"Emang berapa mahar yang di kasih oleh calonnya, Mentari?" tanya Bude Dewi .
Hari ini beberapa kerabat membantu memasak di rumahKu . Karena nanti malam adalah acara lamaran.
Hanya beberapa kerabat saja yang datang membantu. Sementara yang lain dan termasuk saudara ayah, tidak sudi datang untuk membantu masak-masak.
Mereka akan datang nanti malam untuk memastikan siapa calon suamiku.
"Tidak tahu Mbak, kan nanti masih di rundingkan! " jawab ibuku sambil mengupas kentang untuk di buat perkedel.
Calon suamiku adalah Dirga Permana seorang Anak Pengusaha terbesar di pusat kota dan di Desa tempat tinggal ku.
Ayah bekerja di perusahaan tersebut sebagai satpam di perusahaan cabang yang ada di Desa.
Di desa itu ada pabrik garmen. sebagian masyarakat disana menggantungkan hidupnya di pabrik tersebut.
Aku mengenal Dirga satu bulan yang lalu. Dan berkenalan pun cuma lewat pesan di aplikasi hijau. Selebihnya aku tidak pernah bertemu dengan Dirga.
perkenalkan singkat itu, membuat Mamanya Dirga yaitu Bu Dita datang memintaku untuk bersedia menikah dengan putra semata wayangnya.
Awalnya Aku menolak, karena tidak menyukai Dirga. Bahkan bertemu saja tidak pernah.
Bu Dita bilang kepada ku, bahwa putranya itu lumpuh akibat kecelakaan yang ia alami dua tahun yang lalu.
Aku bimbang dengan tawaran Dari Bu Dita.
karena jika Aku menolaknya, otomatis Ayah akan kehilangan pekerjaannya. Sedangkan pekerjaan itu sangat di butuhkan oleh Ayah.
Karena kita butuh uang untuk berobat ibu. Ibuku mengidap penyakit Diabetes. Pengobatannya memang menggunakan asuransi kesehatan tapi ada beberapa yang tidak bisa menggunakan asuransi tersebut.
Kehidupan kami sangatlah sederhana. Aku bekerja di sebuah minimarket, yang gajinya lumayanlah untuk membantu keluargaku.
Aku juga masih memiliki dua orang Adik.
yang masih duduk di bangku SMA dan SMP. jelas itu membutuhkan banyak biaya. Karena mereka sama-sama di kelas akhir menuju lulus.
Sebenarnya Ayahku tidak tega melihat Aku menerima perjodohan ini. Tapi aku berusaha meyakinkan Ayah, jika Dirga menang Jodoh yang terbaik untukku.
Jika aku menerima puteranya Bu Dita sebagai suamiku, maka ia menjanjikan kepadaku akan menjamin semua kelangsungan hidup keluargaku tanpa kekurangan apapun.
Aku sebagai anak tertua ingin membahagiakan kedua orangtuaku dan adik-adikku. Mungkin hanya dengan cara seperti ini. Aku bisa memberikan kebahagiaan untuk mereka, terutama dalam kebutuhan mereka.
Jujur saja, sebenarnya gajiku dan gaji ayah sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tetapi aku lakukan ini demi kesembuhan ibuku.
"Aku jadi penasaran dengan wajah calonnya, Tari. Gak kedengaran pacaran, tiba-tiba sudah mau lamaran saja!" ujar Bude Dewi
"Pekerjaan calonmu apa? Kuli bangunan atau buruh pabrik?" imbuh Bude Dewi kakak dari Ayah yang suka julid kepada keluargaku. Di dengar dari pertanyaannya saja sudah kelihatan seakan mengejek.
"memangnya kenapa, jika calonku seorang buruh pabrik atau kuli bangunan? Kan yang penting pekerjaannya halal, Bude!" jawabku dengan sinis.
"iya Bude tau. Tapi apa kamu tidak malu dengan Gendis. Dia dapat suami seorang Abdi negara". Kata Bude Dewi.
Aku mulai menghela nafas panjang. Aku sangat risih jika mulai di bandingkan dengan Gendis. Wanita yang telah merebut pacarku.
bahkan dia telah menikah dengan mantan pacarku yaitu Reza.
Aku pacaran dengan Reza mulai kelas 1 SMA.
Kami sama-sama lulus, namun sayang aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi. Meskipun sebenarnya aku mendapatkan beasiswa, tapi tetap saja masih butuh biaya untuk kebutuhannya. Sehingga aku memutuskan untuk bekerja saja.
Sementara Reza melanjutkan pendidikannya menjadi abdi negara. Karena ia termasuk anak orang kaya di Desaku.
Reza telah berjanji, akan menikahiku nanti setelah ia lulus dari pendidikannya. Namun sayang, Reza malah menikahi sepupuku sendiri yaitu Gendis anak dari adiknya Ayahku.
Reza memberi alasan kepadaku, bahwa Aku tidak sepadan dengannya. Ia memilih Gendis karena ia pegawai Koperasi di desa dan juga sudah menjadi ASN. Begitu dengan orangtuanya yang menantang hubungan kami, karena menurutnya Aku berasal dari orang yang kurang mampu.
Aku tidak pernah tahu, mulai kapan mereka berkenalan. Karena aku begitu kaget saat suatu malam itu, mengetahui mereka melakukan lamaran di rumah Bulek Narti. Bahkan acara lamaran berlangsung, aku dan keluargaku tidak di undang. Mungkin mereka takut ketahuan bahwa calonnya Gendis adalah pacarku.
Semua kerabatku jelas sudah tahu, jika Reza adalah pacarku. Termasuk Gendis juga mengetahuinya, tapi ia mengapa tega kepadaku. Aku dan Reza menjalin hubungan sudah 6 tahun lebih. Tapi nyatanya penghiatan yang aku terima.
Tak berselang lama, 3 bulan kemudian mereka menikah dan menggelar resepsi pernikahan yang sangat mewah di Desaku.
Maklum saja kedua orangtuanya Reza masih termasuk salah satu orang yang terpandang di Desaku.
Sejak saat itu aku merasakan kekecewaan yang teramat besar. Bahkan aku masih trauma menjalin hubungan dengan lawan jenis.Dan Aku lebih fokus untuk membahagiakan keluargaku.
Tapi, jika ini memang Aku di takdirkan berjodoh dengan Dirga. Aku akan menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada. Walaupun calon suamiku Lumpuh.
Apa karena kondisi putranya Bu Dita yang seperti itu? Bukan maksud Aku merendahkan, tapi mungkin saja kesulitan untuk mencari calon istri dengan kondisi yang seperti itu.
...****************...
Pukul 5 sore MUA yang telah di booking oleh Bu Dita sudah datang ke rumah. Ia di tugaskan merias Ku untuk acara nanti malam.
Bahkan kebaya yang aku kenakan untuk acara nanti sudah ia kirim satu Minggu yang lalu. Kebaya dengan warna gold di padukan dengan rok span panjang, dan dengan hijab warna yang senada.
Bu Dita yang telah membiayai semuanya, bahkan makanan yang nanti akan di sajikan Bu ditalah yang membiayai. Keluargaku tinggal belanja dan memasaknya.
"Sudah selesai, Mbak Tari kelihatan tambah cantik". Kata MUA itu.
"Terimakasih, mbak" jawabku.
Aku melihat pantulan wajahku di cermin. Ternyata aku cantik juga jika di rias. Aku tersenyum, Aku mulai gugup dengan acara nanti. Berharap nanti acaranya lancar tanpa ada halangan apapun.
Bu Dita telah mengirim pesan kepadaku. Bahwa ia akan datang 1 jam lagi. Karena acaranya nanti pukul 7 malam.
"Aku dengar, calon suamimu seorang buruh pabrik ya?" tiba-tiba Gendis nyelonong masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Sungguh tidak sopan.
sedangkan perias tadi masih sibuk membereskan peralatan makeup.
"Baguslah! itu memang cocok dan sepadan denganmu!" kata Gendis dengan nada mengejek.
Gendis berdiri di belakangku, dengan wajah yang kelihatan mengejekku.
"Oh iya, aku sedang hamil anaknya Mas Reza lho!" ucapnya lagi sambil mengelus perutnya yang mulai kelihatan membuncit.
Gendis memakai gaun warna peach tanpan lengan. Gaunnya cukup ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat.
"Aku gak tanya!" ujarku.
"Aku hanya ingin memberitahu bahwa sebentar lagi aku dan Mas Reza akan menjadi orang tua. emm... satu lagi!. Kamu tahu tidak orang tuanya Mas Reza sangat menyayangiku dan meratukan aku di rumahnya. Karena mereka sangat bangga mempunyai menantu seorang ASN, yang sepadan dengan anaknya seorang abdi negara.
sementara kamu berjodoh dengan seorang buruh pabrik!" ucap Gendis sambil menertawakan aku.
Ingin rasanya aku melempar mukanya dengan gelas yang ada nakas. Namun tindakan seperti itu di larang. Jadi aku hanya bisa mengelus dada mendengar ocehan Gendis. Suatu saat pasti ia akan mendapatkan balasannya sendiri. jadi aku tak perlu report mengotori tanganku.
"Mbak, cepat siap-siap karena calonmu sudah datang!" ucap Rasti masuk ke kamarku.
"Tu, calon suamimu sang kuli bangunan sudah datang!". Ucap Gendis sambil berlalu dengan raut wajah kemenangan.
"itu mulut, kenapa tajam banget sih?" ucap perias tersebut yang sudah selesai mengemas barangnya.
"Biasa mbak, kaleng rombeng, yang gak ada remnya juga. Jadi sudah biasalah!" jawab Rasti dengan senyum.
Saat aku tiba di ruang tamu, pandanganku mencari keberadaan calon suamiku. Namun nampaknya tidak ada pria yang akan menjadi calon suamiku.
...****************...
" Loh! Ini mana yang malu melamar? Kok tidak ada? Apakah Bapak ini yang akan menjadi calon suamiku keponakan kamu?" tanya Bulek Narti.
"Kamu mau menikah sama Bapak-bapak itu, Tar? Aku tahu kalo kamu iri sama Gendis, karena dia sudah menikah duluan... Tapi tidak gini juga dong!" imbuhnya lagi.
Suara bisik-bisik mulai terdengar di telingaku. Terlihat jelas jika keluarga dari ayahku mengejekku. Karena mereka dari dulu tidak begitu suka kepada keluargaku. Apalagi sekarang mereka mengira aku akan di lamar oleh bapak-bapak. Padahal orang yang datang bersama Bu Dita bukanlah calonku, melainkan suaminya Bu Dita sendiri yaitu pak Revan.
"Kamu kalau kebelet kawin gak apa-apa sama buruh pabrik, tapi gak harus sama Om-om juga kali, Tari! Buat malu saja tau!" ujar Gendis dari pojokan dengan nada mengejek.
"Narti! Gendis! Kalian ini apa-apaan sih? jangan buat malu di depan tamuku!" ucap Ayah sambil menahan malu. Tapi sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya dulu
Lalu Ayah bangkit dari duduknya dan mempersilahkan Bu Dita dan Pak Revan masuk. Sepertinya mereka datang cuma berdua saja, tidak membawa rombongan.
"Maaf ya, Pak, Bu. Kalau perkataan keluarga saya terlalu ceplas-ceplos". Ucap bapak sambil menunduk, karena merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, Pak. Tidak apa-apa". Jawab cepat Bu Dita.
meskipun sebenarnya, terlihat jelas dari raut wajahnya yang teramat enggan. Setelah semua orang duduk, Pak Revan yang dari tadi diam saja, mulai mengeluarkan suaranya, yang terdengar tegas dan juga berat. Jadi beliau terlihat tambah berwibawa.
"Pak, Bu. Saya dan istri saya malam ini ingin menyampaikan niat baik saya untuk melamar Mentari untuk putra saya. Sebelumnya saya akan memperkenalkan diri saya.
perkenalkan nama saya Revan dan istri saya Dita orang tua dari laki-laki yang akan melamar Mentari". Ucap Pak Revan dengan senyum kecil. "Jadi... Kalian disini jangan sampai salah menduga-duga kalau Mentari akan menikah dengan laki-laki tua seperti Saya". imbuh pak Revan.
"Sekali lagi, maafkan saudara-saudara saya, Pak. Saya benar-benar mohon maaf". Kata Ayah dengan raut wajah bersalah. Bagaimanapun Pak Revan dan Bu Dita adalah pemilik dari pabrik garmen tempat Ayah bekerja. Jadi mereka berdua adalah Bosnya Ayah.
"Tidak apa-apa Pak Bagas, yang terpenting saya sudah memberi tahu, agar tidak terjadi salah paham lagi". Jawab pak Revan dengan senyum kecil.
"Oh.. Jadi Bapak ini orang tua dari laki-laki yang akan melamar Mentari, toh? Jadi syukurlah, kalau Mentari tidak menikah dengan bapak-bapak tua karena kebelet kawin. Takutnya nanti gara-gara kehidupannya Mentari memprihatinkan jadi terpaksa mau menikah dengan Bapak-bapak tua, untuk memperbaiki kehidupannya". Kata Bulek Denok dengan nada mengejek.
Aku menunduk bukan karena malu, melainkan menahan amarah karena mendengar omongan pedas Bulek Denok. Andai disini tidak ada Bu Dita dan Pak Revan, pasti Aku sudah membalas omongan pedasnya Bulek Denok tadi.
Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa, ia ngomong seperti itu di depan orang lain? Padahal aku ini keponakannya sendiri.
"Nah, betul itu Pak! Wajarlah kalau kami tadi berfikiran seperti itu, karena bagaimana pun Mentari adalah keponakan kami. Jadi kamu tahu watak Mentari yang sebenarnya seperti apa? Karena Mentari itu iri sama Gendis yang sudah bahagia karena menikah duluan dengan Abdi negara. Jadi saat melihat Bapak tadi, kami langsung mengira bahwa Mentari rela menikah dengan Bapak-bapak asalkan keluar dari lingkaran kemiskinan!" ucap Bulek Dewi
"Astaghfirullah, Wi! Bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu?" ucap ibu dengan kesal.
Baru kali ini ibu meladeni ucapan mereka. Padahal sebelumnya Ibu tidak pernah meladeni ucapan mereka yang pedas itu. Mungkin ibu kesal dengan ucapan mereka yang sudah sangat keterlaluan.
"Kamu ini kenapa sih Mbak? Akukan cuma bercanda saja, jadi gak perlu diambil hati juga kali!" ucap Bulek Narti santai. "Ya sudah lanjutkan lagi acaranya. Tapi, ngomong-ngomong kenapa putra kalian tidak ikut kesini?" Bulek Narti mengalihkan pembicaraan.
Aku mendongak dan langsung menoleh ke arah Pak Revan dan Bu Dita. karena aku juga begitu penasaran, kenapa Dirga tidak datang untuk melamar ku? Padahal aku juga pengen tahu seperti apa Dirga sebenarnya. Meskipun aku sudah tau, tapi melalui foto yang ditunjukkan oleh Bu Dita.
"Eh, tunggu dulu! Dari tadi Aku lihat-lihat sepertinya kalian ini bukan dari kalangan orang miskin, ya? Karena dilihat dari baju yang di pakai kelihatan mahal dan juga kesini bawa mobil lagi. Padahal kami mengira Mentari akan dilamar oleh seorang buruh pabrik". Ucap Bulek Denok dengan wajah mengejek.
"Iya, Alhamdulillah kami bekerja di tempat seorang pengusaha terkenal dan kami di ijinkan memakai mobilnya datang kemari untuk melamar Mentari ", sahut Bu Dita datar.
"Oh, ternyata pembantu,toh! Pasti suaminya seorang supir? Ternyata, calon suami Mentari adalah anak dari seorang sopir. Lebih baik sih dari pada buruh pabrik, tapi derajatnya masih lebih tinggi dari suami Gendis, yaitu seorang abdi negara". Ucap Bulek Narti sambil memuji-muji menantunya.
"Iya, saya adalah seorang sopir dan istri saya seorang pembantu di rumah Kakaknya yang mempunyai perusahaan garmen di desa ini". Pak Dirga menyahuti ucapan saudara dari ayah.
Aku, bapak dan juga Ibu, saling pandang. Kami heran dengan ucapan Pak Revan barusan. Kenapa mereka berbicara seperti itu. Padahal mereka berdua adalah pemilik perusahaan garmen sebenarnya yang ada disini.
Setahuku yang mengelola adalah adiknya Bu Dita sendiri. Tapi kenapa mereka harus berbohong?
padahal saat ini bisa dilihat langsung tatapan dari saudara-saudara Ayahku dengan tatapan mengejek kepada Bu Dita dan Pak Revan. Dan pastinya mereka merasa orang tua Dirga nantinya bisa di injak-injak.
"Wah! Ternyata kalian ini bekerja pada saudaranya Pak Beni, ya? Pak Beni adalah pemilik dari pabrik garmen yang ada disini.
Dan ternyata kalian bekerja pada saudaranya yang ada di pusat kota? Benar begitu kan? Baik sekali mereka, bahkan mereka Sudi meminjamkan mobilnya untuk melamar anak orang, agar kalian terlihat kaya malam ini". Terang-terangan Bulek Dewi mengejek.
"Ya.. Begitulah, Alhamdulillah majikan kami sangat baik". Jawab Bu Dita santai.
"Baiklah, pak. Bagaimana dengan lamaran kami? Apakah keluarga Pak Bagas menerimanya?" Tanya pak Revan.
"Kalau keluarga saya sih, semua jawaban kami serahkan kepada Mentari. Karena yang akan menjalaninya nanti juga Mentari". Ucap Ayah dengan lembut.
"Nak, Mentari. Ibu dan Bapak datang kemari ingin melamar kamu, seperti yang sudah kita bicarakan tempo hari lalu. Bagaimana? Apakah kamu mau menerima Dirga sebagai suamimu?" tanya Bu Dita kepadaku dengan senyuman.
"Iya, Bu. Saya menerima lamarannya Mas Dirga sebagai suamiku". Jawabku
Karena ku tahu ini hanyalah sebuah formalitas saja. Karena sebenarnya Aku, ayah, Ibu, dan Bu Dita sudah berbicara panjang lebar tentang hal ini, dan aku telah menerima Dirga sebagai suamiku.
Karena Bu Dita telah memintaku atau lebih tepatnya mengancam keluargaku. Jika aku tidak menerima lamarannya Dirga, maka Ayahku terancam akan di pecat dari pekerjaannya.
"Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong anaknya kok tidak ikut datang kemari? kalau boleh tahu pekerjaannya apa ya?" tanya Bulek Denok tiba-tiba.
"Kebetulan putra saya tidak bekerja, Bu. Dia di rumah saja, karena dia memang lumpuh, kakinya tidak bisa di gerakkan". Jawab Bu Dita dengan wajah yang sulit aku artikan.
"HAHAHAHA". tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang memenuhi isi rumahku.
...****************...
"Lumpuh?" ulang Gendis dengan suara agak lantang. dengan diikuti suara tawa saudara Ayah yang lain. karena yang sering gencar menghinaku adalah mereka. Mereka kelihatan sangat bahagia dengan kabar ini.
Aku yang saat itu di tinggal menikah oleh Reza. Sekarang akan menikah dengan pria lumpuh. Tentu hal itu akan membuat mereka semakin bahagia.
Pak Revan dan Bu Dita saling pandang, ketika putranya jadi bahan tertawaan saudara ayahku. Nampaknya mereka berdua sengaja berbohong di hadapan keluarga besar ku. Andai saja Bulek Denok tahu, kalau calon mertua ku adalah pemilik dari pabrik garmen. Mungkin mereka tidak akan berani berujar seperti itu.
Apalagi, orang tuanya Reza memiliki usaha catering yang bekerja sama dengan pabrik untuk makan siang gratis bagi karyawan di pabrik garmen itu. Dan aku juga tahu, mereka sering membeli berbagai cemilan di tempat aku bekerja, untuk mereka di bagi-bagikan tiap hari Jum,at berkah.
Aku bertemu Bu Dita beberapa kali saat dia beli membeli beberapa cemilan di tempatku bekerja. Bu Dita juga tahu kalo Aku anak dari salah satu karyawan di pabriknya.
Namun masyarakat sini hanya tahu bahwa yang mengelola pabrik garmen adalah pak Beni. Karena keluarga pak Revan seakan tak pernah menampakkan dirinya sebagai pemilik pabrik sebenarnya.
"Huss... Memang itu adalah jodoh yang cocok untuk, Mentari" ujar bulek Dewi dengan senyum mengejek.
"Tari, apa kamu gak salah pilih calon suami? Atau kamu sudah putus asa, takut jadi perawan tua?" cecar Bulek Narti.
"Narti, apa yang kamu katakan!" tegur ayah kepada adik pertamanya dengan menahan emosi.
"Aku, hanya ingin menanyakan kepastian pada Mentari, apakah benar dia mau menikah dengan pria lumpuh? Atau dia memang sudah putus asa karena tidak ada pria lain yang melamarnya. secara kan Mentari itukan bekerja hanya di minimarket dengan gaji pas-pasan, dan juga berasal dari keluarga kurang mampu. Jadi membuat Mentari menurunkan kriteria calon suaminya". Ucap Bulek Narti mengeluarkan kata-kata pedas yang tidak bisa di filter itu.
"Cukup, Narti, sudah Cukup!" Ayah memperingatkan lagi.
"Kalian jangan berprasangka buruk dulu, meskipun putra kami lumpuh, tapi kita punya usaha. Insyaallah putra saya bisa memberikan nafkah yang latah untuk Mentari, jika mereka sudah menikah nanti!" ujar Bu Dita.
Aku menoleh ke arah ibu yang tampaknya kesal dengan ucapan adik-adiknya ayah. Mungkin ibu ingin membalasnya saat itu juga. Namun, tidak pantas saja jika di perlihatkan di depan calon besannya.
"Ohhh... Selain jadi pembantu dan sopir, usaha apa yang kalian punya?" tanya kembali Bulek Narti.
Aku yang mendengarkan perkataannya, membuat aku menjadi tambah emosi. Rasanya ingin ku robek mulutnya saat ini juga. Sebab yang dilamar itu aku. Tapi kenapa mereka yang sibuk mengintrogasi.
"Nanti kalian, akan tahu sendiri!" jawab Bu Dita.
"usaha apa? Kenapa sok rahasia segala sih!" cibir Bulek Narti kepada bulek Denok dengan bibir miring ke kanan dan miring kekiri.
"Maaf ya, Pak Revan, Bu Dita. Jika Perbincangan ini membuat Anda tidak nyaman. Maaf jika ada perkataan yang membuat anda tersinggung. Atas nama keluarga saya meminta maaf". Kata Ayah yang jelas terlihat menahan malu dengan sikap saudaranya.
"Tidak apa-apa pak Bagas, malah saya bersyukur bahwa lamaran kami diterima. Nanti kami yang akan mengurus semua persiapan pernikahan, kalian tinggal terima bersih. Sekarang kita tentukan hari dan tanggal untuk pernikahan anak-anak kita". Ujar Bu Dita.
"Kita pulang saja, Wi! Lagian juga gak penting!" Bulek Narti bangkit dari duduknya.
"iyaa mbak, Aku juga capek. Biar mbak Lastri saja nanti yang membereskan setelah acaranya selesai". Jawab Bulek Dewi.
Baguslah mereka pergi. Aku juga bisa beres-beres sendiri dengan ibu, di bandingkan ada mereka yang cuma bisa merendahkan dan menghinaku saja nantinya.
Semua saudara Ayahku sudah pergi, termasuk Gendis yang tampak menghina dan meremehkan aku yang tampak dilihat dari tatapannya itu.
...****************...
Tanggal pernikahanku sudah di tetapkan. Kini aku rebahan di kamar, karena lelah setelah beres-beres bersama ibu tadi.
Saudara ayahku memborong semua cemilan yang ada di rumah. Ya Begitulah, jika menghina itu nomor 1, tapi kalo kalau urusan makanan jangan di tanya lagi. mereka pasti akan memborong nya pulang.
Dirga sekarang sedang apa, ya? Kenapa dia tadi tidak ikut? Aku jadi penasaran seperti apa ya dia? Karena aku tahu dia cuma lewat foto sja. Aku kira tadi aku bisa bertemu dengannya, namun sayang dia tidak ikut.
Ponselku tergeletak di nakas berbunyi terus. Entah siapa yang mengirim pesan secara beruntun.
Aku raih ponsel tersebut dan kulihat, ternyata pesan grub keluarga dari ayahku yang cukup ramai.
Ya, kami mempunyai grup keluarga. Aku tidak pernah ikut nimbrung pembicaraan mereka, aku hanya jadi pembaca saja. Biasanya grup ramai kalo ada gosip atau ada yang pamer. Sebenarnya aku dulu pernah keluar dari grup, namun bulek Denok memaksaku untuk bergabung lagi.
Biasanya yang sering pamer itu Gendis. Karena semenjak dia menikah dengan Reza, ada saja yang dia pamerkan di grup. Baik itu pamer kemesraan atau pamer harta.
Semenjak Gendis menikah dengan Reza, kehidupannya berubah layaknya orang kaya. Padahal jika dilihat keluarga Bulek Narti bukanlah orang kaya. Kehidupannya sederhana seperti kami. Namun, gayanya Bulek Narti yang selangit, membuat ia tak mau terlihat susah.
Ayahku dulu sering membantu saudaranya. Saat bujang dulu ia yang membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan bagian warisannya di pinjam Bulek Narti untuk biaya kuliahnya Gendis, yang membutuhkan banyak biaya. Bulek Narti janji akan menggantinya beberapa bulan lagi. Namun sayang hingga saat ini tidak di ganti juga.
Mereka tak akan ingat jika punya hutang. Yang terpenting adalah mereka terlihat kaya, karena menuruti gengsi yang besar.
[Calon suaminya mentari, beneran lumpuh?]
pesan dari Mila yang tempat tinggalnya berbeda daerah denganku. Aku mengernyitkan dahi. Sudah pasti berita ini di sebarkan oleh Gendis dan adik-adiknya Ayah. Pasti mereka sengaja menghinaku kembali di grup chatting keluarga besar.
[Iya, lumpuh. Ibunya pembantu dan bapaknya sopir]. Balas Gendis.
Aku terus menggulir layar ke bawah untuk membacanya.
[wah, jauh banget dengan Mas Reza dong! Wkwkwk..] balas Mila kembali.
[iya, tapikan Reza itu memang pantas dengan Mentari. Kalau Reza yang seorang abdi negara memang sepantasnya menikah dengan Gendis yang seorang perawat . Reza itu pintar pilih istri. Jika dia salah pilih seperti Mentari, pasti nanti akan membuat keluarganya malu saja.] Bulek Narti ikut membalasnya.
Tulisannya lebih terasa sakit, saat aku baca.
[ya jelas dong, Gendis kan kebanggaan keluarga kita. Pastilah akan di pilih bukan pria sembarangan. Karenakan Gendis cantik, pinter, perawata lagi, pastilah langsung di pilih oleh pria berseragam]. Balas yang lainnya.
Saat ini memang Gendis masih di atas awan. Dengan berbagai pujian dan sanjungan, yang terus di bandingkan dengan aku.
Tunggu saja nanti, jika kalian sudah tahu siapa suamiku. Apakah kalian masih sanggup menghina dan menertawakan kami.
Aku keluar dari aplikasi hijau itu. Dan meletakkan kembali ponselku di meja rias.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!