"Tidak, Tante. Vania alergi udang."

"Loh, kamu alergi udang? Maaf, kita gak tahu. Oh ya, jangan panggil Tante dong. Panggil Mama aja. Mama Rissa."

Vania pun mengangguk walaupun ia merasa panggilan itu terasa sulit diucapkan karna ia masih merasa asing di sini.

"David sudah kenyang. Mau istirahat saja di kamar," ujar David dan langsung beranjak dari kursinya.

"Makananmu belum dihabiskan, David!" teriak Marshel.

"David ngantuk, Pa. Semalam tidurnya kurang," jawab David dan mendapat respon yang berbeda dari kedua orang tuanya. Larissa pun langsung menyenggol lengan suaminya seraya menahan senyum.

"Sudah, Pa. Biarin aja David istirahat. Dia kurang tidur," kata Larissa membiarkan putranya pergi ke kamar.

"Ah, sial!" gerutu David karna merasa sudah salah berbicara sehingga membuat salah paham kedua orang tuanya.

Setelah mereka selesai menghabiskan makanan, Vania diantar pelayan menuju kamar.

"Tidak perlu, saya bisa sendiri," ucap Vania merasa tidak enak karena seorang pelayan membantu membawakan tasnya. Bahkan mereka berjalan beriringan untuk mengantarkannya sampai ke kamar.

"Ini sudah tugas dan tanggung jawab kita, Nyonya. Bahwa akan selalu memastikan keselamatan Anda dan juga kenyamanan Anda, Nyonya." Dua orang pelayan yang memakai baju putih hitam itu tersenyum bersamaan.

"Kami berdua sudah ditugaskan untuk membantu dan menjaga Anda kapan pun dan dimana pun berada," ujar bergantian dengan pelayan satunya.

"Perkenalkan nama saya Andin dan ini Rara." Bahkan mereka memperkenalkan diri.

Vania hanya tersenyum mengangguk. "Mereka kelihatan baik sekali. Bisa jadi teman aku di sini."

"Selamat beristirahat, Nyonya."

Pintu ditutup dan Vania perlahan masuk ke dalam sebuah kamar yang besar. Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah jendela besar yang langsung menghadap ke jalan raya. Letak kamar tersebut berada di lantai dua. Disebelah jendela ada sebuah pintu yang menghubungkan ke arah balkon.

"Indah sekali." Matanya terpana melihat hamparan bunga yang berada di halaman rumah. Kamar ini memiliki dua ruangan, dimana ruang tidur terpisah.

Ia berdiri di sebuah pintu yang tertutup. Yang mana ruang itu pasti ada suaminya di dalam.

Klek!

Belum sempat membuka, pintu itu sudah dibuka oleh David yang langsung membelalakkan matanya melihat istrinya berdiri di depan pintu. Ia hanya melirik sekilas dan berjalan menuju balkon.

"Kamu gak jadi tidur? Katanya ngantuk," tanya Vania yang berhasil membuat langkah suaminya berhenti.

"Bukan urusan kamu!" jawabnya dengan ketus. Beberapa kali jawaban yang ia terima sangat tidak mengenakan hatinya. Tapi Vania mencoba bersabar karena ia sadar dirinya siapa. Mungkin mereka hanya belum saling kenal saja.

***

"Pa, jawaban David waktu itu gimana? Apa Karina mengetahui ini semua? Apa David menyembunyikannya?" Larissa kini menjadi gelisah, karna takut menantu pertamanya itu pulang dan membuat masalah. Karna jujur saja dia tidak menyukai Karina, karna menurutnya wanita itu telah membuat putranya berubah.

"Aku tidak tahu. Itu urusan mereka berdua. Kita sebagai orang tua tak perlu ikut campur," jawab Marshel dan meletakkan ponselnya ke atas meja. Ia memandangi istrinya dengan tatapan penuh arti. Dirinya kini pun bingung, jika suatu saat Karina pulang dan mengacaukan semuanya. Dan tentu namanya juga akan terseret, apalagi kalau client yang bekerja sama dengan perusahaannya mengecap dirinya yang tak baik sebagai mertua.

"Karina akan menetap di sana, kan?" tanya Larissa lagi.

Marshel hanya menghendikan bahunya.

"Apa Papa bujuk saja David untuk mencerai—"

"Ma!" Suara Marshel meninggi, dia sampai geleng-geleng kepala mendengar ucapan dari istrinya. "Aku bilang jangan ikut campur, Ma. Lagipula kenapa Mama memaksa David untuk menikahi Vania, kalau ujung-ujungnya Mama khawatir sendiri. Aku bilang kan sabar. Mungkin memang David dan Karina belum diberi keturunan. Mereka sama-sama sibuk dan—"

"Dan Karina tidak tahu diri. Sudah menjadi istri tapi masih lalai dengan tugasnya. Dia masih sibuk mengejar cita-citanya, impiannya, keinginannya tanpa sadar bahwa tujuan menikah itu apa? Mereka harus memiliki keturunan. Apalagi David anak satu-satunya kita. Darimana lagi kita akan dapat keturunan?" Larissa yang masih diselimuti amarah memilih keluar kamar daripada lanjut berdebat dengan suaminya yang selalu tak berpihak padanya.

"Menantu seperti itu dibelain terus!" gerutunya sembari jalan.

"Vania, kamu mau kemana?" Wajahnya berubah sumringah saat melihat menantu cantiknya. Dia langsung berjalan menghampiri dengan senyuman terbaiknya.

"Hm, Vania ingin ke halaman, Ma. Bosen di kamar," jawabnya.

Larissa memberi isyarat pada kedua pelayan yang menemani menantunya untuk pergi saja. Karna ia ingin jalan berduaan dengan menantunya.

.

.

.

Jalan raya yang berada di depan rumah terlihat lengah. Hanya ada beberapa mobil yang lewat. Pandangannya terus melihat ke depan pada pohon-pohon yang berdiri tegak. Isi kepalanya berkecamuk satu sama lain. Banyak hal yang ia pikirkan apalagi soal pernikahannya.

Seorang wanita tiba-tiba muncul saat tangannya dengan sengaja memetik bunga yang indah. Bibirnya tersenyum lebar dan berlari-lari mengejar kupu-kupu. Dia tertawa sendirian di hamparan bunga. Warna bajunya yang cerah seakan senada dengan warna bunga-bunga yang ada.

Cukup lama ia memperhatikan wanita itu dari atas balkon. Hingga tiba-tiba Mamanya berteriak dari bawah.

"David, ayo turun ....." pinta sang Mama dan dibalas gelengan darinya. Sedangkan wanita yang bernama Vania itu terus memandangi David dari bawah. Kedua matanya saling pandang tapi dengan ekspresi yang datar.

"*Apa yang kau lihat, David! Sadarlah! Karina lebih cantik*!" Lagi-lagi ia memperingati dirinya sendiri agar jangan lengah atau pun tertarik pada wanita lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!