NovelToon NovelToon

Lezatnya Dunia Ini

Kehidupan di Ujung Gang Serta Kisah Jengkok dan Keluarga

Di sebuah kampung kumuh di pinggiran kota, hidup seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya, Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil, Gobed. Setiap pagi, Jengkok dan Slumbat memulai hari dengan semangat, meski kehidupan mereka tak pernah mudah.

Jengkok bangun dari tempat tidurnya yang sudah usang. "Bu, ini sudah pagi. Kita harus mulai bekerja sebelum orang lain mendahului kita," katanya sambil menepuk-nepuk bahu istrinya.

Slumbat menguap lebar, "Iya Pak, tapi si Gobed belum bangun. Nanti kalau kita pergi, siapa yang akan menjaganya?"

Jengkok melirik anaknya yang tertidur pulas di sudut ruangan. "Biarin saja dia tidur dulu, kita bisa cari sampah di dekat sini saja, enggak jauh. Kalau dia bangun, kita bisa balik sebentar."

Slumbat bangkit dan mulai membetulkan kerudungnya, "Pak, kamu yakin kita bisa dapat banyak hari ini? Aku lihat kemarin, tumpukan sampahnya sudah dibawa orang duluan."

Jengkok tersenyum, meski lelah masih tampak di wajahnya, "Yakin, Bu. Yang penting kita tetap berusaha. Jangan menyerah, Gusti Allah pasti kasih jalan."

Slumbat mengangguk pelan, "Iya, iya. Aku cuma khawatir sama si Gobed. Kasihan dia kalau enggak ada makanan hari ini."

Jengkok mendekati Slumbat dan menggenggam tangannya, "Kita pasti bisa, Bu. Kita enggak boleh kalah sama keadaan. Yuk, kita jalan."

Mereka pun keluar dari rumah kecil mereka, menyusuri gang-gang sempit sambil memungut apa saja yang bisa dijual. Plastik, botol bekas, kardus, semua mereka kumpulkan. Sepanjang perjalanan, Slumbat tak henti-hentinya berbicara tentang Gobed.

"Pak, Gobed itu pintar ya. Kemarin dia bisa nyanyi lagu anak-anak yang diajarin sama tetangga."

Jengkok mengangguk sambil memungut botol plastik, "Iya, Bu. Dia memang pintar, tapi jangan lupa kita harus ajarin dia juga. Biar nanti kalau besar, dia enggak perlu jadi pemulung seperti kita."

Slumbat menghela napas panjang, "Aku juga enggak mau dia jadi seperti kita, Pak. Tapi, gimana caranya? Sekolah mahal, kita aja buat makan susah."

Jengkok berhenti sejenak, "Aku tahu, Bu. Tapi kita harus cari cara. Mungkin nanti ada orang baik yang mau bantu."

Slumbat terdiam sejenak, memikirkan kata-kata suaminya. "Iya, mungkin saja. Tapi, ya sudahlah, yang penting kita bisa makan hari ini dulu."

Saat mereka kembali ke rumah, Gobed sudah bangun dan sedang bermain dengan mainan yang terbuat dari kaleng bekas. "Pak, Bu, dapat banyak enggak hari ini?" tanya Gobed dengan mata berbinar.

Jengkok tersenyum lebar, "Iya, Nak. Dapat banyak, nanti kita bisa makan enak."

Gobed melompat kegirangan, "Asik! Aku mau makan nasi sama ayam, Bu!"

Slumbat tertawa kecil, "Iya, iya. Tapi enggak ayam beneran ya, Nak. Ayamnya kita bikin dari tahu aja."

Gobed mengangguk polos, "Enggak apa-apa, Bu. Yang penting makan bareng-bareng."

Jengkok menatap keluarganya dengan penuh haru, "Iya, makan bareng-bareng itu yang paling penting."

Meski hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan, mereka tetap saling mendukung dan mencintai. Dalam hati, Jengkok bertekad suatu hari nanti, dia akan membawa keluarganya keluar dari kemiskinan ini. Tapi untuk sekarang, mereka cukup dengan apa yang ada, selama mereka bersama.

Jengkok bergegas menuju warung rames yang tak jauh dari rumah mereka. Dia melangkah cepat, memikirkan betapa senangnya Gobed jika bisa makan nasi dengan tahu goreng. Sesampainya di warung, Jengkok langsung menyapa pemilik warung, Pak Suryo.

“Selamat pagi, Pak Suryo. Saya mau beli tiga porsi nasi, sama tahu gorengnya,” kata Jengkok sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku.

Pak Suryo tersenyum ramah dan mulai menyiapkan pesanan. “Oke, Jengkok. Ini memang hari-hari susah, ya? Tapi semangat terus, ya.”

Jengkok mengangguk, meski wajahnya terlihat sedikit lelah. “Iya, Pak. Terima kasih banyak.”

Sambil menunggu pesanan, Jengkok duduk di bangku kayu yang ada di warung, memandangi jalanan yang ramai. Tak lama, Pak Suryo datang membawa tiga porsi nasi dengan tahu goreng yang masih panas.

“Ini dia, Jengkok. Semoga cukup untuk keluarga,” kata Pak Suryo sambil menyerahkan bungkus makanan.

Jengkok menerima bungkusan makanan itu dengan penuh syukur. “Terima kasih, Pak Suryo. Ini sangat membantu kami.”

Dengan hati-hati, Jengkok membawa makanan tersebut pulang. Sesampainya di rumah, dia melihat Slumbat dan Gobed sudah duduk menunggu di meja kecil mereka.

“Bu, Nak, ini makanannya. Kita bisa makan sekarang,” kata Jengkok sambil meletakkan bungkus makanan di meja.

Slumbat mengerutkan dahi, lalu melihat isi bungkus itu. “Wah, makasih, Pak. Tahu gorengnya masih panas, ya. Tapi kenapa cuma tahu goreng?”

Jengkok tersenyum kecil. “Itu yang bisa kita beli hari ini, Bu. Yang penting kita makan bareng-bareng.”

Gobad dengan penuh semangat mulai mengaduk nasi di piringnya. “Wah, tahu gorengnya enak sekali, Bu! Aku suka.”

Slumbat mengambil sendok dan menyendokkan nasi ke piring Gobed. “Iya, Nak. Ayo, makan yang banyak. Ini sudah cukup baik buat kita.”

Saat mereka mulai makan, suasana di rumah terasa hangat dan penuh kebersamaan. Meski makanan mereka sederhana, tawa dan canda di meja makan membuat mereka lupa sejenak tentang kesulitan hidup.

Jengkok menatap keluarganya dengan penuh kebanggaan. “Kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya, ya. Karena yang terpenting adalah kita bisa bersama.”

Slumbat mengangguk sambil tersenyum lembut. “Iya, Pak. Selama kita bersama, kita bisa menghadapi segala kesulitan.”

Mereka terus makan dengan lahap, menikmati makanan sederhana namun penuh makna. Hari itu, meskipun tidak banyak yang mereka miliki, kebahagiaan mereka terletak pada kebersamaan dan cinta keluarga yang tidak ternilai.

Gobed Berangkat Ke Sekolahnya

Setelah makan, Gobed yang kini duduk di bangku sekolah dasar masih kelas 3 bersemangat bergegas menuju kamar kecil mereka yang hanya memiliki satu kran air. Slumbat mengikuti langkahnya, sambil menyiapkan handuk dan sabun. Gobed mulai membuka baju, dan Slumbat menyoroti, “Jangan lupa bersihkan telinga, Nak. Biar nanti di sekolah teman-teman enggak penasaran kalau ada apa di dalamnya.”

Gobad tertawa kecil sambil memasukkan kepala ke dalam ember berisi air. “Jangan khawatir, Bu. Enggak ada harta karun di telingaku!”

Slumbat tersenyum, “Kalau begitu, pastikan airnya tidak membanjiri kamar mandi kita.”

Gobad mencuci badan dengan cepat, lalu bersih-bersih. Sesudah itu, dia memakai seragam sekolah yang sudah agak kusut namun masih layak pakai. Saat hendak memakai sepatu, dia menemukan sepatu satu pasang yang hampir putus talinya. “Bu, sepatu ini sudah hampir putus. Aku takut nanti di sekolah sepatu ini copot!”

Slumbat cepat-cepat memeriksa sepatu itu, dan melihat talinya sudah hampir putus. Dia mencari benang dan jarum, lalu dengan cepat memperbaiki sepatu Gobed sambil berkata, “Ini supaya sepatu ini enggak cuma jadi alas kaki, tapi juga bisa jadi senjata ampuh melawan kapur!”

Gobad tersenyum lebar. “Terima kasih, Bu. Aku akan hati-hati agar sepatu ini tidak terbang ke mana-mana.”

Setelah siap, Gobed mengambil bekal dari Slumbat, yang berupa beberapa potong roti yang dibungkus rapat. “Makasih, Bu. Kalau ada yang tanya roti ini rasanya apa, aku jawab ‘kaya sayang Ibu’,” ujarnya sambil melambai.

Slumbat menatapnya dengan penuh kasih, “Hati-hati di jalan, ya. Jangan sampai tertinggal.”

Jengkok juga memberi semangat, “Belajar yang rajin, Gobed. Kalau ada yang ngajarin ngitung, jangan cuma ngitung sampai sepuluh. Cobalah sampai seratus!”

Gobad melambai sambil berlari keluar rumah menuju jalan utama, melewati gang-gang sempit yang penuh dengan sampah dan hewan kecil. Di sepanjang jalan, dia berjumpa dengan tetangga yang sedang ngobrol di depan rumah mereka.

“Eh, Gobed! Mau kemana pagi-pagi begini?” tanya Pak RT.

Gobad menjawab dengan ceria, “Mau ke sekolah, Pak! Biar nanti bisa jadi orang pintar!”

Pak RT tertawa, “Hati-hati di jalan. Jangan sampai berlari terlalu cepat nanti sepatunya copot!”

Gobad tersenyum dan melanjutkan perjalanannya. Di jalan menuju sekolah, dia bertemu dengan teman-temannya yang juga menuju ke sekolah. Mereka berjalan bersama, bercanda dan tertawa.

“Gobed, ayo cepat! Nanti kita ketinggalan pelajaran!” seru teman sekelasnya, Dani.

“Kalau kita ketinggalan pelajaran, nanti bisa jadi ‘tim terlambat’!” jawab Gobad sambil tertawa.

Sesampainya di sekolah, Gobed memasuki ruang kelas dengan penuh semangat. Guru mereka, Bu Sari, sudah menunggu di depan kelas.

“Selamat pagi, Bu Guru!” seru Gobed saat masuk ke kelas.

Bu Sari tersenyum, “Selamat pagi, Gobed. Bagaimana kabar hari ini? Sudah siap belajar?”

Gobad mengangguk dengan semangat, “Siap sekali! Tapi jangan bilang, ya, kalau sepatuku hampir putus.”

Bu Sari tertawa, “Jangan khawatir, Gobed. Sepatu bukanlah ukuran kecerdasan. Yang penting semangat belajarnya!”

Pelajaran dimulai, dan Gobed dengan serius mengikuti setiap materi yang diajarkan. Namun, di sela-sela pelajaran, dia tidak bisa menahan tawa saat salah satu teman sekelasnya, Rudi, berusaha keras menyelesaikan soal matematika dan malah menghitung dua ditambah dua menjadi enam.

“Rudi, kamu menghitungnya terlalu banyak! Apa ada yang salah dengan kalkulatormu?” ejek Gobed sambil tertawa.

Rudi mengernyit bingung, “Bukan, Gobed. Aku cuma mencoba cara baru dalam berhitung.”

Suasana kelas penuh dengan tawa. Meskipun demikian, Gobed tetap berusaha yang terbaik dan mengikuti pelajaran dengan serius.

Di rumah, Jengkok dan Slumbat melanjutkan pekerjaan mereka, tetap berharap hari itu membawa berkah. Slumbat memasak makanan sederhana untuk makan malam, sementara Jengkok merapikan area depan rumah.

Ketika Gobed pulang dari sekolah, dia bercerita tentang hari-harinya dengan penuh semangat. “Bu, Pak, hari ini ada soal matematika yang membuat aku tertawa. Tapi aku belajar banyak!”

Slumbat dan Jengkok tersenyum bangga. “Baguslah, Nak. Terus semangat belajar. Kita selalu mendukungmu,” kata Jengkok sambil mengelus kepala Gobed.

“Dan jangan lupa, jangan terlalu cepat lari kalau sepatumu hampir putus!” tambah Slumbat, membuat Gobed tertawa.

Malam itu, meskipun mereka kembali ke rutinitas sehari-hari, kebersamaan mereka di meja makan dan cerita hari itu membuat segala kesulitan terasa lebih ringan. Mereka saling mendukung dan penuh harapan untuk masa depan yang lebih baik, meskipun setiap hari penuh dengan tantangan.

Malam itu, setelah seharian beraktivitas, keluarga Jengkok berkumpul di rumah mereka yang kecil dan sederhana. Udara malam terasa hangat dan lembap, dan nyamuk-nyamuk mulai menyerbu. Lampu minyak yang menyala di sudut ruangan menarik perhatian para nyamuk, membuat suasana di rumah jadi kurang nyaman.

Jengkok, yang baru saja selesai memperbaiki atap rumah yang bocor, duduk di kursi sambil mengelap keringat di dahinya. “Nyamuk-nyamuk ini benar-benar menggila malam ini. Rasanya kayak kita lagi jadi menu makan malam mereka!”

Slumbat yang sedang menggantungkan tirai di jendela sambil mencoba menghalangi nyamuk, menanggapi, “Iya, Pak. Rasanya kayak jadi pertunjukan makan malam bagi mereka. Kalau terus begini, kita bisa bikin resepsi nyamuk!”

Gobad yang sudah selesai mandi dan mengenakan piyama mulai merasa terganggu oleh gigitan nyamuk. Dia menggigit bibirnya dan bertanya, “Bu, Pak, kenapa nyamuk-nyamuk ini kayaknya lebih suka kita daripada makanan mereka?”

Slumbat menjawab sambil memukul nyamuk dengan handuk, “Mungkin mereka merasa kita adalah hidangan yang spesial, Nak. Atau mungkin mereka juga bingung kenapa kita enggak pakai bumbu-bumbu!”

Jengkok tertawa kecil, “Kalau begitu, mungkin kita harus memesan ‘Anti Nyamuk’ untuk malam ini. Siapa tahu mereka lebih suka pesanan daripada makanan langsung!”

Slumbat menyiapkan beberapa daun sirih dan minyak serai sebagai usaha terakhir untuk mengusir nyamuk. Dia menempelkan daun sirih di sekitar ruangan dan menuangkan minyak serai di sudut-sudut ruangan sambil bercanda, “Kalau ini enggak berhasil, kita bakal jadi pengantin nyamuk malam ini.”

Gobad, yang masih merasa gatal, mencobakan cara yang dia pelajari dari temannya di sekolah. “Bagaimana kalau kita pakai teknik ‘pantomim pengusir nyamuk’? Begini caranya!” Dia mulai bergerak-gerak konyol, berputar-putar sambil mengibas-ngibaskan tangannya seperti menari.

Jengkok dan Slumbat tidak bisa menahan tawa melihat Gobed yang beraksi. “Wow, Gobed! Itu bukan tarian pengusir nyamuk, tapi mungkin nyamuk-nyamuk malah ngerasa ada pertunjukan hiburan!” kata Jengkok sambil tertawa.

Slumbat mencoba menahan tawa, “Kalau mereka bisa tertawa, mungkin nyamuk-nyamuk juga bakal kasih standing ovation!”

Tapi nyamuk-nyamuk itu tetap saja enggak mau menyerah. Akhirnya, Jengkok memutuskan untuk mencoba ide terakhirnya. “Oke, kalau begitu kita harus menyulap kamar ini jadi benteng pertahanan!”

Dia memindahkan semua barang-barang ke tengah ruangan dan menutup jendela dengan kain yang dia ikat rapi. Dia berkata, “Sekarang, kita sudah punya benteng yang kokoh. Tapi jangan harap nyamuk-nyamuk ini gampang menyerah.”

Malam semakin larut, dan keluarga Jengkok masih berusaha bertahan di tengah serangan nyamuk yang tak kunjung reda. Mereka bercanda dan berbagi tawa meski merasa lelah.

Ketika akhirnya mereka semua berbaring di ranjang yang sudah dipasang kelambu, Gobad bercanda, “Semoga malam ini kita jadi bintang film di kalangan nyamuk. Kalau enggak, kita jadi pemenang kontes bertahan hidup!”

Slumbat, dengan senyum lelah, membalas, “Iya, dan kalau mereka menang, kita bisa bikin poster ‘Pertunjukan Malam Nyamuk’!”

Jengkok memeluk keluarganya dan berkata, “Malam ini memang penuh tantangan, tapi yang penting kita masih bisa bersama. Kita hadapi ini dengan tawa dan kebersamaan.”

Mereka semua tertawa, meski rasa gatal masih mengganggu, dan perlahan-lahan tertidur dalam kelambu yang memberikan perlindungan dari nyamuk. Meskipun malam itu penuh dengan gangguan nyamuk, mereka tetap saling mendukung dan merasa bersyukur karena memiliki satu sama lain.

Keesokan paginya, setelah terjaga dari tidur malam yang penuh perjuangan, Jengkok, Slumbat, dan Gobad tertawa mengingat betapa lucunya malam sebelumnya. “Well, mungkin kita bisa jadi ahli pertunjukan nyamuk kalau perlu,” kata Jengkok sambil menatap keluarganya dengan penuh kasih.

Di Tertawakan Teman-Teman

Pagi itu, Gobed berangkat ke sekolah dengan semangat meski wajahnya penuh bentol-bentol akibat gigitan nyamuk semalam. Slumbat sudah memeriksa dengan cermat dan memoleskan salep anti-gatal di wajahnya, berharap itu bisa mengurangi rasa gatal dan kemerahan. Jengkok memberi semangat terakhir sebelum Gobed meninggalkan rumah.

“Semangat ya, Gobed. Ingat, meski wajahmu seperti dipenuhi bintang-bintang, itu hanya tanda bahwa kamu sudah menghadapi malam yang sangat heroik,” kata Jengkok sambil melambaikan tangan.

Gobad tersenyum lemah sambil menjawab, “Iya, Pak. Aku berusaha supaya teman-teman tidak terlalu terkejut.”

Sesampainya di sekolah, Gobed bergegas ke kelas dengan harapan hari ini akan berjalan baik. Namun, saat dia memasuki ruang kelas, semua teman-temannya langsung melihat ke arahnya dan mulai tertawa.

“Wah, Gobed! Kamu jadi kayak lumut di hutan tropis, nih!” seru Dani sambil menahan tawa.

Rudi juga ikut-ikutan, “Kamu itu kayak di-spam nyamuk semalam. Wajahmu penuh dengan tanda ‘p’ dan ‘b’!”

Teman-teman Gobed yang lain juga mulai tertawa, menambah rasa malu dan sedih Gobed. Wajahnya memerah karena gatal dan malu. Dia berusaha menahan air mata, tetapi rasa sakit dan cemoohan teman-temannya membuatnya tak bisa menahan lagi.

Guru mereka, Bu Sari, datang dan melihat situasi tersebut. Dia segera menghampiri Gobed, mencoba meredakan suasana. “Anak-anak, berhenti tertawa. Tidak baik menertawakan teman sendiri. Kita harus saling mendukung, bukan menambah beban teman.”

Namun, Gobed sudah terlalu tertekan. Dia mulai menangis di hadapan teman-temannya. “Bu, saya… saya enggak sengaja, Bu. Nyamuk-nyamuk itu benar-benar bikin saya gatal dan bentol-bentol.”

Bu Sari mencoba menghibur, “Gobad, semua orang bisa mengalami hal seperti ini. Tapi kalau kamu mau, kita bisa bantu buat semua orang tahu bahwa kamu tetap semangat meski menghadapi masalah.”

Mendengar itu, Dani, salah satu teman Gobed yang biasanya agak jahil, tiba-tiba berdiri dan berbicara dengan serius. “Teman-teman, mari kita coba bantu Gobed. Ini momen penting untuk kita buktikan bahwa kita bisa jadi teman yang baik.”

Rudi juga ikut membantu, “Iya, ayo kita buat aktivitas di luar ruangan, supaya Gobed bisa merasa lebih baik. Kita bisa main di lapangan sambil jadi tim dukungan!”

Teman-teman Gobed yang tadinya tertawa mulai merasa bersalah dan meminta maaf. Mereka mengajak Gobed bergabung dengan mereka untuk bermain di lapangan, berharap bisa mengalihkan perhatiannya dari gigitan nyamuk yang masih gatal.

Di lapangan, Gobed ikut bermain bersama teman-temannya. Mereka bermain bola, dan Rudi yang konyol mulai membuat berbagai ekspresi wajah lucu untuk menghibur Gobed. “Ini adalah teknik khusus dari tim dukungan kami! Kalian lihat ini, ini adalah ekspresi kebangkitan! Dan ini, ekspresi ‘nyamuk jatuh’!”

Semua orang tertawa melihat tingkah konyol Rudi, termasuk Gobed yang akhirnya ikut tertawa meski bentol-bentolnya masih terasa gatal. Melihat teman-temannya yang berusaha menghibur, Gobed merasa lebih baik dan mulai menikmati hari itu.

Ketika bel sekolah berbunyi, Bu Sari memanggil Gobed dan teman-temannya. “Sekarang, mari kita bersihkan lapangan dan siapkan untuk pelajaran berikutnya. Ingat, kita semua adalah tim yang saling mendukung.”

Gobad merasa berterima kasih kepada teman-temannya. “Terima kasih, teman-teman. Aku merasa lebih baik sekarang.”

Dani memberi senyum lebar, “Ya, dan jangan khawatir tentang gigitan nyamuk. Mungkin mereka cuma ingin mencoba kostum bintang film baru!”

Rudi melanjutkan, “Kalau kamu butuh, aku bisa jadi pelatih spesial untuk tim dukungan. Teknik ekspresi nyamuk itu siap setiap saat!”

Gobad tertawa sambil mengangguk. “Aku akan ingat semua ini. Terima kasih sudah membuat hari ini jadi lebih baik.”

Ketika pulang ke rumah, Gobed menceritakan pengalamannya kepada Jengkok dan Slumbat dengan penuh semangat. Meskipun hari itu dimulai dengan tantangan, kebersamaan dengan teman-temannya dan dukungan mereka membuat Gobad merasa lebih baik. Slumbat dan Jengkok merasa lega melihat anak mereka kembali ceria.

“Bagaimana hari ini di sekolah, Nak?” tanya Slumbat.

Gobad tersenyum lebar, “Hari ini sangat seru, Bu. Teman-teman bantu aku dan membuatku tertawa. Bahkan mereka coba jadi ‘tim dukungan nyamuk’!”

Jengkok tertawa mendengar cerita Gobad, “Wah, sepertinya teman-temanmu memang hebat. Yang penting, kamu tetap semangat dan terus belajar.”

Malam itu, meski masih terasa gatal, Gobed tidur dengan nyenyak. Dia merasa bersyukur memiliki teman-teman dan keluarga yang selalu mendukungnya, bahkan saat dia merasa tidak nyaman.

Pagi itu, Gobed bangun dengan wajah yang sudah jauh lebih baik. Bentol-bentol akibat gigitan nyamuk semalam sudah sembuh, dan dia merasa segar setelah tidur nyenyak. Dia bergegas berpakaian dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah dengan semangat baru.

Slumbat sedang menyiapkan sarapan pagi di dapur. Namun, ketika dia membuka rak tempat mereka biasanya menyimpan bahan makanan, dia menyadari sesuatu yang mengejutkan. “Jengkok, mana semua bahan makanan kita? Sepertinya kosong semua!”

Jengkok yang sedang mencari di luar rumah segera masuk ke dapur dengan wajah cemas. “Aku belum menemukan apa-apa, Bu. Barang bekas yang biasa kita kumpulkan juga belum ada. Sepertinya, hari ini tidak ada rejeki dari situ.”

Slumbat memeriksa lemari penyimpanan dan meja, berharap menemukan sesuatu, tetapi semuanya kosong. “Jadi, kita tidak punya sarapan pagi hari ini?”

Jengkok mengangguk, “Sepertinya begitu. Aku sudah cek ke beberapa tempat, tapi tidak ada botol atau barang bekas yang bisa kita jual.”

Di ruang tamu, Gobed sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia datang ke dapur dengan penuh semangat, “Bu, Pak, sarapan pagi sudah siap? Aku sudah lapar!”

Slumbat mencoba tersenyum, “Sayang, pagi ini kita belum bisa sarapan. Nanti kita cari cara supaya kamu bisa makan dengan baik.”

Gobad tampak sedikit bingung dan bertanya, “Jadi, apa kita tidak makan pagi sama sekali? Biasanya kita sarapan dengan nasi atau roti.”

Jengkok mencoba menjelaskan sambil mengusap kepala Gobed, “Iya, Nak. Tapi kita akan cari solusi. Yang penting, jangan khawatir. Kita pasti akan menemukan cara.”

Mereka semua duduk bersama di ruang tamu, berusaha mencari solusi untuk situasi mereka. Jengkok berpikir keras, “Kalau kita tidak bisa sarapan, kita harus menemukan cara supaya Gobed tidak lapar di sekolah.”

Slumbat mencoba memberikan semangat, “Kita bisa coba buat bekal dari sisa makanan yang ada. Siapa tahu ada yang bisa dimanfaatkan.”

Gobad mencoba untuk tidak terlalu cemas. “Aku bisa pergi ke sekolah lebih awal dan mencari sesuatu di kantin. Mungkin ada yang bisa dibagi.”

Jengkok dan Slumbat merasa bangga dengan semangat Gobed, tetapi mereka tetap khawatir. “Baiklah, kalau begitu. Semoga di sekolah ada solusi.”

Gobad pergi ke sekolah dengan sedikit khawatir tetapi tetap ceria. Sesampainya di sekolah, dia mulai membagikan cerita kepada teman-temannya tentang keadaan keluarganya pagi itu.

Teman-teman Gobed, yang mendengar ceritanya, merasa sangat simpatik. Dani, yang sering berkelakar, berkata, “Jangan khawatir, Gobed! Kalau lapar, kita bisa coba makan bekal si Rudi yang selalu punya stok makanan lebih.”

Rudi, yang mendengar itu, menjawab sambil menggelengkan kepala, “Jangan harap! Bekalku cuma cukup buat aku sendiri. Tapi kalau kamu lapar, kita bisa bagi-bagi makanan yang ada di kantin!”

Ketika waktu istirahat tiba, Gobed melihat ada beberapa makanan yang tersisa di kantin. Beberapa teman mulai memberi Gobed bagian dari bekal mereka. Dani memberikan sepotong roti, sementara Rudi memberikan beberapa buah yang dia bawa dari rumah.

“Ini bukan makanan mewah, tapi semoga bisa membantu,” kata Dani sambil menyerahkan roti.

Rudi menambahkan, “Dan ini beberapa buah. Kalau kamu butuh, jangan ragu untuk minta tambahan.”

Gobad sangat berterima kasih. “Terima kasih banyak, teman-teman! Kalian benar-benar teman yang baik!”

Sementara itu, di rumah, Jengkok dan Slumbat mencoba mencari cara lain untuk mendapatkan sedikit uang. Jengkok berkeliling ke beberapa tempat, menawarkan jasa perbaikan kecil-kecilan, dan Slumbat mencari barang-barang yang bisa dijual.

Ketika Gobad pulang dari sekolah, dia membawa kabar baik. “Bu, Pak, aku sudah makan di sekolah. Teman-teman baik sekali. Mereka membantu aku dengan makanan di kantin.”

Slumbat merasa lega mendengar kabar tersebut. “Syukurlah kamu tidak lapar. Malam ini kita akan coba lagi mencari barang bekas untuk dijual. Mungkin ada yang bisa membantu.”

Jengkok menambahkan, “Iya, malam ini kita akan mencari jalan keluar. Yang penting, kita tetap berusaha dan tidak menyerah.”

Di malam hari, Jengkok dan Slumbat berkeliling mencari barang bekas, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijual. Mereka kembali dengan sedikit barang dan beberapa botol yang bisa ditukar dengan uang.

Ketika Gobed tidur, dia memikirkan hari yang penuh tantangan. Meski mereka tidak sarapan pagi tadi dan harus menghadapi kesulitan, dia merasa bersyukur karena memiliki teman-teman yang peduli dan keluarga yang selalu berusaha memberikan yang terbaik.

“Besok kita akan lebih siap, Nak,” kata Jengkok sambil mengelus kepala Gobed yang tertidur lelap. “Yang penting, kita tetap bersama dan selalu berusaha.”

Slumbat tersenyum sambil memandang Gobed. “Iya, dan semoga hari-hari ke depan membawa lebih banyak rejeki. Kita akan selalu bersama dan saling mendukung.”

Malam itu, meski dengan perut kosong, keluarga Jengkok merasa hangat dan penuh harapan. Mereka tahu bahwa meskipun hidup mereka tidak selalu mudah, kebersamaan dan dukungan satu sama lain akan selalu membuat mereka kuat dan siap menghadapi segala tantangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!