Abelia Lestari adalah seorang pembantu di sebuah rumah besar nan megah ditengah ibu kota. Baru satu minggu ia kerja, bukannya mendapat keuntungan justru kerugian besar yang ia dapatkan.
Sang Tuan Muda yang terkenal dingin dan bengis merenggut kehormatannya begitu saja. Kekecewaan dan kesedihan yang amat mendalam ia alami karena tak bisa berbuat apa apa. Jangan kan meminta untuk minta tanggung jawab, hanya sekedar untuk bicara pun ia tak berani karena sangat takut dengan sifat sang Tuan Muda.
Selama ia bekerja, sudah begitu sering ia melihat para pelayan yang mendapat tamparan dan perlakuan kasar hanya karena lalai dalam bekerja. Meskipun itu hanya masalah sepele, namun tamperamen keras sang Tuan Muda yang tak bisa diganggu gugat dalam hal apapun.
Sang Tuan Muda sangat gila dengan kebersihan dan tidak menerima satupun kesalahan yang diperbuat oleh orang disekitarnya, baik itu para pelayan maupun para penjaga. Bahkan Abel pun sudah pernah mendapat perlakuan kasar sang Tuan Muda sebanyak 2 kali, padahal ia baru saja bekerja selama satu minggu.
Namun karena kegigihan nya Abel tetap bersiguguh untuk melanjutkan bekerja dirumah megah itu, baginya gajih yang ia terima sungguh tidak sedikit, meskipun ia berhenti disini dan bekerja di tempat lain, belum tentu ia akan mendapat gajih sebesar yang akan ia terima ketika bekerja dirumah ini.
Dengan berat hati Abel kembali bekerja seperti hari hari sebelumnya ketika hari sudah mulai terang, matanya terlihat memerah dan sangat bengkak karena usai menangis sepanjang malam.
Siapa yang tidak sedih dan tak sakit hati? Sebuah kehormatan yang ia jaga dengan sangat baik kini sudah direnggut oleh Tuan nya. Ia merutuki dirinya, kenapa ia begitu tak berdaya terhadap keadaan ini. Ia sempat berfikir untuk berhenti bekerja disini, namun bayangan-bayangan orang tua nya yang sedang sakit dikampung halaman membuat nya menarik ulang pemikirannya.
Ia harus bisa tegar dalam menjalani hari-hari kedepannya, entah ia akan sanggup atau akan menyerah suatu hari. Ia hanya akan berpasrah takdir kepada tuhan yang sudah mengatur segalanya.
\~
“P-pagi Tuan Muda”
Dengan susah payah akhirnya sapaan itu keluar dari mulut Abel, tangannya mengepal dibalik lengan baju nya yang lumayan agak panjang, keringat di dahi nya terlihat bercucuran karena merasa gelisah, sedih dan benci menjadi satu.
Pria itu! Pria yang sudah dengan teganya mengambil kesucian nya, kini terlihat biasa saja seolah tak terjadi apapun semalam. Bahkan untuk sekedar menjawab sapaan dari Abel pun ia enggan dan hanya melewati nya begitu saja.
Melihat hal itu, tanpa sengaja terjatuh satu buliran bening dari salah satu bola matanya yang memang berkaca-kaca sedari tadi.
“Bahkan setelah merenggut mahkotaku kau sama sekali tak merasa bersalah” batinnya menatap Anggara yang tengah makan dengan santai tanpa memperdulikan sekitarnya.
Dada Abel semakin sesak dibuatnya, ia benar-benar sudah tak tahan lagi.
“Saya permisi Tuan Muda”
Abel membungkuk hormat, ia ingin segera menumpahkan air mata yang sudah ia tahan sedari tadi. Ia benar-benar tak tahan lagi untuk berada didekat orang yang telah menyakitinya.
“TUNGGU!!”
“Memangnya siapa yang mengijinkanmu untuk pergi dari sini hah??”
Dalam sekejap saja sikap Anggara langsung berubah drastis menjadi orang yang sangat pemarah, sedangkan Abel langsung saja menghentikan langkah kakinya mendengar perkataan sang Tuan Muda.
“Apalagi ini Ya Tuhan” batinnya begitu tersiksa.
Abel hanya bisa menundukkan kepalanya, air mata yang sudah ia tahan sedari tadi pun lolos begitu saja dikedua pipinya. Sehingga terdengar sedikit isak tangis, sekuat tenaga Abel menghentikan tangisannya karena ia sadar pasti itu akan mengganggu sang Tuan Muda.
Brakkkk!!!!
Dan benar saja, dugaan Abel sama sekali tak meleset. Meja makan yang tersusun rapi oleh makanan serta minuman itu kini terlihat berantakan akibat Anggara yang menampar meja dengan keras.
“Berhenti menangis atau kau ingin segera ku bunuh” bentak Anggara menatap Abel tajam.
Baginya, hanya ingin makan pagi dengan tenang saja tidak bisa. Pagi-pagi telinga nya sudah dibuat berisik oleh isakan pelayan tak tahu diri ini. Hatinya benar-benar dibuat geram.
“M-maaf T-tuan Muda”
Abel semakin menundukkan kepalanya dalam, ia takut! Selama ini ia sama sekali tidak pernah mendapat perlakuan kasar dari orang sekitarnya. Sehingga meskipun hanya dibentak, itu sudah menjadi pukulan keras dihati Abel.
Kakinya gemetar, keringat didahinya semakin bercucuran deras. Anggara yang melihat hal itu menarik ujung bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Perlahan kakinya mendekat kearah pelayan rendah yang hanya berjarak 3 meter saja darinya.
“Aghhggh..”
Secara tiba-tiba rambut Abel yang terikat rapi Anggara tarik sangat kuat. Sekali lagi, air matanya jatuh menetes dikedua pipi mulus itu. Abel menatap wajah Anggara tak mengerti, mengapa Tuan Muda nya sungguh begitu senang menyiksa pelayan sepertinya. Dimana hati nurani orang yang ada didepannya ini!.
Tanpa sengaja tatapan keduanya bertemu tatkala Anggara memandang wajah pelayan yang tengah disiksanya. Wajah polos nan lugu didepannya ini sungguh membuatnya muak, namun dibalik kedua mata itu terpancar kesedihan amat mendalam yang dapat ia rasakan. Namun ia tidak akan perduli sama sekali, memangnya siapa pelayan ini yang bisa mendapat simpati darinya.
“S-sakit Tuan, hikss”
Mendengar hal itu, bukannya melepaskan Anggara justru semakin mengencangkan tarikan tangannya. Senyumnya semakin merekah seolah anak kecil yang begitu senang karena mendapatkan mainan baru.
“Ampun Tuan Muda, saya sudah tidak tahan.. hiks, hiks”
Abel merasa rambutnya seperti akan longor karena Anggara yang tak kunjung melepas tarikan dirambutnya. Ia sampai menangis sesenggukkan karena merasa sakit yang luar biasa.
Belum selesai ia sakit karena kehormatannya direnggut, kini ia sudah kembali mendapat rasa sakit dari siksaan Anggara.
“Kau ingin aku melepaskan tanganku?” Bisik Anggara semakin mengencangkan tarikannya.
Abel reflek memundurkan sedikit badannya takut, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi orang seram yang ada didepannya saat ini. Ia hanya menganggukkan kepalanya cepat, berpikir untuk segera lepas dan menjauh.
“Cih, dalam mimpimu saja!”
“Arghhhh..”
Teriakan pilu Abel menggelegar memenuhi rumah megah nan besar itu, para pelayan dan penjaga yang mendengarnya hanya menunduk takut tak ingin ikut campur, karena jika sedikit saja mereka meusik kesenangan sang Tuan Muda, maka merekalah yang akan mendapat perlakuan buruk itu.
Sedangkat disisi lain, Anggara tidak memperdulikan teriakan Abel sama sekali. Dengan langkah santai ia menarik rambut Abel berjalan menuju ruang dapur. Sungguh seperti seorang setan yang tengah kelaparan, tak ada belas kasihan yang tepapar dari wajah laki-laki itu.
“Lepaskan saya Tuan..” mohon Abel berlinang air mata, bahkan dikeningnya sudah menetes darah segar.
“Saya mohon, lepaskan saya Tuan Muda.. hiks”
“DIAM!!!”
“Arghhhhghhhh…”
Teriakan Abel terdengar lebih keras dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba saja badannya disiram menggunakan air mendidih yang baru saja direbus oleh salah satu pelayan didapur.
“Astagaa…” gumam para pelayan yang sedang bekerja membelalakkan mata terkejut. Ini sudah sangat berlebihan.
Brughhh…
Anggara melepaskan cengkraman ketika melihat Abel yang langsung pingsan, padahal hanya ia siram dengan air panas yang baru saja mendidih. Sungguh lemah, batinnya.
Abel ia tinggalkan begitu saja dan tak ia perdulikan sama sekali. Sedangkan para pelayan langsung berkerumun mendekati Abel.
“Ya Ampun Abel”
Bi Surti, pelayan senior yang sudah lama bekerja dirumah itu menangis ketika melihat kondisi Abel yang mengenaskan. Bagi mereka, Abel sudah seperti keluarga sendiri karena kebaikan Abel yang membuat mereka nyaman berada didekatnya.
Oleh karena itu, ketika mereka melihat Abel diperlakukan jahat oleh Anggara, hati mereka ikut merasakan sakit yang luar biasa.
“Cepat kita bawa dia ke kamarnya” titah bi Surti.
“Semoga dirimu baik-baik saja nak” batinnya gelisah.
“Ya Ampun nak, kenapa demammu tidak turun sama sekali” gumam bi Surti panik.
Hari sudah semakin larut, tapi Abel sama sekali belum membuka kedua bola matanya. Badannya berwarna merah bagai kepiting rebus, akibat dari siraman air mendidih tadi pagi yang meninggalkan bekas melepuh disekujur tubuhnya.
Kepalanya pun kini terlilit perban karena luka yang ia dapat tidak dapat dianggap sepele. Bahkan sedari tadi suhu badannya kian bertambah tinggi.
“Mina, bagaimana ini. Suhu tubuh nak Abel semakin tinggi” ucap bi surti pada Mina pelayan seumuran Abel yang ikut merawatnya sedari tadi.
“Mina juga ga tau bi, andai saja kita bisa membawanya ke rumah sakit, pasti tidak akan sesulit ini” jawab Mina.
Ia pun bingung dengan apa yang harus mereka lakukan saat ini, kalau mereka pergi membawa Abel kerumah sakit, maka sudah pasti akan mendapat kemarahan dari sang Tuan. Karena selama ini siapapun yang sakit atau mendapat luka dirumah itu, maka hanya akan dirawat dengan seperlunya saja.
Mereka sama sekali tidak diizinkan untuk keluar dari rumah itu, bahkan satu langkah saja maka sudah pasti akan dipecat dan tak akan bisa kembali bekerja disitu lagi. Kecuali memang seorang pelayan yang bertugas membeli bumbu atau peralatan rumah, baru bisa keluar. Dan itupun harus dengan izin dan pemeriksaan yang ketat.
“Ya tuhan, berikanlah keajaiban darimu untuk anak ini. Kasihanilah nasibnya yang begitu malang ya tuhan” batin bi Surti meneteskan air mata.
“Kamu pergilah beristirahat nak, besok kamu juga harus bekerja. Jangan sampai karena ikut merawat Abel, tapi justru kamu yang akan kena marah sama Tuan Muda”
Bi Surti sudah layaknya seorang ibu yang memberi nasehat kepada anaknya. Ya memang, hanya dialah satu satunya perempuan yang paling tua diantara para pelayan lain, dan ia juga bukan seseorang senioritas. Semua pelayan yang ada dikediaman ini ia anggap seperti keluarga nya sendiri.
“Baiklah bi, kalau gitu Mina tidur duluan yah. Bibi juga, kalau Abel sudah baikan sebaiknya bibi juga pergi beristirahat”
“Iya Mina” senyum bi Surti lembut.
Seusai kepergian Mina, bi Surti kembali merawat Abel dengan telaten, sudah beberapa kali ia mengganti kompres yang digunakan untuk mereda demam Abel. Sedikit banyaknya pun ia juga mengetahui siapa Abel dan apa latar belakangnya.
Karena itulah, bi Surti semakin prihatin dengan gadis lugu didepannya. Baginya Abel ini adalah gadis yang sangat baik, ia rela menjadi tulang punggung keluarga karena ayahnya yang berada dikampung sedang sakit parah sehingga tidak bisa menafkahi keluarga mereka.
Sedangkan sang ibu, kini juga hanya bisa berdiam diri dirumah sembari merawat sang suami dari sakitnya. Usia nya yang sudah tua, serta faktor tubuh yang sudah tak kuat lagi untuk hanya sekedar bekerja membuat Abel menjadi satu-satunya pencari nafkah dikeluarga kecil itu.
Sebenarnya Abel mempunyai 2 saudara kandung yang lumayan hidup berkecukupan. Namun karena tak tahu diri dan tak tahu terimakasih, mereka sungguh enggan membantu kedua orang tuanya yang tengah kesusahan itu. Bagi mereka, kedua orang tua itu hanyalah beban yang membuat mereka menghabiskan uang secara percuma.
Abel dan kedua orang tuanya pun hanya bisa menerima keadaan, mereka tak ingin ribut. Biarkanlah mereka bertindak semaunya, suatu saat mereka pun pasti akan menyesali perbuatan jahat mereka.
\~
“Ibu… ayahh”
“Ibu.. ayahh.. hiks hiks.. ayahhhh”
Abel duduk terbangun, keringat bercucuran diseluruh anggota badannya, ia baru saja bermimpi jika kedua orang tuanya pergi meninggalkannya hanya seorang diri saja.
Beberapa detik Abel berusaha mencerna apa yang terjadi, hingga beberapa saat itu ia kembali menyandarkan bahu nya ke dinding kamar lumayan kasar.
Hiksss..
Air mata kembali menetes membasahi kedua pipi, sekelabat ingatan buruk kembali merasuki otak kecilnya.
“Ayah, Ibu.. maafin Abel. Abel gagal menjaga kesucian Abel, seharusnya Abel lebih bisa menjaga diri lagi. Abel sudah gagal menjadi anak kebanggaan kalian, maafkan Abel” gumamnya.
Abel hanya bisa merintih meratapi nasibnya, badannya begitu sakit dan perih. Namun itu tidak seperih rasa sakit dalam hatinya.
“Tuhan, apa yang harus Abel lakukan. Abel sungguh tidak kuat menjalani kehidupan seperti ini. Tolong Abel Tuhannn tolongggg” Abel mencengkram dadanya. Sesak, itulah yang ia rasakan saat ini.
Tak sengaja matanya menatap pada sebuah bingkai foto yang terpajang dimeja samping tempat tidurnya. Itu adalah foto Abel bersama dengan ibu dan ayah yang ia sayangi. Tangan nya menjulur mengambil bingkai itu.
Perlahan ia mengusap, namun air mata justru semakin deras ia keluarkan.
“Tidak, aku harus kuat. Aku harus lebih kuat dari sekarang, mau bagaimanapun hanya aku yang bisa membiayai ayah dan ibu. Jika aku terus mengeluh, maka aku tak akan pernah bisa membiayai pengobatan ayah. Aku harus kuat dan lebih kuat lagi”
Abel mengusap air matanya, ia terus meneguhkan hati agar terus lebih kuat lagi dan berjuang untuk kedepannya. Ia harus mengesampingkan rasa sakit yang ia rasakan, mau bagaimana pun hanya ialah satu satunya yang bisa diharapkan.
Segera ia letakkan bingkai foto itu kembali ke tempat semula. Abel membaringkan tubuhnya, menarik selimut dan kembali memejamkan matanya. Namun sebelum itu ia sudah meminum obat agar luka dan rasa sakit badan nya sembuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!